“Dulu aku tinggal di suatu kampung. Tidak ada di kampung itu orang yang kaya kecuali aku. Tidak ada yang lebih banyak hartanya, kekayaan halalnya, juga keluarganya yang melebihi diri. lalu datanglah banjir di malam hari. Sekejap banjir itu melenyapkan keluargaku, hartaku dan kekayaanku. Hingga pagi matahari terbit. aku tidak lagi memiliki apa-apa kecuali anakku yang masih kecil dan seekor unta. Tiba-tiba unta itu lari dan aku ingin sekali menangkapnya. Belum jauh aku mengejar, anakku yang masih kecil terdengar menangis keras. Aku membalik. Ternyata anak itu sudah dicabik-cabik oleh serigala. Aku tidak bisa menyelamatkan anakku. Ia tewas. Maka aku lari mengejar untaku. Tiba-tiba ia menyepak wajahku, melukai wajahku, mematahkan hidungku, dan membuatku buta. “
Urwah bertanya, “Bagaimana perasaan engkau saat itu?”
“Aku hanya mengatakan, Ya Allah segala puji hanya milik-Mu, Engkau masih menyisakan untukku hati yang subur dan lisan yang banyak berdzikir,” jawab lelaki itu.
Lelaki tua berhati subur itu, adalah cermin bagi Urwah bin Zubair. Tapi Urwah bin Zubair juga cermin bagi lelaki itu. Hdup pada akhirnya hanyalah pandang memandang, pantul memantul untuk kita saling bercermin. Pada semua potret yang terpampang dalam layar hidup tempat kita saling mengaca itu, ada pasang surut kesadaran utama kita: kesadaran bertauhid.
Catatan Majalah Tarbawi
Assalamualaikum wr wbMohon ijin untuk share ya Mas 🙂
wa’alaikumussalam warohmatullah wabarokatuhsilahkan saja…tanpa ijinpun boleh…
[jempol]