Mungkin Memang Beginilah Cara Perempuanku.


Sampai jam 18.55, aku masih ada di bangku pengunjung. Memperhatikan papan penunjuk nomor panggilan. Menatap malas televisi. Melihat meja panjang yang menyembunyikan kawan kawanku di seksi Pelayanan. Duduk di sana tanpa lampu besar besar yang sudah padam itu. Aku masih duduk di sana saat arlojiku sudah menunjukkan jam itu. Magrib sudah aku lewati dengan sholat berjamaah di masjid seberang kantor. Sebagian waktuku sudah aku gunakan untuk meladeni sedikit pertanyaan jamaah masjid yang –mungkin- sedikit terheran heran melihat makhluk pajak yang masih terlihat sholat berjamaah magrib.

Inas pulang dari pondok. Kedua motorku dipakai, satu oleh Inas dan satu lagi dipakai ibunya. Seharusnya aku naik sepeda ke kantor. Tapi keasyikan ngobrol dengan Inas dan memberikan tips atau saran untuk sekian agenda atau acara perempuan perempuanku itu membuatku terlambat. Aku diantar istriku ke kantor. ‘Ntar, aku dijemput ya, Can?’, pintaku. Dia menyetujuinya.

Dua puluh menit dari jam pulang kantor. Aku menyadari adanya kesalahan. Ini pasti ada masalah. Aku tunggu sedikit lagi. Tiga puluh menit sudah berlalu. Aku sudah akan menghubunginya, aku semakin yakin jika ada sebuah masalah. Tapi aku menahannya. Ini harus digunakan untuk mengajarkan sesuatu padaku dan juga padanya.

Aku habiskan waktuku. Aku melangkah menyeberangi jalan menuju masjid. Sholat Magrib berjamaah. Menikmatinya bersamaan dengan mulai turunnya hujan Desember. Sesaat sebelum meninggalkan masjid, aku melayani pertanyaan pertanyaan kecil dengan keramahan khas penduduk asli. Aku pamit dan kembali ke kantor. Menembus hujan yang semakin deras.

Satpam mulai melihat aneh padaku. Satu setengah jam sudah berlalu. Aku masih di ruang tunggu pelayanan. Aku jadi tidak tahan. Aku tekan namanya di buku teleponku. Berdering. Ada jawaban. Ada permintaan maaf. Ada janji untuk segera menjemputku.

‘Aku sudah di halaman, bi’… Aku menuju halaman. Menyambut tangannya dan membiarkannya mencium punggung tanganku. ‘Kunci motor hilang… Aku kesulitan untuk menjemput abi… ‘, dia mencoba menjelaskan. Aku diam. Menahan agar tak keluar serapah dan kata kata yang tak membawa kegunaan. Aku setengah mati malakukan ini. Sulit. Hampir 2 jam – untuk jarak yang sebenarnya cuma butuh waktu tidak lebih dari 15 menit bersepeda – aku menunggu dalam ketidakpastian..

Sampai rumah, aku mandi dan makan malam. Dia menemaniku. Ba’da Isya aku masuk kamar. Dia menyusulku. Kami mulai berbincang. Anak lelakiku mematikan lampu besar ruang tengah. Menggantinya dengan lampu redup dan mengajak adiknya tidur. Ia sadar ada masalah di antara kami. Mungkin ini caranya memudahkan kami menyelesaikan masalah kami. Sebenarnya aku hampir membatalkan acara ini ketika melihat respon Zaim. Caranya mengundang tawa. Tapi kekakuanku menghalangi tawaku.

Tidak!. The show must go on. Aku memulai dengan pertanyaan mendasar. ‘Kenapa nggak sms, Can? Kamu khan bisa sms – misalnya – dengan kalimat ; Ntar ya, bi? Bar Magrib. Kunci motor hilang.’. Atau yang sejenis itu. Aku lanjutkan pertanyaanku, ‘Kenapa kamu biarkan aku menunggu sekian lama?’. ‘Kenapa kamu biarkan aku menunggu sekian lama tanpa penjelasan?’. Aku hindari mengungkapkan ketersinggunganku. Sebenarnya aku digoda untuk masuk kewilayah harga diri. Aku sebenarnya merasa dilecehkan dan diremehkan. Tapi kali ini tidak. Aku tegaskan bahwa ini mata pelajaran komunikasi. Bukan mata pelajaran psikologi.

‘Kenapa abi nggak telepon aku?’, tanyanya balik.

Aku kaget. ‘Lha?’. ‘Siapa yang mengalami keterpaksaan untuk berubah dari komitmen?’. Siapa yang wajib menyampaikan masalah?. Siapa yang lebih wajib membuka komunikasi terlebih dahulu antara dia yang sedang mengalami kesulitan karena kunci motor hilang atau aku yang bertanya tanya kapan dijemput. ‘Bayangkan, can… Apa aku harus mengirim sekian banyak sms menanyakan apakah kunci motor hilang, atau motornya yang hilang, atau anak sakit, atau ada tamu, atau ada apa lagi. ‘Butuh berapa kemungkinan, can?’, tanyaku.

Dia diam. Mungkin sulit dia mengerti. Yang dia mengerti, mengapa suaminya tidak empati pada kesulitan mencari kunci, menjaga anak anak, dan bagaimana melawan keengganannya menembus hujan. Makanya aku segera menutup pengadilan ini. Aku sediakan ruang besar untuk menampung amarahku jika hal semacam terulang lagi kelak. Aku tak yakin ini tak akan berulang.

Ada perbedaan besar. Aku mempertanyakan keputusannya tak mengabari hal ikhwal dirinya sembari membiarkan proses pencarian kunci berjalan terus. Sedangkan dia mempertanyakan mengapa aku tak merespon keterlambatannya. Ini cara berpikir yang sulit ditemukan.

Kami memang tak menyatu karena pikiran kami. Kami menyatu karena aqidah kami, karena ide besar kami, dan karena kehendakNya. Kami hanya perlu sabar untuk terus belajar. Cinta kami tak membuat kami menjadi identik. Tapi semoga cinta kami membuat kami saling mengerti hal hal yang menyebabkan kami ilfil dan sebel.

Mungkin ini kelemahan khas ibu rumah tangga. Sedikit tak cerdas dan sedikit tak terstruktur. Mungkin juga ini hanya menjadi kelemahan khas perempuanku. Perempuan lain mungkin terbiasa untuk terstruktur, terencana dan lihai dalam mengkomunikasikan keadaannya. Perempuan lain mungkin memang lebih ekspresif. Mungkin perempuan lain lugas mengungkap kehebatannya. Tak mengapa.

Aku yakin ada kehebatannya yang tak mudah ditangkap oleh perempuan hebat. Aku yakin ada kehebatan yang tak mudah ditangkap oleh selain kami.

Mungkin beginilah cara perempuanku. Perempuan lain boleh meragukan perempuan biasaku ini. Tapi aku dan anak anakku tumbuh bersamanya. Tumbuh bersama kesahajaannya. Maka dialah ladang amalku.

Ustadz Eko Novianto Nugroho

12 thoughts on “Mungkin Memang Beginilah Cara Perempuanku.

  1. haniyaizz said: Angguk-angguk..sembari mencoba mengerti..Klo hal2 beginian suka lama loading..ga ngerti2..

    intinya menjadi suami/pasangan yang berusaha sabar dlm mendidik dan menerima anugerah terindah yang dimiliki hehehe..puitis banget ya..

    Like

Leave a comment