DUA SENJATA MUSLIM


𝗗𝗨𝗔 𝗦𝗘𝗡𝗝𝗔𝗧𝗔 𝗠𝗨𝗞𝗠𝗜𝗡

Oleh : Ahmad Syahrin Thoriq

Kehidupan manusia hakikatnya hanya berpindah dari satu keadaan ke keadaan lain. silih berganti dan berputar seperti roda pedati. Ada saatnya di atas, ada waktunya terbenam di lumpur.

Yang mana silih bergantinya keadaan hidup itu secara umum hanya terbagi menjadi dua : Keadaan menyenangkan dan keadaan yang menyedihkan.

Maka dalam menghadapinya, seorang mukmin menggunakan senjata sabar dan syukur. Sabar dikala menghadapi musibah, bencana, kesedihan dan hal tak menyenangkan lainnya. Dan Syukur dikala mendapatkan karunia, kebahagiaan, kegembiraan dan hal menyenangkan lainnya.

Sabar dan syukur adalah termasuk jenis amal yang sangat agung dalam Islam. Bahkan sebagian ulama mengatakan bahwa iman itu terbagi menjadi dua bagian. Bagian pertama adalah sabar, dan bagian kedua adalah syukur. Dan siapa yang sempurna dalam syukur dan sabar, maka sempurnalah imannya.

Mughirah bin Musqim berkata :

الصبر نصف الإيمان، والشكر نصف الإيمان، واليقين الإيمان كله، ألم تر إلى قوله: إنَّ فِي ذلكَ لآياتٍ لكُلّ صَبَّارٍ شَكُورٍ

“Sabar itu separuh iman, Syukur separuh lainnya. Dan yakin adalah keimanan seluruhnya. Sebagaimana firman Allah : ‘Sesungguhnya pada yang demikian itu ada tanda-tanda bagi setiap orang yang bersabar dan bersyukur.” (QS. Ibrahim : 5)[1]

Melalui tulisan sederhana ini, kami akan membahas sedikit tentang bab syukur dan sabar, selamat menyimak.

𝗕𝗮𝗯 𝗦𝗮𝗯𝗮𝗿

Bahasan ini akan kami bagi menjadi empat bahasan, yakni (1) Bab sabar (2) Bab syukur (3) Kisah menakjubkan para ulama dalam kesabaran (4) Kisah menakjubkan ulama dalam syukur mereka.

𝗣𝗲𝗻𝗴𝗲𝗿𝘁𝗶𝗮𝗻 𝗦𝗮𝗯𝗮𝗿

Tentang definisi apa itu kesabaran, ulama menjelaskan dalam berbagai bentuk terminologi yang berbeda-beda. Dan yang paling baik dan banyak digunakan oleh para ulama[2] adalah apa yang dinyatakan oleh Ibnu Hayan, sebagai mana yang dinukil oleh al imam ‘Aini rahimahullah :

‌الصبر ‌حبس ‌النفس ‌على ‌المكروه

“Sabar adalah menahan diri dalam menghadapi hal yang dibenci.”[3]

Sedangkan dalam pengertian yang hampir serupa, al Asfahani berkata : “Sabar adalah bertahan dalam kesempitan.”[4]

𝗞𝗲𝗱𝘂𝗱𝘂𝗸𝗮𝗻 𝘀𝗮𝗯𝗮𝗿

Banyak sekali ayat, hadits dan perkataan ulama yang menyebutkan tentang keutamaan sabar. Diantaranya adalah sebagai berikut :

𝗔𝗹 𝗤𝘂𝗿’𝗮𝗻

وَاللَّهُ يُحِبُّ الصَّابِرِينَ

“Dan Allah mencintai orang-orang yang sabar.“ (QS. Ali Imran: 146)

وَبَشِّرِ ٱلصَّٰبِرِينَ

“Dan berilah kabar gembira kepada orang-orang yang bersabar.” (QS. Al Baqarah : 156)

Para ulama menjelaskan bahwa kabar gembira yang dimaksud dalam ayat tersebut adalah dengan diberikan syurga.[5]

إِنَّمَا يُوَفَّى الصَّابِرُونَ أَجْرَهُمْ بِغَيْرِ حِسَابٍ

“Sesungguhnya hanya orang-orang yang bersabarlah yang diberikan pahala mereka tanpa batas.” (QS. Az Zumar: 10).

Al imam Auza’i rahimahullah mengatakan, “Pahala bagi orang yang bersabar tidak bisa ditakar dan ditimbang. Mereka benar-benar akan mendapatkan ketinggian derajat.”[6]

𝗛𝗮𝗱𝗶𝘁𝘀
وَمَا أُعْطِيَ أَحَدٌ عَطَاءً خَيْرًا وَأَوْسَعَ مِنْ الصَّبْرِ

“Dan tidak ada seorang pun yang dianugerahi sesuatu yang lebih baik melebihi kesabaran.” (HR. Bukhari)

وَالصَّبْرُ ضِيَاءٌ

“Kesabaran itu adalah cahaya.” (HR. Ahmad)

وَاعْلَمْ أَنَّ النَّصْرَ مَعَ الصَّبْرِ، وَأَنَّ الْفَرَجَ مَعَ الْكَرْبِ، وَأَنَّ مَعَ الْعُسْرِ يُسْرًا

“Ketahuilah bahwasannya kemenangan itu bersama kesabaran, dan jalan keluar itu bersama kesulitan, dan bahwasanya bersama kesulitan ada kemudahan”. (HR. Tirmidzi)

𝗠𝗮𝗾𝗮𝗹𝗮𝗵 𝘂𝗹𝗮𝗺𝗮

Berkata sayidina Ali bin Abi Thalib radhiyallahu’anhu :

الصَّبْرُ مِنَ الإِيمَانِ بِمَنْزِلَةِ الرَّأْسِ مِنَ الْجَسَدِ، فَإِذَا ذَهَبَ الصَّبْرُ ذَهَبَ الإِيمَانُ

“Sabar bagi keimanan laksana kepala bagi tubuh. Apabila kesabaran telah lenyap maka lenyap pulalah keimanan.”[7]

Berkata al imam Syafi’i rahimahullah :

صَبرا جَميلا ما أقرَبَ الفَرجا

“Bersabarlah dengan sebaik-baiknya sabar, dan (engkau akan terkejut) betapa dekatnya jalan keluar.”[8]

𝗣𝗲𝗺𝗯𝗮𝗴𝗶𝗮𝗻 𝘀𝗮𝗯𝗮𝗿

Para ulama membagi tingkatan sabar menjadi tiga bagian. Sabar dalam menghadapi musibah, sabar dalam meninggalkan kemaksiatan dan sabar dalam mengerjakan ketaatan.

Berkata Hujjatul Islam al imam Ghazali rahimahullah :

والصبر على أوجه : صبر على طاعة الله وصبر عن محارمه وصبر على المصيبة

“Sabar terdiri dari beberapa bagian, yaitu (1) sabar dalam melakukan ketaatan kepada Allah, (2) sabar dalam menjahui larangan-larangan Allah, (3) sabar dalam menerima musibah.”[9]

Adapun dalil tentang sabar dalam ta’at dan sabar meninggalkan maksiat diantaranya adalah :

وَأْمُرْ أَهْلَكَ بِالصَّلَاةِ وَاصْطَبِرْ عَلَيْهَا

“Dan perintahkanlah keluargamu untuk mendirikan shalat dan bersabarlah atasnya.” (QS. Thaha : 132)

Sedangkan dalil sabar dalam musibah adalah :

وَلَنَبْلُوَنَّكُمْ بِشَيْءٍ مِنَ الْخَوْفِ وَالْجُوعِ وَنَقْصٍ مِنَ الْأَمْوَالِ وَالْأَنْفُسِ وَالثَّمَرَاتِ وَبَشِّرِ الصَّابِرِينَ

“Dan sungguh akan Kami berikan cobaan kepadamu, dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan. Dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar.” (QS. Al Baqarah : 155)

Dan secara umum, sabar dalam mentaati Allah dan menjauhi maksiat tingkatannya lebih tinggi dari sabar ketika menghadapi musibah. Berkata al imam Qurthubi rahimahullah :

والصبر على طاعة الله عز وجل وعن محارم الله تعالى ‌أفضل ‌من ‌الصبر ‌على ‌المصائب

“Sabar dalam ketaatan kepada Allah ‘azza wa jalla dan sabar menahan diri dari yang diharamkan oleh Allah adalah lebih utama dari sabar dalam menghadapi musibah.”[10]

Hal ini karena sabar dalam musibah sifatnya harus diterima. Seseorang yang sednag menghadapinya tidak punya pilihan kecuali harus bersabar. Jika ia mau bersabar maka akan diberikan pahala, jika tidak sabar ia tidak memperoleh apa-apa bahkan bisa jatuh ke dalam dosa.

Sedangkan sabar dalam ta’at dan menjauhi maksiat sifatnya pilihan, terkhusus jika itu dalam rupa ibadah sunnah. Seseorang bisa memilih bersabar melawan kantuk dan dinginnya malam untuk shalat malam, atau ia meninggalkannya.[11]

𝗛𝘂𝗸𝘂𝗺 𝗦𝗮𝗯𝗮𝗿

Sabar memiliki hukum yang berbeda sesuai dengan keadaan yang menuntut seorang mukmin untuk menyikapinya dengan kesabaran. Ada yang wajib ada pula yang sunnah. Berkata Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah :

الصبر واجبا باتفاق المسلمين على أداء الواجبات وترك المحظورات ويدخل في ذلك الصبر على المصائب عن أن يجزع فيها.

“Sabar itu hukumnya wajib dengan kesepakatan kaum muslimin bila untuk menunaikan kewajiban dan meninggalkan kemaksiatan. Demikian juga sabar terhadap musibah-musibah yang menimpa.”[12]

𝟭. 𝗦𝗮𝗯𝗮𝗿 𝗱𝗮𝗹𝗮𝗺 𝗧𝗮’𝗮𝘁

Sabar dalam keta’atan hukumnya wajib bila itu berkaitan dengan kewajiban agama. Seperti sabar dalam menunaikan shalat lima waktu. Sabar menahan lapar dan dahga saat menunaikan puasa Ramadhan dan semisalnya. Seseorang yang tidak mau bersabar dalam kewajiban, alias meninggalkannya tentu saja hukumnya haram.

Sedangkan sabar dalam ketaatan yang sifatnya ibadah sunnah hukumnya juga sunnah. Seperti sabar dalam istiqamah menjaga shalat malam, dzikir dan puasa sunnah. Jika ia teguh, ia diberi pahala jika ia tak mampu dia bisa meninggalkannya dan tidak berdosa.

𝟮. 𝗦𝗮𝗯𝗮𝗿 𝗺𝗲𝗻𝗴𝗵𝗮𝗱𝗮𝗽𝗶 𝗺𝗮𝗸𝘀𝗶𝗮𝘁

Demikian juga di bagian yang kedu ini, ada sabar yang wajib ada juga yang sunnah. Yang wajib adalah kesabaran untuk meninggalkan yang diharamkan seperti judi, minum minuman keras, berzina dan yang semisalnya. Sedangkan sabar yang sunnah adalah teguh dan sabar dalam meninggalkan hal yang dimakruhkan.

𝟯. 𝗦𝗮𝗯𝗮𝗿 𝗱𝗮𝗹𝗮𝗺 𝗺𝘂𝘀𝗶𝗯𝗮𝗵

Sedangkan sabar dalam musibah hukumnya adalah wajib, yakni dalam bentuk ia tidak mengeluh dan tidak marah kepada ketentuan Allah. Adapun tangisan, rasa sedih dan rasa sakit di dalam hati bukanlah ukuran seseorang sabar atau tidak sabar.

Seseorang yang menangis dan sedih ketika tertimpa musibah masih termasuk bersabar jika hatinya tetap ridha kepada keputusan Allah dan berserah diri kepadaNya.[13]

𝘽𝙚𝙧𝙨𝙖𝙢𝙗𝙪𝙣𝙜 𝙠𝙚 𝙗𝙖𝙗 𝙄𝙄 : 𝙎𝙮𝙪𝙠𝙪𝙧…


[1] Tafsir Thabari (18/578)
[2] Fath al Bari (11/303)
[3] Umdatul Qari ( 25/85)
[4] Tafsir Raghib al Asfahani ( (1/177)
[5] Tafsir Jalalain (1/22).
[6] Tafsir al Qur’an al ‘Azhim (6/443)
[7] Mushannaf Ibnu Abi Syaibah no. 31097
[8] Tafsir Ibnu Katsir (8/418)
[9] Al Mukasyafah al Qulub hal. 19
[10] Hidayah ila Bulugh an Nihayah (1/881)
[11] Jami’ Masail (8/228)
[12] Majmu’ Fatawa (10/39)
[13] Fath Mu’in ‘ala Syarh Muslim (4/202)

Leave a comment