Prasangka Baik Murid terhadap Guru


Prasangka Baik Murid terhadap Guru
➖➖➖➖➖🔹🔹🔹

I’tikad dan prasangka baik seorang murid kepada guru tak bisa dipinggirkan, bahkan akan mempermudah dirinya memahami pelajaran.

Salah satu faktor yang memicu kesulitan dalam memahami pelajaran dan penjelasan guru adalah iktikad atau keyakinan yang lemah dari seorang murid. Salah satu ulama yang secara literal menyampaikan uraian tentang urgensi iktikad bagi seorang murid agar mudah memahami pelajaran dan penjelasan guru adalah Syaikh Syarafuddin Yahya al-Imrithi dalam kitab Durrâtul Bahiyyah atau lebih akrab dikenal dengan judul Mandhûmah al-‘Imrithi. Syekh al-‘Imrithi berkata:

سُئِلْتُ فِيْهِ مِنْ صَدِيْقٍ صَادِقِ *** يَفْهَمُ قَوْلِيْ لِاعْتِقَادٍ وَاثِقِ

إِذِ الْفَتَى حَسْبَ اعْتِقَادِهِ رُفِعْ *** وَكُلُّ مَنْ لَمْ يَعْتَقِدْ لَمْ يَنْتَفِعْ

Artinya: “Aku diminta untuk menyusun kitab ini oleh muridku yang jujur, yang memahami perkataanku sebab memiliki iktikad yang kuat (terhadapku). Karena seorang pemuda diangkat derajatnya sesuai iktikadnya, dan setiap orang yang belum memiliki iktikad tak akan bisa mengambil manfaat.” (Syarafuddin Yahya al-Imrithi, Taqrîrât Mandhûmah al-‘Imrithi, [Kediri, Dârul Mubtadi-în: 2019] halaman 5).

Pada bait pertama, Syekh al-‘Imrithi menjelaskan latar belakang penyusunan Mandhûmah al-‘Imrithi. Beliau menjelaskan kitab tersebut ditulis atas permintaan salah seorang muridnya. Murid ini dideskripsikan sebagai orang yang bisa memahami penjelasan Syekh al-‘Imrithi karena memiliki iktikad yang kuat terhadap beliau, bahwa Syekh al-‘Imrithi merupakan sosok yang patut dijadikansebagai guru, serta layak dihormati dan dimuliakan.

Sementara pada bait selanjutnya, Syekh al-‘Imrithi menguraikan urgensi iktikad baik. Menurutnya, ketinggian derajat seseorang diukur berdasarkan iktikadnya. Dalam konteks dunia pendidikan hal ini bisa diartikan bahwa kemampuan murid dalam menyerap dan memahami materi yang diajarkan oleh guru diukur dari kekuatan iktikad atau keyakinannya terhadap guru. Semakin kuat iktikad murid terhadap gurunya, potensinya untuk menyerap materi dan mengambil faidah dari gurunya semakin besar. Tentu hal ini bukan berarti bahwa iktikad saja cukup sebagai modal untuk memahami materi pelajaran dan mengesampingkan faktor lainnya. Namun teori semacam ini menekankan bahwa iktikad baik kepada guru akan meningkatkan potensi dalam menyerap penjelasan serta mengambil manfaat dari seorang guru.

Dalam hal ini, Syekh Ibrahim al-Baijuri mengamini teori Syekh al-‘Imrithi dengan menyatakan:

فَالْاِعْتِقَادُ نَافِعٌ لَا مَحَالَةَ وَلَوْ كَانَ فِيْ الْأَحْجَارِ

Artinya: “Sebuah iktikad bagaimanapun juga akan memberikan kemanfaatan, walau pada kerasnya bebatuan sekalipun.” (Ibrahim bin Muhammad bin Ahmad al-Baijuri, Fathu Rabbil Bariyyah ‘alâd Durrâtul Bahiyyah Nadhmil Ajurumiyyah, [Beirut, Dârul Kutubil ‘Ilmiyyah, cetakan pertama: 1434 H/2013 M], halaman 27).

Syekh al-‘Imrithi juga menambahkan, setiap orang yang tidak memiliki iktikad maka tidak akan bisa mengambil kemanfaatan. Pernyataannya ini menegaskan, kenihilan sebuah iktikad bisa menjadi penghalang bagi seorang murid untuk bisa mengambil pelajaran dari gurunya. ‘Wa kullu man lam ya’taqid lam yantafi’’, dan siapapun yang belum memiliki iktikad maka belum bisa mengambil kemanfaatan.

Dalam konteks relasi guru-murid, pernyataan ini mengindikasikan bahwa seorang murid yang belum memiliki iktikad bahwa gurunya merupakan sosok alim dan mulia, ia berpotensi tidak mampu mengambil manfaat pelajaran darinya. Hal ini mengiyakan salah satu kalam hikmah yang akrab terdengar, al-madad ‘alâ qadril masyhad, sebuah pertolongan dari orang mulia tergantung dengan cara pandang kita kepadanya.

Walhasil, semuanya bermuara pada husnudhdhan atau prasangka baik murid kepada gurunya. Karena pada dasarnya iktikad baik yang kuat tidak akan muncul tanpa didahului oleh prasangka yang baik sebelumnya.

Dengan demikian bisa dipahami, bahwa prasangka dan iktikad baik seorang murid kepada guru merupakan hal penting yang tak bisa dipinggirkan, bahkan akan mempermudah dirinya memahami pelajaran. Sebaliknya, kenihilan iktikad dan prasangka baik bisa menjadi penghalang seorang murid untuk memperoleh manfaat pelajaran dari gurunya. Wallâhu a’lam.

Leave a comment