Jangan Hanya Liat Kekurangannya


Institusi dakwah kita ini secara normatif adalah wadah untuk ketenangan dan kebahagiaan. Ia adalah tempat di mana kita berkumpul dengan orang pandai, ahli ibadah, ulama, orang saleh, dan orang-orang baik. Tetapi, ditengah kesamaan tersebut, bukan berarti tidak ada perbedaan. Kita tidak berasal dari daerah yang sama. Kita memiliki latar belakang sejarah yang berbeda. Kita juga memiliki latar belakang organisasi yang beragam. Kita dibesarkan oleh orang tua yang berbeda dengan segenap ciri khas dan perbedaan fokus pendidikannya. Bukankah tidak semua dari kita telah menikah? Ada beberapa yang belum menikah. Bukankah tidak semua dari kita telah memiliki anak? Sebagian di antara kita belum mendapatkannya. Jumlah dan problem anak-anak kita juga berbeda. Bukankah tidak semua kita laki-laki atau perempuan? Bukankah tidak semua kita adalah murobbi? Bukankah tidak semua kita public figure?

Justru dengan perbedaan-perbedaan yang ada itulah kita dapat mendefinisikan peran dan fungsi yang berbeda. Kita dapat mendefinisikan peran ikhwan yang memiliki perbedaan dengan akhawat. Di antara akhawat, kita tidak memberikan peran dan fungsi yang sama, misalnya dengan membedakan antara akhawat dan ummahat. Ada perbedaan peran yang kita sadari antara murabbi dan mutarabbinya, ustadz dan muridnya, panglima dan pasukannya, senior dan juniornva, public figure dengan penggemarnya, dan lain sebagainya. Perbedaan-perbedaan tersebut semakin kaya dengan perbedaan-perbedaan yang timbul belakangan semisal perbedaan taraf ekonomi, intelektua1, kharisma, pengaruh, maknawi, jumlah liqa’, jabatan, dan lain sebagainya.

Di tengah perbedaan, sangat mungkin timbul berbagai pertanyaan. Seorang kader yang disiplin potensial akan mempertanyakan kader yang sering terlambat. Ikhwan dan akhawat yang memiliki segudang aktivitas akan potensial untuk ‘memprotes’ saudaranya yang dianggap masih memiliki banyak waktu luang. Sang pemerhati keluarga mungkin mengkritik kader yanq dipandangnya sembrono dalam berinteraksi dengan keluarganya. Seorang yang teliti dalam menjaga kehalalan rezekinya akan terlihat rewel di mata kader yang tidak seteliti dia. Seorang yang menyukai mukhayyam, rihlah, riyadah, atau demo bisa saja mengkritisi ikhwahnya yang cenderung nge-ruhi atau ‘ngustadz’. Seorang yang terlatih dalam seminar, lokakarya, atau diskusi, cenderung ‘memprovokasi’ kader yang lain untuk berlatih diskusi. Seorang kader potensial mempertanyakan sekian banyak hal dari kader yang lain, karena beberapa perbedaan di antara keduanya.

Maka inilah realitas kita. Seorang ikhwan sangat disiplin ketika liqa’, meski ia bukan ‘pemenang’ dalam berhubungan baik dengan para tetangganya. Seseorang menonjol dalam ‘prestasi’ dakwahnya meski ia mungkin bukan sosok yang baik bagi keluarganya. Seorang kader menonjol dalam ma’isyah-nya di tengah kelemahannnya dalam mengisi liqa’, ta’lim, atau halaqah. Seorang kader dipandang sebagai pakar keluarga meski ia kerap dinilai mengabaikan tugas-tugas jama’i-nya. Seorang ikhiwan dan juga akhawat menonjol dibidang akademiknya bersamaan dengan lemahnya interaksi dengan saudaranya.

Seorang dihormati istri dan disayang anak-anak-nya meski beberapa mutarobbi ingin berpindah darinva. Seorang akhawat dan juga ikhwan ahli dalam merencana dan memproyeksikan, tapi kerap mengecewak.an dalam implementasinya. Atau sebaliknya. Mungkin saja, ada keluarga kader yang rumahnya terawat rapi dan bersih, dan sebersih itu pula jumlah binaannva (alias tidak memiliki binaan). Seorang ummahat bisa saja menyebabkan anak-anaknya kerasan, Sementara tidak demikian halnya dengan mutarabbinya.

Seorang kader ‘berapi-api’ dalam membahas politik atau isu kontemporer setelah beberapa saat yang lalu berkeringat karena harus setor hafalan. Ada yang lebih eksplosif meski tidak lebih konsisten dan ada yang lebih konsisten meski adem ayem saja, serta masih banyak variasi lainnya.
Memang terlampau kasar untuk memperingatkan akan adanya out of anger dalam barisan ini. Terlampau mengada-ada dan dibuat-buat untuk menulis out of anger dalam jamaah ini. Tetapi, untuk mencermati motivasi aktivitas kita masing-masing tentu tidak ada salahnya. Karena, melihat ketamakan orang-orang yang jauh dari dakwah adalah suatu yang sederhana. Tetapi, memang agak sulit melihat ketamakan dari aktivis dakwah. Memang bukan hal yang rumit untuk melihat ego dari pejabat-pejabat publik yang jauh dari barisan dakwah. Tetapi, bukan hal yang sederhana dalam melihat peran ego dari seorang aktivis dakwah. Melihat kepentingan dunia dari seorang pengusaha kikir bukan hal yang rumit. Tetapi, melihat kepentingan tersembunyi dari seorang aktivis dakwah tentu bukan hal yang sederhana.

Aktivitas penguasa jahat atau pengusaha kikir terlampau kasat mata bagi seorang aktivis dakwah. Klaim atau pernyataan mereka terlampau menggelikan bagi aktivis dakwah. Kata-kata dan perbuatan mereka insya Allah hanya akan menipu orang awam dan mereka yang jauh dari dakwah. Tetapi, bagaimana mengkritisi saudara sendiri?

Pilihan kita bukanlah meneruskan suasana kritis atau menghentikannya. Pilihan kita adalah dari mana kita memulai sikap kritis ini. Dari kecurigaan, ketersinggungan, kemarahan, atau dari kasih sayang, mahabah, atau kepedulian? memulai sikap kritis dari kemarahan, kecurigaan atau ketersinggungan akan berbeda sama sekali dengan memberangkatkan sikap kritis dari mahabah dan kepedulian.

Menurut Al-Ghazali, kita memang tidak mungkin menghindari kemarahan. Kemarahan tidak secara normatif dianggap sebagai penyakit, demikian tulis Said Hawwa. Kemarahan yang penyakit – lanjutnya – adalah kemarahan yang zalim dan cepat marah serta lambat reda. Kemarahan yang baik dipicu oleh hal-hal yang baik, sedangkan kemarahan yang zalim dipicu arogansi, ‘ujub, senda gurau, kesia-siaan, pelecehan, pencibiran, perdebatan, pertengkaran, penghianatan, dan ambisi dunia.

Satu kemarahan saja dari jenis zalim ini cukup untuk meluluhlantakkan hubungan antartetangga, suami istri, persaudaraan, dan persahabatan. Bahkan, satu kemarahan jenis ini sudah sangat memadai untuk menimbulkan keretakan barisan dan memperlambat pertumbuhan gerak institusi dakwah ini.

Kita tidak dapat mencintai kader dan menerima nasihat darinya selama dihati kita masih ada rasa arogan, congkak, atau sombong. Bahkan, kita menjadi mudah untuk menggunjing dan melecehkannva – di belakangnya atau di hadapan – selarma di hati kita bersemayam keangkuhan. Padahal, amarah menghasilkan amarah, kekacauan menimbulkan kekacauan, dan perang menciptakan perang. Sebaliknya, cinta melahirkan cinta.

Semoga Allah menjaga kita semua, karena di tangan dan hati kita sebagian persoalan umat terbebankan. Mari kita hargai ikhwah karena keunggulannya, bukan menilai ikhwah dari kelemahannya. Karena, itulah tanda-tanda bahwa kita telah tarbiyah. Wallahu a’lam.(Ustadz Fathur izis di FS)

2 thoughts on “Jangan Hanya Liat Kekurangannya

Leave a comment