Konsep muqim dalam fikih itu bagaimana?


Konsep muqim dalam fikih itu bagaimana?

Dalam fikih ada tiga kategori tempat tinggal:

1) al-Wathan al-Ashli, tempat tinggal asli, ini ditandai dengan adanya keluarga (ataupun salah satu istri) di wilayah tersebut. Tidak selalu merupakan tempat kelahiran, yang penting ada keluarganya. Anda lahir di Cikarang, tapi keluarga anda pindah ke Jonggol, maka tempat tinggal asli anda adalah Jonggol. Anda lalu menikah dan membeli rumah (atau ngontrak) di Leuwiliang, hidup di sana, bekerja di sana, beranak pinak di sana, maka tempat tinggal asli anda ada dua: Jonggol dan Leuwiliang.

2) Wathan al-Iqamah, tempat tinggal sementara (tapi lama), ketika orang mendatangi suatu tempat untuk suatu keperluan tapi tidak untuk selamanya. Anda orang Leuwiliang, lalu anda masuk pesantren atau kuliah di Cibiru-Bandung, maka Wathan Iqamah anda adalah Cibiru-Bandung.

3) Wathan al-Sukna, tempat singgah. Anda main ke Bekasi hanya untuk beberapa hari dan pulang lagi, maka ini wathan al-Sukna.

Hukumnya:

1. Di wathan ashli dan wathan iqamah, anda tidak boleh mengambil rukhshah safar, shalat harus itmam, anda wajib shalat jum’at karena anda adalah muqim, meski untuk anda yang bermukim di wathan iqamah untuk kuliah atau kerja anda tidak dianggap sebagai pertimbangan jumlah dalam keabsahan shalat jum’at. Anda berhak untuk mengambil rukhshah safar ketika telah keluar dari wilayah ini. Jadi ketika anda mudik ke rumah orang tua, meski sehari dua hari, anda tidak boleh mengambil rukhshah safar di situ karena itu adalah wathan ashli anda.

2. Di wathan sukna anda boleh mengambil rukhshah safar, anda tidak wajib shalat jum’at dan shalat jum’at tidak sah jika didirikan oleh anda dan orang2 yang sama dengan anda (singgah sementara).

Nah, permasalahan yang muncul berikutnya adalah apa batasan wilayah tersebut? Sampai mana batas anda dikatakan sudah keluar dari wilayah itu? Sepertinya ini bisa dibahas di postingan tersendiri.

(Source: Mausu’ah Fiqhiyyah Kuwaitiyah)

Fahmi Hasan Nugroho

Leave a comment