Menghujat atau Melaknat Seseorang


MELAKNAT

Abdul Wahid Al-Faizin

Kenapa ketika ada beberapa kasus yang menimpa seseorang saya menghindari untuk tidak menghujat apalagi sampai melaknat personalnya? Ini berlaku untuk kasus yang sudah jelas terlebih yang masih belum jelas kebenarannya.

Pertama, karena setiap kata yang terucap atau tertulis akan dicatat dan harus siap dipertanggungjawabkan di hadapan Allah kelak

مَّا يَلۡفِظُ مِن قَوۡلٍ إِلَّا لَدَيۡهِ رَقِيبٌ عَتِيدٞ

“Tidak ada suatu kata yang diucapkan pun melainkan ada di sisinya malaikat pengawas yang selalu siap (mencatat). (Surat Qaf, Ayat 18)

Karena itu harus berhati-hati karena terkadang satu kata cukup untuk melemparkan kita ke neraka

إِنَّ الْعَبْدَ لَيَتَكَلَّمُ بِالْكَلِمَةِ مَا يَتَبَيَّنُ فِيْهَا، يَزِلُّ بِهَا فِي النَّارِ أَبْعَدَ مِمَّا بَيْنَ الْمَشْرِقِ وَالْمَغْرِبِ

“Sesungguhnya seorang hamba mengucapkan suatu kata yang ia tidak memerhatikannya, tidak memikirkan kejelekannya dan tidak khawatir akan akibat/dampaknya, ternyata karenanya ia dilemparkan ke dalam neraka lebih jauh dari apa-apa yang ada di antara masyriq/timur dan maghrib /barat.” (HR. Al-Bukhari no. 6477 dan Muslim no. 7406, 7407)

Kedua, Imam Al-Ghazali juga melarang melaknat orang

فإياك أن تلعن شيئا مما خلق الله تعالى من حيوان أو طعام أو إنسان بعينه، ولا تقطع بشهادتك على أحد من أهل القبلة بشرك أو كفر أو نفاق؛ فإن المطلع على السرائر هو الله تعالى، فلا تدخل بين العباد وبين الله تعالى، واعلم أنك يوم القيامة لا يقال لك: لِم لمَ تلعن فلانا، ولم سكت عنه؟ بل لو لم تعلن ابليس طول عمرك، ولم تشغل لسانك بذكره لم تسأل عنه ولم تطالب به يوم القيامة. وإذا لعنت أحدا من خلق الله تعالى طولبت به
[أبو حامد الغزالي ,بداية الهداية ,page 55]

“Berhati-hatilah melaknat makhluk Allah, baik hewan, makanan, ataupun manusia tertentu. Janganlah engkau memvonis syirik, kafir atau munafik kepada seseorang ahli kiblat (orang Islam). Karena yang mengetahui apa yang tersembunyi dalam hati manusia hanyalah Allah SWT. Jangan pula engkau ikut campur dalam urusan hamba-hamba Allah dengan Allah SWT. Ketahuilah, bahwa pada hari kiamat kelak engkau tidak akan ditanya : ‘mengapa engkau tidak mau mengutuk si Anu? Mengapa engkau diam saja tentang dia?’ Bahkan seandainya pun kau tidak pernah mengutuk Iblis sepanjang hidupmu, dan tidak menyebutnya sekalipun, engkau pun tidak akan ditanyai dan tidak akan dituntut oleh Allah nanti di hari kiamat. Tetapi jika kau pernah mengutuk seseorang makhluk Allah, kelak kau akan dituntut (pertanggungjawabannya oleh Allah SWT)”.

Ketiga, khawatir aib tersebut kembali menimpa kita sendiri kelak. Rasulullah bersabda

مَنْ عَيَّرَ أَخَاهُ بِذَنْبٍ لَمْ يَمُتْ حَتَّى يَعْمَلَهُ

“Siapa yang menjelek-jelekkan saudaranya karena suatu dosa, maka ia tidak akan mati kecuali mengamalkan dosa tersebut.” (HR. Tirmidzi no. 2505)

Berikut penjelasan Al-Shan’ani terkait berlakunya ancaman hadits tersebut

وَذَاكَ إذَا صَحِبَهُ إعْجَابُهُ بِنَفْسِهِ بِسَلَامَتِهِ مِمَّا عَيَّرَ بِهِ أَخَاهُ.
[الصنعاني، سبل السلام، ٦٨٢/٢]

“Hadits tersebut berlaku jika disertai dengan sikap kagum atas diri sendiri karena selamat dari dosa yang menimpa saudara yang dia jelek-jelek tersebut”.

Wallahu A’lam

Leave a comment