Mukhtrul Hadits Hadits 2 Berbuat Baik


mujitrisno

إِئْتِ الْمَعْرُوْفَ، وَاجْتَنِبُ الْمُنْكَرَ، وَانْظُرْ مَايُعْجِبُ أُذُنَكَ أَنْ يَقُوْلَ لَكَ الْقَوْمُ إِذَا قُمْتَ مِنْ عِنْذِهِمْ فَـأْتِهِ، وَانْظُرِ الَّذِيْ تَكْرَهُ أَنْ يَقُوْلَ لَكَ الْقَوْمُ إِذَا قُمْتَ مِنْ عِنْذِهِمْ فَاجْتَنِبْهُ

[رواه اصحب السنن]

Kerjakanlah perkara yang baik dan jauhilah perkara yang jahat. Pikirkanlah dahulu apa-apa yang disukai oleh telingamu bilamana engkau mau menyampaikannya pada suatu kaum, kemudian lakukanlah hal itu. Dan pikirkanlah terlebih dahulu apa-apa yang tidak disukai oleh telingamu bilamana engkau hendak menyampaikannya pada mereka, kemudian jauhilah hal tersebut.“

(Hadits Riwayat Ash-habus Sunan  juga terdapat di Adabul Mufrad Imam Bukhari ).

Sumber: Kitab Mukhtarul Ahadits Hikamil Muhammadiyah

 KETERANGAN

  1. Kerjakan yang yang ma’ruf dan jauhi perkara munkar.

Ma’ruf adalah sesuatu yang baik menurut agama, kalau khoir itu lebih umum. Istilah ma’ruf digunakan untuk sesuatu yang sudah jelas bagus menurut agama, sehingga ada istilah amar ma’ruf nahi munkar. Kalau munkar itu sesuatu yang seharusnya diingkari karena tidak cocok dengan agama dan aturan masyarakat

Pada hakikatnya amar ma’ruf nahi munkar merupakan bagian dari upaya menegakkan agama dan kemaslahatan di tengah-tengah umat. Secara spesifik amar ma’ruf nahi munkar lebih dititiktekankan dalam mengantisipasi maupun mengubahkan kemunkaran, dengan tujuan utamanya menjauhkan setiap hal negatif di tengah masyarakat tanpa menimbulkan dampak negatif yang lebih besar.

  • Selalu Menimbang Dampak Kegiatan Amar Ma’ruf

Menerapkan amar ma’ruf mungkin mudah dalam batas tertentu tetapi akan sangat sulit apabila sudah terkait dengan konteks bermasyarakat dan bernegara. Oleh karena itu orang yang melakukan amar ma’ruf nahi mungkar harus mengerti betul terhadap perkara yang akan ia tindak, agar tidak salah dan keliru dalam bertindak.

Syekh an-Nawawi Banten di dalam kitab beliau, Tafsir Munir berkata, “Amar ma’ruf nahi munkar termasuk fardlu kifayah. Amar ma’ruf nahi munkar tidak boleh dilakukan kecuali oleh orang yang tahu betul keadaan dan siasat bermasyarakat agar ia tidak tambah menjerumuskan orang yang diperintah atau orang yang dilarang dalam perbuatan dosa yang lebih parah. Karena sesungguhnya orang yang bodoh terkadang malah mengajak kepada perkara yang batil, memerintahkan perkara yang munkar, melarang perkara yang ma’ruf, terkadang bersikap keras di tempat yang seharusnya bersikap halus dan bersikap halus di dalam tempat yang seharusnya bersikap keras.” (Syekh an-Nawawi al-Jawi, Tafsir Munir, Beirut, Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 2005, cetakan ketiga,  jilid II, halaman 59)

Apabila kita mengerjakan sesuatu hendaklah dipikirkan terlebih dahulu dampak positifnya agar kelak kita tidak mendengar kata-kata yang tidak enak dari orang lain.

Apabila hal itu telah dipikirkan dengan matang, dan jika dikerjakan akan berdampak positif, maka kerjakanlah. Akan tetapi apabila akan berdampak negatif, maka jauhilah.

Bilamana anda hendak menyampaikan amar ma’ruf atau nahi mungkar kepada suatu kaum, lakukanlah dengan gaya bahasa yang enak didengar, dalam hal ini dirimulah yang menjadi indikasinya. Apabila kata-kata tersebut menurutmu enak didengar maka pakailah dan apabila ia dirasakan kurang enak atau kasar, maka jauhilah ia. Keberhasilan dalam mencapai tujuan beramar ma’ruf dan nahi mungkar itu terletak pada cara penyampaian dari orang yang bersangkutan.”

  • Tahapan Amar Ma’ruf Nahi Munkar

Selain itu, beberapa tahapan atau prosedur harus dilakukan dalam realisasi pelaksanaan amar ma’ruf. Tidak semudah kita menaiki tangga, akan tetapi harus melalui tahapan yang paling ringan, baru kemudian melangkah pada hal yang agak berat.

Baginda Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

مَنْ رَأَى مِنْكُمْ مُنْكَرًا فَلْيُغَيِّرْهُ بِيَدِّهِ فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِلِسَانِهِ وَمَنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِقَلْبِهِ وَذَلِكَ أَضْعَفُ الْإِيْمَانِ

Barangsiapa diantara kalian melihat kemungkaran, maka hendaknya ia mengubahkannya dengan tangannya. Jika ia tidak mampu, maka dengan lisannya. Orang yang tidak mampu _dengan lisannya_, maka dengan hatinya. Dan dengan hati ini adalah lemah-lemahnya iman.” (HR. Muslim)

Jadi sesuatu yang seharusnya diingkari kita disuruh untuk menjauhi artinya jangan melakukan bahkan kalau bisa melakukan taghyir artinya mengubah. Sekali lagi mengubah bukan menghentikan seperti redaksi hadist

مَنْ رَأَى مِنْكُمْ مُنْكَراً فَلْيُغَيِّرْهُ بِيَدِهِ

Artinya: Siapa yang melihat kemungkaran maka hendaknya mengubah dengan tangannya.

Jadi mengubah, yang penting ada usaha untuk mengubah. Adapun adanya perubahan berapa persen kita tidak tahu karena kita hanya dituntut oleh Allah “action” yaitu berbuat amar ma’ruf nahi munkar, urusan yang membuat selesai dan berhenti serta hilangnya kemungkaran itu Allah, yang penting kita sudah melakukan.

Maksud dari hadits tersebut bukanlah seperti yang banyak disalahpahami oleh orang-orang yang beranggapan bahwa kalau mampu mengubahkan dengan tangan maka harus langsung dengan tangan. Anggapan seperti ini salah besar dan bertentangan dengan nilai rahmat (belas kasih) di dalam Islam. Akan tetapi pemahaman yang benar dari hadits di atas adalah, seseorang yang melihat kemunkaran dan ia mampu mengubahkan dengan tangan, maka ia tidak boleh berhenti dengan lisan jika kemungkaran tidak berhenti dengan lisan, dan orang yang mampu dengan lisan, maka ia tidak boleh berhenti hanya dengan hati.

Imam Muhyiddin an-Nawawi berkata di dalam kitab Raudlatut Thâlibîn:

ولا يكفي الوعظ لمن أمكنه إزالته باليد، ولا تكفي كراهة القلب لمن قدر على النهي باللسان

Tidak cukup memberi nasihat bagi orang yang mampu mengubahkan kemunkaran dengan tangan. Dan tidak cukup ingkar di dalam hati bagi orang yang mampu mencegah kemunkaran dengan lisan.” (Muhyiddin Abu Zakariya an-Nawawi, Raudlatut Thâlibîn, Beirut, Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 2005, cetakan kelima, jilid V, halamann 123).

Dalam proses amar ma’ruf nahi munkar, tetap harus mendahulukan tindakan yang paling ringan sebelum bertindak yang lebih berat. Syekh Abdul Hamid asy-Syarwani berkata di dalam kitabnya, Hasyiyah asy-Syarwani:

والواجب على الآمر والناهي أن يأمر وينهى بالأخف ثم الأخف. فإذا حصل التغيير بالكلام اللين فليس له التكلم بالكلام الخشن وهكذا كما قاله العلماء

Wajib bagi orang yang melakukan amar ma’ruf nahi mungkar untuk bertindak yang paling ringan dulu kemudian yang agak berat. Sehingga, ketika kemungkaran sudah bisa hilang dengan ucapan yang halus, maka tidak boleh dengan ucapan yang kasar. Dan begitu seterusnya).” (Syekh Abdul Hamid asy-Syarwani, Hasyiyah asy-Syarwani ala Tuhfahtil Muhtaj, Beirut, Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 2003 cetakan keempat, jilid 7, halaman 217)

Dalam melakukan amar ma’ruf nahi munkar, seseorang harus lebih arif dan bijak karena terkadang dalam menghasilkan tujuan amar ma’ruf nahi mungkar, seseorang harus mengubahkannya sedikit demi sedikit, tidak memaksakan harus hilang seluruhnya dalam waktu seketika itu. Sayyid Abdullah ibn Husain ibn Tohir berkata:

ينبغي لمن أمر بمعروف أو نهى عن منكر أن يكون برفق وشفقة على الخلق يأخذهم بالتدريج فإذا رآهم تاركين لأشياء من الواجبات فليأمرهم بالأهم ثم الأهم فإذا فعلوا ما أمرهم به انتقل إلى غيره وأمرهم وخوفهم برفق وشفقة مع عدم النظر منه لمدحهم وذمهم وعطاءهم ومنعهم وإلا وقعت المداهنة وكذا إذا ارتكبوا منهيات كثيرة ولم ينتهوا بنهيه عنها كلها فليكلمهم في بعضها حتى ينتهوا ثم يتكلم في بعضها حتى ينتهوا ثم يتكلم في غيرها وهكذا.

Bagi orang yang melakukan amar ma’ruf nahi mungkar harus bersikap lembut dan belas kasih kepada manusia, ia harus bertindak pada mereka dengan bertahap. Ketika ia melihat mereka meninggalkan beberapa kewajiban, maka hendaknya ia memerintahkan pada mereka dengan perkara wajib yang paling penting kemudian perkara yang agak penting. Kemudian ketika mereka telah melaksanakan apa yang ia perintahkan, maka ia berpindah pada perkara wajib lainnya. Hendaknya ia memerintahkan pada mereka dan menakut-nakuti mereka dengan lembut dan belas kasih… begitu juga ketika mereka melakukan larangan-larangan agama yang banyak dan mereka tidak bisa meninggalkan semuanya, maka hendaknya ia berbicara kepada mereka di dalam sebagiannya saja hingga mereka menghentikannya kemudian baru berbicara sebagian yang lain, begitu seterusnya.” (al-Habib Zain bin Sumith, al-Minhaj as-Sawi, Jeddah, Dar al-Minhaj, 2006 cetakan ketiga, halaman 316-317)

  • Syarat Amar Ma’ruf Nahi Munkar

Selanjutnya, berkaitan dengan amar ma’ruf nahi munkar, terdapat persyaratan atau kriteria khusus. Ada lima persyaratan atau kriteria amar ma’ruf nahi munkar itu, sebagaimana dikemukakan oleh Sulthân al-Auliyâ’ Syekh ‘Abd al-Qadîr al-Jîlânî al-Hasanî (470-561 H), dalam kitabnya al-Gunyah li-Thâlibi Tharîq al-Haqq. Syekh ‘Abd al-Qadîr al-Jîlânî membuat suatu fasal berikut:

Orang yang beramar ma’ruf nahi munkar harus memenuhi lima persyaratan:

Pertama, ia mengetahui sesuatu yang diperintahkan dan sesuatu yang dilarang.

Kedua, tujuan atau motivasi dari amar ma’rufnya adalah mencari ridha Allah dan meluhurkan agama-Nya, serta meninggikan Kalimat-Nya, bukan karena riyâ’, sum‘ah, dan kebanggaan bagi diri sendiri. Ia akan membantu dan membimbing orang yang berbuat kemungkaran ke arah kebaikan, jika memang ia (orang yang beramar ma’ruf nahi munkar) berlaku benar dan ikhlas.

 Ketiga, perintah dan larangannya dilakukan dengan lemah lembut, ramah dan kasih sayang. Nasihat disampaikan dengan cara yang baik, bukan dengan keras dan marah-marah, agar ia tidak mempersamakan musuhnya itu dengan setan yang terkutuk. Nabi ﷺ dalam hadits Usâmah bersabda: ”Tidaklah patut bagi seseorang yang menyeru kepada kebaikan dan melarang kepada kemungkaran, sehingga di dalam dirinya terpenuhi tiga macam: memahami apa yang dia perintahkan; memahami apa yang dia larang; dan lemah lembut terhadap sesuatu yang dia perintah dan lemah lembut terhadap sesuatu yang dia larang.”

 Keempat, ia menjadi seorang yang penyabar, murah hati, toleran, rendah hati, mampu mengontrol hawa nafsu, kuat hatinya, penurut (tidak beringas atau sangar), laksana dokter yang mengobati pasiennya, bijak bestari yang mengobati orang gila, dan pemimpin yang memberikan petunjuk.

 Kelima, ia melaksanakan sesuatu yang dia perintahkan, menjauhi sesuatu yang dia larang, dan tidak berlumuran dengan sesuatu yang dilarang tersebut, agar ia tidak dikuasi oleh mereka, yang justru menjadikannya hina dan tercela di hadapan Allah Taala.” (Syekh ‘Abd al-Qadîr al-Jîlânî, al-Gunyah li-Thâlibi Tharîq al-Haqq fî al-Akhlâq wa-al-Tashawwuf wa-al-آdâb al-Islâmiyyah, Dâr al-Kutub al-Islâmiyyah, t.t., juz I, h. 51-53).

  • Etika Amar Ma’ruf Nahi Munkar

(Fasal) Yang utama baginya (orang yang beramar ma’ruf nahi munkar) adalah jika ia mampu memerintah seseorang atau melarang seseorang di tempat atau keadaan yang sepi, agar itu lebih mengena dan lebih efektif dalam memberikan mau‘izhah, larangan, dan nasihat kepadanya, serta lebih diterima dan produktif (berhasil).

Menjadi clear (jelas dan nyata) bahwa dakwah dan amar ma’ruf nahi munkar tidaklah mudah dan tidaklah serta-merta dapat dilakukan oleh setiap orang atau media publik, tetapi harus memenuhi persyaratan dan kriteria yang ketat. Bagi siapa pun yang tidak mempunyai kompetensi atau ilmu keagamaan yang cukup memadai tentang suatu bidang atau tema keagamaan, maka dilarang berdakwah dan amar ma’ruf nahi munkar dalam bidang tersebut, terlebih ditujukan kepada publik (masyarakat umum), dan dengan berbagai media dan platform apa pun: televisi dan radio, media cetak, digital (online) ataupun medsos, karena hal itu justru bisa mengakibatkan mafsadat atau kerusakan terhadap umat, dan citra Islam sebagai agama mulia, agama rahmatan lil ‘alamin. Padahal sungguh jelas mafsadat wajib dihindarkan (lâ dharar wa-lâ dhirâr, dar’ al-mafâsid muqaddamun ‘alâ jalb al-mashâlih)!

Dari keterangan di atas dapat disimpulkan bahwa:

  1. Amar ma’ruf nahi munkar hukumnya fardlu kifayah.
  2. Memperhatikan dampak positif dan negatifnya
  3. Pada kemunkaran tingkat tertentu, hak amar ma’ruf hanya bisa dimiliki pemerintah bukan perseorangan atau kelompok.
  4. Dilakukan semampunya tanpa memaksakan di atas kemampuan.
  5. Pelaksanaannya harus bertahap dari hal yang paling ringan kemudian hal yang agak berat, dan seterusnya.
  6. Tidak menimbulkan fitnah yang lebih besar bagi diri maupun orang lain.
  7. Disampaikan dengan lemah lembut, ramah, kasih sayang dan dilakukan dimuka umum.

Leave a comment