Al Fahm


Al Fahm: untukmu kader dakwah (1)

(taujih Ust. Rahmat Abdullah, dalam buku untukmu kader dakwah )

____________________________________________________

 Al Fahm: untukmu kader dakwah (1)

Tak ada perintah meminta tambahan seperti perintah meminta tambahan. Bahkan perintah itu diarahkan kepada Rasul pilihan Saw. Dan katakanlah: ya Rabbi, tambahkan daku ilmu (QS. 20:114). Bagi Ashabul Kahfi, sesudah iman tambahan ni’mat berupa Huda (petunjuk) itu pada hakikatnya juga ilmu.

Kecuali efek kesombongan yang sebenarnya bukan anak kandung ilmu, seluruh dampak ilmu adalah kebajikan. Bukanpun ketika seseorang terlanjur salah jalan, ilmu mengambil peran pelurus. Ia selalu jujur, asal si empunya mau jujur. “lewat beberapa masa, aku menuntut ilmu dengan motivasi yang salah, tetapi sang Ilmu tidak mau dituntut kecuali karena Allah,” kata Al Ghazali,

Tentu saja seseorang tidak harus mengumpulkan ilmu sebagai kolektor tanpa komitmen amal, karena hal seperti dapat dilakukan oleh hard disc, diskette, pita perekam atau mata pensil. Bagaimana ilmu menjadi serangkaian informasi yang mengantarkan penuntutnya kepada kearifan, itulah soal besar yang menjadi batu ujian para ulama. “Sesungguhnya yang takut kepada Allah diantara para hamba-Nya yaitu ulama” (QS. 35:28)

Dengan melihat hubungan dan kedudukan ilmu, nyatalah bahwa yang dimaksud dengan ilmu dan kemuliaan itulah ilmu nafi’ (ilmu yang bermanfaat). Karena itulah, maka seluruh kata ilmu (dalam Al-Qur’an & Hadist) maksudnya ilmu nafi’ , menurut Ibnu Athaillah. Selebihnya ia menjadi beban tanggungjawab dan penyesalan, karena berhenti pada jidal (debat), mubahah (kebanggan) dan alat menarik keuntungan dunia.

Ilmu selalu membuat si empunya semakin rendah hati, sensitif dan sungguh-sungguh.

 

Pemeliharaan Tradisi Keilmuan

Betapapun hebatnya perusakan yang dilakukan pasukan tartaran terhadap kitab-kitab para ulama, itu menjadi tak berarti disbanding apa yang berkembang didunia keilmuan. Darah daging ilmu telah membekas dihati para ulama. Seorang iman pergi musafir berbulan-bulan “hanya” untuk mencari hadist singkat. Seorang ulama produktif menulis di penghujung malam dan esoknya juru salin baru dapat menyelesaikan transkripnya dalam waktu 10 jam.

Tradisi keilmuan juga menyangkut etika pergaulan. Hampir tak ditemukan ulama yang dating kepintu sultan kecuali ia penjilat atau seorang yang sudah sampai ke tingkat ma’rifat yang tinggi. Seorang alim zuhud menghindari sultan dan orang-orang kayak arena takut fitnah dunia, semetara ulama yang arif billah (mengenal Allah) datang kepada raja, untuk menasehati dan mengingatkan mereka.

Harun Al Rasyid meminta Imam Malik untuk menziarahinya ‘agar anak-anak kami dapat mendeng kitab Al Muwattha” jelasnya. Dengan pasti ia menjawab : “Semoga Allah menjayakan Amirul Mukminin. Ilmu ini datang dari lingkungan kalian (Baitun NubuwahI). Jika kalian memuliakannya ia menjadi mulia dan jika kalian merendahkannya ia jadi hina. Ilmu harus didatangi, bukan mendatangi”

Ketika sultan menyuruh kedua puteranya datang ke masjid untuk mengaji bersama rakyat, Imam Malik mengatakan: “Dengan syarat mereka tak boleh melangkahi bahu jama’ah dan duduk diposisi mana saja yang terbuka untuk mereka.”

Sebagai Imam pembela sunnah yang sanga konsisten melaksanakannya, Imam Syafi’I sangat kokoh dalam argumentasi. Kepiawaiannya berdiskusi dilandasi keikhlasan yang luar buasa. “setiap kali aku berdebat dengan seseorang, selalu kuberharap Allah mengalirkan kebenaran dari mulutnya,” begitu ujar Imam Syafi’i.

Ilmu antara Tahu dan Mau

Apa kabar penghafal sekian banyak ayat, pelahap sekian banyak kitab dan pembahas sekian banyak qadhaya yang belum beranjak dari tataran tahu untuk bersiap menuju mau? Siapakah engkau, wahai pengendara yang menerobos larangan masuk kawasan berbahaya? Siapakah engkau yang diminta memilih antara madu dan racun, kurma dan bara, lalu dengan sadar melahap bara mencampakkan kurma, meneggak racun membuang madu? Alim, jahil atau sakitkah engkau? Siapakah gerangan engkau yang tiba-tiba menemukan diri berada disebuah tempat yang nyaman dan membuatmu tidak pernah berpikir untuk pergi karena tuan rumah tempat kau tinggal tak pernah menagih rekening listrik, buah dan sayuran, kolam renang dan landasan pesawat, menu dan lahan berburu. Kau menikmatinya berpuluh tahun, namun tak pernah bertanya: Siapa pemilik rumah ini? Apa kewajibanmu disana? Kemana lagi engkau sesudah ini?

Engkau yang telah menghabiskan seluruh usia untuk penjelajahan ilmu yang memberitahukan berapa miliar tahun umur dunia, bagaimana akurasi, peredaran bumi, matahari dan galaksi, ketepatan ekosistem dan karakter benda, lalu menuduh wahyu itu kuno, karena telah melewati masa seribu empat ratus tahun? Tak punyakah engkau segenggam rasa malu untuk pergi mencari planet lain yang lebih muda? Seandainya engkau jumpai yang lebih muda, sadarkah engkau bahwa itu bukan ciptaanmu? Siapakh engkau, wahai penjaga kebun anggur yang disuruh menghantarkan untaian anggur, lalu pergi dengan lagak seperti pemilik kebun dan tak mau kembali lagi, karena si pemabuk telah mempesonamu dengan kepandaian mengubah anggur menjadi arak? Engkau tak punya secuil kearifan ahli ilmu.

Ilmu dan Kelapangan Wawasan

Beberapa banyak pedang diperlukan untuk mengembalikan kaum khawarij yang memecah belah jama’ah (syaqqal asha)? Kaum ini sesat bukan karena tidak sholat, shaum atau jihad. Keras telapak tangan mereka dan menghitam dahi mereka lantaran sujud yang lama. Kurus badan mereka karena puasa yang intensif. Saat pedang merobek perut dan memburai usus mereka, melompat kalimat yang menakjubkan, ‘ku bersegera kepada Mu ya Rabbi agar engkau ridha’ (QS 20:84). Bahkan ketika rasulullah Saw ditanya tentang sifat mereka, beliau menjawab :”Kalian akan meremehkan shalat kalian membandingkan dengan shalat mereka dan shiam kalian disbanding dengan shiam mereka.” Fiqh (kedalaman ilmu dan keluasan wawasan) tak menggenapi kehidupan intelektual mereka. Tapi Ibnu Abbas ra cukup menggunakan ketajaman argumentasinya untuk mengembalikan 1/3 dari sekian puluh ribu kaum pemberontak khawarij. Oleh karena itulah kaum khawarij- dan aliran nyeleneh lainnya sepanjang zaman- selalu menghindari fuqaha yang mereka anggap selalu mematikan aspirasi mereka dan membenturkan mereka dengan tanda tanya yang musykil. Belum terjadi apa-apa ketika sesepuh kaum Nabi Nuh as mengusulkan agar dibangun tugu-tugu peringatan ditempat biasanya duduk tokoh-tokoh terhormat mereka; Wadda, Suwa, Yauq, Yaghuts dan Nasr. Barulah setelah generasi ini wafat dan ilmu telah dilupakan orang, maka tugu-tugu itupun mulai disembah.

Suatu hari Abu Hasan Asy Syadzili kedatangan rombongan tamu, para ulama dan fuqaha. Mereka sangat tersinggung ketika ia bertanya: “Apakah kalian orang –orang yang mendirikan shalat?” mereka menjawab: “Mungkinkah ‘fuqaha’ seperti kami tidak shalat?!” dengan tenang dilayang-layang pertanyaan yang membuat mereka tersipu-sipu: “Apakah kalian orang yang bebas gelisah, bila ditimpa musibah, tidak putus asa, dan bila mendapat nikmat menjadi bakhil?” (QS 70:19-23)

Mengapa ulama akherat tak pernah berkelahi dan ulama dunia tak putus-putus bertengkar? Karena akherat itu luas tak bertepi sedangkan dunia sangat sempit. Wajar bila ulama dunia saling bertabrakan.

Diantara karunia besar datangnya Rasul penutup, mata dunia dibuka dan era akal sehat dimulai, bebas dari mitos-mitos dan manipulasi orang-orang pintar (baca: licik) atas rakyat yang lugu dan setia. Inilah tonggak peralihan dari pengabdian manusia kepada sesame manusia menuju pengabdian hanya kepada Allah sahaja.

Mungkin kekhasan Islam dalam menghargai ilmu dan akal sehat, secara khusus Syaikh Alawi Al Maliki membuka Simthud Durar (untaian Mutiara), antologi sanjungannya kepada Rasulullah Saw dengan kekhususan ini:

Segala puji bagi Allah
Yang telah melebihkan kita
Dengan Musthafa Nabi Pilihan
Yang mengagungkan pendidikan

Leave a comment