MANA DALILNYA?


Oleh : Abdul Wahid Al-Faizin

Menurut Syaikh Wahbah Al-Zuhaili orang awam seperti kita ini hanya butuh satu dalil saja untuk setiap hukum yang mereka butuhkan yaitu

فَسۡـَٔلُوٓاْ أَهۡلَ ٱلذِّكۡرِ إِن كُنتُمۡ لَا تَعۡلَمُونَ

“maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuanjika kamu tidak mengetahui” [Surat An-Nahl: 43]

Beliau melanjutkan

فإن المقلد لم يستدل على كل مسألة يعملها بدليل تفصيلي، بل بدليل واحد يعم جميع أعماله، وهو مطالبته بسؤال أهل الذكر والعلم، فيجب عليه العمل بناء على استفتاء منه – الفقه الاسلامي – ١/٣١

“Sesungguhnya seorang muqallid tidak bisa mengambil dalil dalam setiap masalahnya dengan dalil terinci. Dia hanya mengikut satu dalil untuk seluruh amalnya yaitu kewajiban bertanya pada orang yang berilmu (seperti ditegaskan ayat di atas). Karena itu dia wajib mengamalknan fatwa yang diberikan padanya”

Loh bukannya kalau kita berijtihad mengambil dalil sendiri dapat pahala meski salah seperti hadits berikut?

اَلْحَاكِمُ اِذَا اجْتَهَدَ فَاَصَابَ فَلَهُ اَجْرَانِ وَاِنِ جْتَهَدَ فَاَخْطَأَ فَلَهُ اَجْرٌ وَاحِدٌ

“Hakim apabila berijtihad kemudian BENAR maka ia mendapat dua pahala. Apabila ia berijtihad kemudian SALAH, maka ia mendapat satu pahala”.(HR. Bukhari dan Muslim)

Untuk memahami maksud hadits berikut penjelasan Imam Nawawi

‌أَجْمَعَ ‌الْمُسْلِمُونَ ‌عَلَى ‌أَنَّ ‌هَذَا ‌الْحَدِيثَ فِي حَاكِمٍ عَالِمٍ أَهْلٍ لِلْحُكْمِ فَإِنْ أَصَابَ فَلَهُ أَجْرَانِ أَجْرٌ بِاجْتِهَادِهِ وَأَجْرٌ بِإِصَابَتِهِ وَإِنْ أَخْطَأَ فَلَهُ أَجْرٌ بِاجْتِهَادِهِ – قَالُوا فَأَمَّا مَنْ لَيْسَ بِأَهْلٍ لِلْحُكْمِ فَلَا يَحِلُّ لَهُ الْحُكْمُ فَإِنْ حَكَمَ فَلَا أَجْرَ لَهُ بَلْ هُوَ آثِمٌ وَلَا يَنْفُذُ حُكْمُهُ سَوَاءٌ وَافَقَ الْحَقَّ أم لا لأن إصابته اتفاقه لَيْسَتْ صَادِرَةً عَنْ أَصْلٍ شَرْعِيٍّ فَهُوَ عَاصٍ فِي جَمِيعِ أَحْكَامِهِ سَوَاءٌ وَافَقَ الصَّوَابَ أَمْ لَا وَهِيَ مَرْدُودَةٌ كُلُّهَا وَلَا يُعْذَرُ فِي شئ مِنْ ذَلِكَ –شرح مسلم للنووي

“Umat Islam sepakat bahwa hadits tersebut berlaku untuk hakim berilmu dan ahli hukum. Jika dia benar dapat pahala dua (pahala ijtihad dan pahala atas kebenarannya). Jika dia salah dapat pahala satu atas ijtihadnya saja. Adapun orang yang tidak memiliki keahlian, maka haram baginya menghukumi. Jika dia menghukumi sesuatu, maka dia tidak mendapat pahala bahkan berdosa. Dan hukumnya tidak berlaku baik sesuai dengan kebenaran atau tidak karena ketika benar hanya kebetulan saja tidak muncul dari dasar syariat. Dia berdosa dalam semua keputusan hukumnya baik keputusannya sesuai dengan kebenaran atau tidak dan dita tidak diampuni dalam hal ini”

Dalam bermedsos seharusnya kita harus sadar diri atas kapasitas kita. Kalau kapasitas kita hanya taqlid ya tugas kita hanya bertanya dan mengikuti pendapat para ulama’ yang memiliki kapasitas ijtihad. Tidak perlu sok-sokan menjadi Mujtahid apalagi menyalahkan ulama’ dengan alasan bertentangan dengan dalil versinya… Wallahu A’lam

Leave a comment