Teladan Rasulullah Menyikapi Fitnah dan Ujian Dalam Dakwah dan Jihad


Bismillahirohmanirrohim…

Perjalanan Dakwah dan Jihad adalah perjalanan hidup orang-orang mulia dan terpuji sepanjang sejarah. Itulah perjalanan para Nabi, Rasul Allah dan orang-orang Shalih. Satu perjalanan yang tidak menawarkan arama harum dari minyak kasturi, kilauan intan- mutiara dan emas berlian yang bercahaya, sebaliknya dipenuhi onak dan duri, batu dan kerikil, tanah pejal mendaki dan berkelok. Hampir tidak ada yang ingin mengikuti dan menempuhnya kecuali hamba-hamba-Nya yang diberi Rahmat dan Barakah. Teror dan berbagai ancaman ditimpakan kepada para Rasul Allah Swt, para Sahabat-sahabat dan Orang-orang Shalih dari para Ulama’ dan Para Mujahid sesudah para Sahabat, tidak ada yang terlepas dari kezaliman, siksaan, pembantaian dan pembunuhan. Perhatikanlah firman Allah Swt berikut:

1) Nabi Nuh As telah di ancam rajam.

“Mereka berkata: “Sungguh jika kamu tidak (mau) berhenti Hai Nuh, niscaya benar-benar kamu akan Termasuk orang-orang yang dirajam.” (QS As Syua’ara, 26:116)

2) Nabi Luth As diancam untuk diusir.

“Mereka menjawab: “Hai Luth, Sesungguhnya jika kamu tidak berhenti, benar-benar kamu Termasuk orang-orang yang diusir.” (QS. As Syua’ara, 26:167)

3) Nabi Ibrahim As diancam untuk dibakar.

“Mereka berkata: “Bakarlah Dia dan bantulah tuhan-tuhan kamu, jika kamu benar-benar hendak bertindak.” Kami berfirman: “Hai api menjadi dinginlah, dan menjadi keselamatanlah bagi Ibrahim.”(QS. Al Anbiya’, 21:68-69)

5) Nabi Musa As diancam penjara dan bunuh.

Fir’aun berkata: “Sungguh jika kamu menyembah Tuhan selain Aku, benar-benar aku akan menjadikan kamu salah seorang yang dipenjarakan.” (QS. As Syua’ara, 26:29)

“Dan berkata Fir’aun (kepada pembesar-pembesarnya): “Biarkanlah aku membunuh Musa dan hendaklah ia memohon kepada Tuhannya, karena Sesungguhnya aku khawatir Dia akan menukar agamamu atau menimbulkan kerusakan di muka bumi.” Dan Musa berkata: “Sesungguhnya aku berlindung kepada Tuhanku dan Tuhanmu dari Setiap orang yang menyombongkan diri yang tidak beriman kepada hari berhisab.” (QS. Al Mukmin, 40:26-27)

6) Para Nabi diancam untuk diusir dan dirajam.

“Orang-orang kafir berkata kepada Rasul-rasul mereka: “Kami sungguh-sungguh akan mengusir kamu dari negeri Kami atau kamu kembali kepada agama kami”. Maka Tuhan mewahyukan kepada mereka: “Kami pasti akan membinasakan orang- orang yang zalim itu, dan Kami pasti akan menempatkan kamu di negeri-negeri itu sesudah mereka. yang demikian itu (adalah untuk) orang-orang yang takut (akan menghadap) kehadirat-Ku dan yang takut kepada ancaman-Ku.” (QS. Ibrahim, 14:13-14)

Mereka menjawab: “Sesungguhnya Kami bernasib malang karena kamu, Sesungguhnya jika kamu tidak berhenti (menyeru kami), niscaya Kami akan merajam kamu dan kamu pasti akan mendapat siksa yang pedih dari kami.” (QS Yasin, 36:18)

7) Adapun Nabi Muhammad Saw dihina dan dikatakan sebagai seorang penyair gila.

“Dan mereka berkata: “Apakah Sesungguhnya Kami harus meninggalkan sembahan-sembahan Kami karena seorang penyair gila?.” (QS. As Shaffat 37:36)

Dan beliau diancam untuk; ditangkap, dipenjara, diusir dan dibunuh,

“Dan (ingatlah), ketika orang-orang kafir (Quraisy) memikirkan daya upaya terhadapmu untuk menangkap dan memenjarakanmu atau membunuhmu, atau mengusirmu. mereka memikirkan tipu daya dan Allah menggagalkan tipu daya itu. dan Allah Sebaik-baik pembalas tipu daya.” (QS. Al Anfal, 8:30)

Para ulama salaf juga pernah mengalaminya.

Imam Ahmad bin Hanbal yang mengalami cobaan sangat berat bahkan disebut terdahsyat, yakni peristiwa al-mihnah. Dia dipaksa oleh tiga khalifah (al-Makmun, al-Mu’tashim, dan al-Watsiq) untuk mengakui bahwa Al-Qur’an adalah makhluk Allah, sebagaimana keyakinan Muktazilah. Namun, Imam Ahmad menolak meskipun dia diancam dan disiksa dengan berbagai cara. Dia dibawa ke istana dalam keadaan terbelenggu, dipenjara, dicambuk, bahkan diusir dari negerinya.

Contoh lain adalah Imam Abu Hanifah yang dipenjara dan disiksa oleh gubernur dan khalifah lantaran menolak jadi hakim sehingga ia wafat di dalam penjara. Imam Malik didera dan dicambuk punggungnya dan salah satu tangannya ditarik hingga persendian bahunya lepas. Imam Syafi’i difitnah, ditangkap dan diborgol, lalu harus menempuh perjalanan dari Yaman ke timur Suriah. Imam ath-Thabari diintimidasi dan dikepung dalam rumahnya, padahal usianya sudah 85 tahun sehingga ia wafat di dalam rumah

Teladan Rasulullah Mengahdapi Berita bohong (Haditsul Ifki)

Dan pernah juga Rasulullah Saw difitnah dalam keluarganya, isterinya yang sangat dicintainya Ash Shiddiqah binti Ash Shiddiq, Aisyah Ra yang terkenal dengan HADITUL IFIK (Berita Bohong). Dan hal ini merupakan suatu bentuk yang akan terus berulang pada setiap generasi, dimana sasaran utama dari tuduhan itu sebenarnya diarahkan kepada pemimpin dengan tujuan hendak menghancurkan kepercayaan para pendukung beliau terhadap kepemimpinan tersebut.

Kita flashback tentang kisah tersebut

Dalam perjalanan pulang kaum Muslimin dari perang Bani Mustahliq inilah tersiar berita bohong bertujuan merusak keluarga Nabi saw. Berikut ini kami kemukakan ringkasan dari riwayat yang tertera di dalam Ash-Shahihain dant tafsir Ibnu Katsir

Aisyah ra meriwayatkan bahwa dalam perjalanan ini ia ikut keluar bersama Rasulullah saw. Aisyah ra berkata: “Setelah selesai dari peperangan ini Rasulullah saw bergegas pulang dan memerintahkan orang-orang agar segera berangkat di malam hari. Di saat semua orang sedang berkemas-kemas hendak berangkat, aku keluar untuk membuang hajat, aku terus kembali hendak bergabung dengan rombongan. Pada saat itu kuraba-raba kalung leherku, ternyata sudah tak ada lagi. Aku lalu kembali lagi ke tempat aku membuang hajatku tadi untuk mencari-cari kalung hingga dapat kutemukan kembali.

Di saat aku sedang mencari-cari kalung, datanglah orang-orang yang bertugas melayani unta tungganganku. Mereka sudah siap segala-galanya. Mereka menduga aku berada di dalam haudaj (rumah kecil terpasang di atas punggung unta) sebagaimana dalam perjalanan, oleh sebab itu haudaj lalu mereka angkat kemudian diikatkan pada punggung unta. Mereka sama sekali tidak menduga bahwa aku tidak berada di dalam haudaj. Karena itu mereka segera memegang tali kekang unta lalu mulai berangkat …!

Ketika aku kembali ke tempat perkemahan, tidak aku jumpai seorang pun yang masih tinggal. Semuanya telah berangkat. Dengan berselimut jilbab aku berbaring di tempat itu. Aku berfikir, pada saat mereka mencari-cari aku tentu mereka akan kembali lagi ke tempatku. Demi Allah, di saat aku sedang berbaring, tiba-tiba Shafwan bin Mu‘atthal lewat. Agaknya ia bertugas di belakang pasukan. Dari kejauhan ia melihat bayang-bayangku. Ia mendekat lalu berdiri di depanku, ia sudah mengenal dan melihatku sebelum kaum wanita dikenakan wajib berhijab. Ketika melihatku ia berucap: “Inna lillahi wa inna ilaihi raji‘un! Istri Rasulullah?“ Aku pun terbangun oleh ucapan itu. Aku tetap menutup diriku dengan jilbabku .. Demi Allah, kami tidak mengucapkan satu kalimat pun dan aku tidak mendengar ucapan darinya kecuali ucapan Inna lillahi wa inna ilaihi raji‘un itu. Kemudian dia merendahkan untanya lalu aku menaikinya. Ia berangkat menuntun unta kendaraan yang aku naiki sampai kami datang di Nahri Adh-Dhahirah tempat pasukan turun istirahat. Di sinilah mulai tersiar fitnah tentang diriku. Fitnah ini berumber dari mulut Abdullah bin Ubay bin Salul.

Aisyah ra melanjutkan : Setibanya di Madinah kesehatanku terganggu selama sebulan. Saat itu rupanya orang-orang sudah banyak berdesas-desus berita bohong itu, sementara aku belum mendengar sesuatu mengenainya. Hanya saja aku tidak melihat kelembutan dari Rasulullah saw, yang biasa kurasakan ketika aku sakit. Beliau hanya masuk lalu mengucapkan salam dan bertanya: “Bagaimana keadaanmu?“ Setelah agak sehat aku keluar pada suatu malam bersama Ummu Mastha untuk membuang hajat. Waktu itu kami belum membuat kakus. Di saat kami pulang, tiba-tiba kaki Ummu Mastha terantuk sehingga kesakitan danter lontar ucapan dari mulutnya: “Celaka si Masthah!“ Ia kutegur: “Alangkah buruknya ucapanmu itu mengenai seorang dari kaum Muhajirin yang turut serta dalam perang Badr?“ Ummu Mastha bertanya :“Apakah anda tidak mendengar apa yang dikatakannya?“ Aisyah ra melanjutkan: Ia kemudian menceritakan kepadaku tentang berita bohong yang tersiar sehingga sakitku bertambah parah … Malam itu aku menangis hingga pagi hari, air mataku terus menetes dan aku tidak dapat tidur.

Kemudian Rasulullah saw mulai meminta pandangan para sahabatnya mengenai masalah ini. Di antara mereka ada yang berkata: “Wahai Rasulullah mereka (para istri Nabi) adalah keluargamu. Kami tidak mengetahui kecuali kebaikan.“ Dan ada pula yang mengatakan: “Engkau tak perlu bersedih, masih banyak wanita (lainnya). Tanyakan hal itu kepada pelayan perempuan (maksudnya Barirah). Ia pasti memberi keterangan yang benar kepada anda!“

Rasulullah saw lalu memanggil pelayan perempuan bernama Barirah, dan bertanya: “Apakah kamu melihat sesuatu yang mencurigakan dari Aisyah?“ Ia mengabarkan kepada Nabi saw, bahwa ia tidak mengetahui Aisyah kecuali sebagai orang yang baik-baik. Kemudian Nabi saw berdiri di atas mimbar dan bersabda:

“Wahai kaum Muslimin! Siapa yang akan membelaku dari seorang lelaki yang telah menyakiti keluargaku? Demi Allah, aku tidak mengetahui dari keluargaku kecuali yang baik. Sesungguhnya mereka telah menyebutkan seorang lelaki yang aku tidak mengenal lelaki itu kecuali sebagai orang yang baik.“

Sa‘ad bin Muadz lalu berdiri seraya berkata: “Aku yang akan membelamu dari orang itu wahai Rasulullah saw! Jika dia dari suku Aus, kami siap penggal lehernya. Jika dia dari saudara kami suku Khazraj maka perintahkanlah kami, kami pasti akan melakukannya.“ Maka timbullah keributan di masjid sampai Rasulullah saw meredakan mereka.

Aisyah ra melanjutkan: “Kemudian Rasulullah saw datang ke rumahku. Saat itu ayah-ibuku berada di rumah. Ayah-ibuku menyangka bahwa tangisku telah menghancurluluhkan hatiku. Sejak tersiar berita bohong itu Nabi saw tidak pernah duduk di sisiku. Selama sebulan beliau tidak mendapatkan wahyu tentang diriku. Aisyah ra berkata: “Ketika duduk Nabi saw membaca puji syukur ke Hadirat Allah swt lalu bersabda: “Hai Aisyah, aku telah mendengar mengenai apa yang dibicarakan orang tentang dirimu. Jika engkau tidak bersalah maka Allah swt, pasti akan membebaskan dirimu. Jika engkau telah melakukan dosa maka mintalah ampunan kepada Allah swt dan taubatlah kepada-Nya.“ Seusai Rasulullah saw mengucapkan ucapan itu, tanpa kurasakan air mataku tambah bercucuran. Kemudian aku katakan kepada ayahku: “Berilah jawaban kepada Rasulullah saw mengenai diriku“ Ayahku menjawab: “Demi Allah, aku tidak tahu bagaimana harus menjawab.“ Aku katakan pula kepada ibuku: “Berilah jawaban mengenai diriku.“ Dia pun menjawab: “Demi Allah aku tidak tahu bagaimana harus menjawab:“ Lalu aku berkata: “Demi Allah, sesungguhnya kalian telah mendengar hal itu sehingga kalian telah membenarkannya. Jika aku katakan kepada kalian bahwa aku tidak bersalah Allah Maha Mengetahui bahwa aku tidak bersalah kalian pasti tidak akan membenarkannya. Jika aku mengakuinya Allah Maha Mengetahui bahwa aku tidak bersalah, pasti kalian akan membenarkan aku. Demi Allah aku tidak menemukan perumpamaan untuk diriku dan kalian kecuali sebagaimana yang dikatkaan oleh bapak Nabi Yusuf as :
“Sebaiknya aku bersabar. Kepada Allah swt sajalah aku mohon pertolongan atas apa yang kalian lukiskan,“ QS Yusuf : 18

Aisyah ra berkata : Kemudian aku pindah dan berbaring di tempat tidurku.

Selanjutnya Aisyah berkata: Demi Allah, Rasulullah saw belum bergerak dari tempat duduknya, juga belum ada seorang pun dari penghuni rumah yang keluar sehingga Allah menurunkan wahyu kepada Nabi-Nya. Beliau tampak lemah lunglai seperti biasanya tiap hendak menerima wahyu Ilahi, keringatnya bercucuran karena beratnya wahyu yang diturunkan kepadanya. Aisyah berkata: Kemudian keringat mulai berkurang dari badan Rasulullah saw lalu beliau tampak tersenyum. Ucapan yan pertama kali terdengar ialah: “Bergembiralah wahai Aisyah, sesungguhnya Allah telah membebaskan kamu.“ Kemudian ibuku berkata: “Berdirilah (berterimahkasihlah) kepadanya.“ Aku jawab :

“Tidak! Demi Allah, aku tidak akan berdiri (berterima kasih) kepadanya (Nabi saw) dan aku tidak akan memuji kecuali Allah. Karena Dialah yang telah menurunkan pembebasanku.“

Aisyah ra berkata: Kemudian Allah menurunkan firman-Nya :
“Sesungguhnya orang-orang yang membawa berita bohong itu adalah dari golongan kamu juga. Janganlah kamu kira bahwa berita bohong itu buruk bagi kamu, bahkan ia adalah baik bagi kamu. Tiap-tiap seorang dari mereka mendapat balasan dari dosa yang dikerjakannya. Dan siapa di antara mereka yang mengambil bagian yang terbesar dalam penyiaran berita bohong itu baginya azab yang besar…. Sampai dengan ayat 21 … „ QS an-Nur : 11-21

Aisyah melanjutkan: Sebelum peristiwa ini ayahku membiayai Mastha karena kekerabatan dan kemiskinannya. Tetapi setelah peristiwa ini ayahku berkata: Demi Allah, saya tidak akan membiayainya lagi karena ucapan yang diucapkan kepada Aisyah. Kemudian Allah menurunkan firman-Nya :

“Dan janganlah orang-orang yang mempunyai kelebihan dan kelapangan di antara kamu bersumpah bahwa mereka (tidak) akan memberi (bantuan) kepada kaum kerabat(nya). Orang –orang miskin dan orang-orang yang berhijrah di jalan Allah, dan hendaklah mereka memaafkan dan berlapang dada. Apakah kamu tidak ingin bahwa Allah mengampunimu? Dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.“ QS An-Nur : 22

Lalu Abu Bakar berkata : Demi Allah, sungguh aku ingin mendapatkan ampun Allah. Kemudian ia kembali membiayai Masthah.

Kemudian Nabi saw keluar dan menyampaikan khutbah kepada orang-orang dan membacakan ayat-ayat al-Quran yang telah diturunkan mengenai masalah ini. Selanjutnya Nabi saw memerintahkan supaya dilakukan hukum hadd (dera) kepada Masthah bin Utsatsah, Hasan bin Tsabit dan Hamnah binti Jahsy karena mereka termasuk orang-orang yang ikut menyebarluaskan desas-desus berita fitnah tersebut.

Itulah tradisi yang selalu berulang disepanjang sejarah, bila kekuatan fisik tidak mampu membunuh karakter pimpinan, maka di hadapan musuh tidak ada lagi jalan yang bisa ditempuhnya selain perang psikologis terhadap kepemimpinan tersebut, dengan cara menghancurkannya lewat perang seperti ini. Karena itu, di sini ditampilkan kisah keteladanan ini (HADITUL IFIK) supaya para Da’i dan Mujahid serta para pendukungnya tidak mudah lemah dalam menghadapi segala ujian dan fitnah yang menimpanya, karena musuh selalu menggunakan isu seperti ini, sebagai perang isu yang disebarluaskan oleh musuh dikalangan barisan Islam untuk menghancurkan pimpinan.

Yang terpenting diingat dalam peristiwa ini adalah bahwa berita bohong itu sebagaimana yang telah jelas bersumber dari kaum munafik di bawah bendera pimpinan mereka, Abdullah bin ubay bin Salul. Ketika berita bohong itu masih beredar di kalangan orang-orang munafik, memang tidak ada bahaya apa pun yang bisa mereka timbulkan. Akan tetapi, ketika berita itu sudah masuk ke dalam lingkungan kaum Muslimin, dengan segera berita itu menyebar bagai api membakar jerami. Barulah saat itu tampak betapa besar bahaya keberadaan kaum munafik di tengah umat Islam.

Nash Al Qur’an sendiri, ketika menceritakan peristiwa ini, ternyata lebih banyak mengarahkan tegurannya terhadap kaum Muslimin daripada kepada kaum munafik. Agaknya Al-Qur’an hendak memberi pendidikan terhadap kaum Mukminin yang benar-benar beriman, tapi masih dapat dipengaruhi oleh berita bohong ini dan masih mau menerima pembicaraan orang yang menyangka-nyangka tanpa bukti.

Adapun pelajaran-pelajaran terpenting yang dapat dikemukakan dalam kaitannya dengan berita bohong ini, ialah sebagai berikut.

Pertama, Sebagai seorang aktivis dakwah seharusnya memahami bahwa tabiat dakwah. Para ulama menyebutkan tabiat dakwah sebagai berikut:

  • Thulut Thariq (jalannya panjang, Tidak ditaburi bunga, susah, panjang. (9:42)
  • Karsratu Aqabat (dari dulu selalu sama hambatannya banyak, musuh akan sentiasa menghalang dan mengganggu, sangat banyak ujian )
  • Qillatur Rijal (pendukungnya sedikit)
  • banyaknya beban tanggungjawab yg perlu dipikul
  • Da’i yakin kesudahan baik hak orang beriman.(11:49)

Fitnah, cobaan, gangguan adalah hal yang lumrah dan seharusnya menjadikan keyakinan bahwa ini sebagai sarana tarbiyah dari Allah.

Kedua, menghindari semaksimal mungkin tuduhan, fitnah dengan menutup celah agar tidak ada prasangka adalah kewajiban pokok yang wajib ditunaikan kaum muslimin.

Mereka -terutama para pemimpin- juga harus menyadari bahwa prasangka seperti itu menjadi pusat perhatian lawan maupun kawan. Karena itu, sedapat mungkin agar dapat menghindari tempat-tempat dan hal apa pun yang bisa menimbulkan prasangka buruk.

Ketiga, isu, fitnah biasanya akan menimpa orang yang punya pengaruh terhadap jama’ah dakwah.

Fitnah akan mempunyai pengaruh yang luar biasa ketika yang di tuduh adalah pemimpin jama’ah atau orang disekitar pemimpin tersebut. Maka tidak usah heran, ketika yang dituduh adalah ibundah Aisyah ra.

Keempat, penyebar isu/fitnah/gangguan biasanya juga punya pengaruh yang besar

Abdullah bin Ubay dulunya adalah calon pemimpin di Madinah.  Dia adalah seorang yang terkemuka diantara penduduk Madinah, dia mempunyai pengaruh yang cukup besar di antara semua penduduk Madinah selain daripada kaum Yahudi. Ketika Nabi Muhammad masuk kota Madinah, Abdullah bin Ubay dilupakan orang, dia tersisih ke pinggir. Hal ini sangat mengecewakannya. Dia memandang Rasulullah SAW sebagai seorang yang merebut dan memotong langkah dia menuju pemimpin Madinah.

Kelima, Ketika ada berita maka wajib umat islam meneliti berita tersebut dan jangan menerima isu begitu saja, sebagaimana difirmankan Allah Ta’ala dalam al Qur’anul Karim,

Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasiq membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti, agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan menyesal atas perbuatanmu itu.” (QS. Al-Hujurot[49]:6)

Mengapa mereka (yang menuduh itu) tidak mendatangkan empat orang saksi atas berita bohong itu? Oleh karena mereka tidak mendatangkan saksi-saksi maka mereka itulah di sisi Allah adalah pendusta.” (QS. An Nur, 24:13)

Berita apa pun yang tidak diperkuat dengan bukti, harus ditolak oleh setiap Muslim. Hendaklah pula dia menyadari bahwa menceritakan isu kepada orang lain dan menularkan berita yang tidak diperkuat dengan bukti akan mengubah statusnya menjadi pendusta. Ini adalah ketetapan Al Qur’an terhadap manusia-manusia semacam itu mereka adalah pendusta di sisi Allah, sekalipun orang itu sebenarnya bukanlah yang mengada-ngada berita tersebut dan sekalipun dia sekedar menukilkan dengan sejujurnya apa yang sebenarnya dia dengar dari seseorang, namun dia di sisi Allah tetap tergolong para pendusta.

Keenam, untuk menimbang secara cermat dalam menilai benar-tidaknya suatu isu, bandingkanlah pribadi orang yang diisukan itu dengan diri anda sendiri.

Dengan demikian, pastilah Anda akan tetap memercayai teman Anda itu seperti halnya memercayai diri Anda sendiri. Cara menimbang seperti itu diakui dan dipuji oleh Al Qur’anul Karim, yaitu berkenaan dengan suatu perbincangan antara Abu Ayyub Al Anshari dengan istrinya, Ummu Ayub Ra. Wanita itu berkata,

”Tidaklah kamu mendengar apa yang dikatakan orang mengenai Aisyah?”

“Ya, tapi itu bohong,” jawab si suami, “Apakah kamu melakukannya juga, hai ummu Ayyub?”

“Tidak, demi Allah,”kata si istri, “Mengapa aku harus meniru orang-orang itu?”

“Abu Ayyub menegaskan, “Demi Allah, Aisyah itu lebih baik darimu.” (Ibnu Hisyam, (As Sirah An Nabawiyah, II/303).

Semoga saudaraku, yang masih juga menyebarluaskan isu mengenai temannya atau pemimpinnya, kiranya mau menghitung-hitung barang sedikit, benarkah temannya atau pemimpinnya itu lebih jelek perhatiannya terhadap agama ketimbang dirinya dan benarkah keduanya lebih rapuh kepatuhannya kepada agama dan lebih rendah budinya ketimbang dirinya? Andaikan menimbang diri seperti itu dia lakukan pastilah prasangka buruk itu akan musnah dari pikirannya dan robohlah kabar bohong itu sampai ke akar-akarnya.

Ketujuh, jangan sekali-kali membiarkan hawa nafsu ikut campur dan berperan dalam menyelesaikan soal tersebarnya kabar bohong.

Jika seorang ‘madu’ sedemikian hebatnya mampu menahan hawa nafsunya untuk tidak ikut-ikut menyebarkan isu, itu menunjukkan betapa tinggi derajat keluhuran budi yang telah dicapai oleh kaum muslimin. Apalagi mungkin dia tidak sejalan, searah dalam metode berjuang. Seharusnya dia berlapang dada, bukannya malah menyebarkan berita yang belum pasti kebenarannya tersebut.

Kedelapan, sikap terakhir yang dapat kita simpulkan dari peristiwa haditsul-ifki ialah menghukum orang-orang mukmin yang terpedaya yang terlibat dalam menyebarkan fitnah. Dengan demikian, berarti tidak cukup dengan pernyataan bahwa si tertuduh tidak bersalah dan tidak cukup dengan sekadar sang pemimpin menolak segala perkataan buruk yang dilontarkan kepada pihak yang terkena fitnah, lalu habis perkara. Harus ada hukuman tegas yang dilaksanakan di tengah masyarakat muslim terhadap siapa pun yang menyebarkan isu, setelah dilakukan pemeriksaan secermat-cermatnya.

Akan tetapi, kenyataan yang terjadi sekarang, gerakan Islam malah membiarkan begitu saja si penyebar isu dan berita bohong. Karenanya, masyarakat tak habis-habisnya digoncang oleh berbagai macam fitnah.

Sebagai contoh, cukuplah kita sampaikan bahwa hukum Islam terhadap tiga tokoh penyebar berita bohong tersebut, Misthah bin Utsatsah, Hassan bin Tsabit, dan Hammah binti Jahsy, ialah dijatuhkannya hukuman had al-qadzaf kepada mereka, yakni didera delapan puluh kali, sekalipun ada sebagian riwayat yang menyatakan bahwa jenis hukuman ini baru diterapkan sesudah itu. Jadi, tidak dilaksanakan terhadap ketiga orang itu. Hal ini karena mereka melakukan tuduhan sebelum turunnya ayat mengenai hukuman-hukuman had.

Dan mungkin masih banyak pelajaran yang bisa kita dapatkan dari kisah haditsul ifk, seperti cintanya rasulullah pada istri-istrinya, tsiqahnya para sahabat terhadap keluarga beliau, pertolongan allah yang pasti datang kepada hambanya yang dicintai walaupun memerlukan waktu yang cukup lama dsb.

Semoga dari pelajaran diatas cukuplah bagi kaum Muslimin dan Muslimah yang baru bergabung dalam perjuangan ini menjadikannya sebagai teladan hidup yang paling berharga.Semoga keberkatan untuk kita.

Wallahu’alam…

Diolah berbagai sumber

1. Tafsir Ibnu Katsir An Nuur 11-21

2. http://abujibriel.com

Leave a comment