shalat dengan badan terhubung dengan urine bag (kantong urin) karena kebutuhan kuratif (pengobatan).


لا حرج في الصلاة مع اتصال كيس البول للحاجة العلاجية

Tidak masalah shalat meskipun terhubung dengan urine bag (kantong urin) karena kebutuhan kuratif (pengobatan).

السؤال:
شخص معه حصر بول، فتم تركيب كيس بول لوقايته من خروجه، أريد أن تفتوني في كيفية الطهارة والوضوء والصلاة؟

Pertanyaan:
Seseorang mengalami retensi urin, sehingga dipasanglah urine bag (kantong urin) untuk mencegah keluarnya urin. Saya mohon fatwa bagaimana cara ia bersuci, berwudhu, dan shalat.

الجواب:
Jawaban Dairatul Ifta Yordania:

الحمد لله، والصلاة والسلام على سيدنا رسول الله

Segala puji bagi Allah. Shalawat dan salam semoga tetap terlimpah pada Sayyidina Rasulillah.

أولا: أما حكم وضوء من يخرج منه البول دون تحكم في “الكيس الطبي”، فإن كان يعلم فترة ينقطع فيها البول، يجب عليه الوضوء حينها كي يضمن سلامة وضوئه من النقض، ويصلي عقب وضوئه، أما إذا كان نزول البول مستمرا لا ينقطع، فهذا حكمه حكم سلس البول، يتوضأ لكل صلاة مفروضة، ويصلي بعد وضوئه فوراً ولو نزل منه شيء بعد الوضوء.

  1. Hukum wudhu orang yang keluar urin tanpa memakai “bag (kantong) medis” :
    Jika ia mengetahui interval (jeda waktu) berhentinya urin, maka ia wajib berwudhu saat itu untuk memastikan wudhunya tidak batal, lalu shalat setelah wudhu.

Namun jika urin itu keluar terus-menerus/tidak terputus, maka hukumnya adalah hukum salisal baul (inkontinensia urin) yaitu Ia berwudhu tiap shalat fardhu dan segera shalat, meskipun keluar urin lagi setelah wudhu.

ثانيا: أما حكم النجاسة التي يحملها في الكيس، فلا يخلو من اضطره العلاج إلى تركيب أكياس طبية لاحتواء الخارج من القبل أو الدبر من حالين:
الأول: أن يتمكن من إزالة الكيس وحلِّه عنه عند الصلاة، ويتمكن من تطهير المنفذ البلاستيكي الخارج من جسمه: فهذا يجب عليه فعل ذلك لتحقيق الطهارة التي هي من شروط صحة الصلاة.

  1. Hukum najis yang dibawa dalam bag karena tindakan medis yang mengharuskannya memasang bag itu untuk menampung najis yang keluar dari qubul maupun dubur, maka tidak terlepas dari dua kondisi:
    (1) Memungkinkan melepas dan menjauhkan bag itu ketika shalat, serta memungkinkan untuk mensucikan selang kateter di luar tubuhnya karena hal ini wajib ia lakukan demi memastikan (keabsahan) thaharahnya yang merupakan salah satu syarat sah shalat.

يقول الخطيب الشربيني رحمه الله: “لا تصح صلاة ملاق – بعض لباسه – أو بدنه نجاسة وإن لم يتحرك بحركته، كطرف عمامته الطويلة، أو كمه الطويل المتصل بنجاسة؛ لأن اجتناب النجاسة في الصلاة شرع للتعظيم, وهذا ينافيه” انتهى باختصار من “مغني المحتاج” (1/404).

Al-Khatib al-Syirbini Rahimahullah berkata:
Tidak sah shalat orang yang sebagian pakaian atau badannya terkena najis, meskipun najis itu tidak bergerak dengan gerakannya, seperti ujung imamahnya yang panjang, atau lengan baju panjangnya yang menyentuh najis. Hal ini karena menjauhi najis ketika shalat merupakan syariat untuk mengagungkan, sedangkan terkena najis ini menafikan pengagungan itu. Akhir kutipan dengan ringkas dari kitab Mughnil Muhtaj (1/404).

الثاني: أن لا يتمكن من إزالة الكيس وحلِّه عنه عند الصلاة، أو لا يتمكن من تطهير المنفذ البلاستيكي الخارج منه، أو يشق عليه ذلك مشقة بالغة: فمثله يجب عليه أن يصلي حفاظا على حرمة الصلاة في وقتها، وحاجته العلاجية إلى وضع مثل هذا الكيس تقضي بصحة صلاته، للقاعدة الشرعية المتفق عليها: “المشقة تجلب التيسير”.

(2) Tidak memungkinkan melepas dan menjauhkan bag itu ketika shalat atau tidak memungkinkan mensucikan selang kateter di luar tubuhnya, atau ia merasa sangat sulit melakukannya, sehingga orang yang seperti dia ini wajib shalat demi menjaga kehormatan shalat pada waktunya (shalat lihurmatil waqti). Sementara itu kebutuhan medis untuk memasang bag seperti ini menetapkan keabsahan shalatnya karena kaidah syariat yang disepakati: Kesulitan itu membawa kemudahan.

لكن فقهاء الشافعية يوجبون القضاء عليه بعد أن يصح ويزيل عنه كيس النجاسة، أما المالكية فلا يوجبون عليه القضاء مطلقاً، إنما يستحبونه ندباً في الوقت.
يقول الخرشي المالكي رحمه الله: “وإن صلى بها – يعني النجاسة – عاجزا عن إزالتها فإنه يعيد الصلاة في الوقت الضروري, وهو في الظهرين إلى الاصفرار, وفي العشاءين إلى الفجر، وفي الصبح إلى طلوع الشمس” انتهى من “شرح مختصر خليل” (1/ 104).

Tetapi, fuqaha Syafi’iyyah mewajibkan qadha’ kepadanya setelah ia sehat dan setelah bag najis itu dilepas. Adapun fuqaha Malikiyyah tidak mewajibkan qadha’ kepadanya secara mutlak, hanya saja mereka mensunnahkan (mengulangi shalat) di dalam waktunya.

Syaikh al-Kharasi al-Maliki Rahimahullah berkata: Dan jika Ia shalat dengan najis itu karena ia tidak mampu menghilangkannya, maka ia mengulangi shalat itu pada waktu dharuri yaitu jika pada waktu dhuhrain (dhuhur-Asar) hingga ishfirar (matahari menjelang terbenam), jika pada waktu isya-ain (maghrib-isya’) hingga fajr, dan jika waktu subuh hingga terbit matahari. Akhir kutipan kitab Syarh Mukhtashar Khalil (1/104).

وجاء في “حاشية الصاوي على الشرح الصغير” (1/ 65): “إن صلى بالنجاسة ناسيا لها حتى فرغ من صلاته، أو لم يعلم بها حتى فرغ منها فصلاته صحيحة، ويندب له إعادتها في الوقت، وكذا من عجز عن إزالتها لعدم ماء طهور أو لعدم قدرته على إزالتها به، ولم يجد ثوبا غير المتنجس، فإنه يصلي بالنجاسة وصلاته صحيحة. ويحرم عليه تأخيرها حتى يخرج الوقت. ويصلي أول الوقت إن علم أو ظن أنه لا يجد ماء ولا ثوبا آخر في الوقت. وإن ظن القدرة على إزالتها آخر الوقت، أخر لآخره…، ثم إنه إن وجد ما يزيلها به في الوقت، أو ثوبا آخر ندب له الإعادة ما دام الوقت. فإن خرج الوقت فلا إعادة، والوقت في الظهرين للاصفرار، وفي العشاءين لطلوع الفجر، وفي الصبح لطلوع الشمس”.

Dalam Hasyiyah al-Shawi ‘ala al-Syarh al-Shaghir (1/65):
Jika ia shalat terkena najis dalam keadaan lupa hingga rampung shalatnya atau tidak tahu dengan najis itu hingga rampung shalatnya, maka shalatnya sah, dan ia disunnahkan mengulanginya selagi dalam waktunya. Demikian pula, orang yang tidak mampu menghilangkan najis itu karena ketiadaan air suci atau karena dia tidak mampu menghilangkan najis itu dengan air suci dan tidak menemukan pakaian selain yang terkena najis, maka ia tetap shalat dengan najis itu, dan shalatnya sah. Dan ia diharamkan mengakhirkannya hingga keluar waktu. Dan dia shalat di awal waktu jika ia tahu atau menduga bahwa tidak terdapat air maupun pakaian lain di dalam waktu tersebut. Namun jika ia menduga bahwa ia mampu menghilangkan najis itu di akhir waktu, maka ia mengakhirkan shalatnya pada akhir waktu itu… Kemudian, jika ia menemukan sesuatu untuk menghilangkan najis itu di dalam waktu atau pakaian lain, ia disunnahkan i’adah (mengulangi shalatnya) selagi masih berada di dalam waktu tersebut. Oleh karena itu, jika telah keluar waktunya, maka tidak ada i’adah. Dan waktu dhuhur-Asar hingga matahari menjelang tenggelam. Waktu maghrib-Isya hingga terbit fajar. Dan waktu subuh hingga matahari terbit.

فمن شقت عليه الإعادة بسبب كثرة الصلوات فله أن يترخص برخصة المالكية.

Oleh karena itu, sesiapa yang kesulitan mengulangi shalat karena banyaknya shalat (selama memakai bag urin itu), maka ia diperbolehkan mengambil rukhshah/keringanan dengan rukhshah madzhab Maliki.

والله أعلم.

Leave a comment