ANTARA BERSTATUS IBADAH DENGAN BERNILAI IBADAH


ANTARA BERSTATUS IBADAH DENGAN BERNILAI IBADAH

Amalaiah itu ada dua, ada yang dzatnya berstatus ibadah dan ada yang bukan ibadah (adat/duniawi). Yang berstatus ibadah dibagi dua, ibadah mahdhah dan ghairu mahdhah. Ibadah mahdhah adalah ibadah yang aturan pelaksanaanya (meliputi tata cara, kadar, waktu, dan tempatnya) telah ditentukan. Contohnya seperti ; shalat, puasa, zakat, haji dan yang lainnya. Adapun yang ghairu mahdhah, adalah ibadah yang sifatnya mutlak, tidak dibatasi dan ditentukan tata cara pelaksanaanya. Contohnya ; baca quran, dzikir, shadaqah, dan lainnya.

Karena tata cara pelaksanannya sudah ditentukan, maka untuk melaksanakan ibadah mahdhah, dibutuhkan dalil yang menjelaskan tata caranya secara khusus. Adapun ibadah yang ghairu mahdhah, maka cukup dalil umum saja. Adapun tata cara pelaksanaannya, maka tetap dalam kondisi kemutlakannya (bebas), tidak membutuhkan dalil spesifik atau contoh dari nabi. Ibadah jenis ini boleh ditaqyid (dibatasi) dengan waktu, tempat, jumlah, dan tata cara tertentu. Dan ini merupakan mazhab Jumhur (mayoritas) ulama.

Dalam kaidah disebutkan ;

جواز تقييد العبادات المطلقة بزمان أو يوم أو عدد أو هيئة أو جنس

Terjemah : “Boleh untuk mentaqyid (membatasi) ibadah yang mutlak dengan waktu tertentu, atau hari tertentu, atau bilangan tertentu, atau cara tertentu, atau jenis tertentu.”

Adapun masalah yang masuk katagori adat/duniawi, maka asal dzat perbuatannya bukan berstatus ibadah. Hanya saja bisa bernilai ibadah jika diniatkan karena Allah. Misal ; main futsal. Asal perbuatannya bukan ibadah, tapi bisa bernilai ibadah jika diniatkan agar tubuh sehat sehingga bisa melaksanakan perintah Allah dengan baik. Untuk jenis ini, maka untuk pelaksanaannya tidak membutuhkan dalil atau contoh dari nabi. Karena kaidahnya : “Hukum asal segala sesuatu di luar ibadah (adat/duniawi) adalah boleh.” Kalau hukum asalnya boleh, ya tidak perlu dicari dalil yang membolehkannya.

Termasuk dalam contoh ini (perkara adat) adalah salaman setelah shalat. Syekh Ibnu Utsaimin rhm berkata : “Aku berharap hal itu (salaman setelah shalat) tidak mengapa (boleh) karena manusia telah menjadikan hal itu sebagai adat.” (Majmu’ Fatawa 13/287 no : 581). Simak juga pernyataan imam An-Nawawi rhm dalam Syahrul Muhadzab (4/634)

Sampai di sini semoga bisa dipahami. Jadi ada perbedaan antara sesuatu perbuatan “berstatus ibadah” dengan perbuatan “bernilai ibadah.” Kalau semuanya dipukul rata diperlakukan sebagai ibadah mahdhah yang membutuhkan dalil khusus (spesifik) dalam tata cara pelaksanaannya, maka akan rusak agama ini. Wa billahit Taufiq.

(Abdullah Al-Jirani)

Leave a comment