Keutamaan Berdagang dan Bertani


Pada awal kehidupan mereka di Madinah, kaum Muhajirin benar-benar mengalami masa yang sulit. Sampai suatu hari, pernah paman Rasulullah ﷺ, Hamzah bin Abdul Muthalib, datang kepada beliau dengan perut lapar sambil bertanya kalau-kalau Rasulullah ﷺ punya sesuatu untuk dimakan.

Berdagang adalah salah satu pekerjaan yang banyak dikuasai kaum Muhajirin. Abdurrahman bi Auf yang sudah dipersaudarakan Rasulullah ﷺ dengan Sa’ad bin Rabi pernah ditawari Sa’ad separuh hartanya. Namun, Abdurrahman menolak pemberian itu. Ia hanya minta ditinjukkan jalan ke pasar. Di sana, mulailah Abdurrahman berdagang mentega dan keju. Dalam waktu tidak terlalu lama, berkat kepandaiannya berdagang, Abdurrahman bin Auf berhasil meraih kekayaannya kembali. Dapat pula ia menikahi dan memberikan mas kawin kepada seorang Muslimah dari Madinah. Sesudah itu, Abdurrahman bin Auf pun memiliki kafilah-kafilah yang pulang dan pergi membawa barang perdagangan.

Selain Abdurrahman, banyak pula kaum Muhajirin yang melakukan pekerjaan serupa. Begitu pandainya penduduk Mekah berdagang sampai orang mengatakan bahwa dengan perdagangan, orang Mekah dapat mengubah pasir menjadi emas.

Sementara itu, kaum Muhajirin yang lain, seperti Abu Dzar, Umar, dan Ali bin Abu Thalib memilih pekerjaan sebagai petani. Keluarga-keluarga mereka terjun menggarap tanah milik orang-orang Anshar bersama pemiliknya. Selain mereka, ada pula kaum Muhajirin yang tetap mengalami kesulitan hidup. Sungguh pun begitu, mereka tidak mau menjadi beban orang lain. Mereka membanting tulang melakukan pekerjaan apa pun yang halal.

Keutamaan Berdagang dan Bertani

  1. Berdagang
    Salah satu kekhasan jualan atau berdagang dibandingkan dengan instrumen bisnis lainnya, jualan atau berdagang itu disebutkan dalam hadis-hadis Rasulullah SAW sebagai bisnis yang memiliki keutamaan (afdhaliyah).
    At-Targhib wa at-Tarhib, Minhaj ash-Shalihin, Nail al-authar, dan Subulus as-salam. Tentu jawaban ini tidak menjelaskan keunggulan bisnis dari sisi ekonomi dan keuangan.
    Di antara hadis-hadis tersebut adalah sebagai berikut.

Pertama, hadis Ibnu Umar, yakni hadis Rasulullah SAW, “Dari sahabat Ibnu Umar RA, ia berkata, Rasulullah SAW ditanya, pekerjaan apa yang paling utama? Beliau menjawab, ‘Pekerjaan seseorang dengan tangannya sendiri dan setiap jual beli yang mabrur’.” (HR Thabrani dalam kitab Al-Kabir dan Al-Ausath, dan perawi hadis ini terpercaya).

Hadis tersebut menjelaskan bahwa pekerjaan atau niaga yang diutamakan menurut Rasulullah SAW salah satunya adalah setiap jual beli yang mabrur (patuh dengan tuntunan syariah).

Kedua, hadis Suhaib, yakni hadis Rasulullah SAW. “Nabi bersabda, ‘Ada tiga hal yang mengandung berkah: jual beli tidak secara tunai, muqaradhah (bagi hasil), dan mencampur gandum dengan jewawut untuk keperluan rumah tangga, bukan untuk dijual’.” (HR Ibnu Majah dari Shuhaib).

Hadis tersebut menjelaskan bahwa berjualan, termasuk berjualan secara tunai atau angsur itu yang berbuah keberkahan.

Ketiga, hadis Abi Said al-Khudri yang menjelaskan bahwa saat para pedagang itu amanah, maka kompensasinya adalah berhimpun bersama hamba Allah SWT terbaik, yaitu para nabi, orang yang jujur, dan para syuhada.

Sebagaimana hadis, “Dari Abi Sai’d Al-Khudri RA, dari Rasulullah SAW bersabda, ‘Seorang pedagang yang jujur dan terpercaya bersama para nabi, para orang yang jujur, dan para syuhada’.” (HR at-Tirmidzi).

Keempat, yakni hadis Rasulullah SAW, “Sesungguhnya para pedagang itu adalah kaum yang fajir (suka berbuat maksiat).” Para sahabat heran dan bertanya, “Bukankah Allah telah menghalalkan praktik jual beli, wahai Rasulullah?” Maka beliau menjawab, “Benar, namun para pedagang itu tatkala menjajakan barang dagangannya, mereka bercerita tentang dagangannya kemudian berdusta, mereka bersumpah palsu dan melakukan perbuatan-perbuatan keji.” (HR Ahmad).

Hadis tersebut menjelaskan bahwa menjadi pedagang itu terpapar risiko penyimpangan, dosa, dan maksiat saat mereka menjadi pedagang yang cacat attitude, wanprestasi, menyalahi janji dan aturan.

Kelima, hadis Rasulullah SAW, “Sesungguhnya para pedagang akan dibangkitkan di hari kiamat dalam keadaan durhaka, kecuali orang yang bertakwa kepada Allah, berbuat kebajikan dan bersedekah.” (HR Tirmizi dan Ibnu Majah).

  1. Bertani
    Dalam sabda Nabi Muhammad SAW, hasil bercocok tanam yang dimakan manusia ataupun hewan bernilai sedekah bagi orang yang bercocok tanam itu.

عَنْ جَابِرٍ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ دَخَلَ عَلَى أُمِّ مُبَشِّرٍ الْأَنْصَارِيَّةِ فِي نَخْلٍ لَهَا فَقَالَ لَهَا النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ غَرَسَ هَذَا النَّخْلَ أَمُسْلِمٌ أَمْ كَافِرٌ فَقَالَتْ بَلْ مُسْلِمٌ فَقَالَ لَا يَغْرِسُ مُسْلِمٌ غَرْسًا وَلَا يَزْرَعُ زَرْعًا فَيَأْكُلَ مِنْهُ إِنْسَانٌ وَلَا دَابَّةٌ وَلَا شَيْءٌ إِلَّا كَانَتْ لَهُ صَدَقَةٌ

Dari Jabir bin Abdullah RA, Nabi Muhammad SAW menemui Ummu Mubasyir Al Anshariyah di kebun kurma miliknya. Lantas Nabi Muhammad SAW bersabda kepadanya, “Siapakah yang menanam pohon kurma ini? Apakah ia seorang Muslim atau kafir? Ummu Mubasyir Al Anshariyah menjawab, “Seorang Muslim.”

Nabi Muhammad SAW bersabda, “Tidaklah seorang Muslim yang menanam pohon atau menanam tanaman (bercocok tanam) lalu tanaman tersebut dimakan oleh manusia, binatang melata atau sesuatu yang lain kecuali hal itu bernilai sedekah untuknya.” (HR Muslim)

عَنْ جَابِرٍ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَا مِنْ مُسْلِمٍ يَغْرِسُ غَرْسًا إِلَّا كَانَ مَا أُكِلَ مِنْهُ لَهُ صَدَقَةً وَمَا سُرِقَ مِنْهُ لَهُ صَدَقَةٌ وَمَا أَكَلَ السَّبُعُ مِنْهُ فَهُوَ لَهُ صَدَقَةٌ وَمَا أَكَلَتْ الطَّيْرُ فَهُوَ لَهُ صَدَقَةٌ وَلَا يَرْزَؤُهُ أَحَدٌ إِلَّا كَانَ لَهُ صَدَقَةٌ

Diriwayatkan dari Jabir bin Abdullah RA, Rasulullah SAW bersabda, “Tidaklah seorang Muslim yang bercocok tanam, kecuali setiap tanamannya yang dimakannya bernilai sedekah baginya, apa yang dicuri orang darinya menjadi sedekah baginya, apa yang dimakan binatang liar menjadi sedekah baginya, apa yang dimakan burung menjadi sedekah baginya, dan tidaklah seseorang mengambil darinya melainkah itu menjadi sedekah baginya.” (HR Muslim)

Meninjau hadits ini, Ibnu Hajar Al-‘Asqallani dalam Fathul Bari jilid V, halaman 4, menyatakan bahwa bertani dan menanam tumbuh-tumbuhan akan menuai pahala jariyah, bahkan ketika pohon tersebut berpindah kepemilikan, beliau menyebutkan:
أن أجر ذلك يستمر ما دام الغرس أو الزرع مأكولا منه ولو مات زارعه أو غارسه ولو انتقل ملكه إلى غيره
Artinya, “Pahalanya tetap ada selama tanaman atau hasil panen tersebut dimakan, meskipun penanam atau petaninya telah meninggal dunia, walaupun kepemilikannya berpindah kepada orang lain.” Senada dengan Ibnu Hajar, Al-Walawi dalam Al-Bahruts Tsajjaj syarh Muslim menegaskan:
حصول الأجر للغارس والزارع، وإن لم يقصدا ذلك، حتى لو غَرَس، وباعه، أو زرع وباعه، كان له بذلك صدقة؛ لتوسعته على الناس في أقواتهم، كما ورد الأجر للجالب، وإن كان يفعله للتجارة والاكتساب
Artinya, “Pahala diperoleh bagi yang menanam dan yang menggarap pertanian, meskipun tanpa sengaja. Sekalipun dia menanam atau bertani kemudian menjualnya, maka itu menjadi sedekah baginya sebab apa yang ia tanam menjadi penghidupan masyarakat. Begitupun bagi si pembawa hasil panen ada pahala, meskipun aktivitasnya ditujukan untuk berdagang dan mendapatkan penghasilan.” (Al-Walawi, Al-Bahrul Muhith ats-Tsajjaj, [Dar Ibnil Jauzi, 1436], jilid 27, hal. 314).
Memilih profesi sebagai petani dahulu kala menurut para ahli fiqih adalah pekerjaan terbaik yang dapat dipilih kaum muslimin. Alasannya adalah dengan pertanian, manfaat yang dituai sangat meluas karena berkaitan dengan hajat orang banyak dan kebutuhan pokok manusia, yaitu makan. Selain itu, dengan profesi sebagai petani, seseorang akan lebih dekat kepada sifat dan sikap tawakal kepada Allah, dibanding dengan pekerjaan lainnya. Barangkali, rasionalisasi dari kedekatan pada ketawakalan ini dimaknai dengan hasilnya yang dapat dimakan sendiri tanpa harus ia bersusah payah untuk mencari penghidupan lainnya. Syekh Zakariya Al-Anshari dalam Asnal Mathalib menyebutkan:
أَفْضَلُ ما أَكَلَتْ منه كَسْبُكَ من زِرَاعَةٍ لِأَنَّهَا أَقْرَبُ إلَى التَّوَكُّلِ وَلِأَنَّهَا أَعَمُّ نَفْعًا وَلِأَنَّ الْحَاجَةَ إلَيْهَا أَعَمُّ
Artinya, “Makanan terbaik yang ia konsumsi yaitu yang bersumber dari [profesi dalam sektor] pertanian, karena lebih mendekati sifat tawakal, juga manfaatnya lebih luas, begitupun kebutuhan [pada hasil pertanian] lebih banyak.” (Zakariya Al-Anshari, Asnal Mathalib fi Syarh Raudhith Thalib, [Beirut: Darul Kutub al-‘Ilmiyyah, 2000], jilid I, halaman 569).
Menurut para ahli fiqih bercocok tanam atau mendalam profesi di sektor pertanian merupakan salah satu pekerjaan terbaik selain berdagang dan memproduksi barang.Hal ini diperkuat dengan keterangan An-Nawawi dalam kutipannya atas pendapat Al-Mawardi:
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ أُصُولُ المكاسب الزارعة وَالتِّجَارَةُ وَالصَّنْعَةُ وَأَيُّهَا أَطْيَبُ فِيهِ ثَلَاثَةُ مَذَاهِبَ لِلنَّاسِ (أَشْبَهُهَا) بِمَذْهَبِ الشَّافِعِيِّ أَنَّ التِّجَارَةَ أَطْيَبُ قَالَ وَالْأَشْبَهُ عِنْدِي أَنَّ الزِّرَاعَةَ أَطْيَبُ لِأَنَّهَا أَقْرَبُ إلَى التَّوَكُّلِ
Artinya, “Al-Mawardi berkata: “Pangkal penghasilan manusia adalah pertanian, perdagangan, dan produksi. Manakah yang terbaik di antara tiga profesi tersebut? Pendapat Al-Asyhbah dalam Mazhab Syafi’i bahwa berdagang adalah profesi terbaik, sedangkan menurutku bertani adalah profesi terbaik karena lebih dekat pada sifat tawakal.” (An-Nawawi, Al-Majmu’ Syarhul Muhadzdzab, [Beirut: Darul Fikr,], jilid IX, halaman 59).
Dengan demikian, Islam memandang bertani dan pekerjaan dalam sektor pertanian sangat mulia dan dianjurkan, di saat regenerasi anak muda dalam sektor ini kian menurun jumlah peminatnya. Wallahu a’lam.

Di dalam kitab al-Halal wa al-Haram fi al-Islam, Syekh Yusuf Qaradhawi menyebutkan bahwa Allah telah menyiapkan bumi untuk tumbuh-tumbuhan dan penghasilan. Oleh karena itu Allah menjadikan bumi itu dzalul (mudah dijelajajahi) dan bisath (hamparan) di mana hal tersebut merupakan nikmat yang harus diingat dan disyukuri. Allah swt berfirman;

وَاللهُ جَعَلَ لَكُمُ الْأَرْضَ بِسَاطًا (19) لِتَسْلُكُوا مِنْهَا سُبُلًا فِجَاجًا 20

“Dan Allah menjadikan bumi untukmu sebagai hamparan. Agar kamu dapat pergi kian kemari di jalan-jalan yang luas. (QS. Nuh [71]: 19-20)

وَالْأَرْضَ وَضَعَهَا لِلْأَنَامِ (10) فِيهَا فَاكِهَةٌ وَالنَّخْلُ ذَاتُ الْأَكْمَامِ (11) وَالْحَبُّ ذُو الْعَصْفِ وَالرَّيْحَانُ (12) فَبِأَيِّ آلَاءِ رَبِّكُمَا تُكَذِّبَانِ (13)

“Dan bumi telah dibentangkan-Nya untuk makhluk(-Nya). Di dalamnya ada buah-buahan dan pohon kurma yang mempunyai kelopak mayang. Dan biji-bijian yang berkulit dan bunga-bunga yang harum baunya. Maka nikmat Tuhanmu yang manakah yang kamu dustakan? (QS. Ar-Rahman [55]: 10-13)

Selain bumi, Allah juga memudahkan adanya baik baik dari langit maupun bumi. Dari langit Allah turunkan hujan sedang dari bumi Allah alirkan sungai-sungai yang kemudian bisa menghidupkan bumi.

وَهُوَ الَّذِي أَنْزَلَ مِنَ السَّمَاءِ مَاءً فَأَخْرَجْنَا بِهِ نَبَاتَ كُلِّ شَيْءٍ فَأَخْرَجْنَا مِنْهُ خَضِرًا نُخْرِجُ مِنْهُ حَبًّا مُتَرَاكِبًا

“Dan Dialah yang menurunkan air dan langit, lalu Kami tumbuhkan dengan air itu segala macam tumbuh-tumbuhan, maka Kami keluarkan dari tumbuh-tumbuhan itu tanaman yang menghijau, Kami keluarkan dari tanaman yang menghijau itu butir yang banyak. (QS. Al-An’am [6]: 99)

Lalu Allah meniupkan angin sebagai kabar gembira yang mampu menggiring awan dan mengawinkan tumbuh-tumbuhan. Dalam hal ini Allah berfirman;

وَالْأَرْضَ مَدَدْنَاهَا وَأَلْقَيْنَا فِيهَا رَوَاسِيَ وَأَنْبَتْنَا فِيهَا مِنْ كُلِّ شَيْءٍ مَوْزُونٍ (19) وَجَعَلْنَا لَكُمْ فِيهَا مَعَايِشَ وَمَنْ لَسْتُمْ لَهُ بِرَازِقِينَ (20) وَإِنْ مِنْ شَيْءٍ إِلَّا عِنْدَنَا خَزَائِنُهُ وَمَا نُنَزِّلُهُ إِلَّا بِقَدَرٍ مَعْلُومٍ (21) وَأَرْسَلْنَا الرِّيَاحَ لَوَاقِحَ فَأَنْزَلْنَا مِنَ السَّمَاءِ مَاءً فَأَسْقَيْنَاكُمُوهُ وَمَا أَنْتُمْ لَهُ بِخَازِنِينَ (22)

“Dan Kami telah menghamparkan bumi dan Kami pancangkan padanya gunung-gunung serta Kami tumbuhkan di sana segala sesuatu menurut ukuran. Dan Kami telah menjadikan padanya sumber-sumber kehiudupan untuk keperluanmu, dan (Kami ciptakan pula) makhluk-makhluk yang bukan kamu pemberi rezekinya. Dan tidak ada sesuatu pun, melainkan pada sisi Kamilah khazanahnya; Kami tidak menurunkannya melainkan dengan ukuran tertentu. Dan kami telah meniupkan angin untuk mengawinkan dan Kami turunkan hujan dari langit, lalu Kami beri minum kamu dengan (air) itu, dan bukanlah kamu yang menyimpannya (QS. Al-hijr [5]: 19-22)

Ayat-ayat di atas merupakan peringatan dari Allah untuk manusia atas nikmat bercocok tanam dan Allah telah mudahkan alat-alat atau keperluannya. Rasulullah saw pun bersabda;

مَا مِنْ مُسْلِمٍ يَغْرِسُ غَرْسًا أَوْ يَزْرَعُ زَرْعًا فَيَأْكُلُ مِنْهُ طَيْرٌ أَوْ إِنْسَانٌ أَوْ بَهِيمَةٌ إِلَّا كَانَ لَهُ بِهِ صَدَقَةٌ رواه البخاري

“Tidaklah seorang muslim yang menanam tanaman atau bertani kemudian burung, manusia atau pun binatang ternak memakan hasilnya, kecuali semua itu merupakan sedekah baginya. (HR. Bukhari)

Hadis tersebut menjelaskan bahwa selama hasil tanamannya dimakan oleh burung atau hewan ternak atau dimanfaatkan oleh manusia maka pahala tersebut tetap terus mengalir kepada pemiliknya meskipun ia telah meninggal atau tanamannya berpindah kepemilikan.

Pentingnya kedudukan petani ini telah disadari oleh ulama-ulama Islam termasuk ulama NU. K.H. Hasyim As’ari telah menulis tentang pentingnya bercocok tanam dan kedudukan kaum tani. Tercatat tulisan beliau yang dimuat dalam Majalah Soeara Moeslimin, No. 2 Tahun ke-2, 19 Muharom 1363 atau 14 Januari 1944 membahas pertanian secara singkat. Bagi Kiai Hasyim, pertanian tidaklah berdiri sendiri. Berbagai paparan yang beliau kutip dari al-Qur’an, al-Hadits, dan kitab-kitab klasik menunjukkan bagaimana pertanian mendapat perhatian yang sangat penting dalam ajaran Islam.

Leave a comment