Sahkah shalat fardhu di belakang orang yang shalat sunnah?


Mazhab Syafi’iyyah mengatakan sah. Dalilnya adalah hadits Muadz bin Jabal ra. Ia shalat bersama Nabi Saw. Kemudian ia pulang menuju kaumnya dan shalat bersama mereka sebagai imam. Ulama Syafi’iyyah menyimpulkan bahwa shalat Muadz bersama Nabi Saw adalah fardhu. Sementara shalatnya bersama kaumnya adalah sunnah, dan ia bertindak sebagai imam.

Akan tetapi Mazhab Hanafiyyah dan Malikiyyah mengatakan tidak sah. Kenapa? Pertama, hadits shahih yang sangat populer :

إنما جعل الإمام ليؤتم به فلا تختلفوا عليه

“Imam itu dijadikan untuk diikuti. Maka jangan kalian berbeda dengannya.”

Kalau makmum shalat fardhu sementara imamnya shalat sunnah, bukankah mereka sudah berbeda dalam rukun yang paling penting, yaitu niat?

Kedua, hadits Abu Hurairah ra yang diriwayatkan Abu Dawud :

الإمام ضامن
“Imam itu menjamin.”

Artinya, shalat imam sudah mencakup dan menjamin shalat makmum. Jaminan dalam hal ini berlaku untuk sesuatu yang di bawahnya, bukan di atasnya. Jelas shalat fardhu di atas dari shalat sunnah. Karena itu ulama sepakat bahwa shalat sunnah di belakang orang yang shalat fardhu adalah sah. Adapun sebaliknya, shalat fardhu di belakang orang yang shalat sunnah, ini yang menjadi khilafiyyah. Di samping itu cukup banyak perbedaan yang bersifat esensial antara shalat fardhu dengan shalat sunnah.

Kalau begitu, bagaimana dengan hadits Muadz? Bukankah itu jelas bahwa Muadz shalat lagi bersama kaumnya setelah ia shalat bersama Nabi Saw?

Kalangan Hanafiyyah dan Malikiyyah mengatakan, shalat yang dilakukan oleh Muadz bersama kaumnya itulah shalat fardhu. Sementara shalat yang ia lakukan bersama Nabi Saw adalah dengan niat nafilah (sunnah). Kenapa demikian? Karena Nabi Saw yang memerintahkan Muadz untuk mengimami kaumnya. Agar Muadz tidak ketinggalan fadhilah shalat bersama Nabi, ia juga ikut shalat sebagai makmum sambil belajar dan mengamati cara shalat Nabi Saw.

Kita kembali kepada Syafi’iyyah yang membolehkan orang yang shalat fardhu mengikuti (berimam kepada) orang yang shalat sunnah.

Bukankah hadits shahih di atas menegaskan bahwa imam itu untuk diikuti dan makmum tidak boleh berbeda dengan imam?

Benar. Namun, menurut Syafi’iyyah maksud dari “Jangan kalian (makmum) berbeda dengannya (imam)” adalah jangan berbeda dalam gerakan shalat. Ketika imam sudah rukuk maka makmum mesti segera rukuk, tidak boleh terus berdiri. Ketika imam sujud maka makmum harus segera sujud, dan seterusnya.

Manakah pendapat yang lebih kuat?

Kalau sudah sampai pada pertanyaan ini berarti kita akan masuk ke dalam wilayah tarjih. Untuk melakukan tarjih tidaklah semudah yang dibayangkan, seperti yang dilakukan oleh penulis; setelah ia menjabarkan berbagai pendapat ulama, ia menutupnya dengan kalimat seperti :

الراجح هو الرأي الثاني لقوة أدلته

“Yang rajih adalah pendapat kedua karena dalil yang digunakan kuat.”


Ini penggalan kajian yang kami lakukan malam tadi di Masjid Nurul Huda Silaing Bawah Padang Panjang, masjid yang kini tengah ramai dibicarakan karena pelayanannya yang bagus pada jamaah dan musafir.

Jamaah yang ikut kajian dibagikan kitab Ihkam al-Ahkam yang hadits-haditsnya sudah diterjemahkan. Rata-rata usia mereka 40 tahun ke atas. Tapi yang sangat menggembirakan, mereka tampak bersemangat meski usia mereka sudah terbilang lanjut.

Ini salah satu cara kita meningkatkan al-wa’yu (kesadaran), pemahaman dan wawasan masyarakat dalam masalah agama. Sekaligus membuka mata mereka bahwa perbedaan itu sesuatu yang tak bisa dihindari, dan bahwa perbedaan itu akan tampak indah dan berbuah manis jika diracik oleh tangan-tangan terampil yang memiliki kompetensi tinggi.

Kajian yang dilakukan langsung setelah shalat Maghrib ini, terpaksa ‘dihentikan’ pada pukul 20.00 karena jamaah musafir sudah menunggu untuk shalat Isya, meskipun jamaah yang mengikuti kajian masih tetap ingin bertanya dan berdiskusi dengan penuh antusias.

اللهم علمنا ما ينفعنا وانفعنا بما علمتنا

[YJ]

Leave a comment