Berdakwah Menyingsingkan Ujung Celana


FOTO: meiwentyr.co.cc

Pengalaman seorang dai yang suka menelusuri gang-gang sempit dan membina anak-anak Nias. Kini, kegiatan dakwahnya merupakan jalan hidupnya.

Dari rumah petak sederhana yang terletak di belakang SDN 26 Anduriang kota Padang itu, setiap hari Dahlan menapaki sebuah gang sempit sejauh 800 meter hingga sampai di pinggir jalan raya. Lalu, ia menyetop angkot menuju medan dakwahnya.

Begitulah keseharian Muhammad Dahlan Gulo (34), seorang dai yang secara rutin mengisi pengajian di majelis taklim, masjid, mushalla dan surau-surau di kawasan pinggiran kota Padang.

Dakwah satu arah sebagai khatib Hari Raya, khatib Jumat atau berceramah di majelis taklim seperti dilakukan kebanyakan dai perkotaan, hanyalah salah satu saja dari demikian banyak cara berdakwah. Bertahun-tahun Dahlan juga ikut dalam rutinitas dai perkotaan seperti itu. Diundang mengisi pegajian, diantar-jemput dengan kendaraan, dan pulangnya sering disisipi ‘amplop’ pula.

Dakwah juga dapat dilakukan dengan menulis di media massa seperti yang sering dilakukan Dahlan di koran-koran lokal. Tetapi cara lain sering dilaksanakan Dahlan dan tak kalah hasilnya adalah berdakwah secara face to face.

“Alhamdulillah, dengan sering bertatap muka, mendatangi remaja yang suka nongkrong di halte atau petani yang lagi berleha-leha di pondok sawah, banyak yang kemudian menjadi jamaah yang intensif mendalami Islam,” tutur Dahlan.

Dakwahnya yang sejuk dan kerelaannya menyingsingkan ujung celana untuk menapaki gang-gang yang becek, membuat Dahlan mudah diterima di komunitas warga asal pulau Nias yang mayoritas memang non-Muslim.

Di saat banyak dai perkotaan berkhutbah di masjid-masjid megah, Dahlan berdakwah dengan berjalan kaki menyusuri gang sempit mendatangi satu rumah ke rumah lainnya di kawasan permukiman dan bantaran sungai yang mengalir di tengah gemerlapnya kota Padang.

“Alhamdulillah, dengan dakwah face to face ini mereka kemudian menjadi jamaah yang giat mendalami Islam,” ujarnya.

M Ilyas, Ahmad Yani, Hasbullah (Hastugale) adalah di antara pemuda asal Nias binaan Dahlan yang kini tengah giat belajar shalat dan mengaji setelah bersyahadat meninggalkan Kristen dengan kesadaran sendiri.

Selain menggarap mereka yang sudah lama menentap di kota Padang, Dahlan juga sering pulang ke kampungnya di Nias. Ketika kembali ke kota Padang, bersamanya telah turut beberapa anak dan remaja Nias. Mereka kemudian mengucapkan dua kalimah syahadat dan lalu dititipkan Dahlan pada beberapa panti asuhan.

Puncaknya terjadi pasca bencana gempa yang meluluhlantakan Pulau Nias pada 28 Maret 2005 silam. Saat itu, Dahlan seperti berpacu dengan para misionaris dan LSM asing yang sengaja berburu anak-anak Nias.

Saat itu, Allah Subhanahu wa Ta’ala (SWT) memberikan hidayah pada demikian banyak anak-anak Nias yang dirangkul Dahlan. “Bahkan seorang ibu dengan lima anaknya saya boyong ke Padang. Saya tidak tega melihat mereka kelaparan, bahkan ada yang meninggal di tempat pengungsian karena tak pernah tersentuh bantuan BRR Nias,” katanya.

Setiba di kota Padang, ibu Adriat yang berganti nama dengan Siti Fatimah dan kelima anak ini bersyahadat dengan bimbingan buya Masoed Abidin dan mendapat hadiah mukena dari Walikota Fauzi Bahar.

Banyak jamaah yang meneteskan airmata mendengar lafaz syahadatin yang keluar dari mulut mungil kelima bocah kecil itu. Untuk kelanjutan pendidikan dan nafkah para mualaf asal Nias ini, dibukalah rekening di Bank Mandiri Padang, No.Rek. 120 000 5170183 an. Dalizanolo Gulo, S.Ag. Para pemimpin dan masyarakat malam itu berjanji akan mengirimkan bantuan melalui rekening itu.

Tapi setelah acara pensyahadatan yang dihadiri Walikota Padang itu usai, Dahlan dihadapkan pada kenyataan pahit. Rekening itu nyaris tak terisi, hanya sedikit sekali umat yang sudi menyalurkan sedekah, infak dan zakatnya bagi para mualaf dari Nias itu.

Mualaf yang Tabah
Ketika masuk Islam pada 21 Juli 1987, Dali yang kemudian berganti nama menjadi Muhammad Dahlan sudah berikrar akan tawaqal illahah dalam menjalani sepahit apapun kehidupan setelah memeluk Islam. “Awal keterpikatan saya pada Islam setelah mendengar suara adzan dari masjid di kampung tetangga Faekhona’a,” tutur Dahlan.

Benar saja, Allah SWT langsung menguji sang mualaf muda ini. Ayahnya, Bowo Aro Gulo, yang memiliki Jemaat Gereja di desa Faekhona’a Kecamatan Alasa (kini kec. Afu’ulu), Kabupaten Nias, segera saja menghentikan segala bantuannya. Tetapi Dahlan tidak pernah berkecil hati dengan perlakuan ayah dan saudaranya. “Saya dilahirkan di tengah keluarga Kristen pada 13 Mei 1974. Saya anak bungsu dari delapan bersaudara. Sehari setelah melahirkan saya, ibu meninggal. Saya sudah piatu sejak bayi,” ujarnya.

Awalnya, Dahlan mendalami Islam di Pesantren Darul Ulum, Nabundong, Kecamatan Sososopan, Padangsidempuan. Kemudian melanjutkan ke tingkat aliyah di Pesantren Aek Hayuara, Kecamatan Barumuis Tapanuli Selatan hingga tamat tahun 1992.

Pemutusan bantuan oleh orangtua sejak memeluk Islam, melecut Dahlan untuk terbiasa hidup mandiri sejak kecil. Dahlan terus berjuang membanting tulang demi mencari nafkah yang halal. Perasaan sebagai anak yang terbuang dari keluarga setelah memeluk Islam, terus ia tepis. “Ketika berangkat dari kampung, saya hanya punya uang tujuh ratus rupiah saja. Itulah yang saya manfaatkan untuk membeli satu lusin limun yang saya jual keliling pesantren, Rp 100 per botol,” kenangnya.

Dahlan pun pernah menjadi tukang putar mesin disel dan membuat tangannya lecet. Juga pernah bekerja di rumah makan sabagai tukang cuci piring. Pokoknya, tak ada gengsi-gengsian. Apa pun pekerjaannya ia lakukan asal halal.

Setamat aliyah tahun 1992, Dahlan bercita-cita melanjutkan pendidikan ke IAIN Imam Bonjol Padang. Sayang, saat tiba di Padang, jadwal pendaftraan mahasiswa baru telah ditutup. Dalam kegalauan hati antara ingin bertahan di kota Padang atau kembali ke Nias, Dahlan berkenalan dengan Nazar Bakri, pengurus Masjid Taqwa. Nazar memintanya untuk terus bertahan di kota Padang hingga awal tahun ajaran baru dan menyediakan sebuah kamar di rumahnya untuk ditempati Dahlan.

Dahlan mulai menapaki kehidupan di kota Padang dengan mengajar mengaji di TPA Masjid Al-Mukaramah Jati. Ia kemudian bertemu dengan buya Mansur Malik (saat itu Rektor IAIN Imam Bonjol) dan Kepala Perpustakaan Chalid, MS.
yang membutuhkan tenaga pembantu.

“Saya menerima tawaran itu walau honornya cuma Rp 25 ribu per bulan. Saya pikir ini peluang emas karena dengan bekerja di perpustakaan IAIN Imam Bonjol, saya akan berada dalam ‘gudang ilmu’ dan bebas membaca segala buku dengan gratis,” tutur Dahlan.

Berbekal ilmu -karena rajin membaca di perusatakaan- itulah, Dahlan yang biasanya hanya menjadi guru TPA, berani tampil menggantikan seorang khatib Jumat yang tidak datang.

“Kali pertama tampil, mikrofon yang saya pegang bergetar–getar seperti gempa lokal karena tubuh saya bergetar menghadapi jamaah,” kenang Dahlan.

Namun dengan kesungguhan dan niat yang ikhlas, Dahlan terus belajar dan belajar. Hingga akhirnya kini berdakwah sudah menjadi jalan hidupnya. *Dodi Nurja

Suara Hidayatullah, JANUARI 2009

Leave a comment