Perbaiki Sekolah


HARI Rabu, kemarin, saya diminta berbicara di hadapan para guru SMA-SMP Kanisius tentang apa yang harus disikapi untuk membentuk generasi baru. Sebelumnya, saya juga sudah berbicara hal yang sama di SMA Al Izhar, High Scope, dan SMAN 1 Gianyar.

Apa yang menjadi keprihatinan orangtua dan guru? Pertama, mereka ingin mengklarifikasi, benarkah pendidikan di Indonesia adalah yang terberat di dunia? Kedua, mereka ingin mengetahui mengapa anak-anak kita hanya berhenti sampai di level juara olimpiade matematika (dan fisika) saja? Dan ketiga, apa yang harus dilakukan untuk meningkatkan mutu pengajaran dan tingkat keberhasilan anak didik?

Terberat

Meski tidak tahu apakah kita masuk kategori ”ter-”,saya harus menyampaikan bahwa pendidikan dasar dan menengah kita memang berat. Saking beratnya, seorang ketua yayasan pada sebuah pendidikan swasta sempat memeriksa isi tas anak-anak TK dan SD kelas 1 di Jakarta dan ia mengatakan rata-rata seorang bocah kecil membawa beban berupa buku dan alat tulis seberat 2,5 kg.

Selain jumlah pelajaran yang diwajibkan Undang- Undang (UU) Sisdiknas terlalu banyak (16–20), buku-buku pelajaran yang harus dibeli orang tua dari sekolah rata-rata juga terlalu tebal, dengan kualitas isi yang masih perlu dipertanyakan. Pengalaman sebagai orangtua yang membimbing anak sendiri dalam belajar, saya menemukan rumus-rumus yang tidak konsisten dan membingungkan antara halaman yang satu dengan halaman-halaman berikutnya pada buku yang sama.

Sudah begitu, sebagian besar guru ternyata mengaku kesulitan memilih rumus mana yang benar? Jadi rumus yang benar dan salah sering kali sama-sama diajarkan. Tak banyak guru yang menyadari, 80 persen isi sebuah buku intinya hanya berada pada 20 persen dari jumlah halamannya. Akibat ketidaktahuan ini jelas fatal, seluruh isi buku dijejalkan pada kepala anak didik.

Meski dari 16–20 mata pelajaran yang diajarkan di SMU–– seorang tua murid SMK menyebutkan anaknya diberi 28 mata pelajaran –– hanya enam mata pelajaran yang diujikan pada ujian nasional, ke-10 hingga 14 guru pada mata pelajaran lainnya berebut masuk ke dalam otak anak-anak dengan cara yang sama. Mereka semua ingin mata ajarnya berperan sama kuatnya dengan mata pelajaran yang diuji secara nasional.

Lengkaplah sudah penderitaan anak-anak sekolah Indonesia. Semua guru menganggap pelajarannya penting. Sepenting itulah mereka bisa membuat anak tidak naik kelas hanya karena nilai mata pelajaran geografi di bawah enam atau harus mengulang. Ada banyak guru yang beranggapan mengulang berarti bodoh dan nilainya harus di bawah rata-rata murid lain. Kalau rata-ratanya enam, yang mengulang otomatis diberi nilai di bawah enam tanpa diperiksa.

Guru-guru kita masih beranggapan kalau murid ditekan, anak-anak akan menjadi lebih respek, lebih rajin, atau lebih hebat. Padahal itu hanya mencerminkan egonya yang teramat besar dan dapat berakibat buruk bagi setiap anak didik. Mata pelajaran-mata pelajaran yang, maaf, harus saya katakan dapat dibuat lebih relaks dan fun telah diubah menjadi momok yang menakutkan.

Ia dijadikan setara dengan ilmu pasti yang sarat rumus dan padat. Ia berebut perhatian yang sama dengan mata pelajaran–mata pelajaran yang diuji secara nasional. Disajikan terlalu serius dan berakibat hilangnya esensi yang mau dicapai. Untuk mengatasi hal ini, saya menyarankan guru-guru pandai memilih esensi dari sebuah buku dan mulai membuat pelajaran-pelajarannya disampaikan dengan cara yang lebih menyenangkan.

Juara Olimpiade

Ini tentu kabar yang menggembirakan. Meski sering kalah dalam bidang-bidang lain, kita sering menyaksikan anak-anak asuhan Prof Yohannes Surya membawa medali emas olimpiade matematika dan fisika.

Tapi pertanyaannya ke mana setelah itu? Apakah mereka akan mendapatkan hadiah Nobel? Menemukan teori-teori baru? Meski semua itu dicapai dengan kerja keras, harus saya kabarkan bahwa beban ilmu yang kita berikan di sini memang sangat tinggi.

Sekadar Anda ketahui saja, aljabar yang kita pelajari di level SMP di sini ternyata baru diajarkan pada level SMA di negara-negara lain. Bahkan sewaktu saya mengambil program S-3 di Amerika Serikat dan menjadi asisten profesor dengan mengajar di program S-3, saya melihat anak-anak di Amerika Serikat baru mendapatkan diferensial dan integral di tingkat universitas. Kita mengajarkan topik itu bersama dengan topik mengenai matriks sejak di bangku SLTA.

Sering kali saya ingin mengulangi kalimat yang pernah saya sampaikan bahwa saya tidak komplain kalau sampai dengan ilmu yang sangat tinggi itu kita sudah sampai di bulan atau di venus dan bisa membuat otomatis kelas dunia. Kenyataannya ternyata tidak demikian. Untuk menjadi penerima hadiah Nobel atau menjadi ahli matematika yang hebat, anak-anak itu harus memiliki keterampilan menulis yang hebat dan kemampuan mengelola rasa frustrasi yang kuat.

Sayangnya, beberapa sekolah yang sering juara olimpiade malah melarang guru-gurunya mendalami keterampilan menulis. Kalau anak-anak itu hanya jagoan mengolah rumus dan otak kanannya tidak dilatih, mereka juga tidak akan menjadi orang hebat untuk diri mereka sendiri. Mereka akan frustrasi karena tidak ada pengakuan.

Menjadi Manusia Hebat

Akhirnya saya harus menutup tulisan ini dengan mengajak para guru memeriksa kembali, benarkah cara-cara yang ditempuh sekarang akan melahirkan manusia-manusia hebat? Manusia hebat bukanlah manusia yang memperoleh nilai mata pelajaran yang tinggi-tinggi, melainkan manusia berkarakter kuat, dapat dipercaya, mudah diterima, memiliki growth mindset, berjiwa terbuka, dan pandai mengungkapkan isi pikirannya dengan baik. Kalau ini sudah jelas, buat apa membuang waktu sia-sia?

Rhenald Kasali

Ketua Program MM Universitas Indonesia

Leave a comment