Mari, Berpura-pura Tuli


Barangkali kita pernah mendengar tentang seorang tabi’in shalih yang bernama Hatim Al Ashamm (Hatim si tuli). Mengapa ia dijuluki si tuli, padahal pendengarannya normal dan ia bukan seorang tuli. Dikisahkan, suatu hari seorang wanita pernah datang kepada Hatim. Ia bermaksud menanyakan sesuatu kepadanya. Namun ditengah ia mengutarakan pertanyaan, wanita itu tiba-tiba buang angin (kentut) sehingga membuatnya ia sangat malu. Hatim tahu apa yang berada di balik perasaan tamunya. Dia tidak ingin tamunya bertambah malu karena pendengarannya. Karena itu mencoba menutupinya dengan mengatakan, ‘keraskan suaramu’. Ia berkata demikian karena berpura-pura tuli. Akibatnya, wanita itu senang dan tidak salah tingkah. Ia mengira Hatim tidak mendengarnya.

Sejak itu, selama wanita itu masih hidup, hampir lima belas tahun, Hatim berpura-pura memiliki pendengaran yang kurang normal. Sehingga tak ada seorangpun bercerita pada wanita tadi bahwa Hasim tidak tuli. Sesudah wanita tersebut meninggal dunia, barulah Hatim menjawab dengan mudah kepada siapapun yang bertanya kepadanya. Tapi, karena sudah terbiasa dengan perkataan itu, dia selalu berkata kepada setiap orang yang bertanya kepadanya, “Bicaralah dengan keras!” itulah sebabnya dia dipanggil Hatim Al Ashamm (Hatim si tuli).

Saudaraku,
Sebenarnya, apa kunci sikap yang bisa kita teladani dari apa yang dilakukan Hatim Al Ashamm dalam hal ini? Para ulama banyak menyebutnya dengan istilah ”aadaab taghaaful” artinya etika berpura-pura tidak tahu terhadap kekeliruan yang tidak sengaja dilakukan. Sikap mentolerir keterpelesetan orang lain. Sikap membuka ruang memaklumi kesalahan yang tidak direncanakan, apalagi ditutup-tutupi. Tentu bukan kesalahan fatal yang berakibat buruk pada masyarakat luas.

Sikap taghaaful ini, ternyata banyak sekali dipegang oleh para shalihiin terdahulu. Bahkan ketika Fudhail bin Iyadh ditanya tentang etika taghaaful, ia mengatakan beberapa patah kata saja.“Ash shaf-hu ‘an atsaraatil ikhwaan”, katanya. Memberi toleransi terhadap kekeliruan yang tidak disengaja oleh saudara. Itu artinya. Siapa di antara kita yang tidak pernah terpeleset salah? Selama kita berinteraksi dengan orang lain, kita pasti pernah melakukan salah, disengaja maupun tidak. Di sinilah inti perkataan Fudhail, tokoh tabi’in yang begitu dikenal sebagai ahli ibadah, bahwa kita masing-masing kita memang dianjurkan memiliki ruang toleransi terhadap kesalahan yang bisa dilakukan oleh siapapun termasuk diri kita sendiri.

Kesalahan yang tentunya tidak fatal. Kesalahan yang tentu bukan merupakan kekeliruan yang direncanakan dan berulang dilakukan. Kesalahan yang sangat mungkin terjadi dalam situasi tertentu dan bahkan tidak disengaja.Imam Syafi’i rahimahullah mengatakan, ”Terimalah alasan-alasan orang yang datang kepadamu dengan meminta maaf dan menyampaikan alasan. Baik saat itu motif dalam perkataannya benar, atau dia berbohong. Karena sebenarnya engkau tidak tahu sesuatu yang tidak lahir (ghaib). ” Dalam hidup ini, seharusnya, kita memang harus taghaaful dari kesalahan tidak disengaja dan kecil yang terjadi dari orang lain. Lupakan saja perasaan kita yang muncul ketika itu terjadi. Karena sebenarnya, syaitan lah yang selalu membangkitkan ingatan dan menguatkan pikiran terhadap peristiwa yang bisa memunculkan kebencian. Syaithan merasa nikmat menebar benih kebencian dalam diri orang-orang beriman.

Seperti peristiwa tragis yang terjadi di zaman Rasulullah saw, di mana syaithan berhasil mengelabui orang-orang beriman di kalangan Anshar, meniup rasa iri dalam hati mereka terhadap orang-orang Muhajirin. Syaithan membangkitkan ingatan tentang hari-hari sebelum kedatangan kaum Muhajirin. Syaithan memunculkan kembali kekuatan ingatan tentang beberapa sya’ir yang berisi ajakan perang. Syaithan menghadirkan kembali peristiwa perang yang pernah terjadi antar mereka. Sampai-sampai mereka saling menghunus pedang dan siap melakukan pertarungan. Lalu Rasulullah saw bergegas datang ke tengah-tengah mereka seraya mengatakan, ”Apakah kalian mau mengikuti ajakan jahiliyah, sedangkan saya masih ada di antara kalian?” Ini artinya, mengingat-ingat rasa sakit dari kesalahan saudara adalah bagian dari kerja syaithan. Mengingat-ingat luka yang pernah dilakukan dari saudara sesama muslim. Memikirkan terus menerus kesalahan dan keterpelesetan seseorang. Melupakan kebaikan yang dilakukan seseorang. Menghapus semua kebaikan yang pernah dilakukan seseorang. Berlaku tidak seimbang dalam menilai orang. Semuanya merupakan bagian dari usaha syaitan yang termasuk dari seruan jahiliyah.

Mari, tutup celah syaithan mempermainkan hati dan pikiran yang selalu ingin menyuburkan kebencian di antara orang-orang beriman. Mengubur bisikan syaithan yang selalu menggambarkan keburukan orang lain begitu luar biasa, tapi di sisi lain, syaithan juga selalu mengecilkan kesalahan yang dilakukan diri sendiri, meski kesalahan itu berulangkali kita lakukan.

Betapa indahnya bila kita berusaha hidupkan kembali etika taghaaful. Berpura-pura tidak mengetahui ketergelinciran yang mungkin dilakukan saudara. Menerima alasan dan permohonan maafnya bila ia mengajukan alasan dan maaf. Mengangkat sisi kebaikannya, tidak hanya keburukannya semata.

Seperti hati halusnya Atha bin Rabah, seorang ulama dan ahli hadits. Seseorang pernah datang kepadanya dan menyampaikan sebuah hadits Rasulullah saw. Atha bin Rabah rahimahullah diam dan mendengarkan hadits itu dengan baik, seolah ia belum pernah mendengarnya kecuali dari mulut pemuda itu. Padahal, hadits itu sudah dihafal dan didengarnya, sejak sebelum pemuda itu lahir. (Tarikh Madinah Dimasyq, 4/104)

Leave a comment