Banyaknya hafalan dan luasnya bacaan bukan ukuran kealiman seseorang


Banyaknya hafalan dan luasnya bacaan bukan ukuran kealiman seseorang (memahami makna fiqh fiddin)

Beberapa permasalahan yang kita ketahui hari ini, jangankan dihafal, bahkan tidak pernah diketahui dan didengar oleh imam hanafi atau imam syafii, beberapa buku yang kita baca hari ini, tidak pernah dibaca oleh mereka. Tapi apa yang membuat mereka dikatakan lebih alim dari seluruh orang yang datang setelahnya? Jawabannya adalah “Kemampuan menganalisis dengan muntalaq syar’i”. Seandainya ada masalah agama sesulit yang sangat sulit hari ini, insyaallah mereka mampu dengan mudah menjawabnya secara ilmiyah dengan mudah.

Kalau kata syeikh anas syarfawi “seandainya ada permasalahan syar’i hari ini yang mengharuskan para ulama seluruh dunia berkumpul dan membuat ijtima besar untuk menyelesaikannya, maka imam abu hanifah bisa menyelesaikannya dengan benar hanya sambil tiduran”, jadi dalam dunia islam, tingginya ilmu seseorang itu bukan diukur dari banyaknya informasi atau maklumat yang didapat, tapi kemampuan memakai pisau “qawaid ilmiyah” dengan benar dalam menyelesaikan permasalahan, dan dalam ilmu apapun dan terkhusus ilmu agama

Hal seperti ini tidak mungkin dilakukan kecuali jika dia dibimbing langsung oleh kibar, karena kibar ulama inilah yang akan melihat perkembangan seorang mulai dari cara dia mengumpulkan data ilmiyah, kemudian menganalisisnya, serta mengambil kesimpulannya, bahkan dalam beberapa kesimpulan yang kadang bisa berbeda dengan sang guru, karena beberapa masalah agama itu zhanniyah, tapi yang dibimbing dan dinilai adalah kemampuan memakai pisau “qawaid ilmiyah” itulah yang diasah dan dibimbing oleh guru

Sang guru akan terus membimbing dan memantau kekonsistenan murid dalam memakai pisau ilmiyah itu dengan benar dalam menganalisis ribuan maklumat yang dia dapatkan dari makin luasnya buku yang dibaca, atau makin tinggi permasalahan yang dihadapi, atau makin banyaknya pengalaman yang dia dapatkan, atau makin seringnya masalah yang dihadapi. Dan jika dia tetap konsisten sampai level menyelesaikan masalah tingkat muntahin atau masalah terbaru dengan benar, maka saat itulah sang guru melepasnya secara mandiri. Si murid sudah tsiqah atau terpercaya dalam keilmuwan

Itu karena para kibar ulama tau jika tidak mungkin murid selalu bersama mereka, maka membimbingnya sampai mandiri secara ilmiyah adalah tugas guru. Agar setelah sang guru pergi, dia sudah memastikan tongkat estafet keilmuwan telah diberikan pada orang-orang yang tepat, dan fardhu kifayahnya telah dijalankan. Selanjutnya dia akan menjadi teman berfikir sang guru dalam bidang yang dia kuasai. Itu semua karena fokus pendidikan pada menumbuhkan ketajaman nalar seorang murid sampai dilevel para ulama.

Jadi pendidikan didunia Islam khususnya dalam ilmu dirayah yang membutuhkan pemahanan, tingginya level keilmuwan atau kealiman bukan diukur dari banyaknya hafalan atau banyaknya maklumat yang dikumpulkan, tapi dari kekonsistenan penerapan kaidah ilmiyah secara benar dalam menyelesaikan masalah, makanya terkenal kata-kata sebagian ulama pada beberapa orang “ilmunya lebih besar dari akalnya” maksudnya maklumat(data), wawasan, bacaannya, banyak kemampuan dia menganalisis semua data itu lemah

Kelemahan ini akan berefek pada kesalahan mengambil kesimpulan, sehingga dia akan menyampaikan kesimpulan yang bermasalah pada suatu masalah, dan itu berbahaya. Walaupun demikian bukan berarti banyaknya hafalan, banyaknya bacaan, dan banyaknya maklumat tidak penting, hafalan membantu istizhar masalah, luasnya bacaan dan banyaknya maklumat membantu dalam melatih dan mengasah analisis, jadi itu juga penting, jadi hafalan yang dihafal, dan bacaan yang dibaca adalah alat untuk memperkuat tujuan, yaitu pemahaman. Bukan ukuran kealiman.

Hanya saja dalam ilmu dirayah yang berfokus pada pemahaman, maka yang paling perlu difokuskan adalah kemampuan memahami dan menalar suatu masalah dengan benar, sedangkan selebihnya cuma alat yang mempertajam kemampuan itu, sehingga makin tajam penalaran makin alim seseorang. seorang yang memiliki kemampuan itu dinamakan faqih fiddin, dan proses menuju kemampuan itu adalah tafaquh fiddin, fiqqih fiddin adalah kemampuan memahami agama dengan benar, sehingga dia mampu mengajarkan ilmu agama dengan pemahaman yang benar.

Kemampuan “fiqh fiddin” inilah yang dimiliki para mujtahid dahulu dan sekarang, dan tidak ada dari mereka semua yang mendapatkan kemampuan itu semua kecuali atas dasar bimbingan kibar ulama, itu yang membuat mereka dilevel yang berbeda dalam memahami agama, sehingga kita jadikan rujukan ilmiyah, jadi ini bukan tentang banyaknya mengetahui masalah, tapi bagaimana memahami dan menyelesaikannya dengan benar

Makanya saat kita belajar ilmu dirayah sangat penting memperhatikan hal ini, agar tidak ngejar baca kitab ini, atau menyelesaikan kitab itu, tapi fokus pada kemampuan menalar kitab tahap demi tahap, sampai akal nazij(matang), karena kitab hanyalah alat yang mesti dipakai untuk mencapai itu, dimana kita bukan dimasa salaf salih, yang mana dididik langsung oleh nabi atau sahabat, yang mana meski kitab yang ada sedikit tapi mereka semua adalah gunung ilmu yang berjalan

Sehingga mereka mampu mendidik muridnya walaupun tanpa kitab, ini menunjukan bahwa kitab bukan tujuan, tapi alat yang sangat penting, yang hampir mustahil adatan seorang bisa alim tanpa belajar kitab secara berjenjang, adapun tujuannya adalah tafaqquh fiddin untuk mencapai ridha allah, dengan menunaikan salah satu fardhu kifayah paling penting. Jika belajar kitab secara berjenjang, hanya alat dalam bertafaquh fiddin, maka hafalan dan luasnya maklumat juga alat untuk mencapai malakah(kemampuan) fiqh fiddin, kemampuan inilah yang jadi fokusnya, semakin kuat dan tajam malakahnya makin alim seseorang

Jadi banyaknya hafalan dan maklumat tidak menunjukan level keilmuan seseorang, karena bisa jadi orang selevel ibnu abbas atau imam syafii tidak pernah membaca atau mengetahui masalah yang kita ketahui seperti masalah asuransi syariah, masalah hukum bayi tabung, dll itu bukan berarti kita lebih alim dari mereka, karena yang jadi ukuran kealiman adalah jika masalah itu diketahui bagaimana kedalaman analisis mereka dan bagaimana dengan analisis kita. Kemampuan itu membuat mereka bisa menyelesaikan masalah-masalah rumit umat manusia yang berkaitan dengan agama secara benar.

Dan jangan lupakan sayidina ibnu abbas dididik, didoakan, dan diakui langsung oleh Rasulullah saw, jadi bisa dibayangkan level kealiman beliau. Dan para mujtahid tabiin berada dibawah bimbingan beliau dan diakui oleh beliau, betapa hebatnya mereka. Dan makin dekat seorang mujtahid yang diakui dengan nur nubuwah, maka makin luar biasa mereka, jadi jika ada hari ini yang membandingkan kealiman mereka dengan orang jaman sekarang, dengan alasan orang hari ini bisa mendapatkan informasi lebih banyak, kumpulan hadis lebih lengkap, dll bukankah itu tidak tau diri?

Kemampuan menalar sangat berbeda dengan sekedar pengumpulan informasi, fikih fiddin(pemahaman agama) itu tentang pemahaman yang benar pada ajaran agama, bukan sekedar hafalan atau banyaknya informasi. Berbeda dengan ilmu riwayah dimana yang paling penting adalah hafalan dan banyaknya maklumat, tentu keduanya punya fungsi sendiri, tapi fiqih fiddin yang menunjukkan kealiman seorang dalam memahami agama, dan itu hanya bisa dilakukan dengan bimbingan langsung atau suhbah

Makanya dalam biografi para ulama mereka dalam berguru lebih sering menggunakan kata suhbah dari qiraah. Mereka sering mengatakan sahabtu fulan kaza sanah, atau aku mendapampingi beliau sekian tahun, bukan aku membaca pada beliau sekian kitab, itu karena akal itu ditarbiyah dengan suhbah, bukan sekedar membaca, walaupun membaca merupakan salah satu alat untuk mencapainya, tapi suhbah adalah bentuk pendidikan sampai mencapai target yang harus dicapai. Tau apa laqab para murid Rasulullah saw? Sahabat, ya karena mereka bersuhbah dengan rasulullah saw

Ini juga yang menjadi alasan kenapa google atau maktabah syamilah, bahkan AI tidak akan mampu menggantikan seorang faqih, karena mereka tidak punya kemampuan untuk dididik oleh kibar. Pemahaman itu adalah keunikan manusia dan makhluk hidup berakal yang lain, makhluk mati bermodal algoritma dan kemampuan menyimpan data tidak akan bisa mendapatkannya, bahkan jika terlalu sering menggunakannya akan membuat nalar melemah, insyaallah kapan-kapan penjelasan detailnya akan ditulis, kapan? Ya kapan-kapan, begitu kata temanku. hahaha

Leave a comment