KETIKA WAHABI MENETAPKAN JARAK BAGI ALLAH MENGUTIP PERKATAAN AD DARIMI


KETIKA WAHABI MENETAPKAN JARAK BAGI ALLAH MENGUTIP PERKATAAN AD DARIMI

Ridwan :

Padahal jelas, Imam Ad Darimi MENUKIL ungkapan tsb berasal dari Imam Salaf bernama Abdullah bin Mubarak, dari segi sanad maupun matannya telah menyatakan demikian. Antm harusnya membaca dulu secara keseluruhan uraian Imam Ad Darimi di atas, jelas beliau menyatakan bahwa inilah Aqidah Imam Abdullah bin Mubarak yang Benar!

لأن من آمن بأن الله فوق عرشه فوق سمواته علم يقينا أن رأس الجبل أقرب إلى الله من أسفله، وأن السماء السابعة أقرب إلى عرش الله تعالى من السادسة، والسادسة أقرب إليه من الخامسة، ثم كذلك إلى الأرض. كذلك روى إسحاق بن إبراهيم الحنظلي عن ابن المبارك أنه قال: رأس المنارة أقرب إلى الله من أسفله،

وصدق ابن المبارك لأن كل ما كان إلى السماء أقرب كان إلى الله أقرب، وقرب الله إلى جميع خلقه

“….Karena bagi siapa saja yang beriman bahwa Allah di atas ‘Arasy di atas langit-langit, mengetahui dengan yakin bahwa puncak bukit lebih dekat kepada Allah dari bawahnya (kaki bukit), – Bahwasanya langit Ketujuh adalah lebih dekat kepada ‘Arsy Allah dibandingkan langit keenam, langit keenam lebih dekat kepadanya dibandingkan langit kelima dan kemudian demikianlah seterusnya hinggalah ke bumi.

Demikian riwayat Ishaq bin Ibrahim al-Hanzali dari Ibn al-Mubarak, katanya: ‘Puncak Menara lebih dekat kepada Allah dari bawahnya (lantai/tapak menara)’,

Dan IBNUL MUBAROK ADALAH BENAR, karena segala apa yang menuju ke langit adalah lebih dekat kepada Allah. Dan Allah dekat kepada seluruh makhluq-Nya,…”

(Kitab Naqd Al Darimi ‘Ala Bishr Al Marisi).

Terkait istilah “Had” ini sama halnya dengan istilah2 lain spt Jism, ‘Aradh, Jauhar, dll, ini istilah baru dlm Aqidah, tidak ada dalam Al Qur’an, hadits, & Atsar Shahabat. Jikapun ingin menggunakan pun harus dilihat definisi yang digunakan.

Dalam madzhab Hambali istilah “had” memilki 2 makna, sebagaimana yang dijelaskan oleh al-Qadhi Abu Ya’la dalam kitab Ibthal At-Ta’wilat,

ويجب أن يحمل اختلاف كلام أحمد في إثبات الحد على اختلاف حالين، فالموضع الذي قال إنه على العرش بحد معناه : أن ما حاذى العرش من ذاته هو حد له وجهة له والموضع الذي قال هو على العرش بغير حد معناه : ما عدا الجهة المحاذية للعرش، وهي الفوق والخلف والأمام واليمنة واليسرة، وكان الفرق بين جهة التحت المحاذية للعرش وبين غيرها مما ذكرنا ، أن جهة التحت تحاذي العرش بما قد ثبت من الدليل، والعرش محدود، فجاز أن يوصف ما حاذاه من الذات أنه حد وجهة في اليمنة واليسرة والفوق والأمام والخلف إلى غير [14] وليس كذلك فيما عداه، لأنه لا يحاذي ما هو محدود، بل هو مازال غاية، فلهذا لم يوصف واحد من ذلك بالحد والجهة

“Perbedaan perkataan Imam Ahmad mengenai itsbat hadd/batas wajib difahami sebagai dua keadaan yang berbeda. Pada tempat dimana beliau mengatakan bahwa Allah di atas Arsy dengan batas maka maknanya adalah : “Apa yang bersejajaran dengan Arsy dari dzat-Nya merupakan batas dan jihah/arah bagi-Nya”. Sedangkan pada tempat dimana Imam Ahmad mengatakan bahwa Allah di atas Arsy tanpa batas, maka maknanya adalah untuk selain arah yang bersejajaran dengan Arsy yaitu depan, belakang, depan, kanan dan kiri. Perbedaan antara arah bawah yang bersejajaran dengan Arsy dengan arah lainnya dari apa yang kami sebutkan adalah : “Sesungguhnya arah bawah yang bersejajaran dengan Aarsy telah ditetapkan oleh Dalil. Dan Arsy itu terbatas (mahdud). Maka boleh untuk menyifati apa yang bersejajaran dengan dzat bahwa ia adalah batas dan arah. Namun tidak demikian untuk selainnya (yaitu selain arah bawah yang bersejajaran dengan Arsy) karena Dia (Allah) tidak bersejajaran dengan yang terbatas. Bahkan Dia secara azali pada arah kanan, kiri, atas, depan dan belakang tanpa berujung. Oleh karena itu tidak ada satupun yang menyifati dari hal tersebut dengan hadd (batas) dan jihah (Arah).” [ Ibthal At-Ta’wilat hlm.598-599 ]

Di sini dapat disimpulkan bahwa istilah “Had” dalam madzhab Hambali bilapun digunakan (yakni Allah memiliki Had) maka ini khusus utk batasan arah ‘Arsy dan Dzat Allah, Allah ada di “arah” atas dari ‘Arsy, tidak ada sesuatu di atas Allah, dan Allah tidak butuh sesuatu yang berada di bawahNya. Adapun bila mengambil pernyataan “Allah tidak memiliki Had” maka maksudnya adl selain arah antara Allah dan ‘Arsy (yaitu depan, belakang, kanan, dan kiri).

Lebih khusus lagi Al Qadhi Abu Ya’la memberikan redaksi khusus terkait Istiwa Allah bahwa Al-Dzat Allah di atas ‘Arsy,

اعلم أن القرآن والأخبار قد جاءا بالاستواء على العرش، والواجب في ذلك إطلاق هذه الصفة من غير تفسير ولا تأويل وأنه استواء الذات على العرش لا على وجه الاتصال والمماسة

“Ketahuilah bahwasanya Al-Qur’an dan khabar-khabar telah datang dengan menyebut istiwa di atas Arsy. Kewajiban dalam hal itu adalah menetapkan sifat tersebut tanpa Tafsir dan tanpa Takwil. Dan sesungguhnya ia adalah istiwa Al-Dzat di atas Arsy, bukan dengan pengertian adanya ketersambungan atau bersentuhan.”

[ Ibthal At-Ta’wilat hlm.591-592 ]

Qultu :

Terkait jarak sudah dibantah oleh Imam Abu Hanifah :

وَلَيْسَ قرب الله تَعَالَى وَلَا بعده من طَرِيق طول الْمسَافَة وقصرها وَلَكِن على معنى الْكَرَامَة والهوان والمطيع قريب مِنْهُ بِلَا كَيفَ والعاصي بعيد مِنْهُ بِلَا كَيفَ

Dekatnya Allah dan jauhnya bukan dengan makna jarak panjang dan pendek, akan tetapi berdasarkan makna kemuliaan dan kehinaan. Orang yang ta’at dekat kepada Allah tanpa kaif, dan pelaku maksiat jauh dari Allah tanpa kaif.

Sumber : Kitab al Fiqhul akbar. 67/1.

Dan kami mengikuti apa yang dikatakan Imam Abu Hanifah.

Jarak mewajibkan had bagi dzat Allah, yang demikian adalah tanda baru. Jika orang di atas menara dikatakan jaraknya lebih dekat kepada Allah, berarti amalan untuk mendekatkan diri kepada Allah (al Qurbah) bukan dengan keta’atan, amal soleh dan ibadah. Tetapi naik ke atas menara. Tidak pernah ditemukan seorang pun dari kaum muslimin yang berlomba lomba naik ke atas menara untuk mendekatkan diri kepada Allah. Mereka mendekatkan diri kepada Allah dengan keta’atan, amal soleh dan ibadah yang disyariatkan. Yang demikian membuktikan dari zaman dahulu umat muslim tidak meyakini ada jarak antara dzat Allah dengan ciptaan Nya.

Sekalipun sohih riwayat dari Ibnul Mubarok tetap tidak berpengaruh, sebab di dalam aqidah tidak boleh taqlid dan tidak boleh ada ketanaqudan.

Allah tidak menetapkan had, karena Allah sendiri yang mengatakan bahwa dzat nya tidak serupa dengan yang baru :

ليس كمثله شيء

Apapun makna had bagi dzat Allah, sama saja, yang demikian adalah tanda baru bagi dzat. Karena dzat Allah tidak ada had dan nihayah ketika mahluk belum diciptakan. Tidak ada batas bawah, tidak ada batas atas, tidak ada batas kanan, tidak ada batas kiri dan tidak ada batas belakang. Tidak ada batasnya dan tidak ada ujungnya. Tidak berada pada satu arah manapun.

Bagaimana bisa orang yang sehat akalnya memiliki keyakinan tidak serupa dengan yang baru tapi memiliki tanda tanda baru ?? Renungkan lah…

Bukan yang baru tapi memiliki tanda tanda baru…

Bisakah orang yang waras memiliki keyakinan seperti itu.??

Seperti perkataan orang lemah akal : Demi tuhan ..saya ateis.

Ateis : Bukan yang percaya adanya tuhan.

Demi tuhan : Tanda mempercayai adanya tuhan.

Bukan yang percaya adanya tuhan tapi memiliki tanda tanda percaya adanya tuhan.

??#@?

Abdurrachman asy Sayfi’iy

Leave a comment