MENAKAR KEJUJURAN KIAI IMADUDDIN


MENAKAR KEJUJURAN KIAI IMAD

Saya, untuk ke sekian kali, dituduh berdusta, berbohong, dan tak jujur. Untuk terakhir, hal itu dilakukan dalam tulisan Kiai Imad di situs resmi Banom NU (RMINU Banten) dengan tajuk: “Menakar Kejujuran Ba ‘Alwi Dan Rumail Abbas”.

Mau dia apa, sebenarnya? 😅

Kalau ada kekeliruan dari saya di Padasuka TV beberapa waktu silam sewaktu dialog dengannya, hanyalah menyebut penelitian Al-Zarkan sebagai “disertasi” (S3), padahal yang benar ialah “tesis” (S2).

Iya, saya memang lupa tentang hal itu.

Dan saya tidak menyebut Al-Syajarah Al-Mubarakah adalah satu-satunya kajian Al-Zarkan dalam tesis itu. Tapi sebelum Ayatullah Syihabuddin Al-Mar’asy mendapati naskahnya di Turki, Al-Zarkan sudah membuat direktori seluruh karangan Fakhr Al-Din Al-Razi, termasuk Bahr Al-Ansab yang kelak diubah judulnya menjadi Al-Syajarah Al-Mubarakah.

Tidak ada keterangan apakah naskah itu sudah dilihat Al-Zarkan, tapi jelas ia telah meneliti dan memasukkannya sebagai kitab yang “diragukan” (masykuk fih) sebagai karangan Fakhr Al-Din Al-Razi.

Tentu saja penelitian Al-Zarkan lebih beradab dan layak disebut “tesis” karena telah diuji oleh sarjanawan dan sejarawan daripada penelitian pincang Kiai Imad yang cuma dibungkusi baju ilmiah belaka.

Banyak yang bisa saya jawab dari tulisan Kiai Imad, tapi saya memilih yang paling penting dulu, yaitu: tuduhan Al-Jauhar Al-Syafaf seolah-olah tidak orisinil, ditulis orang yang majhul, dan saya terjebak dalam skandal ilmiah.

Kenapa Al-Jauhar Al-Syafaf saya ajukan lebih dulu?

Sampai sekarang saya masih mendapati kreator konten menginsinuasi Sayid Ali bin Abi Bakr Al-Sakran sebagai “pendusta” yang memperkenalkan nasab Baalawi sebagai Sadah lewat pengenalan “Ubaidillah bin Ahmad” (tuduhan ini jelas keji dan tidak berdasarkan bukti).

Untuk alasan itulah saya mencari naskah Al-Jauhar Al-Syafaf yang ditulis Al-Khatib, menemukan tiga versinya (nanti akan saya tunjukkan dua versi saja, ya), hanya untuk menepis tuduhan yang selalu diulang-ulang oleh Pro-Pembatal Baalawi tentang Sayid Ali.

Naskah ini ditulis tahun 820 Hijriyah, kala Sayid Ali berumur dua tahun, dan sudah menulis “Ubaidillah” sebagai anak dari Imam Ahmad ibn Isa. Persis, Ubaidillah yang ditulis, bukan Abdullah.

Bukankah ini jadi bukti historis dan faktual bahwa tuduhan atas Sayid Ali di atas hanya tuduhan keji belaka? Semoga Allah menggerakkan hati mereka (termasuk Kiai Imad) untuk mengakuinya.

Tambahan:
“Al-Sakran” (Yang Mabuk) itu julukan ayahanda Sayid Ali (penulis kitab Al-Barqah Al-Musyiqah), yaitu Imam Abu Bakr Al-Sakran bin Abd A-Rahman Assegaf. Jadi memanggil “Ali Al-Sakran” itu jelas keliru, karena bukan itu julukannya.

Saya meneliti naskah itu berdasarkan konfrontasi teks di dalamnya (disebut kritik konten) dari masing-masing naskah, sambil memvalidasi teks di dalamnya berdasarkan sarjanawan yang mengutipnya sebagai referensi, salah satunya ialah: Qiladat Al-Nahr.

Logika sederhana:

Untuk mengetahui bahwa Kiai Imad “diam-diam” mengubah tulisan Mufti Yaman (supaya tidak ketahuan berbohong) ialah dengan cara menonton kreator konten yang me-react tulisannya sebelum diubah (seperti kanal Adha Official) atau situs-situs yang menulis ulang tulisan “Mufti Taman” (eh, Yaman).

Dari video kreator konten yang me-react dan dari situs-situs yang menulis ulang tulisannya di RMINU Banten, saya bisa tahu kalau Kiai Imad telah memanipulasi dan menginterpolasi kedustaannya, sekaligus bisa menakar kejujuran dan integritasnya, doooong?

😊

Lanjut…

Kitab Qiladat Al-Nahr ditulis Muhammad Thayyib Bamakhramah (non-Baalawi), di-tahqiq dua orang non-Baalawi (Bu-Jum’ah Mukri & Khalid Zawari), dan diterbitkan perusahaan yang dimiliki non-Baalawi.

Dari penulis hingga naskah manuskrip maupun cetak modern, tidak ada campur tangan Baalawi sama sekali, dan artinya ini sumber eksternal.

Saat Al-Khatib wafat pada tahun 855 H., selang 15 tahun kemudian Bamakhramah lahir ke dunia. Sekitar tahun 927 H., ia merampungkan Qiladat Al-Nahr dengan mengutip banyak kitab, salah satunya ialah karangan Al-Khatib yang berjudul Al-Jauhar Al-Syafaf.

Artinya Bamakhramah itu sarjanawan yang mendekati Al-Khatib, dan mengutip Al-Jauhar Al-Syafaf berdasarkan naskah orisinil dan mendekati masa penulisnya.

Saya memiliki lima versi naskah Qiladat Al-Nahr, dan salah satu yang saya yakini dimiliki pula oleh Kiai Imad (sepertinya versi lain tak punya karena malas mencari dan mengandalkan internet saja) ialah salinan tahun 1001 Hijriyah.

Naskah salinan itu ditulis oleh Yahya bin Ahmad Al-Sha’dy, yang diklasifikasi Perpustakaan Sulaimani di Turki dengan nomor indeks 883 sejumlah 604 halaman. Dan naskah Al-Sha’dy disalin ulang berdasarkan draft asli yang ditulis Al-Khatib sendiri namun belum sempat ia bikin jilidan rapi (tabyidl). Artinya, ia menulis salinan yang orisinil.

Kata Kiai Imad, Qiladat Al-Nahr tidak menulis redaksi Al-Jauhar Al-Syafaf. Dia mencontohkan salah satu sampel, dimana ada dua tanda kurung “(-)” yang berisi kutipan Al-Jauhar Al-Syafaf namun di dalam versi manuskrip tidak ada.

Benarkah analisa dari satu sampel saja ini berhasil merontokkan validasi Qiladat Al-Nahr atas Al-Jauhar Al-Syafaf?

Saya beri sampel satu halaman dalam Al-Jauhar Al-Syafaf, saya berikan perbandingan versi cetak modern dan versi manuskrip 1001 H., kemudian saya tunjukkan dua naskah Al-Jauhar Al-Syafaf versi yang dimiliki Kiai Imad dan yang tidak ia miliki (kecuali membeli langsung di perpustakaan yang memilikinya di Tarim dan Kuwait).

Gambar-1:
Perbandingan redaksi versi cetak dan versi manuskrip sama persis. Tanda kurung “(-)” yang disangka tidak mencantumkan redaksi Al-Jauhar Al-Syafaf terbukti tertulis utuh di dalam manuskrip Qiladat Al-Nahr.

Gambar-2:
Kutipan Qiladat Al-Nahr atas Al-Jauhar Al-Syafaf untuk nomor indeks 4007, Alwi bin Ahmad bin Al-Faqih Al-Muqaddam sama persis dengan dua versi Al-Jauhar Al-Syafaf.

Gambar-3:
Kutipan Qiladat Al-Nahr atas Al-Jauhar Al-Syafaf untuk nomor indeks 4008, Muhammad bin Ahmad bin Al-Faqih Al-Muqaddam sama persis dengan dua versi Al-Jauhar Al-Syafaf.

Kesimpulan:
Mengira Al-Jauhar Al-Syafaf tidak orisinil ditulis oleh Al-Khatib adalah kekeliruan. Naskah manuskrip yang terbaru sekalipun ternyata sesuai dengan versi yang paling tua. Dan kutipan orang yang mendekati penulisnya memperkuat isi naskah Al-Jauhar Al-Syafaf versi manapun selama mirip dan identik.

Untuk memudahkan pembaca, saya sudah buatkan highlight warna kuning supaya diketahui siapakah yang sering menuduh tanpa modal, tapi tidak pernah mengakui kekeliruannya sama sekali; saya ataukah Kiai Banten asal Kresek itu?

Salam,
Rumail Abbas

NB: Saya berani bertaruh naskah Al-Jauhar Al-Syafaf yang saya miliki lebih tua daripada versi bajakan yang dimiliki Kiai Imad, kok~

Terakhir, saya dituduh tidak bisa baca kitab kuning. Tidak apa-apa. Habib Luthfi saja berani ia tuduh begitu, apalagi saya. Yo ra, Bib Habib Ali Baqir al-Saqqaf?

😊

Leave a comment