Halusinasi Salafi Wahabi Tentang Aqidah Imam Syafii dan Imam Asy’ari


Ada sebagian orang, tepatnya bersumber dari kaum Wahabi, mengatakan bahwa al-Imâm Abul Hasan melewati tiga fase faham (ajaran) dalam hidupnya. Pertama; fase faham Mu’tazilah. Dua; fase mengikuti faham Abdullah ibn Sa’id ibn Kullab. Dan ke tiga; fase kembali kepada faham Salaf dan Ahlussunnah Wal Jama’ah. Mereka mengatakan bahwa di akhir hidupnya hingga wafat, al-Asy’ari kembali kepada ajaran Salaf. Fase ke tiga ini menurut mereka al-Asy’ari telah benar-benar menjadi seorang yang berfaham Ahlussunnah.

Lanjutan tuduhan mereka ini kemudian mengatakan bahwa kaum Asy’ariyyah (para pengikut al-Imâm Abul Hasan) mengikuti al-Imâm Abul Hasan hanya dalam fase kedua dari fahamnya, yaitu fase mengikuti faham Abdullah ibn Sa’id ibn Kullab. Kaum Asy’ariyyah tidak mengikuti al-Asy’ari di fase ke tiga. Karena itu, menurut mereka, kaum Asy’ariyyah ini tidak layak disebut Ahlussunnah Wal Jama’ah. Tuduhan ini banyak disebarkan dalam berbagai tulisan orang-orang Wahabi.

Tuduhan ini sangat mengelitik, dan patut kita kritisi. Ada banyak kemugkinan latar belakang timbulnya kesimpulan pembagian faham al-Asy’ari kepada tiga bagian di atas, sebagai berikut;

(Pertama); Tujuan utama faham pembagian fase tersebut adalah untuk menetapkan tuduhan bahwa kaum Asy’ariyyah adalah orang-orang sesat, bukan Ahlussunnah, para pengikut faham Mu’tazilah; atau dalam istilah mereka Afrakh al-Mu’tazilah (cicit-cicit Mu’tazilah), dan berbagai tuduhan lainnya.

(Dua); Mereka hendak menetapkan bahwa al-Imâm Abul Hasan al-Asy’ari sepaham dengan mereka. Yaitu, –menurut mereka– berfaham Salaf [ala Wahabi]; sangat anti takwil dalam memahami teks-teks mutasyabihat. Sementara kaum Asy’ariyyah menurut mereka tidak sepaham dengan Imam mereka sendiri. Kesimpulannya; al-Imâm Abul Hasan lurus, di atas kebenaran. Sementara kaum Asy’ariyyah; sesat, bukan Ahlussunnah dan bukan di atas ajaran Salaf, bahkan mereka adalah orang-orang kafir. Alasannya; karena kaum Asy’ariyyah telah memberlakukan takwil terhadap teks-teks mutasyabihat.

(Tiga); Mereka hendak menyebarkan faham tasybih dan faham anti takwil, yang mereka bungkus dengan nama ajaran Salaf. Untuk itu mereka berani mereduksi (merubah) isi karya-karya al-Asy’ari, seperti yang akan anda lihat dalam catatan di bawah ini. Salah satunya, karya al-Asy’ari berjudul al-Ibanah Fi Ushul ad-Diyanah yang dirombak menjadi berfaham tasybih dan tajsim.

(Empat); Pembagian tiga fase faham al-Imâm al-Asy’ari di atas memberikan kesimpulan bahwa Abdullah ibn Sa’id ibn Kullab bukan seorang yang berfaham Ahlussunnah Wal Jama’ah. Artinya, menurut mereka beliau adalah seorang yang sesat. Ini mengaburkan pemahaman umat Islam, utamanya mereka yang tidak kenal siapa sesungguhnya Abdullah ibn Sa’id ibn Kullab.

(Lima); Membuat opini di kalangan umat Islam dan menggiring mereka, utamanya orang-orang awam, agar mengikuti faham mereka; bahwa kaum Asy’ariyyah –menurut mereka– adalah orang-orang sesat yang wajib dihindari. Inilah tujuan utama mereka, yaitu untuk “berjualan”, membuat propaganda untuk menyebarkan faham mereka.

Tuduhan menyesatkan (syubhat) kaum Musyabbihah Mujassimah di atas kita bantah dengan beberapa catatan berikut;

(Satu); al-Imâm Abul Hasan al-Asy’ari adalah tokoh Ahlussunnah Wal Jama’ah. Nama, akidah (keyakinan), dan rumusan ajaran Ahlussunnah yang beliau bukukan telah ditulis dengan tinta emas oleh murid-murid beliau, oleh para ahli sejarah (al-Mu’arrikhun), dan oleh para ulama di setiap generasi sesudahnya.

(Dua); Bahwa al-Imâm Abul Hasan al-Asy’ari semula seorang berfaham Mu’tazilah, bahkan menjadi tokoh panutan dan rujukan di kalangan orang-orang Mu’tazilah; ini benar adanya. Tidak ada seorang-pun dari murid-murid Abul Hasan (Ash-hab al-Asy’ari) yang telah mencatatkan bahwa beliau wafat dan telah bertaubat dari faham fase ke dua (faham Abdullah ibn Sa’id ibn Kullab; seperti prasangka kaum Musyabbihah Mujassimah). Tidak ada seorangpun dari murid-murid al-Asy’ari yang mengatakan bahwa guru mereka telah bertaubah dari faham metode takwil. Tidak ada seorang-pun dari mereka mengatakan bahwa al-Asy’ari berkeyakinan Allah memiliki bentuk dan ukuran, memiliki tempat dan arah, bertempat di langit; juga bertempat di arsy, serta memiliki anggota-anggota badan seperti yang mereka tuduhkan. Silahkan anda cek catatan / karya-karya Ash-hab al-Asy’ari.

(Tiga); al-Imâm Abul Hasan al-Asy’ari tidak pernah mengikrarkan diri bertaubat bahwa ia keluar dari faham Abdullah ibn Sa’id ibn Kullab –seperti yang disangka / dikhayalkan kaum Musyabbihah Mujassimah– sebagaimana beliau berikrar taubat dari faham Mu’tazilah. Sejarah tidak pernah mencatat prasangka kaum Musyabbihah Mujassimah itu. Al-Asy’ari tidak bernah berkata; “Saya berada dalam faham fase ke dua (model faham Abdullah ibn Sa’id ibn Kullab), dan faham ini adalah sesat, karena itu saya pindah ke fase ke tiga (faham Salaf, seperti prasangka kaum Musyabbihah)”. Sejarah tidak pernah mencatat ini, bahkan sebatas isyarat-pun tidak ada.

(Empat); Tidak ada seorang-pun murid dari murid-murid al-Asy’ari yang mencatatkan bahwa al-Asy’ari wafat dalam keadaan telah taubat dari faham metode takwil. Tidak ada seorang-pun dari mereka mengatakan bahwa al-Asy’ari berkeyakinan Allah memiliki bentuk dan ukuran, memiliki tempat dan arah, bertempat di langit; juga bertempat di arsy, serta memiliki anggota-anggota badan seperti yang mereka tuduhkan. Silahkan anda cek catatan / karya-karya para ulama dari murid-murid al-Imâm al-Asy’ari. Perhatikan pernyataan al-Imâm Ibn Furak ini:

انتقل الشيخ أبو الحسن علي بن إسماعيل رضي الله عنه من مذاهب المعتزلة إلى نصرة مذاهب أهل السنة والجماعة بالحجج العقلية وصنف في ذلك الكتب. اهـ

“Syekh Abul Hasan Ali ibn Isma’il al-Asy’ari pindah dari ajaran-ajaran Mu’tazilah kepada membela ajaran-ajaran Ahlussunnah Wal Jama’ah dengan argumen-argumen akal, yang dalam hal itu beliau menyusun kitab-kitab”[1].

Al-Imâm Ibn Furak tidak mengatakan; al-Asy’ari pindah kepada fase faham ke dua.

(Lima); Tidak ada seorang-pun dari para ahli sejarah (al-Mu’-arrikhun) yang menuliskan bahwa al-Asy’ari wafat dalam telah kembali kepada ajaran Salaf [versi wahabi / Musyabbihah / Mujassimah, atau dari keadaan telah taubat dari faham metode takwil. Yang benar adalah bahwa keluarnya al-Imâm al-Asy’ari dari faham Mu’tazilah adalah untuk membela ajaran Salaf saleh. Dan beliau tidak tetap meyakini ajaran Salaf tersebut sampai akhir hayatnya. Perhatikan catatan Ibnu Khalikan dalam Wafayat al-A’yan berikut ini:

هو صاحب الأصول والقائم بنصرة مذهب السنة، وكان أبو الحسن أولا معتزليا ثم تاب من القول بالعدل وخلق القرءان في المسجد الجامع بالبصرة يوم الجمعة. اهـ

“Beliau (al-Asy’ari) adalah seorang ahli Ushul (teolog), dan seorang yang berdiri membela madzhab Ahlussunnah. Awalnya, Abul Hasan adalah seorang berfaham Mu’tazilah, kemudian bertaubat dari faham / teori “keadilan” (yang menetapkan adanya kewajiban bagi Allah) dan dari faham al-Qur’an makhluk di masjid jami’ di Basrah pada hari jum’at”.[2]

(Enam); Sejarah mencatat bahwa setelah al-Imâm al-Asy’ari keluar dari faham Mu’tazilah beliau sejalan dengan pendapat Abdullah ibn Sa’id ibn Kullab, al-Qalanisi, dan al-Muhasibi. Dan sesungguhnya mereka semua adalah para ulama yang berada di atas ajaran Salaf saleh. Perhatikan tulisan Ibnu Khaldun berikut ini:

إلى أن ظهر الشيخ أبو الحسن الأشعري وناظر بعض مشيختهم -أي المعتزلة- في مسائل الصلاح والأصلح فرفض طريقتهم، وكان على رأي عبد الله بن سعيد بن كلاب والقلانسي والحارث المحاسبي من أتباع السلف وعلى طريقة السنة. اهـ

“Hingga tampilah Syekh Abul Hasan al-Asy’ari, ia membantah pemuka-pemuka Mu’tazilah dalam masalah ash-Shalah wa al-Ash-lah maka ia menolak faham mereka. Dan adalah beliau di atas pendapat Abdullah ibn Sa’id ibn Kullab, al-Qalanisi, dan al-Harits al-Muhasibi; dari para pengikut Salaf dan di atas ajaran Ahlussunnah”[3].

(Tujuh); Semua ahli sejaran (al-Mu’arrikhun) mencatat bahwa al-Asy’ari pindah dari faham Mu’tazilah kepada faham Ahlussunnah ajaran Salaf saleh. Demikian dicatat oleh al-Khathib al-Baghdadi dalam Tarikh Baghdad, Tajuddin as-Subki dalam Thabaqât asy-Syâfi’iyyah al-Kubra, Ibnul ‘Imad dalam Syadzarat adz-Dzahab Fi Akhbar Man Dzahab, Ibnul Atsir dalam al-Kamil Fi at-Tarikh, Ibnu ‘Asakir dalam Tabyîn Kadzib al-Muftarî, al-Qadli ‘Iyadl dalam Tartib al-Madarik, Ibnu Qadli Syubhah dalam Thabaqât asy-Syâfi’iyyah, al-Isnawi dalam Thabaqât asy-Syâfi’iyyah, Ibnu Farhun dalam ad-Dibaj al-Mudzahhab, al-Yafi’i dalam Mir’at al-Janan, dan lainnya. Sangat tidak masuk akal, jika benar ada fase ke tiga dari faham al-Asy’ari lalu luput dari catatan para ahli sejarah di atas!

Bahkan, al-Qadli Abu Bakr al-Baqilani yang notebene pembela ajaran-ajaran al-Asy’ari, dalam karya-karyanya seperti al-Inshaf dan at-Tamhid tidak ada “secuil”-pun menyebutkan bahwa ada fase ke tiga dari faham aqidah al-Asy’ari. Lihat pula karya-karya Ibnu Furak, al-Qaffal asy-Syasyi, Abu Ishaq asy-Syirazi, al-Bayhaqi; juga tidak ada sedikitpun menyinggung adanya fase ke tiga dari perjalan keyakinan al-Asy’ari.

(Delapan); Siapa sesungguhnya Abdullah ibn Sa’id ibn Kullab? Jawabnya adalah beliau seorang Imam terkemuka di kalangan Ahlussunnah Wal Jama’ah yang sangat kuat membantah dan melumpuhkan faham-faham Mu’tazilah dan Musyabbihah Mujassimah. Karena itu beliau sangat dibenci oleh kaum Mu’tazilah dan Musyabbihah sekaligus. Terutama kaum Musyabbihah yang sangat anti terhadap takwil, oleh karena Abdullah ibn Sa’id ibn Kullab ini mempergunakan metode takwil dalam memahami teks-teks mutasyabihat.

Al-Imâm Tajuddin as-Subki dalam Thabaqat asy-Syafiyyah tentang Abdullah ibn Sa’id ibn Kullab menuliskan:

وابن كلاّب على كل حال من أهل السنة، ورأيت الإمام ضياء الدين الخطيب والد الإمام فخر الدين الرازي قد ذكر عبد الله بن سعيد في آخر كتابه غاية المرام في علم الكلام فقال: ومن متكلمي أهل السنة في أيام المأمون عبدالله بن سعيد التميمي الذي دمّر المعتزلة في مجلس المأمون وفضحهم ببيانه. اهـ

“Kesimpulannya, Ibnu Kullab adalah dari kaum Ahlussunnah. Dan aku telah melihat al-Imâm Dliya’uddin al-Khathib; ayahanda al-Imâm al-Fakhruddin ar-Razi telah menyebutkan prihal Abdullah ibn Sa’id ibn Kullab di akhir kitabnya “Ghayah al-Maram Fi ‘Ilm al-Kalam”, berkata: Di antara teolog Ahlussunnah di masa al-Ma’mun adalah Abdullah ibn Sa’id at-Tamimi yang telah menghancurkan kaum Mu’tazilah di majelis al-Ma’mun, dan telah menelanjangi mereka dengan penjelasannya”.[4]

Al-Imâm Al-Hafizh Ibn Asakir dalam kutipannya dari al-Imâm Abu Zaid al-Qayrawani, bahwa beliau berkata:

ما علمنا من نسب إلى ابن كلاّب البدعة، والذي بلغنا أنه يتقلّد السنة ويتولّى الردَّ على الجهمية وغيرهم من أهل البدع. اهـ

“Kami tidak mengetahui adanya orang yang menyandarkan Ibnu Kullab kepada perkara bid’ah. Berita yang sampai kepada kami beliau adalah pengikut ajaran Ahlussunnah, dan orang terdepan yang membantah faham Jahmiyyah dan lainnya dari kelompok ahli bid’ah”.[5]

Ibnu Qadli Syubhah dalam Thabaqât asy-Syâfi’iyyah tentang biografi Abdullah ibn Sa’id ibn Kullab di antara tulisannya adalah sebagai berikut:

من كبار الْمُتَكَلِّمين وَمن أهل السّنة وبطريقته وَطَرِيقَة الْحَارِث المحاسبي اقْتدى أَبُو الْحسن الْأَشْعَرِيّ. اهـ

“Beliau adalah di antara teolog terkemuka, dan dari kaum Ahlussunnah, dan Abul Hasan mengikuti metodenya, juga mengikuti metode al-Harits al-Muhasibi [dalam membela ajaran Ahlussunnah]”.[6]

Catatan dan penilaian yang sama juga telah dituliskan oleh Ibnu Khaldun dalam kitab al-Muaqaddimah tentang al-Imâm Abdullah ibn Sa’id ibn Kullab, sebagaimana telah kita kutip di atas.

Al-Muhddits Zahid al-Kawtsari dalam ta’liq-nya terhadap kitab Tabyîn Kadzib al-Muftarî menuliskan:

كان إمام متكلمة السنة في عهد أحمد، وممن يرافق الحارث بن أسد، ويشنع عليه بعض الضعفاء في أصول الدين. اهـ

“Beliau (Abdullah ibn Sa’id ibn Kullab) adalah Imam para ulama yang membela Sunnah (ajaran Rasulullah / Ahlussunnah) di masa Ahmad. Beliau di antara yang bersahabat dengan al-Harits ibn Asad al-Muhasibi). Orang-orang yang lemah dalam aqidah telah mencelanya”.[7]

Syekh Jamaluddin al-Isnawi dalam Thabaqât asy-Syâfi’iyyah menuliskan tentang sosok Abdullah ibn Sa’id ibn Kullab:

كان من كبار المتكلمين ومن أهل السنة، ذكره العبادي في طبقة أبي بكر الصيرفي، قال؛ إنه من أصحابنا المتكلمين. اهـ

“Beliau adalah di antara teolog terkemuka, dari kalangan Ahlussunnah, al-Ibadi telah menyebutkannya di thabaqah Abu Bakr ash-Shayrafi, berkata: Beliau adalah di antara sahabat kita dari kalangan Mutakallimin (teolog)”[8].

Al-‘Allamah Kamaluddin al-Bayyadli dalam Isyarat al-Maram menuliskan:

لأن الماتريدي مفصل لمذهب الإمام (يعني أبا حنيفة) وأصحابه المظهرين قبل الأشعري لمذهب أهل السنة، فلم يخل زمان من القائمين بنصرة الدين وإظهاره، وقد سبقه (يعني الأشعري) أيضا في ذلك (أي في نصرة مذهب أهل السنة والجماعة) الإمام عبد الله بن سعيد القطان. اهـ

“… karena al-Maturidi telah merinci (menjelaskan) bagi madzhab al-Imâm Abu Hanifah dan para sahabatnya yang telah memunculkan madzhab Ahlussunnah sebelum al-Asy’ari. Maka tidak pernah sunyi masa dari orang-orang yang berdiri membela agama dan menyiarkannya. Dan juga terdahulu pula sebelum al-Asy’ari dalam membela madzhab Ahlussunnah oleh al-Imâm Abdullah ibn Sa’id ibn Kullab al-Qaththan”.[9]

Teolog Ahlussunnah terkemuka (al-Mutakallim) Abul Fath Asy-Syahrastani dalam kitab al-Milal Wa an-Nihal berkata:

حتى انتهى الزمان إلى عبد الله بن سعيد الكلابي وأبي العباس القلانسي والحارث بن أسد المحاسبي وهؤلاء كانوا من جملة السلف إلا أنهم باشروا علم الكلام وأيدوا عقائد السلف بحجج كلامية وبراهين أصولية. اهـ

“Hingga sampailah zaman ke masa Abdullah ibn Sa’id al-Kullabi, Abul Abbas al-Qalanisi, dan al-Harits ibn Asad al-Muhasibi, dan mereka semua adalah dari golongan Salaf, hanya saja mereka menggeluti Ilmu Kalam dan membela aqidah Salaf dengan dalil-dalil teologis, dan argumen-argumen ushul”.[10]

Bahkan tidak hanya al-Imâm Abul Hasan al-Asy’ari yang sejalan dengan metode al-Imâm Abdullah ibn Sa’id ibn Kullab dalam meneguhkan argumen-argumen aqidah Ahlussunnah Wal Jama’ah. jauh sebelumnya, metode Ibn Kullab juga telah dipraktekan oleh al-Imâm al-Bukhari. Simak catatan al-Hafizh Ibn Hajar berikut ini:

البخاري في جميع ما يورده من تفسير الغريب إنما ينقله عن أهل ذلك الفن كأبي عبيدة والنضر بن شميل والفراء وغيرهم، وأما المباحث الفقهية فغالبها مستمدة له من الشافعي وأبي عبيد وأمثالهما، وأما المسائل الكلامية فأكثرها من الكرابيسي وابن كلاب ونحوهما. اهـ

“al-Bukhari dalam seluruh apa yang ia datangkan dari tafsir gharib (asing) adalah ia mengutipnya dari para ahli pada bidang itu seperti Abu Ubaid, an-Nadlr ibn Syamil, al-Farra’ dan lainnya. Sementara dalam pembahasan-pembahasan fiqh maka umumnya beliau (al-Bukhari) mengambil rederensi dari asy-Syafi’i, Abu Ubaid, dan semacam keduanya. Adapun dalam masalah-masalah Kalam (teologi) maka kebanyakannya mengambil dari al-Karabisi, Ibn Kullab, dan semacam keduanya”.[11]


[1] Ibnu ‘Asakir, Tabyîn Kadzib al-Muftarî, h. 127
[2] Ibn Khalikan, Wafayat al-A’yan, j. 3, h. 284
[3] Ibn Khaldun, al-Muqaddimah, h. 853
[4] Tajuddin as-Subki, Thabaqât asy-Syâfi’iyyah, j. 2, h 300
[5] Ibnu ‘Asakir, Tabyîn Kadzib al-Muftarî, h. 406
[6] Ibnu Qadli Syubhah, Thabaqât asy-Syâfi’iyyah, j. 1, h. 78
[7] Ibnu ‘Asakir, Tabyîn Kadzib al-Muftarî, h. 405
[8] Al-Isnawi, Thabawat asy-Syafi’iyyah, j. 2, h. 178
[9] Al-Bayyadli, Isyârât al-Marâm Min ‘Ibârât al-Imâm, h. 23
[10] Asy-Syahrastani, al-Milal Wa an-Nihal, h. 81
[11] Ibnu Hajar al-‘Asqalani, Fath al-Bari’, j. 1, h. 293

Leave a comment