BAHAYA TAK BERMAZHAB BAGI (Kasus) ATTA HALILINTAR


BAHAYA TAK BERMAZHAB BAGI ATTA HALILINTAR

“Intinya ikut Nabi“, singkat jawaban dari salah seorang ustaz di Madinah saat ditanya oleh Atta Halilintar perihal hukum menyentuh istri dalam keadaan memiliki wudu.

Kata si Ustaz, “(Saat) Nabi mau salat, dicium sama Aisyah (tapi beliau tetap melanjutkan salatnya tanpa wudu lagi). Mau terlepas dari mazhab ini, terlepas dari mazhab itu (intinya ikut Nabi). Nabi melakukan seperti ini (tidak berwudu) ya berarti sudah tidak batal“. (09.24-10.50)

Jadi intinya, kata si Ustaz, terlepas dari mazhab apapun, kalau berbeda dengan pekerjaan Nabi maka tak perlu diikuti. Tetap apa yang Nabi lakukan yang kita ikuti. Kira-kira begitu pesan yang tersirat dari video tersebut.

Sebelum panjang-lebar kita membahas terkait pemahaman “ikut Nabi”, perlu kita ketahui terlebih dahulu hukum bersentuhan kulit dengan lawan jenis dalam lintas mazhab. Agar lebih memahami pada konteks pertanyaan Atta Halilintar dan jawaban Pak Ustaz.

Dalam mazhab Hanafi, hukum menyentuh lawan jenis tidaklah membatalkan wudu, baik dengan syahwat ataupun tidak. Dalil yang biasa dipakai ada dua. Pertama, hadis yang diriwayatkan oleh Imam Abu Dawud dalam kitab sunan-nya, bahwa Nabi mencium Sayidah Aisyah dalam keadaan memiliki wudu, lantas beliau salat tanpa mengulangi wudunya.

أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَبَّلَ بَعْضَ نِسَائِهِ ثُمَّ خَرَجَ إِلَى الصَّلَاةِ وَلَمْ يَتَوَضَّأْ

“Bahwa Nabi mencium salah seorang istrinya (Sayidah Aisyah), lantas beliau pergi untuk salat tanpa berwudu kembali.”

Kedua, hadis yang diriwayatkan oleh Imam Muslim dalam kitabnya, bahwa Sayidah Aisyah menyentuh kaki Nabi saat beliau sedang salat, namun Nabi tidak membatalkan salatnya.

عَنْ عَائِشَةَ، قَالَتْ: فَقَدْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَيْلَةً مِنَ الْفِرَاشِ، فَالْتَمَسْتُهُ فَوَقَعَتْ يَدِي عَلَى بَطْنِ قَدَمَيْهِ، وَهُوَ فِي الْمَسْجِدِ، وَهُمَا مَنْصُوبَتَانِ

“Dari Sayidah Aisyah, beliau berkata, ‘Pada suatu malam, aku kehilangan Rasulullah dari kasurku. Maka akupun mencarinya, lalu tanganku mendapati bagian telapak kaki Nabi yang sedang berada dalam masjid, di kala posisi beliau dalam keadaan kedua telapak kakinya berposisi tegak lurus (dalam keadaan sujud).”

Dari kedua hadis tersebutlah, mazhab Hanafi memutuskan bahwa bersentuhan kulit dengan lawan jenis tidaklah membatalkan wudu.

Dalam mazhab Maliki, bersentuhan kulit dengan lawan jenis mutlak dapat membatalkan wudu. Sekalipun memakai penghalang, jika penghalangnya tipis sehingga tetap merasakan kelezatan menyentuh. Bedahalnya jika penghalangnya tebal maka tidak membatalkan wudu. Hal ini dituturkan oleh Qadi Maliki, Abdul Wahab dalam kitab at-Talqin fil-Fiqhi al-Maliki.

Dalam mazhab Syafii sendiri, bersentuhan kulit dengan lawan jenis juga dapat membatalkan wudu. Penjelasan ini banyak kita temukan dalam kitab-kitab bermazhab Syafii. Sebut saja kitab Nihayatuz-Zain, al-Baijuri, Fathul-Mu’in, dan kitab-kitab lainnya. Tentu hukum ini sudah tidak asing lagi bagi kita masyarakat Indonesia yang mayoritas penduduknya bermazhab Syafii.

Adapun dalam mazhab Hanbali, mereka berpendapat bahwa menyentuh wanita dapat membatalkan wudu jika disertai dengan syahwat. Jika tidak ada syahwat maka tidak membatalkan pada wudu. Penjelasan ini bisa dicek dalam kitab al-Mughni karangan Ibnu Qudamah.

Walhasil, perincian hukum menyentuh lawan jenis dari mazhab yang empat, sebagaimana berikut: Hanafi tidak batal secara mutlak, Syafii batal secara mutlak, Hanbali meninjau syahwat tidaknya, sedangkan Maliki mirip dengan Syafii, bahkan lebih memperketat dalam masalah “kenyamanan” yang dirasakan saat bersentuhan.

Jika melihat inti rinciannya, pendapat Ustaz Madinah di atas sesuai dengan pendapat Abu Hanifah, yakni tidak batal bersentuhan dengan lawan jenis. Namun yang perlu menjadi catatan di sini, tidak boleh ada penggabungan dua pendapat (talfiq) dalam satu permasalahan (qadiyah).

Misal, jika berwudu memakai ala Syafii yang cukup membasuh sebagian rambut, maka batalnya juga harus ikut mazhab Syafii, sehingga batal menyentuh lawan jenis secara mutlak. Maka tidak boleh berwudu memakai mazhab Syafii tapi batalnya memakai mazhab Hanafi agar tidak batal ketika menyentuh lawan jenis. Sebab permasalahan ini masih satu qadiyah.

Nah, sekarang kita kembali pada pembahasan inti, jika pendapat sang Ustaz sudah selaras dengan mazhab Hanafi, lantas apa yang dipermasalahkan? Masalahnya adalah dalam pengambilan hukum yang hanya berlandaskan “ikut Nabi”. Dalam artian, hukum-hukum yang dipandangnya tidak sesuai dengan pekerjaan yang Nabi lakukan secara sekilas, maka ditolaknya mentah-mentah. Walaupun sekaliber ulama bahkan sahabat sekalipun, jika dipandang baginya tak sesuai pekerjaan Nabi, maka akan ia tolak.

Sebagaimana dalam permasalahan salat Tarawih yang dilakukan berjamaah. Menurut kelompok yang biasa menyiarkan “ikut Nabi”, hal ini tidak bisa dibenarkan. Sebab Nabi tidak pernah melakukan salat tarawih secara berjamaah. Jadi Sayidina Umar itu telah membuat-buat hal yang tidak pernah diajarkan oleh Nabi.

Nah, pemahaman yang seperti ini -ikut Nabi- selanjutnya dikenal dengan anti-mazhab. Golongan ini tidak mau mengikuti mazhab apapun, lebih memilih untuk berijtihad sendiri sesuai dengan apa yang mereka pahami dari Agama.

Di antara ulama mereka adalah Abu Bakar Jabir al-Jazairi. Dalam kitab Mingajul-Muslim (hal. 05), ia berkata:

وَفِي بَابِ الفِقْهِ – العِبَادَاتُ وَاْلمُعَامَلَاتُ – لم ال جهدا في تحري الاصوب واختيار الاصح مما دونه الائمة الأعلام كابي حنيفة ومالك والشافعي وأحمد رحمهم الله تعالى اجمعين مما لم يوجد له نص! صريح أو دليل ظاهر من كتاب الله أو سنة رسوله

“Dan dalam bab fikih -yaitu penjelasan ibadah dan muamalah- aku berusaha mencari pendapat yang lebih benar dan dan sahih dari pendapat yang telah dibukukan oleh para ulama seperti Abu Hanifah, Malik, Syafii, dan Ahmad, dari persoalan yang tidak memiliki nas sarih atau dalil zahir dari al-Qur’an atau hadis.”

Golongan mereka ini terkenal sebagai golongan anti-mazhab, karena menolak ikut pendapat ulama mazhab dan memilih untuk berijtihad sendiri.

Lantas, bisa dibenarkankah sikao anti-mazhab ini? Tentu tidaklah dapat dibenarkan. Karena bermazhab untuk zaman ini merupakan keniscayaan yang tak bisa ditinggalkan. Bukan berarti pintu ijtihad ditutup, namun tak ada yang bisa sampai pada ranah mujtahid mutlak untuk saat ini. Oleh karenanya bermazhab menjadi sebuah keniscayaan bagi umat sekarang.

Dalam permasalahan ini, saking pentingnya, Syekh Said Ramadhan al-Buthi membuat kitab khusus yang beliau beri nama Alla-Mazhabiyah: Sebuah kitab yang mengulas bahaya tak bermazhab sebagaimana yang dilakukan oleh golongan ini.

Tanpa mazhab, kata Syekh Ramadan al-Buthi, semuanya akan hancur dan binasa. Karena yang ada malah memanfaatkan hukum sesuai nafsu berahi masing-masing, apalagi bagi mereka yang awan.

Oleh karenanya, bermazhab menjadi penting dan urgen. Adapun dalil wajibnya bermazhab ada dalam surah al-Anbiya’ ayat 07 yang berbunyi:

فَسْـَٔلُوْٓا اَهْلَ الذِّكْرِ اِنْ كُنْتُمْ لَا تَعْلَمُوْنَ

“Maka tanyakanlah kepada orang yang berilmu, jika kamu tidak mengetahui.”

Maka pada siapa lagi kita menyandarkan dan menanyakan hukum kalau tidak pada para imam mazhab?

Lagipula, sitem semacam mazhab ini sudah ada sejak zaman Nabi. Namun bukan dalam bentuk mazhab, melainkan mufti independen. Para sahabat yang menjadi rujukan hukum di zaman Nabi misal seperti Sayidina Abu Bakar, Umar, Usman, Ali, dan Abdullah bin Abbas, menjadi mufti independen rujukan para sahabat kala itu. Meskipun pada dasarnya semua sahabat secara langsung menerima syariat dari Nabi, mereka tetap membutuhkan mufti dalam permasalahan-permasalahan Agama.

Di zaman selanjutnya, dari para tabiin, juga ada mujthid tersendiri. Misal ada ‘Alqamah dan an-Nakhai dari golongan ahlui ra’yi dan ada ‘Urwah bin Zubair dan Sulaiman bin Yassar dari golongan ahli hadis.

Barulah zaman setelahnya, muncul yang namanya mazhab. Masing-masing dari mereka semua tidaklah memutuskan hukum secara independen. Semuanya pasti bermazhab pada muffi yang telah disepakati akan keluasan ilmunya.

Kesimpulannya, permasalahan di sini adalah pada “sok” pengambilan hukum langsung pada Nabi tanpa melalui perantara mazhab. Jika para sahabat, tabiin, dan zaman setelahnya dari golongan salaf saja tak serta-merta memutuskan hukum sendiri, lah bagaimana mereka mau sok berijtihad sendiri? Sungguh lucu!

Ghazali | Annajahsidogiri.id

Leave a comment