Namanya Jembatan Keletihan


428578_10150575101268757_621088600_nNamanya, Jembatan Keletihan
Sesekali, bukalah lembar catatan yang pernah kita tulis tentang rencana-rencana kita. Perhatikanlah, bagaimana rencana-rencana itu kita susun, tentang aktivitas ibadah, keilmuan, dakwah, hingga bisnis yang kita inginkan. Tidak perlu detail, sepintas saja. Kita pasti disergap rasa sedih, lantaran apa yang kita rasakan dan alami saat ini, sangat jauh dari apa yang kita tulis saat itu. Padahal, disanalah kita pernah menanam obsesi, mimpi, cita-cita.
Jarak antara kondisi kita dan catatan-catatan itu, sangat jauh hingga barangkali kita bergumam, mustahil catatan-catatan itu bisa terwujud.
Boleh jadi, disamping kesedihan itu, ada alasan yang mengemuka yang sama tentang jauhnya jarak antara kita dengan rencana indah dahulu itu. Yakni, kita merasakan bahwa rencana-rencana itu terlalu tinggi, dan kaki kita tidak mampu mendaki untuk mencapainya. Padahal, kita tahu, semua obsesi, harapan, impian, cita-cita tidak ada yang rendah. Semuanya selalu tinggi, setinggi kemuliaan yang kita inginkan didalamnya,
Lalu, bagaimana pikiran dan perasaan yang kita alami, saat menyimak obsesi dan keinginan sangat mulia seorang sahabat yang dengan tegas ingin mendampingi Rasululloh SAW di surga, di istana-istana Firdaus? Lalu bila kita bertanya, apa yang kita inginkan dalam rentang waktu hidup di dunia ini? Maka setinggi dan semulia keinginan kita itu, seletih dan seberat itulah perjalanan yang harus kita tempuh.
Saudaraku,
“Ilmu takkan diperoleh dengan fisik yang gemar istirahat,” demikian khabar yang diletakkan Imam Muslim rahimahullah saat membahas tema waktu-waktu shalat. Perkataan itu bukan hadits melainkan sebuah khabar yang berasal dari perkataan Imam Yahya bin Abi Katsir rahimahullah, seorang tabi’in yang tidak terlalu terkenal. Sejumlah orang mempertanyakan alasan Imam Muslim mengutipkan perkataan itu dalam bab yang penting. Tapi para ulama menjelaskan bahwa alasannya, bahwa keterkesanan mendalam Imam Muslim rahimahullah dengan kalimat itulah latar belakangnya.
Saudaraku,
Lihatlah lembar-lembar tokoh siapapun yang berhasil memetik cita-cita dan obsesinya di dunia. Semuanya pasti mengalami situasi hidup yang padat dengan aktivitas, dan cenderung kurang waktu istirahatnya. Tidak hanya tokoh ulama besar atau da’i yang kiprahnya dikenal luas di masyarakat, bahkan tokoh bisnis yang berhasil pun menjalani hidupnya dengan sedikit tidur, sedikit makan, minum dan sedikit santai dan bahkan mungkin sedikit bicara. Mereka umumnya, menjalani waktu-waktu hidupnya dengan hati-hati dan serius. “Kenikmatan dunia, umumnya tidak bisa didapat kecuali dengan letih,” ujar Ibnu Taimiyyah rahimahullah.
Maka, peluh dan keletihan itulah yang menjadi jembatan keberhasilan mereka mencapai keinginan. Keinginan apapun, duniawi ataupun ukhrawi (akhirat). Seperti diungkapkan oleh Ibnul Qayyim Al Jauziyah rahimahullah, “Aspek-aspek penyempurna semuanya takkan bisa didapat kecuali dengan kesulitan. Tak seorangpun bisa melewatinya kecuali melalui jembatan keletihan.” (Miftah daarus s’adah, 2/895). Dalam kesempatan lain, Ibnul Qayyim juga menegaskan, “Mustahil suatu kaum sampai ke tempat tinggal mereka kecuali setelah melewati perjalanan yang panjang. Mereka takkan bisa mencapai istana peristirahatan, kecuali setelah melewati jembatan keletihan.”
Saudaraku,
Ya, jembatan keletihan namanya. Itulah yang menghubungkan antara keletihan dan obsesi. “Sudah menajdi ketetapan Alloh, kebahagiaan, kenikmatan dan istirahat takkan  bisa diperoleh kecuali lewat jembatan kesulitan dan keletihan. Dan takkan bisa masuk kedalamnya kecuali dari pinta yang tidak disukai, pintu kesabaran dan pintu kemampuan memikul kesulitan,” masih menurut Ibnul Qayyim rahimahullah.
Dalam redaksi yang berbeda, Imam Abu Ishaq Ibrahim, tokoh ulama hadits sekaligus sejarawan Islam yang juga murid Imam Ahmad bin Hambal dan terkenal dengan karya monumentalnya “Gharibul Hadits”, mengatakan singkat sekali, “Kenikmatan takkan diperoleh melalui kenikmatan.”
Rasulullah SAW mempunyai banyak hadits yang hikmahnya senada dengan ini. Perhatikanlah sabdanya, “Surga dikelilingi dengan sesuatu yang tidak disukai.” (HR Muslim). Atau sabdanya yang lain, “Dunia adalah penjara bagi orang yang beriman.” (HR Muslim)
Lalu bila kita perhatikan bagaimana penggambaran Al Qur’anul Karim tentang kondisi ahli surga dan ahli neraka, Al Qur’an pun menyebutkan karakteristik ahli surga adalah mereka yang saat hidup di dunia mengalami keletihan. Tidak mengikuti hawa nafsu, menafkahkan harta di waktu lapang dan sempit, menahan amarah, memaafkan kesalahan orang lain, memohon ampun dari dosa, tidak terus menerus melakukan dosa, sedikit tidur malam, beristigfar pada waktu sahur dan lain-lain. Sifat-sifat ini semua adalah bagian dari keletihan. Dan bila kita perhatikan karakteristik ahli neraka adalah orang-orang yang bersenang-senang dan terlalu banyak bermain-main ketika hidup di dunia. Sifat kikir, kufur nikmat, banyak berangan-angan, mengikuti hawa nafsu, dan sebagainya, adalah lambang kehidupan yang serba nikmat dan jauh dari keletihan.
Saudaraku,
Seorang guru, pernah ditanya oleh muridnya yang resah dengan ragam perubahan zaman yang begitu cepat dan kecenderungan menghilangnya nilai-nilai kebaikan di masyarakat. Sang murid merasa apa pun berbagai upaya perbaikan yang dilakukannya seperti tidak berarti jika berhadapan dengan situasi yang begitu gencar menghancurkan nilai-nilai islam yang ia semai. Ia merasa keletihan yang sudah dirasakan dari uasaha panjangnya dalam dakwah, seperti sulit sekali memberi manfaat. Sang guru, dengan bijak mengatakan, “Muridku, tinggalkan kekhawatiranmu tentang perubahan zaman. Bekerjalah karena yang lebih berbahaya adalah berkurangnya kesungguhanmu karena kamu merasa letih dalam menunaikan tugas-tugas dakwahmu.” Indah sekali.
Begitulah saudaraku,
Mari terus bekerja. Sebab kerja dan amal itulah yang sesungguhnya menyelamatkan kita dari zaman yang selamanya selalu berubah, dengan ragam fitnah dan tantangannya.
Oleh: Muhammad Lili Nur Aulia (Tarbawi, 18 Okt’12)

One thought on “Namanya Jembatan Keletihan

Leave a comment