Khutbah : Siapakah Ahlu Sunnah wal Jamaah?


Siapakah Ahlu Sunnah wal Jamaah?

Ilustrasi. (syariahonline-depok.com)

 Setiap golongan, kelompok, puak dan sekte dalam pemikiran Islam,
masing-masing mengklaim bahwa golongan mereka saja yang benar dan betul
serta selamat akidahnya. Sekalipun hal itu mereka lakukan dengan sengaja
memelesetkan nash-nash (teks) dan lafaz-lafaz hadits demi membenarkan
dan membela golongan dan puak masing-masing. Dan sering kita mendengar
bahwa akidah yang selamat adalah akidah Ahlu Sunnah wal Jamaah, namun
yang menjadi persoalan adalah siapakah yang dimaksud sebagai Ahlu Sunnah
atau dengan kata lain: Apakah Asy’ariyah & Maturidiyah merupakan
bagian dari Ahlu Sunnah wal Jamaah? Atau Ahlu Sunnah adalah Salafi
Wahabi? Atau adakah golongan Syiah dan puak-puaknya?

Sebelum
lebih jauh menjelaskan akidah Ahlu Sunnah, terlebih dahulu penulis
menukil sebuah hadits yang menjadi rebutan bagi semua golongan untuk
berada dalam pilihan Rasulullah saw untuk memenangi golongan yang
selamat yaitu:
عَنْ
أَبِى هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم-
(افْتَرَقَتِ الْيَهُودُ عَلَى إِحْدَى أَوْ اثِنْتَيْنِ وَسَبْعِينَ
فِرْقَةً، وَتَفَرَّقَتِ النَّصَارَى عَلَى إِحْدَى أَوْ اثِنْتَيْنِ
وَسَبْعِينَ فِرْقَةً، وَتَفْتَرِقُ أُمَّتِى عَلَى ثَلاَثٍ وَسَبْعِينَ
فِرْقَةً، كُلُّهَا فِي النَّارِ إِلاَّ وَاحِدَةً وَهِيَ الْجَمَاعَةُ) –
“Dari
Abi Hurairah, Rasulullah SAW bersabda: Telah berpecah kaum Yahudi
menjadi tujuh puluh satu atau tujuh puluh dua golongan; dan telah
berpecah kaum Nashara menjadi tujuh puluh satu atau tujuh puluh dua
golongan; sedang umatku akan berpecah menjadi tujuh puluh tiga golongan,
semuanya akan masuk neraka kecuali satu. Yaitu golongan yang berada
dalam jamaah.
” (Abu Daud, no: 3980)
Dalam riwayat lain:
عَنْ
أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ: (تَفْتَرِقُ هَذِهِ الأُمَّةُ عَلَى ثَلاَثٍ وَسَبْعِيْنَ
فِرْقَةً كُلُّهُمْ فِي النَّارِ إِلاَّ وَاحِدَةٌ، قَالُوْا وَمَا تِلْكَ
الْفِرْقَةُ؟، قَالَ: مَا أَنَا عَلَيْهِ الْيَوْمَ وَأَصْحَابِيْ)
“Umatku
akan terpecah belah menjadi tujuh puluh tiga golongan. Kesemuanya akan
masuk neraka, kecuali satu golongan saja yang selamat, kemudian para
sahabat bertanya: Siapkah golongan yang terselamat itu? Rasulullah
menjawab: “Mereka adalah golongan yang mengikuti apa-apa yang aku
kerjakan dan sahabat-sahabatku”.
(Al-Tabrani, no: 4886).
Dijumpai dari teks hadits di atas kalimah “al-Jamaah” dan “Maa Ana alaihi al-yaum wa Ashaabi
yang memberikan sebuah ilustrasi bahwa golongan yang selamat adalah
golongan yang tidak berpecah dan menempuh jalan Islam sebagaimana yang
dicontohkan oleh baginda Rasulullah saw dan para sahabatnya pada masa
itu. Dari sinilah muncul istilah Ahlis Sunnah wal Jamaah. Sehingga semua
aliran, golongan, kelompok dan puak, berusaha menafsirkan dan
memahamkan hadits tersebut bagi tujuan masing-masing untuk menyatakan
bahwa golongan merekalah yang dimaksudkan hadits tersebut.
Definisi Ahlu Sunnah wal Jamaah
Setiap
golongan, puak, persatuan dan mazhab memiliki pendiri atau
sekurang-kurangnya ada yang memulakan perjalanan organisasi tersebut,
sehingga memiliki ketua, pemimpin ataupun pengarah, namun Ahlu Sunnah
tidak demikian, ia tidak memiliki pendiri, ketua, pemimpin. Oleh karena
itu Ahlu Sunnah bukanlah golongan sebuah puak atau golongan tertentu,
seperti puak Asy’ariah, Maturidiyah, Wahabiah, Hanafiah, Malikiah,
Syafi’iyyah dan mazhab-mazhab lain yang masing-masing memiliki pendiri
dan pengetua dan dikenal khalayak ramai. Melainkan Ahlu Sunnah merupakan
satu standar pemahaman, pemikiran agama yang mengandung aspek nilai
yang mulia dan murni. Oleh karena tidak ada yang boleh jawab tentang
siapa pendiri dan pemimpin Ahlu Sunnah, maka ada baiknya kalau kita
mulakan dengan definisi Ahlu Sunnah itu sendiri.
Dalam
bahasa Arab kalimah “Ahlu” berarti keluarga, kerabat, famili, pemilik.
Kemudian dalam kamus “Lisan al-Arab”, kata as-Sunnah dari sudut
etimologi diartikan sebagai as-Sayr (perjalanan). Baik orang itu
berjalan dalam kebajikan, kebaikan atau keburukan. Sedangkan dalam
pengertian epistemologi, as-Sunnah diartikan sebagai: “Pedoman hidup
Rasulullah saw dan para sahabatnya. Baik berupa ilmu pengetahuan,
keyakinan dan kepercayaan (ideologi), perkataan (ucapan), perbuatan
(praktikal), dan ajaran-ajaran sunnah tersebut wajib diikuti dan ditaati
oleh umat. Oleh karena itu kalau dikatakan bahwa: si fulan adalah
pengikut Ahlu Sunnah, berarti ia adalah orang yang mengikuti jalan yang
lurus.
Adapun pengertian al-Jamaah,
dalam etimologi diartikan sebagai “Penggabungan sesuatu dengan lainnya”.
Sebagaimana yang disinyalir oleh Ragib al-Asfahani, bahwa al-Jamaah
artinya adalah: “Menghubungkan sesuatu dengan lainnya, maksudnya
menghimpunkannya”. Sedangkan dalam pengertian epistemologi, al-Jamaah
adalah salaf al-Ummah.
Definisi di atas
memberikan ilustrasi bahwa yang dimaksud Ahlu Sunnah adalah mereka yang
mengikuti cara hidup Rasulullah saw, para sahabatnya, tabi’in dan siapa
saja yang mengikuti mereka, dengan menghindarkan diri dari amalan
bid’ah, di sepanjang zaman dan tempat.
Untuk
menyimpulkan dari tiga definisi kalimah di atas, dapat dikatakan dengan
mudah bahwa Ahlu Sunnah Wal Jamaah adalah mereka yang mengikuti sunnah
Rasulullah saw dan sunnah para sahabatnya. Kesimpulan ini telah
ditegaskan oleh Ibnul Jauzi, “Tidak diragukan bahwa orang yang mengikuti
atsar (sunnah) Rasulullah saw dan para sahabatnya adalah Ahlu Sunnah”.
Oleh karena itu istilah ”Ahlu Sunnah wal Jamaah” adalah sudah lama
muncul, ianya sudah muncul sebelum lahirnya mazhab Hanafi, Maliki,
Syafi’i dan Hanbali, sebab ia adalah pegangan para sahabat yang menerima
langsung ajaran-ajaran agama dari Rasulullah saw. Dan bagi siapa saja
yang menyalahi mazhab dan pendirian sahabat, maka mereka dianggap bid’ah
di sisi Ahlu Sunnah wal Jamaah.
Perlu
disebutkan juga bahwa awal penyebutan istilah Ahlu Sunnah Wal Jamaah
berasal daripada Ibnu Abbas (Sepupu Nabi Muhammad SAW), hal ini
disebutkan oleh Ibnu Katsir dalam kitab tafsirnya yang bertajuk “Tafsir
al-Quran al-Adzim” bahwa Ibnu Abbas mengurai makna surah Al-Imran, ayat:
106: seperti berikut:
)يَوْمَ تَبْيَضُّ وُجُوهٌ وَتَسْوَدُّ وُجُوهٌ(
“Pada
hari itu ada wajah yang putih berseri, dan (pada hari itu) ada pula
wajah yang hitam muram”. dimaksudkan pada hari itu adalah hari kiamat
(يَوْمُ الْقِيَامَةِ), wajah-wajah Ahlu Sunnah wal Jamaah tampak putih
berseri-seri (حِيْنَ تَبْيَضُّ وُجُوْهُ أَهْلِ السُّنَّةِ
وَالْجَمَاعَةِ), sedangkan wajah-wajah Ahli Bid’ah dan Firqah yang sesat
tampak hitam muram (وَتَسْوَدُّ وُجُوْهُ أَهْلِ البِدْعَةِ
وَالْفِرْقَةِ). (Ibnu Katsir; 2/92).
Di
samping itu sebenarnya istilah tersebut dimunculkan dan
disosialisasikan di tengah masyarakat untuk membedakan ajaran Islam yang
murni, benar, betul dan lurus daripada ajaran-ajaran sesat yang tidak
sesuai dengan amalan Rasulullah saw sebagai pembawa risalah Islam, di
antara ajaran yang dianggap sesat oleh ulama Ahlu Sunnah wal Jamaah
adalah puak Jahmiyah, Qadariyah, Syiah dan Khawarij.
Oleh
karena itu orang-orang yang berpegang teguh dan mengamalkan hakikat
ajaran Islam yang betul-betul murni dinamakan “Ahlu Sunnah wal Jamaah”.
Hal ini dijelaskan dengan tegas oleh Imam Malik ketika beliau ditanya:
“Siapakah sebenarnya Ahlu Sunnah itu? Ia menjawab: Ahlu Sunnah itu
mereka yang tidak mempunyai laqb (julukan) yang sudah popular (di
masyarakat saat itu). Jadi Ahlu Sunnah bukanlah Jahmiyah, Qadariyah, dan
Syiah”.
Sekitar 85-90% umat Islam sedunia berpahaman Sunni, manakala 10-15% pula menganut pahaman Syiah.
Hakikat Ahlu Sunnah wal Jamaah
Sekalipun
sudah jelas pendefinisian Ahlu Sunnah wal Jamaah sebagaimana yang telah
disebutkan sebelumnya, namun dalam realitas, ulama masih juga berbeda
pendapat tentang siapakah sebenarnya dari golongan Islam yang berhak
menjadi Ahlu Sunnah Wal Jamaah? Oleh karena itu, perbincangan istilah
ini sangat luas pemakaiannya, dan tidak henti-hentinya dibahas dan
diangkat menjadi persoalan dan perdebatan di kalangan ulama.
Bahkan
Ibnu Taimiyah terkadang hanya menyebutkan “Ahlu Sunnah” saja, tanpa
diiringi dengan sebutan “al-Jamaah”. Hal ini dilakukan oleh Ibnu
Taimiyah dengan maksud untuk membedakan antara Islam Sunni dengan Islam
Syiah. Jadi sebutan Ahlu Sunnah tanpa menyebut al-Jamaah, dimaksudkan
bagi semua golongan Islam yang menetapkan dan mengakui kepemimpinan Abu
Bakar, Umar, Utsman dan Ali. Oleh karena itu Ibnu Taimiyah dalam hal ini
golongan seperti, Asy’ariah dan Maturidiyah adalah golongan Ahlu
Sunnah. Dan menurut Ibnu Taimiyah ini adalah pengertian secara umum.
Adapun
secara pengertian khas (spesifik), Ahlu Sunnah yang dimaksud hanya
terbatas kepada Ahli Hadits dan Sunnah, yaitu bagi mereka yang mengakui
sifat-sifat Allah SWT secara harfiah tanpa dita’wilkan, mereka meyakini
bahwa al-Quran adalah Kalamullah bukan makhluk, mempercayai takdir dan
persoalan-persoalan akidah lainnya.
Berdasarkan
dua pengertian di atas, maka kita dapat menyimpulkan bahwa Ibnu
Taimiyah mengkhususkan istilah Ahlu Sunnah kepada ulama Salaf saja.
Namun beliau tidak membatasi julukan Ahlu Sunnah hanya kepada mereka.
Akan tetapi beliau tetap memberikan ruang bagi golongan dan puak lainnya
untuk berafiliasi dalam lingkup Ahlu Sunnah, seperti golongan,
Asy’ariyah, Maturidiyah dan Zahiriyah yang ikut membantah ajaran Islam
Syiah. Adapun golongan Mu’tazilah dan Khawarij bagi Ibnu Taimiyah dengan
tegas menolak dan menafikan mereka sebagai Ahlu Sunnah, karena mereka
mengatakan al-Quran adalah makhluk (Haditsun), Allah tidak dapat dilihat
di akhirat dengan mata kepala, melainkan dilihat dengan mata hati saja,
dan persoalan akidah lainnya.
Sebenarnya nama penuh Ahlu Sunnah ditambah dengan Al-Jamaah sehingga menjadi “Ahlu Sunnah wal Jamaah”, sebab berdasarkan hadits:
عَنْ
أَبِى هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم-
(افْتَرَقَتِ الْيَهُودُ عَلَى إِحْدَى أَوْ اثِنْتَيْنِ وَسَبْعِينَ
فِرْقَةً، وَتَفَرَّقَتِ النَّصَارَى عَلَى إِحْدَى أَوْ اثِنْتَيْنِ
وَسَبْعِينَ فِرْقَةً، وَتَفْتَرِقُ أُمَّتِى عَلَى ثَلاَثٍ وَسَبْعِينَ
فِرْقَةً، كُلُّهَا فِي النَّارِ إِلاَّ وَاحِدَةً وَهِيَ الْجَمَاعَةُ) –
“Dari
Abi Hurairah, Rasulullah SAW bersabda: Telah berpecah kaum Yahudi
menjadi tujuh puluh satu atau tujuh puluh dua golongan; dan telah
berpecah kaum Nashara menjadi tujuh puluh satu atau tujuh puluh dua
golongan; sedang umatku akan berpecah menjadi tujuh puluh tiga golongan,
semuanya akan masuk neraka kecuali satu. yaitu golongan yang berada
dalam jamaah “al-Jamaah”. (Abu Daud, no: 3980).
Ulama berbeda pandangan tentang yang dimaksud Jamaah dalam hadits di atas, yaitu:
  1. Mereka yang mengikut panduan para sahabat saja.
  2. Mereka kumpulan ulama hadits, para imam mujtahid.
  3. Mereka
    adalah al-Sawad al-a’zam, al-Sawad artinya sesuatu yang berwarna hitam,
    dalam bentuk plural. Sedangkan al-a’zam artinya besar, agung, banyak.
    Sehingga al-sawad al-a’zam secara bahasa artinya sesuatu yang berwarna
    hitam dalam jumlah yang sangat banyak. al-Sawad al-A’zam disebutkan
    dalam hadits:
عَنْ أنَسِ بْنِ
مَالِكٍ يَقُولُ: سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ يَقُولُ: (إِنَّ أُمَّتِي لَا تَجْتَمِعُ عَلَى ضَلَالَةٍ
فَإِذَا رَأَيْتُمْ اخْتِلَافًا فَعَلَيْكُمْ بِالسَّوَادِ الْأَعْظَمِ)
“Dari
Anas bin Malik, bahwa saya mendengar Rasulullah SAW bersabda:
Sesungguhnya umatku tidak akan bersepakat melakukan kesesatan, sekiranya
menemukan perselisihan pandangan, maka rujuklah kumpulan yang terbanyak
“al-Sawad al-A’zam”. )Ibnu Majah, no: 3940).
Apapun
halnya, menurut imam Syatibi, kalimat “al-jamaah” yang dimaksudkan oleh
hadits di atas adalah bersatunya umat Muhammad SAW pada imam yang
menjalankan amalan yang sesuai dengan panduan Quran dan Sunnah.
Perlu
disebutkan bahwa pada masa kontemporer saat ini golongan Wahabi tidak
mengakui golongan Asy’ariyah dan Maturidiyah sebagai Ahli Sunah wal
Jamaah bahkan keduanya disesatkan, sebab kedua golongan tersebut
menta’wilkan sifat-sifat Allah swt. Tentunya pendapat ini salah, keliru
dan ekstrem, sebab nisbah kedua puak tersebut sebagai puak yang
menyebarkan ajaran akidah Ahlu Sunnah telah ada sebelum munculnya
gerakan Wahabi pada tahun 1125 H/1713 M.
Sebagai
bukti yang nyata, imam Ghazali sendiri sebagai salah satu ulama
Asy’ariyah dengan tegas menyebut dalam kitabnya “al-Munqiz mi al-Dalal”
bahwa tujuan belajar ilmu kalam adalah membela akidah Ahlu Sunnah:
(وَإِنَّمَا الْمَقْصُوْدُ مِنْهُ حِفْظُ عَقِيْدَةِ أَهْلِ السُّنَّةِ، وَحِرَاسَتِهَا عَنْ تَشْوِيشِ أَهْلِ الْبِدْعَةِ)
“Tujuan ilmu kalam adalah untuk menjaga akidah Ahlu Sunnah, dan memeliharanya dari gangguan ahli bid’ah”.
Imam
Maturidi sebagai pendiri puak Maturidiyah mengarang sebuah kitab tafsir
10 jilid dan menamakan karyanya dengan nama “Ta’wilaat Ahli Sunnnah”.
Oleh
karena itu, dalam kitab “Miftah al-Sa’adah” yang dikarang oleh syekh
Kibri Zaadah, menyebutkan bahwa: “dua pemimpin Ahlu Sunnah dalam kajian
ilmu kalam, yaitu: pertama, imam Abu Mansour al-Maturidi dari mazhab
Hanafi dan dijuluki sebagai imam al-Huda, kedua, imam Abu Hasan
al-As’yari dari mazhab Syafi’i, dan dijuluki sebagai syekh Sunni dan
pemimpin jamaah serta imamnya ulama kalam”.
Dengan
demikian, isu seperti ini merupakan suatu persoalan yang sepatutnya
tidak ditimbulkan dalam masa ini, sebab hanya menambah perpecahan umat
dan mengeruhkan keadaan, sehingga umat Islam yang sebelumnya terbagi
kepada dua puak besar yaitu Islam Sunni dan Islam Syiah, kini menjadi
tiga puak yaitu (1) Ahlu Sunnah (Asy’ariyah dan Maturidiyah). (2) Ahlu
Sunnah Wahabiyah. (3) Syiah. Dan tentunya perpecahan ini memberikan
ruang dan kesempatan bagi pihak luar Islam untuk mengadu domba umat.
Oleh karena itu sebaiknya kesemua pihak menahan diri dari sikap
intoleran dan berhenti berlawan antara sesama Ahlu Sunnah wal Jamaah.
Sebab seperti ini tidaklah mendatangkan apa-apa manfaat untuk
kebangkitan umat Islam, bahkan membahayakan agama Islam, dan perlu kita
ingat bersama bahwa musuh kita bukan dari kita, melainkan dari luar
agama, sebagaimana yang ditegaskan oleh firman Allah:
(وَلَن تَرْضَى عَنكَ الْيَهُودُ وَلاَ النَّصَارَى حَتَّى تَتَّبِعَ(
“Orang-orang Yahudi dan Nasrani tidak akan senang kepada kamu sehingga kamu mengikuti agama mereka”. (Al-Baqarah, 120).
Alangkah
baiknya kalau kita bersatu padu dalam agama dan tidak bercerai berai
bak buih di lautan, sebaiknya kita mengangkat satu syiar agama sebagai
satu muslim “One Muslim”, dalam istilah al-Quran dikenal dengan “Ummatan
wahidatan” atau Islam adalah satu umat, sebagaimana yang dinyatakan
dalam firman Allah swt:
(إِنَّ هَذِهِ أُمَّتُكُمْ أُمَّةً وَاحِدَةً وَأَنَا رَبُّكُمْ فَاعْبُدُونِ(
“Sesungguhnya (agama tauhid) ini adalah agama kamu semua; agama yang satu dan Aku adalah Tuhanmu, maka sembahlah Aku”. (Al-Anbiyaa, 92).
Dalam kitab Syiah Zaidiyah “al-Hikmah al-Durriyyah” karangan Ahmad bin Sulaiman (ulama Syiah Zaidiyah) disebutkan:
(سَتَفْتَرِقُ
أُمَّتِي عَلَى ثَلاَثٍ وَسَبْعِيْنَ فِرْقَةً كُلُّهَا هَالِكَةٌ إِلاَّ
فِرْقَةٌ وَاحِدٌة، قِيْلَ: وَمَنْ هُمْ يَا رَسُوْلَ اللهِ؟، قَالَ: هُمْ
مُعْتَزِلَةُ الشِّيْعَةِ وَشِيْعَةُ الْمُعْتَزِلَةِ)
“Umatku
akan berpecah menjadi tujuh puluh tiga golongan, semuanya akan hancur
kecuali satu, yaitu Mu’tazilah Syiah dan Syiah Mu’tazilah”.
Tidak
ada keraguan untuk menilai penyimpangan riwayat di atas, sebab
pertanyaan ditujukan kepada Nabi Muhammad, sedangkan ketika itu belum
ada golongan yang dinamakan Syiah maupun Mu’tazilah.
Apapun
halnya, dalam tulisan ini, sepatutnya pertikaian antara sesama Ahlu
Sunnah wal Jamaah sebaiknya dihentikan, sebab bukan masanya lagi
bergaduh, Islam semakin berpecah-pecah akibat sifat saling menjatuhkan
antara sesama yang mengaku Islam Sunni, yaitu antara aliran Asy’ariyah,
Maturidiyah, Salafiyah Wahabiyah dan lain-lain. Sebenarnya semua
golongan tersebut masuk dalam frame ”Ahlu Sunnah wal Jamaah”. Atau
secara umumnya diistilahkan sebagai ”salaf dan khalaf”. Dalam dunia maya
seperti Facebook, blog, Twitter dan lainnya ditemui penamaan website
dengan slogan yang mengarah kepada pencelaan antara golongan, seperti
penamaan ”anti Wahabi”, ”anti Asy’ari”, dan sebagainya.
Pelabelan-pelabelan seperti di atas sangat merugikan umat Islam,
khususnya antara pengikut manhaj Ahli Sunah sendiri, sebab ia akan
menjadi konsumsi publik. Implikasinya, seakan-akan Islam adalah agama
perpecahan dan pergaduhan yang tidak mahukan perpaduan, persatuan dan
kedamaian antara sesama pemeluknya.
Kita
harus membangun bukan meruntuhkan, berdialog bukan menghujat, maju dan
melangkah bersama-sama bukan mundur teratur bersama-sama. Jangan
menjajah teman sendiri, golongan sendiri, cukuplah kita dijajah dan
diganggu dari dalam dan luar Islam dengan berbagai cabaran seperti
kristianisi, sekularisme, liberalisme, pluralisme, feminisme dan
sebagainya, cabaran inilah yang semestinya menjadi pusat perhatian
bersama, sehingga kita dapat mengetepikan ta’assub golongan.
Keadaan
yang demikian, akibatnya ukhuwah Islamiyah rusak, persaudaraan Islam
bubar, timbul saling dengki-mendengki, benci-membenci sehingga umat
Islam menjadi lumpuh tidak berdaya, sekalipun jumlahnya besar. Padahal
Allah SWT telah memperingatkan:
(يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا يَسْخَرْ قَومٌ مِّن قَوْمٍ عَسَى أَن يَكُونُوا خَيْراً مِّنْهُمْ)
“Hai
orang-orang yang beriman, janganlah suatu kaum (golongan)
memperolok-olok kaum (golongan) yang lain (karena) boleh jadi mereka
(yang diperolok-olok) lebih baik dari mereka yang memperolok-olok”.
(Al-Hujurat: 11).
Umat
Islam tidak perlu disibukkan dengan perkara-perkara Takfir dan Tadhlil
atau mengkafirkan orang lain dan menyesatkannya. Biarlah Allah di hari
kiamat yang mengadili makhluknya. Sebab kebenaran yang hakiki hanya
Allah yang memilikinya dan bukan hamba-Nya. Ulama masing-masing golongan
hanya sebatas melakukan ijtihad, yaitu berusaha mencari kebenaran dan
kepastian, perkara betul dan salahnya suatu ijtihad maka Nabi saw telah
memberikan penilaian, sebagaimana sabda beliau:
“إِذَا حَكَمَ الْحَاكِمُ فَاجْتَهَدَ ثُمَّ أَصَابَ فَلَهُ أَجْرَانِ، وَإِذَا حَكَمَ فَاجْتَهَدَ ثُمَّ أَخْطَأَ فَلَهُ أَجْرٌ”
“Seorang
hakim, apabila berijtihad dan ijtihadnya betul, maka baginya dua
pahala, namun apabila ijitihadnya salah, maka baginya satu pahala”.
(Bukhari, no: 6919).
Kita bekerja sama dalam perkara yang kita sepaham, dan saling memaafkan satu sama lain terhadap perkara yang kita perselisihkan.
Dengan
konsep kembali ke ajaran masing-masing dan tidak memaksakan golongan
lain, maka kita mengharap persaudaraan dan hidup berdampingan sesama
umat Islam akan tercapai. Alangkah indahnya persaudaraan sesama Islam,
tanpa menghiraukan puak, kelompok dan alirannya. Kalau kita sama-sama
merenungi ucapan imam al-Tahawi:
“وَلاَ نُكَفِّرُ أَحَدًا مِنْ أَهْلِ الْقِبْلَةِ بِذَنْبٍ مَا لَمْ يَسْتَحِلُّهٌ”
“Tidaklah kami kafirkan seseorang dari umat Islam (Ahli Kiblat) selama ia tidak menghalalkan perkara dosa yang ia perbuat”.
Maksudnya,
antara sesama mukmin dan muslim tidak perlu saling mengkafirkan. Sebab
melabelkan kafir atau muslim itu adalah urusan Allah, bukan urusan
manusia. Masalah “Takfir” sangat berat, karena berhubungkait dengan
hasil perjalanan akhir hidup manusia yaitu ahli surga atau ahli neraka.
Kesepakatan dalam semua perkara tidak akan pernah terjadi dalam dunia ini, karena Allah telah berfirman:
(وَلَوْ شَاء رَبُّكَ لَجَعَلَ النَّاسَ أُمَّةً وَاحِدَةً وَلاَ يَزَالُونَ مُخْتَلِفِينَ)
“Jikalau Tuhanmu menghendaki, tentu Dia menjadikan manusia umat yang satu, tetapi mereka senantiasa berselisih pendapat”. (Huud: 118).
)وَلَوْ شَاء رَبُّكَ لآمَنَ مَن فِي الأَرْضِ كُلُّهُمْ جَمِيعاً أَفَأَنتَ تُكْرِهُ النَّاسَ حَتَّى يَكُونُواْ مُؤْمِنِينَ(
“Dan
jikalau Tuhanmu menghendaki, tentulah beriman semua orang yang di muka
bumi seluruhnya. Maka apakah kamu (hendak) memaksa manusia supaya mereka
menjadi orang-orang yang beriman semuanya”.
(Yunus: 99).
Ayat
di atas menegaskan bahwa dalam lipatan dan rentetan sejarah manusia
semenjak dari masa Nabi Adam as sebenarnya sudah wujud pertentangan
antara golongan.
Sebuah ungkapan yang
menyejukkan hati dari ucapan imam Ibnu Taimiyah tentang hakikat mazhab
Asy’ariah ditulis dalam kitabnya “Majmu Fatawa”, bab kitab “مفصل
الاعتقاد”:
وَأَمَّا لَعْنُ الْعُلَمَاءِ
لِأَئِمَّةِ الأَشْعَرِيَّةِ، فَمَنْ لَعَنَهُمْ عُزِرَ، وَعَادَتِ
اللَّعْنَةُ عَلَيْهِ، فَمَنْ لَعَنَ مَنْ لَيْسَ أَهْلاً لِلَّعْنَةِ
وَقَعَتِ اللَّعْنَةُ عَلَيْهِ. وَالْعُلَمَاءُ أَنْصَارُ فُرُوْعِ
الدِّيْنِ، وَالأَشْعَرِيَّةُ أَنْصَارُ أُصُوْلِ الدِّيْنِ
“Manakala
sesiapa yang melaknat ulama-ulama Asy’ariah maka si pelaknat itu
hendaklah dihukum ta’zir dan kembali laknat itu kepada sesiapa yang
melaknat mereka (Asy’ariah), juga sesiapa yang melaknat orang yang bukan
ahli untuk dilaknat maka dialah yang perlu dilaknat, ulama (Fiqah)
adalah pejuang kepada cabangan agama (fiqah), sedangkan ulama-ulama
Asy’ariah adalah pejuang kepada asas agama (usuluddin).”
Oleh
karena itu, tidak ada salahnya berbeda dan bersilang pendapat, tapi
jangan sampai perbedaan tersebut meningkat kepada permusuhan. Boleh
menganggap salah golongan lain, tapi jangan mencela dan mencaci.
Tanamkan sikap toleransi bukan ta’assub, saling menyambung persaudaraan
sesama muslim bukannya malah memutuskan hubungan, mengajak berdialog dan
bukannya berseteru antara satu sama lain. Prioritaskan bendera ”agama”
bukan bendera ”mazhab” dan ”golongan”.
Rukun Iman Ahlu Sunnah wal Jamaah
Pengertian istilah Iman
Iman secara bahasa berarti al-tasdiq (membenarkan). Sedangkan secara istilah syar’i, iman adalah:
  1. Keyakinan dalam hati (اَلتَّصْدِيْقُ بِالْقَلْبِ).
  2. Perakuan dengan lisan (اَلْإِقْرَارُ بِاللِّسَانِ).
  3. Pengamalan dengan anggota badan (اَلْعَمَلُ بِالْجَوَارِحِ).
Dengan
demikian definisi iman meliputi tiga keperluan: keyakinan hati,
perkataan lisan, dan tindakan amal perbuatan. Jika amalan seseorang baik
maka nilai iman bertambah, dan jika amalannya buruk/maksiat maka nilai
imannya berkurang.
Imam Syafi’i
berkata, “Iman itu meliputi perkataan dan perbuatan. Dia bisa bertambah
dan bisa berkurang. Bertambah dengan sebab ketaatan dan berkurang dengan
sebab kemaksiatan.” Imam Ahmad berkata, “Iman bisa bertambah dan bisa
berkurang. Ia bertambah dengan melakukan amal, dan ia berkurang dengan
sebab meninggalkan amal”. Imam Bukhari mengatakan: “Aku telah bertemu
dengan lebih dari seribu orang ulama dari berbagai penjuru negeri, aku
tidak pernah melihat mereka berselisih bahwasanya iman adalah perkataan
dan perbuatan, bisa bertambah dan berkurang”.
Rukun Iman:
Rukun Imam ada enam, yaitu:
  1. Iman kepada Allah: Seseorang tidak dikatakan beriman kepada Allah hingga dia mengesakan Allah SWT atau tidak mempersekutukanNya.
  2. Iman
    kepada para malaikat Allah, bilangan malaikat yang wajib dipercayai ada
    sepuluh yaitu: Malaikat Jibril, Malaikat Mikail, Malaikat Rakib,
    Malaikat Atid, Malaikat Mungkar, Malaikat Nakir, Malaikat Izrail,
    Malaikat Israfil, Malaikat Malik, Malaikat Ridwan.
  3. Iman kepada
    kitab-kitab Allah dengan meyakini empat kitab yaitu: Kitab Taurat (Nabi
    Musa), Kitab Zabur (Nabi Daud), Kitab Injil (Nabi Isa), Kitab al-Quran
    (Nabi Muhammad SAW).
  4. Iman kepada para rasul Allah dengan
    mengakui bahwa ada di antara laki-laki dari kalangan manusia yang Allah
    SWT telah memilih sebagai perantara antara diri-Nya dengan para
    makhluk-Nya. Akan tetapi mereka semua tetaplah merupakan manusia biasa
    yang sama sekali tidak mempunyai sifat-sifat dan hak-hak ketuhanan,
    karenanya menyembah para nabi dan rasul adalah kebatilan yang nyata.
    Wajib mengimani bahwa semua wahyu kepada nabi dan rasul itu adalah benar
    dan bersumber dari Allah SWT.
  5. Iman kepada hari akhir/kiamat
    dengan percaya sepenuhnya bahwa akan terjadi hari kiamat sebagai hari
    pembalasan amalan-amalan hamba yang telah dilakukan di alam dunia.
  6. Iman
    kepada qada dan qadar (Takdir) dengan meyakini bahwa segala yang
    menimpa manusia terjadi di atas kehendak dan keputusan Allah SWT, baik
    ianya baik mahupun buruk, yaitu takdir yang baik dan buruk.
Kesimpulan
  1. Ahli
    = keluarga, Sunnah = ucapan, tindakan, persetujuan, dan perilaku
    Rasulullah Saw dalam menjalankan risalah Islam. Ahlus Sunnah = mereka
    yang mengikuti sunnah Rasulullah Saw dan sunnah para sahabatnya.
    Al-Jamaah = bersama atau berkumpul dalam kebenaran.
  2. Ahli Sunah
    wal Jamaah adalah mereka yang senantiasa tegak di atas Islam berdasarkan
    Quran dan hadits dengan pemahaman para sahabat, tabi’in, dan tabi’
    al-tabi’in.
  3. Istilah Ahlu Sunnah wal Jamaah sebenarnya
    dimunculkan dan disosialisasikan di tengah masyarakat untuk membedakan
    ajaran Islam yang murni, benar, betul dan lurus daripada ajaran sesat,
    seperti pemikiran-pemikiran menyimpang dan menyeleweng yang dibawa oleh
    puak Jahmiyah, Qadariyah, Syiah dan Khawarij.
  4. Sifat Ahlus Sunnah
    wal Jamaah antara lain: Beriman kepada enam rukun iman, mengakui
    (mengimani) semua yang dibawa para nabi dan rasul, mengakui salasilah
    kepimpinan Khulafaurrashidin yang dimulai dengan Abu Bakar, Umar, Usman
    dan diakhiri oleh Ali bin Abi Thalib.
  5. Ahlu Sunnah wal Jamaah tidak mencela dan mengkafirkan orang yang tidak sealiran dengan mereka.
  6. Puak Asy’ariyah dan Maturidiyah adalah Ahlu Sunnah wal Jamaah.
BIBLIOGRAFI:
Al-Azhari, 1964, Abu Mansour, Tahzib al-Lughah, Darul Makrifat, Beirut-Lebanon.
Al-Ghazali, Abu Hamid, 2003, al-Munqiz min al-Dalal, Beirut-Lebanon, Darul Jail.
Al-Maturidi, Abu Mansour, 2005, Ta’wilaat Ahlu Sunnah, Beirut-Lebanon, Darul Kutub Ilmiah.
Al-Taftazani, Abu al-Wafa, (n.d), Ilmu al-Kalam wa Ba’du Musykilatih, Kahirah-Egypt, Maktabah al-Qahirah al-Haditsah.
Hasan, al-Syafi’i, 1991, al-Madkhal ila Dirasah Ilmi al-Kalam, Kaherah-Egypt, Maktabah Wahbah.
Ibnu Abi al-‘Iz, 1997, Syarh al-Akidah al-Tahawiyah, Beirut-Lebanon, Muassasah al-Risalah.
Ibnu Faris, Ahmad, 2011, Mu’jam Maqaayiis al-Lughah, Beirut-Lebanon, Darul Kutub Ilmiah.
Ibnu Mandzur, 2003, LIsan al-Arab, Beirut-Lebanon, Darul Kutub Ilmiah.
Ibnu Taimiyah, (n. d), Minhaj al-Sunnah, Kaherah-Egypt, Darul Hadits.
Nurdin, Kamaluddin, 2009, Kamus Syawarifiyyah, Sinonim Arab-Indonesia, Jakarta-Indonesia, Ciputat Press.
Nurdin, Kamaluddin, 2011, Nash’at al-Firaq wa Tafarruquha, Beirut-Lebanon, Darul Kutub Ilmiah.
Tash Kibri Zadah, 2002, Beirut-Lebanon, Darul Kutub Ilmiah.

>

IKADI KEC NGUTER KAB SUKOHARJO

☘Sekretariat : Jl Raya Solo Wng Km 22 Sukoharjo

☘Butuh Khatib Dai Wilayah Nguter Sukoharjo 📞 081-2261-7316

Gabung channel telegram.me/ikadi_nguter

💈webinfo : http://www.ceramahsingkat.com

💈IG : @ikadi_nguter

💈Telegram : @ikadi_nguter

💈Fb.: Tausiyah Singkat

Ikatan Dai Indonesia (IKADI) Kec. Nguter Kab. Sukoharjo
Menebar Islam Rahmatan Lil ‘Alamin

Toko Busana Keluarga Muslim
GRIYA HILFAAZ 
Toko Busana Keluarga Muslim

Leave a comment