Ketika Kami Membangun Kebersamaan


Tulisan sebelumnya Mengapa Berada di Jalan Da’wah?

Menjadi Batu Bata Dalam Bangunan Ini

Rasulullah SAW bersabda,”Perumpamaan aku dengan nabi sebelumku,ibarat seorang lelaki membuat sebuah bangunan yang diperindah dan dipercantik seluruhnya,kecuali satu tempat untuk batu bata di salah satu sudutnya. Ketika orang-orang mengelilinginya,mereka kagum dan berkata, seandainya ada batu bata diletakkan disitu. Maka akulah batu bata itu,dan aku adalah penutup para nabi.”

Ibnu Hajar Al-Atsqalani dalam Fath Al Bari,menyatakan hadits tersebut mengandung makna yang jelas bahwa Muhammad Rasulullah SAW adalah nabi terakhir dari sekian banyak para nabi sebelumnya. Demikianlah pada dasarnya da’wah ini adalah sebuah estafeta perjuangan. Sebagaimana da’wah yang diserukanpara nabi terdahulu ,dilanjutkan dan disempurnakan dengan da’wah yang diperjuangkan Rasulullah SAW. Menurut Dr. Said Ramadhan Al Buthy, penulis Fisqush Sirah,Dirasat Manhajiah Ilmiah Li Siraitil Mustafa Alaihish shalatu was salam,menguraikan bahwa hubungan antara da’wah nabi muhammad SAW dengan da’wah para nabi terdahulu,berlangsung di atas prinsip ta-kiid (penegasan) dan tatmiim (penyempurnaan). Da’wah para nabi berlandaskan dua asas yaitu akidah (akhlak) dan syariat.

Keberadaaan kami di jalan ini adalah karena kehendak kami untuk ambil bagian dalam bangunan besar ini. Maka sebagaimana proses membangun sebuah bangunan pada umumnya,tukang batu pasti akan memilah-milah batu bata mana yang akan ia tempatkan pada bangunannya. Tak semua batu bata diletakkan pada posisi yang tinggi dan tidak juga harus semuanya ada di bawah. Bahkan terkadang si tukang batu akan memotong batu bata tertentu jika dibutuhkan untuk menutup posisi batu bata yang masih kosong guna melengkapi bangunannya.

“Sesungguhnya medan berbicara itu tidak semudah medan berkhayal. Medan berbuat tidak semudah berbicara. Medan jihad yang benar,tidak semudah medan jihad yang keliru. Terkadang sebagian besar orang mudah berangan-angan,namun tidak semua angan-angan yang ada dalam benak mampu diucapkan dengan lisan. Betapa banyak orang yang dapat berbicara ,namun sedikit sekali yang sanggup bekerja dengan sungguh-sungguh. Dan dari yang sedikit itu banyak yang sanggup berbuat namun jarang yang mampu menghadapi rintangan-rintangan yang berat dalam berjihad…” (Hasan Al Bana).

Batu Bata yang Unik dan Khas

Sebagaimana para nabi dan salafus shalih memiliki kriteria istimewanya yang menghiasi perjalanan mereka dalam memperjuangkan agama Allah SWT. Lihatlah bagaimana kekhususan Rasulullah SAW,

“Aku diberi keistimewaan melalui kemenangan dengan tumbuhnya rasa takut di dalam diri musuh dalam jarak perjalanan satu bulan.”

“Aku diberi kekhususan dengan dijadikan untukku bumi sebagai masjid yang suci. Siapapun dari umatku yang memasuki waktu shalat hendaknya ia segera shalat.”

“Aku dibolehkan mengambil ghanimah (harta rampasan perang) dan tidak diperbolehkan kepada seorangpun sebelumku.”

Masih banyak kekhususan Rasulullah SAW,sebagaimana Abu Sa’id An Nisaburi Dalam kitab Syaraf Al Mushtafa.

Para sahabat rasul yang mulia juga memiliki kekhususan dan keunikan. Dalam sebuah sabdanya Rasulullah SAW mengatakan, “Abu Bakar Shiddiq ra adalah manusia paling penyayang. Umar Al Faruq ra adalah yang paling tegas dalam agama Allah. Utsman ra adalah yang paling tulus dalam sifat malunya. Ali Bin Abi Thalib ra adalah yang paling adil. Ubay Bin Ka’b adalah yang paling menguasai bacaan Al Qur’an. Mu’adz Bin Jabal yang paling mengetahui halal haram. Zaid Bin Tsabit yang paling mudah memberi pinjaman. Ketahuilah sesungguhnya setiap umat itu mempunyai delegasi kepercayaan. Dan orang yang paling dipercaya menjadi delegasi adalah Abu Ubaidah Bin Al Jarrah.” (Sunan Ibnu Majah, no. 154)

Untuk Menolong, Bukan Ditolong

 

Kami mempercayai bahwa kehidupan ini milik Allah SWT,milik kaum muslimin dan bukan milik kami sendiri. Semua yang digunakan untuk diri sendiri hilang tapi kebaikan yang diberikan kepada orang lain itulah yang abadi. Itulah yang dituliskan oleh Sayyid Quthb rahimahullah, “Innal laadzi ya ‘iisyu linafsihi, ya’iisyu shagiiran wa yamuutu shagiiran. Wal ladzii ya’iisyu li ummatihi ya’iisyu ‘azhiiman kabiiran wa laa yamtu abadan.” Sesungguhnya orang yang hidup untuk dirinya sendiri, ia akan hidup kecil dan mati sebagai orang kecil. Sedangkan orang yang hidup untuk umatnya, ia akan hidup mulia dan besar,serta tidak akan pernah mati.

Disini kami lebih merasakan makna kehidupan yang bersumber dari keberartian bagi orang lain melalui firman Allah SWT,

“Jika kalian menolong (agama) Allah, niscaya Allah menolong kalian dan mengokohkan pijakan kaki kalian.” ( QS. Muhammad:9)

Di jalan inilah juga kami semakin terkesan degan hadits Rasulullah SAW,” Peliharalah (hak-hak) Allah, niscaya Ia akan memelihara engkau. Peliharalah (hak-hak) Allah niscaya engkau akan mendapati-Nya mendukung kalian.”

Di jalan ini ,kami tidak melihat saudara yang kehidupannya terpuruk dan hancur akibat banyak mendermakan ilmu dan pikirannya untuk menda’wahkan masyarakat bila dilakukan dengan niat ikhlas dan kami juga tidak menyaksikan seseorang yang terlantar karena kesibukannya memperhatikan dan memikirkan da’wah. Akhirnya kami mengerti betapa banyak permasalahan yang secara rasio tidak mungkin terjadi karena pertologan dan bantuan Allah SWT.

 

Berjalan dengan Keseimbangan Ibadah dan Mu’amalah

Keseimbangan itu penting dalam praktik nilai-nilai islam. Sikap seimbang,dan proporsional adalah salah satu pelajaran dan pembinaan yang kami peroleh dari jalan da’wah. Jalan ini tidak memberatkan kami pada satu bidang atau satu bentuk amal shalih dengan mengabaikan bidang amal shalih yang lain. Kami tidak terjebak dalam ruang ubudiyah tanpa ruang mu’amalah. Karena pemahaman seperti ini, amal-amal kami tidak terpusat pada satu bentuk ibadah melainkan tersebar ke berbagai wilayah. Maka Allah SWT menyebutkan Rasulullah SAW dengan firman-Nya:

“Dan karena rahmat Tuhanmulah engkau berlaku lemah lembut kepada mereka. Jika engkau bersifat keras hati niscaya mereka akan menjauhimu.” (QS. Ali Imran : 159)

Jalan da’wah menciptakan suasana yang mendukung kami memadukan amal-amal yang bersifat ubudiyah dan mu’amalah secara baik. Dan jaln da’wah telah membantu kami untuk menjadi manusia Muslim yang tidak hanya melakukan amal-amal ubudiyah secara baik,tapi juga mempunyai peran secara sosial yang baik juga.

Sebaik-baik Bekal adalah Taqwa

Ketika Allah SWT berfirman “wa tazawwaduu, fa inna khaira zaadit taqwa…”,firman Allah SWT ini memiliki makna tersirat bahwa manusia memiliki 2 bentuk perjalanan yaitu perjalanan di dunia dan perjalanan dari dunia. Perjalanan di dunia memerlukan bekal, baik berbentuk makanan,minuman,harta dan sebagainya. Sementara perjalanan dari dunia juga memerlukan bekal yaitu mengenal Allah,mencintai Allah,berpaling dari selain Allah. Dan semua perbekalan itu terhimpun dalam kata “taqwa”. Perbekalan perjalanan dari dunia lebih penting dari perbekalan perjalanan di dunia,karena beberapa hal dan terdapat dalam tafsir ar raazi, yaitu:

1. Perbekalan dalam perjalanan di dunia akan menyelamatkan kita dari penderitaan yang belum tentu terjadi,tapi perbekalan perjalanan dari dunia akan menyelamatkan kita dari penderitaan yang pasti terjadi.

2. Perbekalan dalam perjalanan dunia akan menyelamatkan kita dari kesulitan sementara,tapi perbekalan perjalanan dari dunia akan menyelamatkan kita dari kesulitan yang tiada habisnya.

3. Perbekalan dalam perjalanan di dunia akan mengantarkan kita pada kenikmatan dan pada saat yang sama mungkin saja kita juga mengalami rasa sakit,keletihan dan kepayahan. Sementara perbekalan perjalanan dari dunia akan membuat kita terlepas dari marabahaya dan terlindung dari kebinasaan sia-sia.

4. Perbekalan dalam perjalanan di dunia memiliki karakter bahwa kita akan melepaskan sesuatu dalam perjalanan,sedangkan perbekalan perjalanan dari dunia memiliki karakter kita akan lebih banyak menerima dan semakin dekat dengan tujuan.

5. Perbekalan dalam perjalanan di dunia akan mengantarkan kita pada kepuasan syahwat dan hawa nafsu. Sementara perbekalan untuk perjalan dari dunia akan semakin membawa kita pada kesucian dan kemuliaan. (Tafsir Ar Raazi, 5/168)

Bekal Taqwa, Termasuk Komitmen dengan Jama’ah Da’wah

Disini kami mengambil bekal-bekal ketaqwaan dari teman-teman di jalan da’wah. Kami mendapatkan hamparan jalan melakukan amal-amal shalih lebih bervariasi dan banyak di jaln ini. Karenanya,begitu penting makna keterikatan kami dengan jam’aah da’wah. Seperti perkataan ibnu abbas radhiallahu ‘anhu kepada al hanafi ; “yaa hanafi, al jama’ah.. al jama’ah… sesungguhnya kehancuran umat-umat terdahulu adalah karena mereka terpecah dari jama’ah. Tidaklah engkau mendengarkan firman Allah swt:

“dan berpegang teguhlah kalian pada tali Allah dan janganlah kalian terpecah belah.” (QS. Ali Imran : 103)

Kebersamaan Kami Terikat Lima Hal

Rasulullah SAW telah memberitahukan kami tentang tabi’at orang-orang yang mengikuti jalan perjuagannya. Tapi inilah jalan yang sudah kamipilih,untuk kami lalui dalam hidup dan menuju kebahagiaan hakiki di akhirat. Maka kami harus berusaha megikat diri dengan jalan ini degan saudara-saudara kami di jalan ini. Ada lima ikatan yang setidaknya mengharuskan kami tetap berada di sini:

1. Rabithatu al ‘aqidah (ikatan aqidah) yaitu tali ikatan aqidah islamiyah yang menyatukan kami dengan jalan ini dengan kesamaan imanlah yang menghimpun kami bersama saudara-saudara kami disini.

2. Rabithatu al fikrah (ikatan pemikiran) yaitu ikatan yang berdasarkan kesamaan cita-cita dan pemikiran dalam menyampaikan kami kepada keridhaan Allah swt.

3. Rabithatu al ukhuwwah (ikatan persaudaraan) yaitu ikatan persaudaraan karena Allah dengan kebersamaan kami berjalan dan memenuhi tugas di jalan ini.

4. Rabithatu at tanzhim (ikatan organisasi) yaitu ikatan yang merupakan perencanaan dan keteraturan yang mengatur langkah-langkah kami dalam jalan organisasi da’wah.

5. Rabithatu al ‘ahd (ikatan janji) yaitu di jalan da’wah ini kami mengikrarkan janji kepada Allah serta kepada saudara-saudara perjalanan untuk tetap seita dan mendukung perjuangan da’wah.

ü Afiliasi Formal (Intima Tanzhimi) Dan Afiliasi Non Formal (Intima Afawi)

Inilah yang kami pahami dari kaidah da’wah yang kami petik dari para guru da’wah ,”kam fiina wa laisa fiinaa, wa kam minnaa wa laisa minna.” Berapa banyak orang pada dasarnya berjuang untuk kepentingan da’wah yang juga akan kami perjuangkan akan tetapi ia tidak berada dalam institusi kami dan berapa banyak orang pula yang berada dalam institusi kami tapi tidak murni memperjuangkan kepentingan da’wah yang kami perjuangkan. Ada banyak alasan yang melatarbelakangi kondisi ini yaitu bahwa afiliasi sejati seorang Muslim adalah afiliasinya kepada agama ini. Sebagaimana disebutkan Ustadz Sa’id Hawa rahimahullah, “afiliasi prinsip seorang muslim adalah afiliasinya kepada agama ini setelah runtuhnya khilafah islamiyah dan terpecahnya kaum muslimin ke berbagai wilayah maka afiliasi seorang muslim tidak bisa lagi disatukan pada satu khilafah tertentu. Namun seorang muslim harus menjadi bagian dari kelompok sebagaimana disebutkan aleh nash hadits, “akan selalu ada sekelompok dari umatku yang tetap menampilkan perjuangan terhadap al haq.” Menurut Sa’id Hawwa rahimahullah, afiliasi itulah yag menandakan seseorang telah menunaikan kewajiban zaman dan waktunya disaat ia hidup. (Jundullah Takhithan , 17, Sa’id Hawwa)

Yang Melemahkan Ikatan Dalam Amal Jama’i

Beramal jama’i memiliki seni interaksi sendiri yang harus dimiliki siapa saja yang ingin melakukannya. Ini bukan perkara mudah dan karenanya tidak semua orang bisa berada dalam bangunan amal jama’i untuk da’wah ilallah ini. Ada beberapa keadaan yang umumnya bisa melemahkan seseorang dalm beramal jama’i :

1. Masalah al fahm (pemahaman). Ada pendapat yang memandang bahwa amal jama’I termasuk ibadah nafilah yang boleh dilakukan dan boleh ditinggalkan. Bahkan ada yang menganggap tidak sampai nafilah. Dalam situasi konflik kepentingan dan benturan ideologi yang mengelilingi umat islam saat ini,maka tak ada cara yang paling baik dilakukan adalah menolong agama Allah,kecuali amal jama’I yang teratur menjadi kewajiban bagi setiap muslim.

2. Ketakutan dan kekhawatiran. Maksudnya sikap meninggalkan amal jama’i bisa dilatarbelkangi adanya kekhawatiran amal-amal islam yang dilakukan secara terorganisir dan rapi

3. Motif ketertarikan terhadap individu,bukan kepada manhaj. Ada sebagian orang yang memandang para tokoh jama’ah da’wah dengan pandangan sangat ideal hingga tahap yang tidak logis. Memang,tidak sedikit orang yang bergabung dalam amal jama’i lantaran terpesona dengan sikap sejumlah tokonya dengan kekaguman yang luar biasa. Lalu bila orang yang diidolakan itu mengalami kelemahan ,ia menjadi sangat kecewa hingga meninggalkan amal da’wah.

Dalam hal ini tentu saja musharahah (keterusterangan) serta kejujuran menjadi penting bagi kami dan saudara-saudara kami. Sesungguhnya kepercayaan antara kami akan semakin terbentuk kuat dengan adanya keterusterangan ini.

Tsiqah Sebagai Maharnya

Ketsiqahan (kepercayaan/keyakinan) adalah analisir penting bagi kami karena tsiqah yang kuat membuat kami secara bersama-sama mampumembuahkan kerja-kerja da’wah yang baik. Mahar tsiqah di jalan ini harus ditunaikan bersama-sama antara kami dengan qa-id (pemimpin) kami di jalan ini. Perbedaannya, jika mahar dalam perkawinan hanya merupakan kewajiban sang suami sedangkan mahar tsiqah dalam jalan da’wah ini harus ditunaikan kedua belah pihak baik pemimpin maupun anggota. Guru kami hasan al banna rhimahullah mengistilahkannya dengan kalimat tsiqah mutabadilah atau tsiqah secara timbal balik antara anggota dan pemimpin dan sebaliknya. Prinsip yang kami pegang sesuai deang sabda rasulullah saw “berbahagialah seorang hamba yang memegang kendali kudanya, kusut masai rambutnya , dan berdebu kakinya. Jika ia bertugas dibelakang ia tetap di belakang. Ketika meminta izin ia tidak diberi izin dan ketika memberi bantuan tidak diperkenankan.” (HR. Bukhari)

ü Promosi Penempatan Di Jalan Da’wah

Kunci utama atau kriteria utama Rasulullah saw dalam memilih orang-orang yang dilimpahkan tanggungjawab pemimpin yaitu pertama menunaikan haknya (haqqiha) dan menjalankan tugasnya (adda al-ladzi alaihi fiiha). Pengalaman di jalan da’wah mengajarkan beberapa langkah strategis agar tercipta keselarasan antar kami dengan saudara-saudara di jalan ini:

1. Kami harus bertanya lebih dahulu kepada diri sendiri dan menjawab pertanyaan kami ini harus jujur. Kami harus merenungi dan mendapatkan secara jelas motif-motif itu dengan kejujuran .

2. Kami harus menunaikan tugas yang telah dibebankan dengan sebaik-baiknya. Jangan sampai ketidakpuasan terhadap posisi tertentu membuat malas menunaikan tugas dan kewajiban.

3. Kami harus membiasakan untuk menunjukkan keahlian dan memperkenalkannya dengan baik kepada pemimpin dan saudara-saudara di jalan ini.

4. Terus terang kepada sesama saudara dan pimipinan tentang permasalahan yang ada kaitannya dengan da’wah.

5. Selalu berharap kepada Allah melalui do’a dalam shalat,sujud dan waktu-waktu mulia agar dikaruniakan amal shalih yang mendekatkan kita kepada-Nya.

Dari Buku : Beginilah Jalan Dakwah Mengajarkan Kami

Bab II Ketika Kami Membangun Kebersamaan

2 thoughts on “Ketika Kami Membangun Kebersamaan

  1. Pingback: Perjalanan Beraroma Semerbak | Secarik Motivasi Diri

Leave a comment