Syamil: Mendeteksi Insting Kepahlawanan Sejak Dini


By: Nandang Burhanudin
****

Tanpa saya duga, tulisan Syamil: Jundi Pengigau Al-Qur’an itu Telah Tiada mendapat respon sangat postif dari jamaah fesbukiyyah di hampir seluruh negara dunia. Dishare ratusan orang dan dicopy paste banyak web dab blog. Tentu yang memahami Bhs Indonesia.

Kini saya tertarik kembali menuliskan sosok Syamil. Landasannya adalah hadis Rasulullah saw. “Jika Allah menghendaki kebaikan kepada seorang hamba, Allah pasti memberikan taufiq untuk menjalankan kebaikan.”

Taufik dalam hemat saya adalah, kesiapan kita untuk menerima hidayah iman plus kesiapan beramal sholih. Hidayah Allah terlalu banyak berseliweran di depan kita. Seiring banyaknya masalah, maka sebenarnya Allah membukakan jalan pintu-pintu kebaikan. Hanya saja, karena tak ada taufik, kebaikan itu kita lewatkan begitu saja. Hingga waktu berlalu, amal shalih kita tak sebanding dengan panjangnya umur, gelar pendidikan, daya jelajah, bahkan tebaran manfaat.

Saya beberapa kali berhadapan dengan tipe-tipe muslim yang tak terusik untuk meraup pahala. Saat masjid tidak tersedia. Dia tak ikut serta menyumbang, malah komentar, “Alah…bosen, malu bikin masjid aja pake proposal!” Ketika sudah jadi, ia pun tak aktif memakmurkan. Nah lucunya, saat ada yang terpanggil memakmurkan, “Awas…masjid dijadikan rapat partai PKS! Hati-hati, nanti dikuasai kader-kader PKS.” Tidak cukup komentar, saat kencleng masjid lewat, ia tak ikut menyumbang. Malah ia masukkan selembar kertas surat kaleng, yang isinya caci maki dan kritikan yang sudah membabi, buta lagi.

Ada lagi pengalaman, ketika sebuah sekolah hendak menyewa tanah fasum selama 1 tahun. Dengan konpensasi; biaya sewa, atau bangunan jadi hibah untuk RW, atau dibuatkan arena olahraga. Orang yang mendapat hidayah dan taufik sepakat berkata, “Kita izinkan saja. Tidak harus sewa. Nyumbang gak bisa. Semoga ini dalam rangka amal shalih. Apalagi untuk pendidikan!” Tapi bagi yang tidak memiliki taufik, kesempatan amal shalih itu pun sirna. Ia tak datang saat rapat. Malah membuat surat tandingan, yang mengajak warga agar menolak. Tanahnya tetap dibiarkan tak terurus. Namun izin Allah, sekolah itu malah mampu membeli ribuan meter.

Nah, saya perhatikan sosok Syamil yang baru 7 tahun, menyimpan insting kepahlawanan. Orangtuanya yang dokter. Neneknya yang profesor kenamaan di Unpad. Kakeknya yang pengusaha, tentu mampu menyekolahkan ke sekolah favorit. Tapi isnting kepahlawanan itu yang membuat Syamil memilih sekolah yang waktu itu bangunannya -kata sebagian orang- mirip-mirip kandang ayam. Syamil tak terpengaruh bujukan. Ia saya lihat semangat berangkat ke sekolah, apapun cuacanya. Bahkan rela melewati jalan sekolah yang masih bertaburan tanah.

Tadi pagi, ayahnya Syamil+Bunda+dan adiknya mendatangi rumah saya. Istri saya sudah wanti-wanti, “Jangan terima apapun atas nama apapun, untuk kepentingan pribadi.” Tapi saya tercengang, saat Bunda Syamil mengatakan, “Ini ada uang ta’ziah untuk Syamil dari karib kerabat. Kami sumbangkan untk SDIT Insan Teladan. Semoga bermanfaat!”

Saya kembali tak kuasa menahan tangis. Saat mereka berkata, “Syamil benar-benar menakjubkan. Bagi kami, akhlaknya yang tertata dan hafalan Al-Qur’annya benar-benar menakjubkan! InsyaAllah, adik-adiknya nanti kami sekolahkan di SDIT Insan Teladan.”

Bagi saya pribadi, Syamil adalah generasi yang lahir dari keluarga yang telah tershibghoh insting kepahlawanan. Keluarga tarbawi, yang tak mementingkan marhalah tarbawiyah. Tapi lebih fokus pada kualitas. Inilah tarbiyah yang memperkuat taufiq, hingga saat hidayah diterima, ia tak mudah bubar atau sekedar mencair. Disini bertemu sinergi, antara keluarga tarbawi+sekolah tarbawi+insting kepahlawanan= lahirlah pengorbanan.

Mari berguru kepada almarhum Syamil. Usia boleh belia. Tapi hidupnya tak ada cacat dan cela. Saat sakaratul maut menjemputnya dengan tilawah An-Nas hingga An-Naba. Ketika sudah dimakamkan, ia tinggalkan wakaf yang menjadi jejak-jejak amal shalih. Bagaimana dengan kita? Jangan sampai usia kita tua. Tapi tak pernah dewasa. Fisik saja yang renta. Tapi selama hidup tak tertarik deposito pahala. Lebih parahnya, gelar pendidikan panjang, harta berlimpah, pangkat tinggi, tapi tak terbersit meninggalkan jejak-jejak amal shalih. Malah sebaliknya, menghambat orang lain yang ingin beramal shalih. Tua itu pasti. Dewasa itu hasil tempaan. Mati itu pasti, husnul khatimah harus disiapkan.

Selamat jalan Syamil. Kisahmu terlalu peanjang untuk dituliskan. ****

Leave a comment