Prinsip-prinsip Dasar Pendidikan Kedewasaan


Alwi Alatas

 

Perbedaan utama antara anak-anak dan orang dewasa adalah dalam hal kemandirian. Kemandirian ‎adalah sebagian dari kekuatan. Seorang anak masih berada dalam keadaan lemah dan belum mampu ‎untuk berdiri sendiri. Karena itu ia diasuh dan dibimbing oleh orang tuanya. Saat menjadi pemuda dan ‎dewasa, secara gradual ia masuk dalam fase kekuatan yang memungkinkan dirinya untuk mandiri dan ‎akhirnya tidak lagi bergantung pada orang tuanya. Ini merupakan siklus yang alami pada setiap ‎manusia. ‎

Seperti telah disebutkan pada artikel yang lain sebelum ini, al-Qur’an membagi siklus hidup manusia ‎dalam tiga bagian. Begitu pula yang disebut pada ayat berikut ini:‎

‎“… kemudian dilahirkannya kamu sebagai seorang anak (thiflan), kemudian (kamu dibiarkan hidup) ‎supaya kamu sampai kepada masa dewasa (tablughu asyuddakum), kemudian (dibiarkan kamu ‎hidup lagi) sampai tua (syuyukhan) ….” (QS 40: 67)‎

Ayat tersebut menggunakan terma “tablughu asyuddakum” untuk fase dewasa. Istilah ini digunakan ‎beberapa kali dalam al-Qur’an, di antaranya terkait penjagaan terhadap anak-anak yatim. Saat ‎menjelaskan tentang istilah ini pada ayat yang lain (QS 6: 152), Imam al-Thabari menjelaskan di dalam ‎Tafsir-nya bahwa kata asyudda merupakan jamak dari kata syaddun dan maknanya adalah kekuatan ‎‎(quwwah). Ia juga menafsirkan “tablughu asyuddakum” sebagai tercapainya puncak kekuatan pada ‎usia muda. Sebagian mufassir menakwilkan kata-kata ini sebagai terjadinya ihtilam atau mimpi basah ‎‎(Tafsir al-Thabari, vol. 12, hlm. 222-223). Dengan kata lain, usia muda atau usia dewasa menghadirkan ‎ke dalam dirinya puncak kekuatan, dan bersamaan dengan itu juga kemampuan untuk mandiri.‎

Masalahnya, mandiri dalam hal apa, sehingga dapat dikatakan seseorang itu sudah dewasa?‎

 

ayah-dan-anakdilapangan

Setelah direnungi secara mendalam, setidaknya ada empat aspek kemandirian yang menjadi pokok ‎perbedaan antara anak-anak dengan orang dewasa, yaitu adanya identitas diri, tujuan hidup atau visi, ‎kemampuan mengambil keputusan, serta rasa tanggung jawab. Seorang anak belum memiliki ‎kemandirian dalam keempat hal tersebut, sementara seorang yang dewasa (seharusnya) sudah ‎memilikinya. ‎

Identitas diri seorang anak masih ikut dengan orang tuanya, tujuan hidupnya masih berubah-ubah, ia ‎belum mampu untuk membuat pilihan dan mengambil keputusan secara dewasa, dan belum mampu ‎untuk memikul tanggung jawab. Namun seiring dengan tumbuhnya si anak mencapai usia baligh dan ‎menjadi seorang pemuda, ia mulai memiliki kekuatan dan kemampuan untuk mandiri dalam keempat ‎aspek tersebut. Berbeda dengan anak-anak, seorang yang dewasa sudah memiliki identitasnya sendiri, ‎mantap dengan tujuan hidup dan cita-citanya, mampu membuat keputusan secara dewasa, serta ‎mampu dan mau memikul tanggung jawab. ‎

Karena itu menjadi tugas orang tua dan para pendidik untuk membimbing anak-anak agar memahami ‎hal ini serta membantu mereka agar mampu mandiri dalam keempat aspek ini saat umurnya mencapai ‎usia dewasa, yaitu saat ia baligh atau berusia 15 tahun. Jika tidak demikian, maka ia akan tumbuh ‎menjadi seorang yang kekanak-kanakan, walaupun ia sudah mencapai fase usia dewasa dan sudah ‎memiliki potensi kekuatan dan kemandirian. Bukan hanya menjadi seorang yang kekanak-kanakan, ‎bahkan ia bisa memberontak dari orang tuanya, karena sudah terdorong untuk memiliki identitas ‎sendiri. Ia akan mudah terpengaruh oleh teman-temannya karena masih sangat labil dalam tujuan ‎hidupnya. Ia juga mungkin mengambil keputusan-keputusan yang buruk dan fatal serta menjadi ‎sangat tidak bertanggung jawab dalam hidupnya. ‎

Orang tua perlu membimbing serta melatih anak-anaknya untuk mencapai aspek-aspek kemandirian ‎ini. Kalau tidak, orang tua akan mengalami banyak kesulitan dan kesusahan saat anak tumbuh menjadi ‎remaja. Bukannya menjadi seorang berkarakter dewasa, anak tersebut akan menjadi seorang remaja ‎yang labil dan sulit diatur. Akhirnya ia menjadi seperti yang disebutkan Raja Ali Haji di dalam Gurindam ‎Dua Belas pasal ke-7:‎

Apabila anak tidak dilatih, ‎
Jika besar bapanya letih.‎

 

Busana Muslim Branded Berkualitas
Busana Muslim Branded Berkualitas

Kami akan membahas secara lebih detail masing-masing aspek-aspek kedewasaan dalam tulisan yang ‎lain. Namun pada artikel ini akan diberikan contoh dari sebuah kisah yang indah.‎

Kedewasaan Ismail

Nabi Ismail ‘alaihis salam tumbuh besar di kota Makkah. Ketika ia menjadi seorang pemuda, ayahnya ‎Ibrahim ‘alaihis salam menerima perintah untuk menyembelih anaknya itu. Ismail bersedia ‎menjalankannya, tetapi kemudian Allah menggantinya dengan seekor domba. ‎

Jika kita merujuk pada Alkitab – dalam bagian yang dibahas ini kita boleh meriwayatkannya tanpa ‎membenarkan atau menolaknya – disebutkan bahwa Nabi Ibrahim mendapatkan anak Ismail saat ia ‎berusia 86 tahun (Kejadian 16: 16) dan mendapatkan anak Ishak saat ia berumur 100 tahun (Kejadian ‎‎21: 5). Jadi ada selisih 14 tahun di antara keduanya. Orang-orang Nasrani meyakini bahwa Ishak yang ‎rencananya akan disembelih dan dikorbankan, tetapi kaum Muslimin meyakini bahwa Ismail-lah yang ‎akan dikorbankan. Menariknya, saat membahas tentang perintah penyembelihan terhadap Ishak, ‎Alkitab (Kejadian 22: 2) menyebutnya sebagai “anakmu yang tunggal itu”, sementara kita mengetahui ‎bahwa penyebutan itu hanya mungkin berlaku atas Ismail selama adiknya Ishak belum lahir, yaitu saat ‎Ismail berumur kurang dari 14 tahun. Tampaknya yang dimaksud oleh Alkitab terkait perintah ‎penyembelihan anak sebenarnya adalah Ismail yang ketika itu masih berusia remaja.‎

Al-Qur’an memiliki kisah tersendiri tentang penyembelihan ini, yang walaupun tidak menyebutkan ‎secara jelas nama Ismail tetapi para mufassir menjelaskan bahwa Ismail-lah yang dimaksudkan oleh ‎ayat tersebut. Ayat ini mengandung kisah kedewasaan yang indah.‎

Maka tatkala anak itu sampai (pada umur sanggup) berusaha bersama-sama Ibrahim, Ibrahim ‎berkata: “Hai anakku sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka ‎fikirkanlah apa pendapatmu!” Ia menjawab: “Hai bapakku, kerjakanlah apa yang diperintahkan ‎kepadamu; insya Allah kamu akan mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar”. (QS 37: 102)‎

Ibn Katsir menyebutkan pendapat Ibn Abbas, Mujahid, dan beberapa yang lainnya bahwa kata-kata ‎‎“tatkala anak itu sampai pada umur sanggup berusaha bersama-sama Ibrahim” (falamma balagha ‎ma’ahu sa’ya) bermakna ketika ia menjadi seorang pemuda dan mampu bekerja sebagaimana ‎ayahnya. Pada masa lalu kemampuan ini dicapai pada usia belasan tahun, tak lama setelah masa baligh ‎‎– sekarang pun sebenarnya potensi itu bisa dicapai oleh seseorang pada usia yang kurang lebih sama. ‎Di dalam Tafsir al-Khazin (vol. 4, hlm. 22) ada disebutkan pendapat bahwa usia Ismail ketika itu adalah ‎‎13 tahun. Ada pula yang mengatakan 7 tahun, tapi tampaknya usia ini terlalu dini untuk dijadikan ‎acuan. Tafsir al-Qurthubi juga menyebutkan adanya pendapat bahwa Ismail ketika itu berusia 13 ‎tahun.* ‎

Di dalam ayat tersebut, nabi Ibrahim mendapat sebuah mimpi yang merupakan perintah dari Rabb-‎nya. Mimpi ini juga melibatkan Ismail. Ini adalah salah satu aspek kedewasaan: mimpi, visi, atau tujuan, ‎atau dalam konteks ini sesuatu yang belum terjadi dan akan diwujudkan pada waktu-waktu ‎berikutnya. Mimpi ini datang dari Allah dan harus dijalankan oleh Ibrahim dan Ismail. Mimpi itu ‎memerintahkan Ibrahim untuk menyembelih anaknya Ismail. Ini adalah sebuah mimpi yang gila bagi ‎orang-orang yang tidak percaya pada kehidupan akhirat. Tidak ada orang yang memiliki mimpi atau visi ‎menyembelih anak sendiri dan tidak ada orang yang bermimpi (berkeinginan) untuk disembelih hingga ‎mati. Tetapi bagi seorang mukmin, tujuan sejati dan tertinggi adalah agar bisa sampai kepada Allah ‎dalam keadaan diridhai. Mimpi Ibrahim, walaupun berat untuk dilaksanakan, adalah jalan yang ‎membawa kepada tujuan tertinggi tadi.‎

Di samping mimpi, perintah ini juga berkenaan dengan tanggung jawab. Ini merupakan aspek ‎kedewasaan yang kedua. Baik Ibrahim maupun Ismail diminta untuk merealisasikan sebuah tanggung ‎jawab yang sangat berat. Tanggung jawab itu menyiratkan adanya pengorbanan, dan pengorbanan itu ‎sendiri bertingkat-tingkat. Dalam kaitan ini, kedua insan mulia ini diserahi satu beban tanggung jawab ‎terbesar yang mungkin dipikul oleh seseorang, yaitu mengakhiri hidup sendiri dan kehilangan belahan ‎jiwa. Rasanya tidak ada tanggung jawab yang lebih berat daripada itu.‎

Perintah itu untuk dilaksanakan, bukan untuk didiskusikan. Namun Ibrahim tidak langsung menarik ‎anaknya untuk disembelih. Ia menyampaikan mimpinya itu kepada sang anak dan memberi ‎kesempatan kepadanya untuk menyampaikan pendapat serta mengambil keputusan. Ini adalah aspek ‎kedewasaan yang ketiga, yaitu pengambilan keputusan secara dewasa. Hal ini menunjukkan bahwa ‎Ibrahim menganggap Ismail sebagai pria dewasa, walaupun usianya ketika itu masih sangat belia. ‎Karena hanya orang yang dianggap dewasa yang biasanya diminta dan didengar pendapatnya. ‎

Sikap Ismail berikutnya sangat mengagumkan. Ia tidak menolak mimpi ayahnya. Sebaliknya ia ‎menerima mimpi tersebut, yang berarti ia mengambil mimpi itu sebagai bagian dari mimpinya sendiri. ‎Pada saat yang sama Ismail menerima beban tanggung jawab tersebut dan mempersilahkan ayahnya ‎untuk menjalankan tugasnya. Ismail dipersilahkan untuk memilih pendapatnya, dan inilah pilihan yang ‎ia buat. Ia tidak dipaksa oleh ayahnya untuk menerima keputusan secara sepihak, dan inilah keputusan ‎yang diambilnya. Ia memilih dan membuat keputusan secara dewasa, yaitu berdasarkan pilihan baik-‎buruk, bukan suka-tak suka. Tak ada yang suka dikorbankan dan disembelih, tetapi karena hal itu ‎dilakukan dalam rangka ketaatan pada Allah dan karenanya itu merupakan hal yang baik, maka Ismail ‎memilihnya.‎

Ismail kemudian menutup kata-katanya dengan menyatakan siapa dirinya. “Insya Allah kamu akan ‎mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar”. Ini adalah aspek keempat dan terakhir dari ‎kedewasaan dalam pembahasan kita, yaitu identitas diri. Ismail menjadikan kesabaran sebagai ‎identitas dirinya dan ini menjelaskan mengapa ia sanggup mengambil tanggung jawab yang sangat ‎berat. Karena ia mengerti apa artinya menjadi orang yang sabar dan ia kelihatannya juga sudah melatih ‎dirinya menjadi seorang penyabar. Ia tidak merasa gamang atau ragu dengan status dan jati dirinya dan ‎karena itu ia mampu mengambil keputusan dengan penuh keyakinan. Pada akhirnya, semua itu akan ‎menghantarkannya kepada tujuannya yang paling tinggi, yaitu berjumpa dengan Tuhan-nya dalam ‎keadaan yang diridhai.‎

Kita mengetahui bahwa akhirnya Allah mengganti Ismail dengan seekor domba. Ibrahim dan Ismail ‎lulus dalam ujian tersebut. Kisah mereka dikenang di dalam ibadah qurban yang dijalankan oleh kaum ‎Muslimin setiap tahun. Sebagian orang mengatakan bahwa di dalam Iedul Qurban sebenarnya kita ‎sedang ‘menyembelih’ sifat cinta dunia di dalam hati kita. Mungkin saat menyembelih hewan qurban ‎di hari Iedul Adha, kita juga bisa memaknai bahwa pada saat itu kita sedang menyembelih sifat ‎kekanak-kanakan di dalam diri kita sendiri dan selepasnya kita harus tampil sebagai seorang yang ‎benar-benar dewasa, karena sifat kedewasaan tidak selalu berkaitan dengan usia tertentu. ‎

Adapun bagi anak-anak kita, masa ‘penyembelihan’ terbesar di dalam hidup mereka terjadi di antara ‎masa-masa baligh dan usia 15 tahun. Saat mereka lulus dalam ujian tersebut, mereka akan muncul ‎sebagai manusia yang dewasa dan matang pada waktunya. Mereka akan muncul sebagai pemuda yang ‎mandiri dalam visi, identitas diri, tanggung jawab, serta pengambilan keputusan. Tapi jika tidak, maka ‎boleh jadi umur mereka atau bahkan hidup mereka sendiri yang akan tersembelih dan terkorbankan.‎

Jakarta,‎
‎9 Muharram 1438/ 10 Oktober 2016‎

‎* Saya berterima kasih kepada Muhammad Ghazi Alaydrus dan Muhammad Ardiansyah atas ‎bantuannya mencarikan rujukan di beberapa tafsir terkait ayat ini.‎

http://inpasonline.com/…/prinsip-dasar-pendidikan-kedewasa…/

 

 

=============================

GRIYA HILFAAZ
Pusat Busana Muslim Berkualitas
https://tokopedia.com/griyahilfaaz

==============================

Leave a comment