Bagaimana Membedakan Sikap Tegas dan Keras Pada Anak


Bagaimana Membedakan Sikap Tegas dan Keras Pada Anak?

oleh Yuk-Jadi Orangtua Shalih

Abah,sy msh bingung membedakan bsikap tegas dg bsikap keras pd anak?bgmn cr marah pd anak balita y tepat?.bisakah minta contoh2nx?jazakallah

Seorang ibu bertanya demikian pada saya beberapa waktu yang lalu. Untuk menjelaskan secara komprehensif silahkan baca tulisan dibawah lengkap:

TEGAS BUKAN KERAS

Seorang Ibu datang ke sebuah pusat terapi Autism dengan membawa seorang anak berusia tiga tahun. Ketika Ibu tersebut sedang berkonsultasi dengan salah seorang terapis di pusat terapi tersebut tiba-tiba si anak nyelonong keluar melintasi kaki Ibu dan Ayahnya. Dengan sangat refleks si Ibu berteriak dengan nyaring: “Aufal! Masuk!” sampai semua yang ada di ruangan itu kaget dibuatnya.

“Aufal tidak Autis kan Bu?” tanya konselor.

“Oh tidak, si Irvy, kakak Aufal yang Autis!” jelas sang Ayah. Ketika sang Ibu keluar mencari Aufal, dengan terburu-buru sang Ayah mengatakan sesuatu kepada terapis di hadapannya.

“Maaf Bu, semua orang di rumah diandaikan seperti Irvy, demikianlah sikap istri saya, sangat keras kepada anak-anak kami. Bahkan, tidak jarang istri saya juga memukul mereka. Mungkin istri saya yang justru membutuhkan terapi. Setiap kali saya ingatkan agar istri saya tidak terlampau keras terhadap Irvy, dia selalu berdalih bahwa dokter X sudah berpesan agar dalam memperlakukan Irvy, orang tua harus tegas. Apakah memukul dan membentak-bentak itu bisa dikategorikan sebagai tindakan tegas Bu?” Sang terapis tersenyum kemudian menjelaskan bahwa tindakan tegas yang dilakukan untuk anak Autism pada dasarnya adalah untuk melawan sikap manipulatif si anak yang sering muncul untuk mendominasi lingkungannya. Suara keras memang dibutuhkan untuk mengagetkan si anak, namun, tidak harus dengan cara membentak-bentak.

Demikian tadi sekilas percakapan yang pernah penulis dengar di sebuah pusat terapi yang membuka pemahaman bahwa tindakan tegas tidak sama dengan tindakan keras.

Benarkah ada bedanya antara sikap tegas dan tindakan keras? Kasus berikut ini mungkin bisa menjadi sebuah gambaran untuk bisa memahami antara kedua tindakan di atas, yaitu keras dan tegas.

Seorang Bapak membawa sebuah handphone di tangan kirinya, sedang di tangan kanannya sebuah tangan mungil menggelayut. Tangan mungil tersebut milik seorang anak kecil berusia lima tahun lengkap dengan seragam Taman Kanak-Kanaknya yang sangat menarik.

Sampai di sebuah rumah, sang Bapak memencet bel pintu yang segera dibukakan oleh pemiliknya, kemudian dua orang Bapak dan anak tersebut dipersilakan untuk duduk di ruang tamu. Sang Bapak memasukkan handphone di saku kemejanya, kemudian sang anak merengek ingin mengambil handphone milik sang Bapak yang segera dicegah oleh sang Bapak dengan mengibaskan tangan sang anak. Untuk sesaat sang anak terdiam, namun, tidak lama kemudian sang anak merengek berniat meminjam hand phone sang Bapak. “Tidak boleh!” demikian bentak sang Bapak dengan suara yang sangat tidak bersahabat. Mendengar bentakan sang Bapak, gadis mungil itu menunduk, kemudian menangis tersedu-sedu. Tangisan gadis mungil itu belum berhenti sampai sang tuan rumah muncul kembali untuk menemui mereka. Beberapa kali sang Bapak membujuk agar si anak menghentikan tangisannya, namun tidak berhasil, bahkan, di puncak kesabarannya, sang Bapak mencubit lengan si anak yang justru menambah kerasnya tangisan.

“Mengapa cantik?” demikian tanya sang tuan rumah.

Mendengar pertanyaan dari sang tuan rumah, sang Bapak buru-buru mengeluarkan handphone-nya dari dalam saku kemudian memberikannya kepada si anak. Sesaat kemudian si anak terdiam dengan handphone di tangan.

Dari percakapan di atas bisa diambil kesimpulan bahwa sikap tegas sangat berbeda dengan sikap keras. Tegas bisa dilakukan tanpa kekerasan, namun, sikap keras belum tentu tegas. Sikap keras sang Bapak tidak menunjukkan bahwa ia bisa bersikap tegas. Lihatlah, meski ia sudah membentak dan mencubit (yang menandakan bahwa sang Bapak cukup keras dalam memperlakukan anak), ternyata dia tidak bisa bertahan dengan komitmennya untuk membiarkan sang anak tidak menyentuh handphone-nya.

Banyak orang berpendapat bahwa sikap tegas hanya bisa direalisasikan jika kita memasang wajah yang dingin dan kurang bersahabat. Dengan demikian, orang yang ada di hadapan kita baru menyadari bahwa kita memang benar-benar tegas. Memang, tidak bisa dipungkiri bahwa sikap tegas yang tampak bersahabat sering membuka peluang pada anak-anak kita untuk merayu dan menggoda kita agar kita bisa lebih melunakkan aturan yang telah kita terapkan. Tentu saja pada akhirnya tergantung kita, bagaimana kita bersikap, apakah kita bisa tetap teguh dengan pendirian kita, atau kita bisa melunak dan melanggar komitmen kita. Hal inilah yang kemudian membuat kita terkesan kurang tegas. Barangkali pengalaman demikian itu yang menyebabkan para orang tua kemudian memilih membumbui sikap tegas dengan sikap yang keras pula, tentu dengan tujuan agar anak-anak tidak lagi memiliki peluang untuk merayu atau menggoda kita.

Berikut ini sharing seorang Ibu yang memiliki tiga putra, sebut saja Ibu Sari, dalam sebuah sharing kelompok.

Suami saya mengatakan bahwa saya ini orangnya galak dan keras. Suami saya membedakan antara galak dan keras. Kata suami saya galak itu ya pemarah, sedikit-sedikit saja saya marah. Keras berarti ‘tidak bisa menerima kompromi’. Bahkan, kata suami saya lagi, saya juga sulit untuk dilunakkan hatinya. Inilah yang mengindikasikan saya sebagai orang yang keras. “Kamu ini keras hati Bu!” demikian suami saya menjuluki.

Kadang saya menolak tuduhan tersebut, meski setelah saya renungkan, saya memang lebih banyak bersikap demikian. Kalau saya sudah memberikan aturan kepada anak-anak, saya tidak bisa memberikan toleransi sedikitpun pada mereka untuk melanggarnya. Jika mereka mencoba untuk melanggar, kemarahan yang akan mereka terima dari saya. Apakah sikap seperti itu salah? Saya hanya ingin bersikap tegas terhadap anak-anak. Yang saya lakukan adalah untuk menunjukkan sikap tegas saya, dan bukan sikap keras seperti yang dituduhkan suami saya.

Anehnya, anak-anak suka sekali melanggar aturan yang sudah saya tetapkan, padahal mereka tahu bahwa dengan cara itu mereka pasti mendapat hukuman dari saya. Inilah yang sering membuat saya semakin jengkel dibuatnya.

Suara saya memang keras, ini sudah pembawaan dari lahir kan? Kalau saya sekali-sekali memukul anak-anak saya, itu karena saya sudah tidak bisa lagi menasihati dengan kata-kata. Di samping itu, saya mengamati bahwa tindakan pemukulan adalah tindakan paling efektif, karena anak lantas mau tidak mau mendengarkan apa yang saya nasihatkan.

“Jadi orang mbok yang fleksibel, Bu!” demikian bujuk suami saya setiap kali saya bertahan pada aturan yang sudah saya tetapkan bagi anak-anak.

“Bapak ini aneh, aturan kok dibuat fleksibel, yo anak-anak nanti ndak punya disisplin toh?” demikian saya memberikan argumen untuk mementahkan komentar suami.

“Ibu kalau membuat aturan tidak pakai kompromi sih, jadi anak-anak keberatan!” demikian ungkap suami saya. Bagaimana mungkin saya harus meminta pertimbangan pada anak-anak setiap kali saya akan membuat aturan. Bukankah lebih baik jika aturan langsung saja diberikan supaya mereka bisa langsung menjalankannya?

Suatu ketika tante saya yang dari Irian, datang ke rumah kami. Beliau juga memberikan kesan yang sama sebagaimana suami saya terhadap saya. Beliau lalu memberikan pandangan-pandangannya kepada saya tentang bagaimana karakter anak-an
ak, maklum beliau adalah pensiunan guru Taman Kanak-Kanak. Beliau mengatakan bahwa kadang-kadang, anak melanggar aturan bukan karena mereka tidak bisa mematuhinya, bisa jadi mereka melanggar aturan karena mereka ingin menguji reaksi kita apabila mereka melanggar aturan kita, atau bisa jadi mereka marah dengan segala bentuk doktrinasi yang mereka terima selama ini.

Saya menjadi bingung bagaimana caranya bersikap tegas, tapi tidak ada kesan ‘keras’ di dalamnya.

“Tegas, adalah sebuah sikap. Sebagai contoh kita dikatakan tegas jika setiap kita katakan “YA,” kita menghayatinya sebagai “YA,” dan setiap kita berkata “TIDAK” ya kita konsekuen dengan kata “TIDAK” tersebut. Namun, selama kita belum memutuskan sesuatu, masih banyak hal yang bisa dipertimbangkan!” demikian tante saya memberikan penjelasan kepada saya.

Beliau juga menjelaskan bahwa saya tidak perlu menggunakan bentakan jika hanya ingin bersikap tegas, namun, meski saya berteriak-teriak pada saat memberikan aturan atau nasihat kepada anak-anak saya, tetapi saya tidak konsekuen terhadap kata-kata saya, saya belum bisa dikatakan bersikap tegas.

Dari perenungan yang saya lakukan, saya kemudian mendapatkan suatu kesimpulan bahwa sebenarnya saya sudah berusaha untuk bersikap tegas, namun sikap tegas saya tertutup oleh sikap saya yang doktrinatif terhadap anak-anak. Saya membuat aturan sendiri yang harus dijalankan oleh anak-anak, tidak kenal kompromi.

Tidak mudah memang, untuk mengubah tabiat. Saya sudah terbiasa keras terhadap anak-anak, kemudian, saya harus bersikap lunak tetapi tetap tegas, membutuhkan waktu lama untuk bisa sedikit saja mengubahnya. Namun, setiap kali saya mencobanya, meski pada awalnya tertekan, saya bisa menjadi lebih ringan, mungkin karena energi yang biasanya saya keluarkan untuk membentak anak-anak, tidak terbuang dengan sia-sia. Saya hanya berharap, sedikit demi sedikit saya bisa mengubah dan berbenah diri, bukan hanya demi anak-anak, tetapi demi diriku sendiri.

Ibu Sari adalah salah satu contoh dan banyak Ibu yang melakukan hal yang sama. Kecenderungan untuk marah, protektif, doktrinatif, memang relatif banyak melanda kaum Ibu ketimbang kaum Bapak.

“Karena kami yang lebih banyak melihat kenakalan-kenakalan mereka. Kami juga yang lebih banyak bergaul dengan mereka, jadi lebih banyak melihat keburukan mereka,” demikian ungkap seorang Ibu. Apakah lamanya kebersamaan kita dengan anak-anak tidak bisa membuat kita lebih banyak melihat kebaikan mereka? Atau memang hanya keburukan mereka saja yang terkenang dalam benak kita?

Sharing berikut ini datang dari seorang remaja, yang memiliki orang tua, khususnya Ibu, yang dinilainya sangat tegas. Dari penuturannya, dia tidak melihat kesan ‘keras’ dalam sikap Ibunya, panggil saja remaja berikut ini sebagai Ranni.

Saya adalah anak kedua, dari dua bersaudara. Saya hanya memiliki seorang kakak laki-laki, sebut saja Rinno. Kami berbeda usia empat tahun. Ibu adalah seorang dosen di sebuah perguruan tinggi swasta, namun, Ibu juga masih mengajar di berbagai perguruan tinggi di kota kami. Saya masih duduk di kelas II sebuah SMU. Ayah, adalah seorang wiraswasta.

Hubungan saya dengan Ibu memang sangat dekat, bahkan bisa dikatakan saya sangat mengagumi Ibu. Satu hal yang sangat saya kagumi dari beliau adalah sikapnya yang sangat tegas. Mungkin banyak teman heran, memiliki Ibu yang tegas mengapa senang? Jelas dong, itu membuat saya tidak bingung dalam menentukan sikap. Semua hal yang menyangkut tata aturan di keluarga kami, dibahas bersama dalam rapat keluarga, yah…informal sajalah. Setiap anggota keluarga berhak untuk mengemukakan pendapatnya masing-masing. Tidak jarang di antara kami terdapat perbedaan pendapat yang saling bersimpangan, kemudian mengambil jalan tengah berbagai kesimpulan.

Jika sebuah keputusan sudah diambil, siapapun harus bisa menghormati keputusan yang sudah diambil, tidak terkecuali. Ada kalanya sebuah keputusan masih bersifat abstrak yang masih bisa diurai dalam bentuk pernyataan-pernyataan yang lebih sederhana. Nah, pada saat inilah kami bernegosiasi tentang segala hal, bahkan tidak jarang terjadi kompromi di sana-sini, inilah simbol demokrasi di rumah kami.

Ketegasan Ibu tampak dalam menghayati sebuah keputusan yang sudah disepakati bersama. Jika ada di antara kami, baik kami, anak-anaknya, atau Bapak, sebagai suaminya, pasti Ibu akan memberi peringatan dengan sangat tegas. Kami akan diingatkan kembali bagaimana proses keputusan itu dibuat, demikian pula kami akan diingatkan bahwa keputusan yang sudah disepakati bersama adalah mutlak dilakukan karena itu berarti bermanfaat bagi kita semua.

Jika ibu merasa kecewa, Ibu akan menunjukkan sikap diam. Beliau baru mau berbicara jika kami sudah memberanikan diri untuk meminta maaf dan memberikan penjelasan mengapa kami melanggar keputusan yang sudah disepakati bersama. Bahkan, Ibu akan tersenyum jika kami sudah membuat sebuah komitmen baru untuk tidak lagi melanggar keputusan keluarga.

Begitulah Ibu, beliau tegas dalam memegang prinsip dan keputusan yang sudah berlaku, namun, tetap terbuka terhadap masukan atau alasan apapun yang kami kemukan. Tidak jarang kami lantas beradu argumentasi . Kata beberapa mahasiswa yang pernah mengikuti perkuliahan Ibu, Ibu memang sosok seorang dosen yang tegas, tetapi bisa kompromi dalam beberapa hal. Itulah sebabnya saya sangat mengagumi Ibu dan berharap kelak bisa seperti Ibu.

Dari dua sharing di atas, tampak bahwa sikap tegas tidak harus diperlihatkan dengan sikap yang ‘keras’, bahkan seorang anak tetap bisa memandang bahwa orang tua mereka memiliki sikap ‘tegas’ meskipun orang tua mereka tidak pernah atau jarang memperlihatkan kemarahan atau kekerasan. Sebaliknya, seorang anak tetap akan merasa dekat dengan orang tuanya, meski mereka menilai bahwa sikap orang tua mereka cukup ‘tegas’. Sikap tegas tidak akan menghalangi relasi persahabatan antara anak dengan orang tua, bahkan bisa sebaliknya, bisa menjembatani relasi persahabatan antara anak dengan orang tua. Namun, sikap keras bisa menjadi penghalang relasi antara anak dengan orang tua.

Berikut ini sebuah ilustrasi percakapan antara seorang Ibu dengan seorang anak berusia empat tahun.

“Mama, bolehkah saya membeli es? Saya sangat haus Ma,” kata sang nak.

“Tidak boleh sayang, dokter bilang, kamu amandelnya sakit, kalau mau sembuh, kamu tidak boleh minum es!” sang Ibu menjelaskan.

“Tetapi saya haus Ma…..,” rengek sang anak.

“Kan bisa minum air mineral, ayo Mama belikan!” ajak sang Ibu. Setelah minum air mineral, sang anak merengek lagi.

“Masih haus Ma, saya harus minum es biar nggak haus!”

“Sayang, kamu pilih sakit lehernya karena minum es, atau lehernya nggak sakit tetapi kamu nahan tidak minum es?” tanya sang Ibu. Sang anak hanya terdiam dan menunduk, betapa ia sangat menginginkan es tersebut.

“Sayang, selain bisa bikin amandel kamu sakit, air yang dipakai untuk membuat es itu belum tentu air bersih, dari mana kamu tahu kalau air itu bersih, hayo. Nah, kalau nggak bersih, nanti ada kumannya, lalu masuk ke perut, kamu bisa sakit perut. Apakah kamu suka jika sesampai di rumah nanti leher dan perutmu menjadi sakit? Lalu kamu tidak bisa makan, minum, bahkan bicara, terus maunya ke wc terus karena diare. Masih ingat kan ketika dulu kamu diare? Sakit kan? Mau sakit diare lagi?”sang Ibu memberikan penjelasan lagi. Sang anak kemudian mengangkat mukanya dan memandang ke arah sang Ibu. Sang anak menggeleng dan segera mengajak Ibunya pulang.

Dari ilustrasi tersebut jelas bahwa sang Ibu memiliki s
ikap yang tegas karena dia tidak bisa dibujuk oleh rengekan sang anak, namun sang Ibu dapat dengan sabar memberikan penjelasan apa yang bisa terjadi jika sang Ibu meluluskan rengekan sang anak. Pada saat menjelaskan kepada sang anak, sang Ibu tidak membutuhkan tenaga atau kata-kata yang menyakitkan atau kasar, tetap dengan tenang dan dengan menggunakan bahasa yang halus, enak didengarkan. Dari sebab itulah kemudian sang anak menyadari bahwa sikap ‘tegas’ Ibunya adalah sebagai ungkapan rasa sayang yang ditujukan kepadanya, karena Ibunya tidak ingin dia menjadi sakit yang akan membuatnya menderita.

Sikap tegas yang terkandung kesan ‘tidak mau kompromi’ memang kadang membuat anak merasa ditekan, namun, dengan segala penjelasan yang mampu diterima oleh akal anak kita, sikap tegas tidak lagi dipandang sebagai sikap intervensi, melainkan sebagai sikap proteksi kita terhadap mereka. Pelanggaran, bukan berarti runtuhnya aturan, melainkan berarti penderitaan bagi sang anak. Jika hal ini bisa ditanamkan kepada anak-anak kita, bukan tidak mungkin anak-anak kita akan menyadari bahwa sikap tegas kita memang sangat dibutuhkan oleh mereka.

Sikap tegas juga bisa ditunjukkan bukan sebagai sebuah awal, namun sebagai sebuah kesimpulan, sebagai contoh dialog dari seorang remaja putra dengan sang Bapak, pada suatu Sabtu sore, berikut ini.

“Pa, Bobby mau ke tempat teman ya Pa!”

“Temanmu rumahnya di mana? Lalu sampai jam berapa kamu pulang nanti?” tanya sang Bapak.

“Di perumahan x Pa, Bobby jam 22.00 pasti sudah sampai di rumah, janji deh Pa….!” sang anak mencoba merayu sang Bapak.

“Itu terlampau malam untuk anak seusia kamu!” balas sang Bapak.

“Kan ini malam Minggu, Pa!” jawab sang anak.

“Yang Papa persoalkan bukan malam Minggunya, tetapi anak seusia kamu jika berkeliaran pada jam semalam itu, berbahaya!” jawab sang Bapak.

“Kan pulangnya nanti Bobby diantar sama teman Pa, nggak sendirian!”sang anak berusaha mencari cara agar bisa diizinkan untuk kembali pada pukul 22.00.

“Justru itu, nanti kamu sama teman-teman keluyuran ke mana-mana, kamu kan masih SLTP, kalau ada apa-apa, bagaimana? Ini kota besar Bob….!” Sang Bapak masih tetap pada pendiriannya untuk tidak meluluskan permintaan sang anak.

“Kalau yang antar Bobby nanti Om Idrus, Papanya Ardi, boleh kan Pa? Bobby dan Ardi diajak Om Idrus nonton film karate di gedung bioskop Pa, kalau nggak percaya, Papa bisa telpon Om Idrus deh….!” Sang anak memberikan penjelasan. Sang Bapak memandang sang anak seolah-olah tidak percaya akan argumen yang dikemukakannya.

“Kalau kamu bohong, apa yang harus Papa lakukan untuk kamu?” tanya sang Bapak.

“Papa boleh potong uang saku Bobby, bahkan kalau perlu Bobby dihukum sesuai keinginan Papa!” demikian usulan sang anak.

Sampai di sini tarik menarik argumentasi berakhir, luluslah sang anak dan mendapatkan restu dari sang Bapak untuk bermalam minggu bersama temannya.

Dari ilustrasi tersebut seolah tertangkap kesan bahwa sang Bapak tidak tegas karena dapat dirayu oleh sang anak, sehingga bisa meluluskan permintaan sang anak. Namun, dari kalimat terakhir yang disampaikan sang Bapak sebelum mengakhiri negosiasinya terhadap sang anak, tampaklah bahwa sang Bapak adalah seorang sosok yang tegas, bahwa sang anak harus mampu membuktikan kata-katanya, argumennya. Sang anak harus bertanggung jawab atas semua yang ia paparkan kepada orang tuanya. Ketegasan sikap dapat terasa hanya pada baris terakhir sebuah negosiasi.

Hal inilah yang masih perlu terus kita renungkan. Sikap keras akan menciptakan jarak antara anak dengan orang tua. Padahal, untuk dapat memosisikan diri sebagai sahabat anak, orang tua harus dapat dengan rela mengurangi jarak yang membentang di antara mereka, bahkan bila perlu menghilangkan jarak tersebut.

Sekali lagi, kita perlu membedakan antara tindakan keras dan tindakan tegas. Tindakan tegas tetap harus kita miliki, sebagai kontrol, sebagai rambu-rambu, karena bagaimanapun anak tidak dapat dibiarkan hidup tanpa aturan. Namun, dalam pelaksanaannya, kita tidak perlu memasukkan unsur keras di dalamnya. Selain akan menambah jarak, juga akan menyebabkan anak menjadi trauma terhadap sikap kita tersebut. Trauma tersebut dapat menjadi dasar bagaimana mereka menjalin relasi di luar lingkup keluarganya. Jangan berharap anak-anak kita bisa ramah dengan lingkungan jika kita sendiri tidak pernah bersikap ramah terhadap mereka.

Dra. V. Dwiyani, 11 Langkah Menjadi Sahabat Anak, Elex Media Komputindo

http://www.facebook.com/note.php?note_id=10150249594930017

2 thoughts on “Bagaimana Membedakan Sikap Tegas dan Keras Pada Anak

Leave a comment