Rindu dan Duka di Awal Pertemuan


Oleh Muhammad Lili Nur Aulia

Suatu ketika, Ali radhiallahu anhu berseru, “Apakah aku termasuk orang yang diterima amalnya? Aku ucapkan selamat untuk diriku. Kalau tidak, aku berduka cita…” itu ucapan di akhir malam bulan Ramadhan. Tentang harapan sekaligus kekhawatiran terhadap amal-amal yang telah dilakukan sepanjang bulan penuh berkah. Tentang kegembiraan sekaligus kedukaan ketika Ramadhan menjelang pergi meninggalkannya.

Saudaraku,
Ramadhan. Dia datang dan terus berjalan. Hari-harinya berlalu. Lembar demi lembarnya terbuka satu demi satu. Kebaikan demi kebaikan yang kita lakukan tercatat. Lembar amalan pun terangkat. Hingga saatnya, Ramadhan pun pergi kembali meninggalkan kita.
Rasakanlah kegetiran perpisahan dengan bulan mulia, sejak hari-hari Ramadhan masih bersama kita. kita perlu menyadari keadaan ini, sebab hari ini pasti tiada berbeda dengan hari kemarin. Dengan jam, menit dan detik yang terus berputar dan tidak pernah kembali. Jika kemarin kita sangat mendambakan dan merindukan Ramadhan, maka kita sekarang sudah bertemu dengannya. Dan esok, kita pasti akan ditinggalkannya. Seperti juga kita dan Ramadhan tahun lalu.
Dahulu, orang-orang shalih sangat berduka dengan kepergian Ramadhan. Mereka bermunajat, berdo’a, begitu takut bila amal-amalnya tidak diterima oleh Allah swt. Mereka pun memohon agar Allah swt yang Maha Kasih, Yang Maha Pemberi mengabulkan pinta mereka. Sebagaimana firman Allah swt dalam surat Al Mukminun ayat 60, “Dan mereka memberikan apa yang telah mereka berikan, dengan hati yang takut, (karena mereka tahu bahwa) sesungguhnya mereka akan kembali kepada Tuhan mereka. Artinya, mereka melakukan amal shalih, tapi hati mereka tetap takut dan khawatir bila amal-amal mereka tidak diterima oleh Allah swt.

Saudaraku,
Kesedihan berpisah dengan bulan Ramadhan juga disalurkan oleh salafushalih dengan terus berdoa sepanjang enam bulan setelah Ramadhan, agar Allah swt menerima amalan-amalan Ramadhannya. Berpikir tentang apakah amal-amal yang telah dilakukan benar-benar diterima oleh Allah swt ataukah tidak, merupakan perilaku para salafushalih. Mereka bahkan memandang bahwa memikirkan apakah amal mereka diterima atau tidak, itu lebih berat ketimbang menjalani amal ibadah itu sendiri. Ali bin Abi Thalibb radhiallahu anhu mengatakan, “Jadilah kalian orang yang memiliki perhatian yang lebih besar agar amal-amal kalian diterima, daripada perhatian kalian amal-amal yang kalian lakukan. Apakah kalian tidak mendengar firman Allah swt, “Sesungguhnya amal yang diterima oleh Allah swt hanyalah dari orang-orang yang bertaqwa.”
Ibnu Rajab rahimahullah mengomentari hal yang sama dengan ungkapan berbeda. Katanya, “Para shalihin dahulu begitu bersungguh-sungguh menyempurnakan dan melengkapi amal. Setelah itu mereka fokus bersungguh-sungguh memohon agar amal-amal mereka diterima oleh Allah. Merekalah yang disebut oleh Allah swt dalam firman-Nya, “Memberikan apa yang mereka terima dan hati mereka dalam kondisi yang khawatir.” Seperti juga, Abdul Aziz bin Abi Rawad mengatakan, “Aku mengetahui bagaimana kondisi orang-orang shalih itu dalam beramal. Jika mereka sudah melakukan amal shalih, mereka gelisah apakan amal mereka diterima atau tidak?”

Saudaraku,
kita perlu mengetahui dan mengingat-ingat hal ini, di saat Ramadhan masih bersama kita. kita perlu memikirkan kepergian Ramadhan sejak Ramadhan baru saja datang dan menjumpai kita. kita perlu membayangkan  kedukaan atas berlalunya Ramadhan, sejak ketika kita masih bersamanya.
Lihatlah, perhatikanlah, renungkanlah. Bagaimana hari-hari Ramadhan begitu cepat bergulir. Apakah sudah ada taubat nashuha kita saat ini, sehingga kita membuka kembali lembaran hidup baru yang lebih jernih setelah kepergian Ramadhan? Apakah Ramadhan akan menjadi alasan bagi kita menghadap Allah dengan rangkaian amal shalih yang kita lakukan di dalamnya, diterima oleh Allah swt? Atau justru Ramadhan menjadi peristiwa yang menjauhkan kita dari ampunan-Nya, karena kita lalai dan mengabaikan keluarbiasaan di bulan ini?

Saudaraku,
tangisan mungkin saja tumpah Karena kepergian Ramadhan. Tapi tak pernah juga menjadikan Ramadhan kembali kita temui, kecuali setelah satu tahun berselang, dan jatah usia kita ada ketika itu.
Mari perbaharui niat, dan tekad untuk meningkatkan amal-amal ibadah di hari-hari ini. mari kuatkan hati dan jiwa untuk terus menghidupkan malam-malamnya. Agar Allah swt benar-benar menyaksikan kebaikan yang kita lakukan di bulan ini. Agar ketakwaan benar-benar menjadi predikat kita sepeninggal Ramadhan. Mari saudaraku, kita berlomba mendekati Allah….

Saudaraku,
masih mungkinkah kita menangis di hari-hari ini? atas kelalaian, dosa, kekurangan yang selalu ada di sepanjang usia kita? para salafushalih mengatakan, “Rintihan tangis pendosa yang bertaubat, lebih dicintai oleh Allah swt daripada gemuruh orang-orang yang bertasbih. Sebab rintihan tangis dilakukan dengan hati hancur dan penuh hina di hadapan Allah swt. Sedangkan gemuruh tasbih mungkin dilakukan dengan kebanggaan.”

Majalah Tarbawi

Leave a comment