Ishtishhabu Niyyatil Jihad


Memahami Jihad Fi Sabilillah 

Ishtishhabu Niyyatil Jihad

Memahami Jihad Fi Sabilillah 

Farid Nu’man Hasan 

Belakangan ini tema jihad memang sering dibicarakan, ada yang membicarakan secara keilmuan ada pula yang serampangan. Ada yang ekstrim dan ada pula yang menyepelekan. Sebenarnya bagaimanakah masalah ini? Sesuai pertanyaan di atas, saya akan bagi jawaban saya menjadi tiga bagian.

I. Konsep jihad dalam Islam 

Membicarakan konsep tentu tidak lepas dari membicarakan definisinya (ta’rif). Untuk itu, kita lihat definisi jihad dahulu.

Secara bahasa (lughatan – etimologis)

الجهاد اجهاد مأخوذ من الجهد وهو الطاقة والمشقة

Al Jihad – ijhaadu di ambil dari kata Al Juhdu yaitu kuasa (Ath Thaqah) dan kesempitan/kepayahan (Al Masyaqqah).[1]

Disebutkan dalam Lisanul ‘Arab:

وجَهَدَ يَجْهَدُ جَهْداً واجْتَهَد كلاهما جدَّ

Dan Jahada – yajhadu- jahdan dan ijtahada, keduanya bermakna bersungguh-sungguh. [2]            

Disebutkan dalam Majma’ al Anhar fi Syarh Multaqa Al Ab-har:

الْجِهَادُ فِي اللُّغَةِ بَذْلُ مَا فِي الْوُسْعِ مِنْ الْقَوْلِ ، وَالْفِعْلِ.

“Secara bahasa, jihad bermakna pengerahan segenap potensi dengan ucapan dan perbuatan.” [3]

Secara istilah (syar’an – terminologis)

Saya akan paparkan pandangan beberapa imam kaum muslimin dalam hal ini. Menurut Syaikh Sayyid Sabiq Rahimahullah:

يقال: جاهد يجاهد جهادا ومجاهدة، إذا استفرغ وسعه، وبذل طاقته، وتحمل المشاق في مقاتلة العدو ومدافعته، وهوما يعبر عنه بالحرب في العرف الحديث، والحرب هي القتال المسلح بين دولتين فأكثر

Dikatakan: Jaahada – Yujaahidu – Jihaadan – Mujaahadatan, artinya mengkhususkan waktu dan upaya, serta mengorbankan segenap tenaga serta menanggung segenap kesulitan dalam memerangi musuh dan melawan mereka, yang demikian ini diistilahkan dengan Al Harb (perang) menurut definisi saat ini, dan Al Harb adalah peperangan bersenjata antara dua negara atau lebih.[4]   

Penulis Majma’ Al Anhar (fiqih bermazhab Hanafi) mengatakan:

وَفِي الشَّرِيعَةِ قَتْلُ الْكُفَّارِ وَنَحْوُهُ مِنْ ضَرْبِهِمْ وَنَهْبِ أَمْوَالِهِمْ وَهَدْمِ مَعَابِدِهِمْ وَكَسْرِ أَصْنَامِهِمْ وَغَيْرِهِمْ

“Makna menurut syariah adalah memerangi orang kafir dan sebangsanya dengan memukulnya, mengambil hartanya, menghancurkan tempat ibadahnya, dan memusnahkan berhala-berhala mereka, dan selain mereka. “[5]

Dalam Hasyiah Al Jumal (fiqih bermazhab Syafi’i) disebutkan:

وَهُوَ فِي الِاصْطِلَاحِ قِتَالُ الْكُفَّارِ لِنُصْرَةِ الْإِسْلَامِ وَيُطْلَقُ أَيْضًا عَلَى جِهَادِ النَّفْسِ وَالشَّيْطَانِ

“Dan makna jihad secara istilah adalah memerangi orang kafir demi membela Islam, dan juga secara mutlak bermakna jihad melawan hawa nafsu dan syetan.” [6]

Sedangkan Imam Ash Shan’ani Rahimahullah mengatakan:

وَفِي الشَّرْعِ بَذْلُ الْجَهْدِ فِي قِتَالِ الْكُفَّارِ أَوْ الْبُغَاةِ.

“Secara syariat, makna berkorban dalam jihad adalah memerangi orang kafir dan para pemberontak.” [7]

Imam Ibnu Hajar Rahimahullah mengatakan:

وَشَرْعًا : بَذْلُ الْجُهْدِ فِي قِتَالِ الْكُفَّارِ وَيُطْلَقُ أَيْضًا عَلَى مُجَاهَدَةِ النَّفْسِ وَالشَّيْطَانِ وَالْفُسَّاقِ.

“Secara syariat, artinya mengerahkan kesungguhan dalam memerangi orang kafir, dan secara mutlak artinya juga berjihad melawan nafsu, syetan dan kefasikan.” [8]

Demikianlah makna jihad yang dipaparkan para ulama Islam, yang semuanya selalu mengatakan ‘memerangi orang kafir’, setelah itu melawan nafsu, syetan dan kejahatan. Dalam kehidupan ilmiah, definisi memang selalu ada dua, yakni makna bahasa dan makna istilah. Namun, dalam praktek kehidupan sehari-hari, bahwa semua definisi dalam pembahasan apa pun lebih mengutamakan makna terminologis (istilah) dibanding makna etimologis (bahasa).

Pemaknaan yang dipaparkan para ulama bukan tanpa alasan melainkan berpijak berbagai ayat yang mulia dan hadits yang suci, dan ayat serta hadits tersebut pun juga memiliki latar belakang dan alasan spesifik dalam pensyariatan memerangi mereka.

Ayat-Ayat Al Quran Tentang Jihad

Perlu dipahami dengan baik, bahwa jihad merupakan bahasa Al Quran, maka Al Quran-lah yang paling berhak menceritakan apa makna jihad sebenarnya. Akal dan perasaan kita wajib tunduk kepadanya, dan tidak boleh mengingkarinya atau memberikan pemahaman apologi yang menyimbolkan kekalahan mental umat Islam dari orang Barat, hanya karena takut disebut teroris.

Allah Ta’ala berfirman di berbagai ayat:

“Diwajibkan atas kamu berperang, Padahal berperang itu adalah sesuatu yang kamu benci. Boleh Jadi kamu membenci sesuatu, Padahal ia Amat baik bagimu, dan boleh Jadi (pula) kamu menyukai sesuatu, Padahal ia Amat buruk bagimu; Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui.” (QS. Al Baqarah (2): 216)

“Dan perangilah mereka di mana saja kamu jumpai mereka, dan usirlah mereka dari tempat mereka telah mengusir kamu (Mekah); dan fitnah itu lebih besar bahayanya dari pembunuhan, dan janganlah kamu memerangi mereka di Masjidil haram, kecuali jika mereka memerangi kamu di tempat itu. Jika mereka memerangi kamu (di tempat itu), Maka bunuhlah mereka. Demikianlah Balasan bagi orang-orang kafir.” (QS. Al Baqarah (2): 191)

“Janganlah kamu mengira bahwa orang-orang yang gugur di jalan Allah itu mati; bahkan mereka itu hidup di sisi Tuhannya dengan mendapat rezki.” (QS. Ali Imran (3): 169)

“Hai orang-orang yang beriman, bersiap siagalah kamu, dan majulah (ke medan pertempuran) berkelompok-kelompok, atau majulah bersama-sama!” (QS. An Nisa (4): 71)

“Hai Nabi, Kobarkanlah semangat Para mukmin untuk berperang. Jika ada dua puluh orang yang sabar di antaramu, niscaya mereka akan dapat mengalahkan dua ratus orang musuh. Dan jika ada seratus orang yang sabar di antaramu, niscaya mereka akan dapat mengalahkan seribu dari pada orang kafir, disebabkan orang-orang kafir itu kaum yang tidak mengerti.” (QS. Al Anfal (8): 65)

“Perangilah orang-orang yang tidak beriman kepada Allah dan tidak (pula) kepada hari Kemudian, dan mereka tidak mengharamkan apa yang diharamkan oleh Allah dan Rasul-Nya dan tidak beragama dengan agama yang benar (agama Allah), (Yaitu orang-orang) yang diberikan Al-Kitab kepada mereka, sampai mereka membayar jizyah dengan patuh sedang mereka dalam Keadaan tunduk.” (QS. At Taubah (9): 29)

Dan masih sangat banyak lagi ayat-ayat yang menganjurkan jihad melawan orang kafir, menceritakan keutamaannya, dan mengabarkan balasan bagi mujahidin baik dunia maupun akhirat.

Hadits-Hadits Nabi Tentang Jihad

Hadits-hadits nabawi pun juga banyak, namun saya akan sebutkan beberapa saja:

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ مَاتَ وَلَمْ يَغْزُ وَلَمْ يُحَدِّثْ بِهِ نَفْسَهُ مَاتَ عَلَى شُعْبَةٍ مِنْ نِفَاقٍ

“Dari Abu Hurairah berkata, bahwa Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda: “Barangsiapa yang mati dan belum pernah berperang, dan dirinya belum pernah membicarakan perang maka matinya di antara cabang kemunafikan.” [9]

Hadits lain:

عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا قَالَ

قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَا هِجْرَةَ بَعْدَ الْفَتْحِ وَلَكِنْ جِهَادٌ وَنِيَّةٌ وَإِذَا اسْتُنْفِرْتُمْ فَانْفِرُو

 Dari Ibnu Abbas Radhiallahu ‘Anhu berkata, bahwa Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda: “Tidak ada hijrah setelah penaklukan kota Mekah, tetapi yang ada adalah jihad dan niat, jika kalian diperintahkan untuk berangkat maka berangkatlah (untuk jihad).” [10]

Dari Abu Said Al Khudri, bahwa ada orang bertanya:

 يَا رَسُولَ اللَّهِ أَيُّ النَّاسِ أَفْضَلُ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مُؤْمِنٌ يُجَاهِدُ فِي سَبِيلِ اللَّهِ بِنَفْسِهِ وَمَالِه

“Wahai Rasulullah! Manusia bagaimanakah yang paling utama?” Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam menjawab: “Seorang mukmin yang berjihad di jalan Allah dengan jiwa dan hartanya.”[11]

Dari Abu Hurairah Radhiallahu ‘Anhu, ada seorang bertanya kepada Nabi Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam, apakah ada amal perbuatan yang sebanding dengan jihad fi sabilillah? Beliau menjawab: “Kalian tidak akan mampu.” Mereka bertanya hingga dua atau tiga kali, semuanya dijawab: “Kalian tidak akan mampu.” Begitu yang ketiga kalinya, beliau bersabda:

مَثَلُ الْمُجَاهِدِ فِي سَبِيلِ اللَّهِ كَمَثَلِ الصَّائِمِ الْقَائِمِ الْقَانِتِ بِآيَاتِ اللَّهِ لَا يَفْتُرُ مِنْ صِيَامٍ وَلَا صَلَاةٍ حَتَّى يَرْجِعَ الْمُجَاهِدُ فِي سَبِيلِ اللَّهِ تَعَالَى

“Perumpamaan mujahid di jalan Allah bagaikan seorang yang berpuasa, shalat malam, berdzikir membaca ayat Allah, tidak pernah henti dari puasa dan shalatnya itu sampai pulangnya si mujahid di jalan Allah Ta’ala.” [12]

Jadi seorang yang berjihad, sama nilainya dengan orang yang berpuasa terus menerus dan shalat terus menerus tanpa henti, sampai mujahid itu pulang. Apakah ada manusia yang mampu puasa dan shalat malam tanpa henti selama mujahid pergi perang hingga dia pulang? Tidak ada!

Ketika menerangkan kedhaifan hadits “kita kembali dari jihad kecil menuju jihad besar”, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata:

وَجِهَادُ الْكُفَّارِ مِنْ أَعْظَمِ الْأَعْمَالِ ؛ بَلْ هُوَ أَفْضَلُ مَا تَطَوَّعَ بِهِ الْإِنْسَان

“Jihad memerangi orang kafir merupakan amal yang paling agung, bahkan merupakan anjuran yang paling utama pada manusia.” [13]

Dan masih puluhan lagi hadits-hadits tentang penyariatan jihad memerangi orang kafir di medan tempur, serta keutamaannya yang agung.


Catatan Kaki:

[1] Syaikh Sayyid Sabiq, Fiqhus Sunnah, Juz. 2, Hal. 618. Darl Kitab Al ‘Arabi

[2] Ibnul Manzhur Al Mishry, Lisanul ‘Arab, Juz. 3 Hal. 133. Syamilah

[3] Imam Abdurrahman Syaikhi Zaadah, Majma’ al Anhar fi Syarh Multaqa al Ab-har, Juz. 4, Hal. 278. Syamilah

[4] Syaikh Sayyid Sabiq, Fiqhus Sunnah, Juz. 2, Hal. 618. Darul Kitab Al ‘Arabi

[5] Imam Abdurrahman Syaikhi Zaadah, Majma’ al Anhar fi Syarh Multaqa al Ab-har, Juz. 4, Hal. 278. Syamilah

[6] Imam Abu Yahya Zakaria Al Anshari, Hasyiah al Jumal, Juz.21, Hal. 319. Syamilah

[7] Imam Ash Shan’ani, Subulus Salam, Juz. 6, Hal. 119. Syamilah

[8] Imam Ibnu Hajar, Fathul Bari, Juz. 8, Hal. 365. Imam Asy Syaukani, Nailul Authar, Juz. 11, Hal. 483. Syamilah

[9] HR. Muslim, Kitab Al Imarah Bab Dzam Man Maata wa lam Yaghzu …, Juz. 10, Hal. 19 No hadits. 3533. Syamilah

[10] HR. Bukhari, Kitab Al Jihad was Siyar Bab Fadhl Al Jihad was Siyar, Juz. 9, Hal. 345, No hadits. 2575. Syamilah

[11] HR. Bukhari, Kitab Al Jihad was Siyar Bab Afdhalun Nas …., Juz. 9, Hal. 349, No hadits. 2578. Syamilah

[12] HR. Muslim, Kitab Al Imarah Bab Fadhlu Asy Syahadah fi sabilillahi Ta’ala, Juz. 9, Hal. 458, No hadits. 3490. Syamilah

[13] Imam Ibnu Taimiyah, Majmu’ al Fatawa, Juz. 2, Hal. 487. Syamilah



Sumber:  http://www.dakwatuna.com/2013/11/01/41443/memahami-jihad-fi-sabilillah-bagian-ke-1-konsep-jihad-dalam-islam/#ixzz5RFBR6pmq 

II. Kenapa Islam Mengakui Perang?

Islam mengakui kewajiban perang, bukan karena ingin menebar kebencian atau dendam tetapi justru untuk menjaga kestabilan keamanan dan meraih perdamaian.

Al Ustadz Hasan Al Banna Rahimahullah memberikan penjelasan yang sangat bagus tentang hal ini:[1]

فها هم الآن يعترفون بأن الاستعداد هو أضمن طريق للسلام . فرض الله الجهاد علي المسلمين لا آداه العدوان ولا وسيلة للمطامع الشخصية ولكن ضمان للسلام وآداه للرسالة الكبرى التي حمل عبئها المسلمون ، رسالة هداية الناس إلي الحق والعدل ، وإن الإسلام كما فرض القتال شاد بالسلام فقال تبارك وتعالي : (وَإِنْ جَنَحُوا لِلسَّلْمِ فَاجْنَحْ لَهَا وَتَوَكَّلْ عَلَى اللهِ) (لأنفال:61).

“Sekarang mereka mengakui bahwa mempersiapkan diri untuk perang merupakan cara yang paling menjamin terwujudnya perdamaian. Allah Ta’ala mewajibkan berperang atas kaum muslimin bukan untuk menebar permusuhan, bukan sebagai alat pemusnah manusia, tetapi merupakan sebagai pelindung bagi dakwah dan jaminan bagi perdamaian, selain sebagai media untuk menunaikan risalah agung yang diembankan di pundak kaum muslimin, yaitu risalah yang menunjukkan kepada manusia jalan menuju kebenaran dan keadilan. Sebagaimana Islam sangat perhatian dengan jihad, Islam juga sangat perhatian dengan perdamaian. Allah Tabaraka wa Ta’ala berfirman:

“Dan jika mereka condong kepada perdamaian, Maka condonglah kepadanya dan bertawakal-lah kepada Allah. Sesungguhnya Dialah yang Maha mendengar lagi Maha mengetahui.” (QS. Al Anfal (8): 61).” Demikian dari Syaikh Hasan al Banna [2]

Dalam Majma’ Al Anhar disebutkan:

وَالْمُرَادُ الِاجْتِهَادُ فِي تَقْوِيَةِ الدِّين

“Yang dimaksud dari bersungguh (dalam jihad) adalah dalam rangka memperkokoh agama.”[3]

Undang-undang internasional (PBB) pun mengakui adanya perang sebagaimana yang dijelaskan Syaikh Sayyid Sabiq dalam Fiqhus Sunnah. Begitu pula pernyataan dalam kitab suci agama lain. Dalam Perjanjian Lama, Kitab Ulangan 20:10 (Lembaga Al Kitab Indonesia), berbunyi sebagai berikut:

“Ketika kamu mendekati suatu kota untuk memeranginya, ajaklah kepada perjanjian. Jika menerima ajakanmu dan membukakan pintu untukmu, maka semua penduduk yang ada di kota itu harus tunduk kepadamu dan mengabdi padamu.

Kasih Sayang Dalam Jihad

Kesempurnaan Islam tidak membuatnya melupakan akhlak dalam berjihad memerangi orang kafir. Jihad merupakan amal yang paling mulia, dan Islam memiliki cara yang paling mulia dalam peperangan, dan terbukti dalam sejarah peperangan antar negara di berbagai zaman.

“Dan janganlah kamu melampaui batas. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas.” (QS. Al Maidah (5): 87)

“Hai orang-orang yang beriman hendaklah kamu Jadi orang-orang yang selalu menegakkan (kebenaran) karena Allah, menjadi saksi dengan adil. Dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk Berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa. Dan bertakwalah kepada Allah, Sesungguhnya Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (QS. Al Maidah (5): 8)

Dalam peperangan Islam, dilarang membunuh dan menganiaya orang tua, wanita, anak- anak, dan orang tak berdaya dan sudah menyerah. Serta tidak dibenarkan mencincang tubuh manusia, bertindak bengis terhadap musuh. Islam melarang perang jika belum disampaikan dakwah kepada musuh, sebab perang adalah pilihan akhir setelah ajakan kepada kebaikan dan tauhid tidak bisa mereka terima.

Dari Buraidah Radhiallahu ‘Anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam jika dia memerintahkan pasukan atau tim ekspedisi, secara khusus dia mewasiatkan agar mereka bertaqwa kepada Allah Ta’ala dan memerintahkan kaum muslimin yang bersamanya tetap berbuat baik, lalu bersabda:

اغْزُوا بِاسْمِ اللَّهِ فِي سَبِيلِ اللَّهِ قَاتِلُوا مَنْ كَفَرَ بِاللَّهِ اغْزُوا وَلَا تَغُلُّوا وَلَا تَغْدِرُوا وَلَا تَمْثُلُوا وَلَا تَقْتُلُوا وَلِيدًا

“Peranglah dengan nama Allah fi sabilillah, perangilah orang-orang yang kafir terhadap Allah, berperanglah dan jangan melampaui batas, jangan mencincang, dan jangan membunuh anak-anak.” [4]

Dalam hadits lain:

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ إِذَا قَاتَلَ أَحَدُكُمْ فَلْيَجْتَنِبْ الْوَجْهَ

Dari Abu Hurairah Radhiallahu ‘Anhu, dari Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, bersabda: “Jika salah seorang kalian berperang, hindarilah memukul wajah.” [5]

Ini hanya sebagian kecil riwayat saja, yang menunjukkan betapa ketika perang Islam pun memiliki akhlak yang mulia. Sebab, jihad adalah perbuatan mulia yang tidak pantas dilakukan dengan cara-cara yang tidak mulia.

Apakah Jihad Selalu Perang?

Harus diakui bahwa memang ada segolongan umat Islam yang mempersempit makna jihad, bahwa seakan-akan ruang lingkup jihad hanya ada pada peperangan melawan orang kafir di medan tempur. Pengertian seperti itu tertolak, oleh sebab teks-teks agama ini justru memberikan keluasan makna jihad. Hanya saja memang, nilai jihad yang paling tinggi adalah berperang melawan orang kafir di medan tempur, sebagaimana hadits-hadits yang telah dipaparkan sebelumnya. Inilah pandangan yang terpilih, walau ada yang mengatakan lain. Namun, itu tidak berarti meremehkan nilai jihad dalam ruang lingkup lainnya.

Para ulama kita pun menegaskan dan mengakui adanya jihad melawan hawa nafsu, jihad melawan syetan, jihad harta, jihad lisan, jihad ilmu dan jihad melawan kefasikan. Sebagaimana yang disebut oleh Imam Ibnu Hajar Al Asqalani Rahimahullah berikut:

فَأَمَّا مُجَاهَدَة النَّفْس فَعَلَى تَعَلُّم أُمُور الدِّين ثُمَّ عَلَى الْعَمَل بِهَا ثُمَّ عَلَى تَعْلِيمهَا ، وَأَمَّا مُجَاهَدَة الشَّيْطَان فَعَلَى دَفْع مَا يَأْتِي بِهِ مِنْ الشُّبُهَات وَمَا يُزَيِّنهُ مِنْ الشَّهَوَات ، وَأَمَّا مُجَاهَدَة الْكُفَّار فَتَقَع بِالْيَدِ وَالْمَال وَاللِّسَان وَالْقَلْب ، وَأَمَّا مُجَاهَدَة الْفُسَّاق فَبِالْيَدِ ثُمَّ اللِّسَان ثُمَّ الْقَلْب

“Ada pun berjihad melawan hawa nafsu adalah dengan cara mempelajari perkara-perkara agama lalu mengamalkannya dan mengajarkannya. Sedangkan berjihad melawan syetan adalah dengan cara melawan syubhat-syubhat yang dilancarkannya dan melawan syahwat yang dihiasinya. Sedangkan jihad melawan orang kafir adalah dengan tangan, harta, lisan, dan hati sekaligus. Sedangkan berjihad melawan kefasikan adalah dengan tangan, kemudian lisan, kemudian hati. “ [6]

Apa yang digaris bawahi adalah jihad menuntut ilmu, yakni mempelajari ilmu-ilmu agama. Apalagi jika ilmu tersebut kita gunakan untuk melawan syubhat yang dilancarkan musuh-musuh Islam, baik musuh dari dalam atau orang kafir.

Berkata Imam Ibnu Qayyim Al Jauziyah Rahimahullah:

أَنْ يُجَاهِدَ الْعَبْدُ نَفْسَهُ لِيُسْلِمَ قَلْبَهُ وَلِسَانَهُ وَجَوَارِحَهُ لِلّهِ فَيَكُونُ كُلّهُ لِلّهِ وَبِاَللّهِ لَا لِنَفْسِهِ وَلَا بِنَفْسِهِ وَيُجَاهِدُ شَيْطَانَهُ بِتَكْذِيبِ وَعْدِهِ وَمَعْصِيَةِ أَمْرِهِ وَارْتِكَابِ نَهْيِهِ فَإِنّهُ يَعِدُ الْأَمَانِيّ وَيُمَنّي الْغُرُورَ وَيَعِدُ الْفَقْرَ وَيَأْمُرُ بِالْفَحْشَاءِ وَيَنْهَى عَنْ التّقَى وَالْهُدَى وَالْعِفّةِ وَالصّبْرِ

 “Sesungguhnya seorang hamba berjihad melawan nafsunya dalam rangka menyerahkan hatinya, lisannya dan perbuatannya karena Allah, dan menjadikan semuanya karena Allah dan demi Allah, bukan karena dirinya dan demi dirinya. Dia juga berjihad melawan syetan dengan cara mendustakannya, memusuhinya, melanggar ajakannya, dan melaksanakan apa yang dicegahnya. Sesungguhnya syetan itu mendatangkan persangkaan, angan-angan, terperdaya, dan jebakan, serta memerintahkan pada kekejian dan mencegah dari ketaqwaan, petunjuk, ‘iffah, dan kesabaran.” [7]

Nash-Nash Syariat Menunjukkan Bahwa Jihad Bukan Hanya Di Medan Tempur

Allah Ta’ala berfirman:

وَالَّذِينَ جَاهَدُوا فِينَا لَنَهْدِيَنَّهُمْ سُبُلَنَا وَإِنَّ اللَّهَ لَمَعَ الْمُحْسِنِينَ (69)

“Dan orang-orang yang berjihad untuk (mencari keridhaan) Kami, benar- benar akan Kami tunjukkan kepada mereka jalan-jalan kami. Dan Sesungguhnya Allah benar-benar beserta orang-orang yang berbuat baik.” (QS. Al Ankabut (29): 69)

Bagaimanakah tafsir ayat ini? Imam Al Qurthubi Rahimahullah mengutip dari beberapa ulama salaf:

وقال السدي وغيره: إن هذه الآية نزلت قبل فرض القتال. قال الحسن بن أبي الحسن: الآية في العباد. وقال ابن عباس وإبراهيم بن أدهم: هي في الذين يعملون بما يعلمون. وقال أبو سليمان الداراني: ليس الجهاد في الآية قتال الكفار فقط بل هو نصر الدين، والرد على المبطلين، وقمع الظالمين، وعظمه الامر بالمعروف والنهي عن المنكر، ومنه مجاهدة النفوس في طاعة الله وهو الجهاد الاكبر.

Berkata As Sudy dan lainnya: “Ayat ini turun sebelum diwajibkannya berperang.”

Berkata Al Hasan bin Abil Hasan: “Ayat ini tentang para ahli ibadah.”

Berkata Ibnu Abbas dan Ibrahim bin Ad-ham: “Ayat ini tentang orang-orang yang mengerjakan apa-apa yang mereka ketahui.”

Berkata Abu Sulaiman Ad Darani: “Jihad dalam ayat ini bukanlah semata-mata perang melawan orang kafir, tetapi juga menolong agama, membantah para pengusung kebatilan, mengalahkan orang zhalim, dan yang paling agung adalah amar ma’ruf nahi munkar dan di antaranya adalah berjihad melawan nafsu dirinya dalam menjalankan ketaatan kepada Allah, dan itulah jihad paling besar.” [8]

Haji dan Umrah adalah Jihad bagi Orang Jompo, Anak-Anak, Orang Lemah, dan Kaum Wanita

Ini ditekankan oleh Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam sendiri sebagai berikut.

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ عَنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ جِهَادُ الْكَبِيرِ وَالصَّغِيرِ وَالضَّعِيفِ وَالْمَرْأَةِ الْحَجُّ وَالْعُمْرَةُ

Dari Abu Hurairah Radhiallahu ‘Anhu, dari Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda: “Jihadnya orang tua, anak-anak, orang lemah, dan wanita adalah haji dan umrah.” [9]

Dari Aisyah Radhiallahu ‘Anha, katanya:

يَا رَسُولَ اللَّهِ نَرَى الْجِهَادَ أَفْضَلَ الْعَمَلِ أَفَلَا نُجَاهِدُ قَالَ لَا لَكِنَّ أَفْضَلَ الْجِهَادِ حَجٌّ مَبْرُورٌ

“Ya Rasulullah, kami melihat jihad adalah amal yang paling utama, apakah kami juga boleh berjihad?” Nabi bersabda: “Tidak, tetapi sebaik-baiknya jihad adalah haji yang mabrur.” [10]

Mengutarakan Kebenaran Di depan Penguasa Zhalim 

Dari Abu Said Al Khudri, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:

أَفْضَلُ الْجِهَادِ كَلِمَةُ عَدْلٍ عِنْدَ سُلْطَانٍ جَائِرٍ أَوْ أَمِيرٍ جَائِرٍ

“Jihad paling utama adalah mengutarakan perkataan yang adil di depan penguasa yang zhalim atau pemimpin yang zhalim.” [11] Hadits ini shahih[12]

Dari Jabir radhiallahu ‘anhu, Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda,

 سيد الشهداء حمزة بن عبد المطلب ، ورجل قال إلى إمام جائر فأمره ونهاه فقتله

“Penghulu para syuhada adalah Hamzah bin Abdul Muthalib, dan orang yang berkata benar kepada penguasa kejam, ia melarang dan memerintah, namun akhirnya ia mati terbunuh.” [13]

Berjihad Melindungi Harta, Keluarga, dan Nyawa 

Dari Ibnu Umar Radhiallahu ‘Anhuma, Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:

مَنْ قُتِلَ دُونَ مَالِهِ فَهُوَ شَهِيدٌ

 ”Barangsiapa yang dibunuh karena hartanya, maka dia syahid.” [14]

Dari Sa’id bin Zaid Radhiallahu ‘Anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:

مَنْ قُتِلَ دُونَ مَالِهِ فَهُوَ شَهِيدٌ وَمَنْ قُتِلَ دُونَ دِينِهِ فَهُوَ شَهِيدٌ وَمَنْ قُتِلَ دُونَ دَمِهِ فَهُوَ شَهِيدٌ وَمَنْ قُتِلَ دُونَ أَهْلِهِ فَهُوَ شَهِيدٌ

 Barangsiapa yang dibunuh karena hartanya maka dia syahid, barangsiapa dibunuh karena agamanya maka dia syahid, barangsiapa yang dibunuh karena darahnya maka dia syahid, barangsiapa yang dibunuh karena membela keluarganya maka dia syahid.” [15]


Catatan Kaki:

[1] Al Ustadz Hasan Al Banna, Majmu’ah Ar Rasail, Hal. 297. Al Maktabah Al Taufiqiyah

[2] Beliau adalah Hasan bin Ahmad bin Abdurrahman Al Banna. Lahir 1906M di Mahmudiyah, dekat kota Iskandariah, Mesir. Ayahnya adalah seorang ulama hadits yang juga tukang jam, oleh karena itu ayahnya dijuluki As Sa’ati. Beliau telah hafal Al Quran di usia 13 tahun. Setelah menyelesaikan kuliah di Darul Ulum, melanjutkan profesinya mengajar di sekolah tingkat dasar. Sejak kecil dan masa remaja sudah aktif dalam upaya amar ma’ruf nahi munkar dengan mendirikan lembaga dakwah di sekolah. Semangat dan ide cemerlang dakwahnya semakin bersinar ketika mendirikan gerakan Al Ikhwan Al Muslimun, tahun 1928M, sebuah gerakan Islam yang diantara cita-citanya adalah mengembalikan Islam sebagai soko guru dunia, yang saat ini menjadi gerakan Islam terbesar di abad modern. Banyak tokoh ulama, profesional, mahasiswa, pelajar, kaum wanita, dan lain-lain yang bergabung dengan gerakan ini. Selama hidupnya dia sedikit menghasilkan karya tulis, sebab kesibukkannya membina masyarakat, sampai-sampai dia mengunjungi lebih dari 2000 desa untuk menyadarkan umat Islam (khsusnya Mesir). Ketika ditanya, kenapa tidak menulis buku padahal dia punya kemampuan untuk itu?, beliau menjawab: Aku lebih suka mencetak manusia, dibanding menulis buku. Sebab buku pada akhirnya tergeletak di rak dan tidak dipedulikan, sedangkan mencetak manusia akan lebih bermanfat langsung bagi masyarakat. Apa yang dikatanyya ini menjadi kenyataan, ditangannyalah (dan juga pengaruh tulisannya) lahir para ulama, mujahid, dan para pemikir Islam abad ini, seperti Sayyid Quthb, Abdul Halim Abu Syuqqah, Abdul Halim Hamid, Mahmud Abdul Halim, Abdul Qadir ‘Audah, Muhammad Al Ghazali, Yusuf Al Qaradhawi, Jum’ah Amin Abdul Aziz, Abdul Majid Az Zindani, Abdul Karim Zaidan, Abdurrazzaq ‘Afifi, Ali Al Khafif, Rasyid Al Ghanusyi, Ahmad Ar Raisuni, Abdussalam Yasin, Taufiq Yusuf Al Wa’i, Manna’ Khalil Al Qaththan, Ahmad ‘Asal, Abdullah ‘Azzam, Ahmad Yassin, Marwan Hadid, Fathi Yakan, Abdullah Nashih ‘Ulwan, Said Ramadhan Al Buthi, dan lainnya. Beliau wafat sebagai syahid –Insya Allah– ditembak oleh kaki tangan mush-musuhnya di depan kantor organisasi Syubbanul Muslimin, pada malam hari 12 Februari 1949M. Berkata Syaikh Al Albani Rahimahullah:

“Dahulu saya memiliki (ucapan tidak jelasAl Kitabiyah At Tahririyah, bersama Al Ustadz Asy Syaikh Hasan Al Banna Rahimahullah barangkali sebagian kalian –sebagian hadirin diantara kalian- ingat ketika majalah Al Ikhwan Al Muslimun terbit di Kairo, yang diterbitkan oleh penerbitan Jamaah Al Ikhwan Al Muslimin. Saat itu Al Ustadz Sayyid Sabiq pertama kali menyebarkan artikelnya tentang Fiqhus Sunnah, setelah itu artikel ini menjadi tulisan yang bermanfaat bagi kaum muslimin dengan mengambil metode dalam Fiqih Islam, sesuai metode Al Quran dan As Sunnah.

Artikel ini pada akhirnya menjadi kitab Fiqhus Sunnah yang dikarang Sayyid Sabiq, saya pun mulai menela’ahnya, yakni ketika dia terkumpul menjadi buku. Saya memulai memberikan beberapa catatan, lalu saya menulisnya di Majalah, saya meminta mereka untuk menyebarkan dan memperbanyaknya, bukan hanya ini, bahkan sampai kepada saya tulisan yang memotivasi dari Syaikh Hasan Al Banna Rahimahullah, tetapi betapa saya sangat menyesali bahwa tulisan tersebut hilang, saya tidak tahu kemana sisanya ….

Kemudian kita selalu berbicara tentang Hasan Al Banna Rahimahullah, maka saya katakan kepada saudara-saudaraku, saudara-saudara salafiyin, di depan semua kaum muslimin: seandainya Syaikh Hasan Al Banna –rahimahullah- tidak memiliki jasa dan keutamaan terhadap para pemuda muslim selain bahwa beliau menjadi sebab yang mengeluarkan mereka dari tempat-tempat hiburan, bioskop dan kafe-kafe yang melalaikan, lalu mengumpulkan dan mengajak mereka di atas dakwah yang satu, yakni dakwah Islam, –seandainya beliau tidak memiliki lagi keutamaan kecuali hanya perkara ini-, maka ia sudah cukup sebagai satu keutamaan dan kemuliaan. Ini saya katakan bersumber dari sebuah keyakinan, dan bukan untuk mencari muka dan tidak pula sekedar basa-basi”. (Lihat kitab Mudzakarah Al Watsaiq Al Jaliyyah, Hal. 50. Maktabah Al Misykah)

[3] Imam Abdurrahman Syaikhi Zaadah, Majma’ al Anhar fi Syarhi Multaqa al Ab-har, Juz. 4, Hal. 278. Syamilah

[4] HR. Muslim, Kitab Al Jihad was Siyar Bab Ta’mir Al Imam Al Umara ‘ala Al Bu’utsi wa Washiyyatihi …, Juz. 9, Hal. 150, No hadits. 3261. At Tirmidzi, Kitab As Siyar ‘an Rasulillah Bab Maa Ja’a fi Washiyyatihi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam fil Qital, Juz. 6, Hal. 156, No hadits. 1542. Ibnu Majah, Kitab Al Jihad bab Washiyyah Al Imam, Juz. 8, Hal. 390, No hadits. 2848. Ahmad, Juz. 47, Hal. 4, No hadits. 21952. Syamilah

[5] HR. Bukhari, Kitab Al ‘Itqu Bab Idza Dharaba Al ‘Abda Falyajtanib Al Wajha, Juz. 8 Hal. 496, No hadits. 2372. Muslim, Kitab Al Birru was Shilah Wal Aadab Bab An Nahyi ‘an Dharbil Wajhi, Juz. 13, Hal. 26, No hadits. 4728. Syamilah

[6] Imam Ibnu Hajar Al Asqalani, Fathul Bari, Juz. 8, Hal. 365. Syamilah

[7] Imam Ibnul Qayyim, Zaadul Ma’ad, Juz. 3, Hal. 5. Syamilah

[8] Imam Al Qurthubi, Al Jami’ Lil Ahkam Al Quran, Juz. 13, Hal. 365. Al Maktabah Asy Syamilah

[9] HR. An Nasa’i, Kitab Manasik Al Haj Bab Fadhlul Haj, Juz. 8, Hal. 442, No hadits. 2579. Ahmad, Juz. 19, Hal. 124, No hadits. 9081. Riwayat Ahmad tidak ada kata “anak-anak”. Imam al Haitsami mengatakan dalam Majma’ az Zawaid, Juz. 3, Hal. 206: “Rijalnya shahih.” Syaikh Al Albani mengatakan dalam Shahih wa Dhaif Sunan An Nasa’i, Juz. 1, Hal. 61, No hadits. 2626: “Hasan.” Al Maktabah Asy Syamilah

[10] HR. Bukhari No. 1448, 1762, 2632, 2720, 2721

[11] HR. Abu Daud No. 4344. At Tirmidzi No. 2265, katanya: hasan gharib. Ahmad No. 10716, dalam lafaz Ahmad tertulis: “Kalimatul haq ..(perkataan yang benar). Ibnu Majah No. 4011

[12] Misykah Al Mashabih, No. 3705. As Silsilah Ash Shahihah, No. 491. Shahih wa Dhaif Sunan Abi Daud No. 4344

[13] HR. Al Hakim, Al Mustdarak-nya, Ia nyatakan shahih, tetapi Bukhari-Muslim tidak meriwayatkannya. Adz Dzahabi menyepakatinya. Syaikh Al Albany mengatakan hasan, dia memasukkannya dalam kitabnya As Silsilah Ash Shahihah, No. 374

[14] HR. Bukhari, No. 2348

[15] HR. At Tirmidzi, No. 1421, katanya: hasan shahih. Abu Daud, No. 4177. An Nasa’i, No. 4095. Ahmad, Juz. 4, Hal. 76, No. 1565. Dishahihkan oleh Syaikh Al Albani dalam Shahih At Targhib wat Tarhib, Juz. 2, Hal. 75, No. 1411



Sumber:  http://www.dakwatuna.com/2013/11/01/41444/memahami-jihad-fi-sabilillah-bagian-ke-2-kenapa-islam-mengakui-perang/#ixzz5RFBivGoW 

III. Apakah beban jihad setiap manusia berbeda-beda?

Ya. Sebab manusia berbeda dalam keimanan dan keadaannya. Allah Ta’ala memberikan rukhshah (dispensasi) untuk tidak berjihad bagi mereka yang memiliki ulud dharar (halangan).

لَا يَسْتَوِي الْقَاعِدُونَ مِنَ الْمُؤْمِنِينَ غَيْرُ أُولِي الضَّرَرِ وَالْمُجَاهِدُونَ فِي سَبِيلِ اللَّهِ بِأَمْوَالِهِمْ وَأَنْفُسِهِمْ فَضَّلَ اللَّهُ الْمُجَاهِدِينَ بِأَمْوَالِهِمْ وَأَنْفُسِهِمْ عَلَى الْقَاعِدِينَ دَرَجَةً وَكُلًّا وَعَدَ اللَّهُ الْحُسْنَى وَفَضَّلَ اللَّهُ الْمُجَاهِدِينَ عَلَى الْقَاعِدِينَ أَجْرًا عَظِيمًا (95)

“Tidaklah sama antara mukmin yang duduk (yang tidak ikut berperang) yang tidak mempunyai ‘uzur dengan orang-orang yang berjihad di jalan Allah dengan harta mereka dan jiwanya. Allah melebihkan orang-orang yang berjihad dengan harta dan jiwanya atas orang-orang yang duduk satu derajat. Kepada masing-masing mereka Allah menjanjikan pahala yang baik (surga) dan Allah melebihkan orang-orang yang berjihad atas orang yang duduk dengan pahala yang besar.” (QS. An Nisa (4): 95)

Ayat ini turun lantaran pertanyaan Abdullah bin Ummi Maktum -seorang sahabat nabi yang buta: “Apakah aku punya rukhshah untuk tidak berperang?” maka turunlah ayat di atas. Demikian yang dipaparkan oleh Imam Ath Thabari dalam tafsirnya.

Jadi, keadaan seseorang sangat pengaruhi kuat tidaknya beban jihad. Jihad bagi orang yang cacat tubuh, sakit wanita, anak-anak, orang tua, tentu tidak sama kuat bebannya dengan lelaki muda dan dewasa yang dalam keadaan fit.

Bahkan menurut ayat di atas, ada orang yang tidak memiliki uzur, tapi mereka duduk-duduk saja tidak ikut berjihad. Ini menunjukkan kondisi kadar keimanan mereka yang melemah.

Ingin Jihad, tapi masih punya kewajiban terhadap Orang Tua

Kondisi ini pun membuat beban jihad seseorang berbeda dengan yang lainnya. Dalam keadaan jihad ofensif (menyerang), penaklukan (futuhat), maka hukumnya fardhu kifayah bagi umat Islam untuk ikut serta. Inilah pandangan mayoritas fuqaha. Sehingga ketika kewajiban ini berbenturan dengan kewajiban per kepala (fardu ‘ain) yakni berbakti kepada Orang Tua yang tidak mungkin digantikan orang lain, maka seseorang lebih utama dia berbakti kepada kedua orang tuanya.

Hal ini sesuai dengan hadits berikut:

Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam pernah ditanya oleh Abdullah bin Mas’ud:

أَيُّ الْعَمَلِ أَحَبُّ إِلَى اللَّهِ قَالَ الصَّلَاةُ عَلَى وَقْتِهَا قَالَ ثُمَّ أَيٌّ قَالَ ثُمَّ بِرُّ الْوَالِدَيْنِ قَالَ ثُمَّ أَيٌّ قَالَ الْجِهَادُ فِي سَبِيلِ اللَّه

“Amal apakah yang paling Allah cintai?” Rasulullah menjawab: “Shalat tepat waktu,” Orang itu bertanya: “Kemudian apa lagi?” Beliau menjawab: “Berbakti kepada kedua orang tua.” Orang itu bertanya lagi: “Kemudian apa lagi?” Beliau menjawab: “Jihad fi sabilillah.”[1]

Hadits ini menunjukkan berbakti kepada orang tua lebih utama dibanding jihad fi sabilillah. Ini dikuatkan lagi oleh hadits berikut:

Dari Ibnu Umar Radhiallahu ‘Anhu, beliau berkata:

جَاءَ رَجُلٌ إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَاسْتَأْذَنَهُ فِي الْجِهَادِ فَقَالَ أَحَيٌّ وَالِدَاكَ قَالَ نَعَمْ قَالَ فَفِيهِمَا فَجَاهِدْ

“Datang seorang laki-laki kepada Nabi Shallallahu ‘Alahi wa Sallam dia minta izin untuk berjihad, maka Nabi bertanya: “Apakah kedua orang tuamu masih hidup?” dia menjawab: “Ya.” Nabi bersabda: “Maka berjihadlah kepada keduanya.” (berbaktilah padanya)[2]

Tetapi ketika jihad dalam keadaan defensif (mempertahankan diri), musuh masuk ke wilayah kita (negeri muslim), bahkan sudah berhadap-hadapan, dan sudah ada instruksi dari pemimpin negara, maka saat itu jihad menjadi fardhu ‘ain, dan lebih utama dibanding berbakti kepada orang tua. Saat itu anak tak perlu lagi izin orang tua bahkan orang tua juga harus ikut berjihad menghalau musuh.


Catatan Kaki:

[1] HR. Bukhari, Mawaqitus Shalah Bab Fahdlu Ash Shalah Liwaqtiha, Juz. 2, Hal. 353, No hadits. 496. Muslim, Kitab Al Iman Bab Bayan Kaunil Iman Billahi Ta’ala Afdhalul A’mal, Juz. 1, Hal. 233, No hadits. 120. Syamilah

[2] HR. Bukhari, Kitab Al Jihad was Siyar Bab Al Jihad bi idzni Abawain, Juz. 10, Hal. 188, No hadits. 2782. Muslim, Kitab Al Bir wash Shilah wal Adab Bab Birrul Walidain wa annahuma Ahaqqu bihi, Juz. 12, hal. 390, No hadits. 4623. Syamilah



Sumber:  http://www.dakwatuna.com/2013/11/02/41450/memahami-jihad-fi-sabilillah-bagian-ke-3-apakah-beban-jihad-setiap-manusia-berbeda-beda/#ixzz5RFBvzGoj 

IV. Hadits tentang “Kembali dari Jihad Kecil Menuju Jihad Besar”

Hadits ini cukup terkenal, namun bagaimanakah kedudukan hadits tersebut? Hadits itu berbunyi:

رجعنا من الجهاد الأصغر إلى الجهاد الأكبر

“Kita kembali dari Jihad kecil menuju jihad besar.”

Berkata Imam Zainuddin Al Iraqi:

أخرجه البيهقي في الزهد من حديث جابر وقال : هذا إسناد فيه ضعف.

Diriwayatkan oleh Al Baihaqi dalam kitab Az Zuhd dari hadits Jabir, dia berkata: “Di dalam sanadnya dha’if.” [1]

Kita simak pembahasan Al ‘Allamah Al Muhaddits Syaikh Mauhammad Nashiruddin Al Albany sebagai berikut:

منكر

قال الحافظ العراقي في ” تخريج الإحياء ” ( 2/6 ) : ” رواه البيهقي في ” الزهد ” من حديث جابر ، و قال : هذا إسناد فيه ضعف ” . و قال الحافظ ابن حجر في ” تخريج الكشاف ” ( 4/114 – رقم 33 ) : بعد أن حكى كلام البيهقي فيه : ” و هو من رواية عيسى بن إبراهيم عن يحيى بن يعلى عن ليث بن أبي سليم ، و الثلاثة ضعفاء ، و أورده النسائي في ” الكنى ” من قول إبراهيم بن أبي عبلة أحد التابعين من أهل الشام” .

قلت : عيسى بن إبراهيم هو البركي ، و قد قال فيه الحافظ في ” التقريب ” : ” صدوق ربما وهم ” ، فإطلاقه الضعف عليه – كما سبق – ليس بجيد . و هذا هو الذي اعتمده الحافظ ; أنه من قول إبراهيم هذا ، فقد قال السيوطي في ” الدرر ” ( ص 170 ) : ” قال الحافظ ابن حجر في ” تسديد القوس ” : هو مشهور على الألسنة ، و هو من كلام إبراهيم بن أبي عبلة في ” الكنى ” للنسائي” .

“Hadits ini munkar. Al Hafizh Al ‘Iraqi dalam Takhrijul Ihya’ (2/6) mengatakan: “Diriwayatkan oleh Al Baihaqi dalam kitab az Zuhd dari hadits Jabir, dia berkata: “Di dalam sanadnya dha’if.” Al Hafizh Ibnu Hajar mengatakan dalam Takhrij al Kasysyaf (4/114/no.33) -setelah menceritakan ucapan Al Baihaqi: “Itu adalah riwayat ‘Isa bin Ibrahim, dari Yahya bin Ya’la, dari Laits bin Abi Salim, tiga orang dha’if. Imam An Nasa’i dalam Al Kuna menyandarkan hadits itu sebagai ucapan Ibrahim bin Abi ‘Ablah, seorang tabi’in (generasi setelah sahabat) penduduk Syam.”

Saya (Syaikh al Albany) berkata: “Isa bin Ibrahim nama lainnya adalah Al Barki, Al Hafizh Ibnu Hajar telah berkata tentang dia dalam At Taqrib“Jujur tapi banyak kebimbangan.” Maka kedha’ifannya adalah mutlak, sebagaimana dijelaskan sebelumnya, dan hadits ini tidak bagus.”

Al Hafizh Ibnu Hajar telah menyandarkan ucapan ini sebagai ucapan Ibrahim ini. Imam As Suyuthi telah berkata dalam Ad Darar (Hal. 170): “Berkata Al Hafizh Ibnu Hajar dalam Tasdidul Qaus: Ini adalah masyhur sebagai ucapannya Ibrahim bin Abi ‘Ablah dalam kitab Al Kuna-nya An Nasa’i.” [2]

Ada hadits serupa:

قدمتم خير مقدم ، قدمتم من الجهاد الأصغر إلى الجهاد الأكبر : مجاهدة العبد هواه

“Kalian datang dengan sebaik-baik kedatangan, kalian datang dari jihad kecil menuju jihad besar: jihadnya seorang hamba terhadap hawa nafsunya.”

Berkata Syaikh Al Albany:

و نقل الشيخ زكريا الأنصاري في تعليقه على ” تفسير البيضاوي ” ( ق 110/1 ) عن شيخ الإسلام ابن تيمية أنه قال : ” لا أصل له ” . و أقره . و قال في مكان آخر ( 202/1 ) : ” رواه البيهقي و ضعف إسناده ، و قال غيره : لا أصل له” .

Syaikh Zakaria Al Anshari, dalam komentarnya terhadap Tafsir al Baidhawi (110/1), mengutip ucapan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah tentang hadits ini: “Tidak ada dasarnya.” Dan dia menetapkan hal itu. Dia berkata dalam halaman lain: “Diriwayatkan oleh Al Baihaqi sanadnya dha’if, ada pun yang lainnya mengatakan: tidak ada dasarnya.”[3]

Imam Ibnu Taimiyah berkata tentang hadits tersebut:

فَلَا أَصْلَ لَهُ وَلَمْ يَرْوِهِ أَحَدٌ مِنْ أَهْلِ الْمَعْرِفَة

“Tidak ada dasarnya dan tidak diriwayatkan oleh seorang ulama pun.” [4]

Catatan:

Hadits yang shahih, tentang jihad paling agung dan paling afdhal adalah sebagai berikut:

عَنْ أَبِي سَعِيدٍ الْخُدْرِيِّ قَالَ

قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَفْضَلُ الْجِهَادِ كَلِمَةُ عَدْلٍ عِنْدَ سُلْطَانٍ جَائِرٍ أَوْ أَمِيرٍ جَائِرٍ

“Dari Abu Said Al Khudri, dia berkata bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda: “Jihad yang paling utama adalah mengutarakan perkataan yang ‘adil di depan penguasa atau pemimpin yang zhalim.” [5]

Syaikh Al Albany menshahihkan hadits ini dalam Misykah Al Mashabih.[6]

Sedangkan jihad paling afdhal bagi kaum wanita adalah haji mabrur, sebagaimana riwayat shahih berikut:

عَنْ عَائِشَةَ أُمِّ الْمُؤْمِنِينَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا أَنَّهَا قَالَتْ

يَا رَسُولَ اللَّهِ نَرَى الْجِهَادَ أَفْضَلَ الْعَمَلِ أَفَلَا نُجَاهِدُ قَالَ لَا لَكِنَّ أَفْضَلَ الْجِهَادِ حَجٌّ مَبْرُورٌ

Dari ‘Aisyah Radhiallahu ‘Anha, dia bertanya: “Ya Rasulullah kami melihat bahwa amal yang paling utama adalah jihad, maka, apakah kami (wanita) juga berjihad?” Rasulullah menjawab: “Tidak, tetapi jihad paling utama adalah haji mabrur.” [7]

Catatan:

Kelemahan hadits di atas (bahkan tidak ada dasarnya), tidak berarti mengurangi derajat jihad melawan hawa nafsu. Berkata Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah Rahimahullah:

وَلَا رَيْبَ أَنَّ مُجَاهَدَةَ النَّفْسِ مَأْمُورٌ بِهَا وَكَذَلِكَ قَهْرُ الْهَوَى وَالشَّهْوَةِ كَمَا ثَبَتَ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّهُ قَالَ : { الْمُجَاهِدُ مَنْ جَاهَدَ نَفْسَهُ فِي ذَاتِ اللَّهِ وَالْكَيِّسُ مَنْ دَانَ نَفْسَهُ وَعَمِلَ لِمَا بَعْدَ الْمَوْتِ وَالْعَاجِزُ مَنْ أَتْبَعَ نَفْسَهُ هَوَاهَا وَتَمَنَّى عَلَى اللَّهِ } لَكِنْ الْمُسْلِمَ الْمُتَّبِعَ لِشَرِيعَةِ الْإِسْلَامِ هُوَ الْمُحَرِّمُ مَا حَرَّمَهُ اللَّهُ وَرَسُولُهُ فَلَا يُحَرِّمُ الْحَلَالَ وَلَا يُسْرِفُ فِي تَنَاوُلِهِ ؛ بَلْ يَتَنَاوَلُ مَا يَحْتَاجُ إلَيْهِ مِنْ طَعَامٍ أَوْ لِبَاسٍ أَوْ نِكَاحٍ وَيَقْتَصِدُ فِي ذَلِكَ وَيَقْتَصِدُ فِي الْعِبَادَةِ ؛ فَلَا يُحَمِّلُ نَفْسَهُ مَا لَا تُطِيقُ.

“Tidak diragukan bahwa berjihad mengendalikan diri adalah diperintahkan, begitu pula menguasai hawa nafsu dan syahwat. Sebagaimana telah tsabit (kuat) dari Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bahwa dia bersabda:

“Mujahid adalah orang yang berjihad melawan nafsunya di jalan Allah, dan orang pintar adalah orang mampu menguasai dirinya dan berbuat untuk hari setelah kematiannya, dan orang lemah adalah orang yang jiwanya mengikuti hawa nafsunya, dan berangan-angan kepada Allah.”

Tetapi seorang muslim hanya mengikuti syariat Islam, dia mengharamkan apa yang Allah dan rasul-Nya haramkan, dia tidak mengharamkan yang halal dan tidak berlebihan dalam menikmatinya, tetapi dia menggunakannya sesuai kebutuhan saja baik berupa makanan, nikah, dia sederhana dalam hal itu, dan sederhana pula dalam hal ibadah, dia tidak membebani dirinya dengan apa-apa yang tidak dia mampu.”[8]

Bahkan seorang ulama mujahid, perawi hadits, Imam Abdullah bin Mubarrak mengomentari ayat:

وَجَاهِدُوا فِي اللّهِ حَقّ جِهَادِه

“Berjihadlah kalian di jalan Allah dengan sebenar-benarnya jihad.”

Beliau berkata:

هُوَ مُجَاهَدَةُ النّفْسِ وَالْهَوَى

“Itu adalah berjihad melawan jiwa dan hawa nafsu.” [9] Demikian kata Imam Ibnul Mubarak.

Sebenarnya para ulama berbeda pendapat dalam menyimpulkan, manakah jihad yang paling afdhal? Sebab berbagai hadits shahih menyebutkan keutamaan jihad yang berbeda. Ada hadits yang menyebut jihad paling afdhal adalah perang melawan orang kafir, ada pula mengucapkan kalimat yang benar kepada penguasa zhalim, dan ada pula haji mabrur.

Ini dikompromikan (Al Jam’u) oleh para ulama, di antaranya Imam Ibnul Qayyim. Beliau mengatakan bahwa keutamaan ibadah adalah yang paling mendesak dan sesuai untuk dilaksanakan saat itu. Jika dalam keadaan perang, maka jihad paling utama adalah berperang melawan musuh. Jika dalam keadaan miskin maka jihad paling utama adalah memerangi kemiskinan, dan jika sedang mengalami kebodohan maka jihad paling utama adalah menuntut ilmu. Demikian dalam Madarij as Salikin.

Peperangan Terjadi Karena Adanya Permusuhan

Inilah pendapat yang benar. Berdasarkan nash-nash yang jelas, dan dikuatkan oleh pemahaman umumnya para ulama, dan didukung sejarah Islam dalam pensyariatan jihad.

Allah Ta’ala berfirman:

“Allah tidak melarang kamu untuk berbuat baik dan Berlaku adil terhadap orang-orang yang tiada memerangimu karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang Berlaku adil.

Sesungguhnya Allah hanya melarang kamu menjadikan sebagai kawanmu orang-orang yang memerangimu karena agama dan mengusir kamu dari negerimu, dan membantu (orang lain) untuk mengusirmu. Dan Barangsiapa menjadikan mereka sebagai kawan, Maka mereka Itulah orang-orang yang zhalim.” (QS. Al Mumtahanah (60): 8-9)

Dua ayat yang mulia ini, menerangkan bahwa tidak ada larangan berbuat baik dan adil kepada: orang kafir yang tidak memerangi dan mengusir kaum muslimin.

Sedangkan Allah Ta’ala melarang berkawan dengan: orang kafir yang memerangi dan mengusir kaum muslimin, dan pihak membantu pengusiran kaum muslimin. Bahkan Allah Ta’ala menyebut sebagai perbuatan zhalim jika kita berkawan dengan orang kafir seperti ini.

Ada sebagian orang membantah ayat ini dijadikan sebagai dalil, alasan mereka karena ayat ini (ayat 8) hanya berlaku ketika awal Islam saja, dan telah di nasakh (dihapus) dengan ayat: faqtuluu musyrikina haitsu wajadtumuuhum… “Bunuhlah orang-orang musyrik itu di mana saja kalian bertemu dengan mereka …”. Demikianlah pendapat Ibnu Zaid dan Qatadah.

Sedangkan Imam Al Qurthubi mengatakan, ayat ini merupakan rukhshah dari Allah Ta’ala bagi orang kafir yang tidak memusuhi dan memerangi orang beriman. Ada juga yang mengatakan, ayat ini berlaku karena adanya ‘illah (alasan) yakni perjanjian damai, maka ketika perjanjian damai sudah tidak berlaku dengan adanya penaklukan kota Mekkah, maka ayat ini tinggal tulisannya saja. Ada pula yang mengatakan ayat ini khusus orang kafir dari kalangan wanita dan anak-anak, karena mereka tidak memerangi kaum beriman. Namun kebanyakan ahli tafsir mengatakan, hukum ayat ini masih berlaku, dengan alasan kisah Asma binti Abu Bakar yang diizinkan Rasulullah untuk bergaul dengan baik dengan ibunya yang masih musyrik. [10]

Benarkah ayat ini telah mansukh? Imam Abu Ja’far bin Jarir Ath Thabari menyebutkan ada tiga tafsir para ulama terhadap ayat ini.

Pertama, ayat ini bercerita tentang orang-orang beriman di Mekkah dan tidak berhijrah, maka Allah Ta’ala izinkan mereka untuk berbuat baik dan ihsan kepada orang kafir. Inilah pendapat Mujahid.

Kedua, ayat ini bercerita tentang orang-orang beriman di luar Mekkah dan tidak berhijrah, maka Allah Ta’ala izinkan mereka berbuat baik dan ihsan kepada orang kafir.

Ketiga, ayat ini bercerita tentang orang musyrik yang tidak memerangi orang-orang beriman, dan mereka juga tidak mengusir orang beriman dari negerinya, namun ayat ini telah di nasakh setelah itu, dengan ayat perintah memerangi orang musyrik. Inilah pendapat Ibnu Zaid dan Qatadah. Ibnu Zaid berkata: “Ayat ini telah di nasakh, dengan perintah berperang dan kembali dengan pedang-pedang mereka, berjihad melawan mereka dengannya, dan memenggal mereka.

Imam Ibnu Jarir mengatakan, yang benar adalah pendapat yang pertama. Tidak benar dikatakan bahwa ayat ini telah mansukh. Kaum beriman tidak dilarang untuk berbuat baik dan adil terhadap orang-orang yang tidak memerangi dan mengusir mereka, apa pun millah dan agama mereka, tetap dibolehkan berbuat baik (Al Birr), berhubungan, dan berbuat adil kepada mereka. Hal ini dikuatkan dengan riwayat Ibnu Zubeir tentang Asma’ bin Abu Bakar yang ingin menemui ibunya yang masih jahiliyah (musyrik), dan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam mengizinkan Asma untuk menemuinya dan berbuat baik kepadanya.[11]

Imam Asy Syaukani mengatakan bahwa Allah Ta’ala tidak melarang berbuat baik dan adil kepada orang kafir yang telah membuat perjanjian (damai) dengan orang beriman untuk meninggalkan perang.[12] Artinya, perang baru ada lagi setelah mereka melanggar perjanjian dengan menyerang kaum muslimin.

Asbabun Nuzul ayat di atas pun, menolak pemahaman mereka. Ayat ini turun karena Asma binti Abu Bakar ingin memberikan hadiah kepada ibunya yang masih musyrik, tetapi dia tidak berani melakukannya sebelum ada izin dari Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, hal itu diadukan kepada ‘Aisyah, lalu turunlah ayat di atas: ““Allah tidak melarang kamu untuk berbuat baik dan Berlaku adil terhadap orang-orang yang tiada memerangimu  …dst.” Lalu, Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam memerintahkan Asma untuk memberikan hadiah kepada ibunya dan masuk ke rumahnya.[13]

Dari keterangan ini, menunjukkan bahwa peperangan kita melawan orang kafir, bukan karena semata-mata kekafiran mereka, melainkan karena perbuatan jahat mereka seperti yang diterangkan dalam ayat 9. Jika mereka berbuat baik, mau berdamai, tidak mengajak berperang, tidak mengusir, maka ada tidak larangan berbuat baik dan adil terhadap mereka. Namun, jika mereka memerangi dan mengusir orang beriman –seperti yang dilakukan Zionis Yahudi terhadap umat Islam Palestina- maka tidak boleh berbuat baik dengan mereka, apa lagi kerja sama dengan mereka, dan tetap membeli produk-produk mereka dengan alasan jual beli dengan orang hukumnya mubah!

Jika benar bahwa memerangi orang kafir adalah karena kekafirannya, maka tidak akan ada izin dari Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam untuk berbuat baik kepada orang tua yang masih musyrik. Bahkan Allah Ta’ala tetap memerintahkan untuk berbakti kepada orang tua, walau mereka kafir, selama tidak diperintah dalam maksiat dan kekafiran. Jika benar bahwa memerangi orang kafir adalah karena kekafirannya, maka tidak akan ada izin dari Allah Ta’ala atas pembolehan kaum laki-laki beriman menikahi dengan wanita ahli kitab, dan dalam pandangan kita, ahli kitab juga kafir bukan? Seharusnya mereka pun juga diperangi bukan dinikahi, karena mereka kafir.

Maka, bagaimana mungkin memerangi orang kafir beralasan karena kekafirannya, padahal Allah Ta’ala tetap mengizinkan berbuat baik (Al Birr) kepada orang tua walau pun kafir? Seharusnya – jika konsisten dengan pendapat mereka- maka konsekuensinya orang tua pun harus diperangi karena kekafirannya itu. Ternyata Allah Ta’ala tetap mengizinkan berbuat baik kepada mereka.

Akhirnya, tidak ada manfaatnya pula para ulama membagi-bagi orang kafir menjadi kafir dzimmi dan kafir harbi, sebab baik itu dzimmi atau harbi, keduanya tetaplah beraqidah kafir yang harus diperangi.

Selain ayat di atas, ayat-ayat berikut ini pun menunjukkan bahwa peperangan terjadi karena penyerangan orang kafir terhadap umat Islam, yakni:

“Dan perangilah fisabilillah orang-orang yang memerangi kamu, (tetapi) janganlah kamu melampaui batas” (QS. Al Baqarah (22):190)

Ada dua pendapat dalam memahami ayat ini, sebagian ahli tafsir mengatakan surat Al Baqarah ayat 190 ini telah di nasakh oleh surat Al Bara’ah (At Taubah). Inilah pendapat Ar Rabi’ dan Ibnu Zaid. Namun yang lain mengatakan ayat ini tidak di nasakh oleh ayat mana pun. Peperangan dibolehkan untuk yang memerangi saja, bagi yang tidak ikut memerangi kita, seperti anak-anak, wanita, orang tua, dan rahib, orang yang tidak ikut memerangi, tidak boleh diperangi, jika diperangi juga maka itu melampaui batas. Inilah hukum yang berlaku hingga hari ini. Perang terjadi karena adanya penyerangan, jika mereka diam kita pun diam. Demikianlah pendapat Ibnu Abbas, Umar bin Abdul Aziz, dan Imam Ibnu Jarir mengatakan inilah pendapat yang benar.[14]Lebih jelasnya, saya kutip ucapan Ibnu Abbas Radhiallahu ‘Anhuma:

لا تقتلوا النساء ولا الصِّبيان ولا الشيخ الكبير وَلا منْ ألقى إليكم السَّلَمَ وكفَّ يَده، فإن فَعلتم هذا فقد اعتديتم.

“Jangan kalian memerangi kaum wanita, anak-anak, orang tua, orang yang menemuimu dengan salam, dan orang yang menahan tangannya (dari memerangimu, pen). Jika kalian melakukan itu, maka kalian telah melampaui batas.” [15]

Adapun ayat tentang Ahli Kitab (Yahudi dan Nasrani), “Perangilah orang-orang yang tidak beriman kepada Allah dan hari Akhir, tidak mengharamkan apa-apa yang Allah dan Rasul-Nya haramkan, serta tidak beragama dengan agama yang haq dari kalangan yang telah diberikan kepada mereka Al Kitab” ..dst (QS. At Taubah: 29) oleh Syaikh Muhammad Abduh dan Syaikh Rasyid Ridha dikatakan bukan memerangi semua Ahli Kitab, melainkan mereka yang memerangi kaum muslimin saja.

Selanjutnya, pada ayat lainnya:

“Telah diizinkan (berperang) bagi orang-orang yang diperangi, karena sesungguhnya mereka telah dianiaya” (QS. Al Hajj (22):39)

Ayat ini dengan jelas menerangkan bahwa, izin perang melawan orang musyrik baru ada karena kaum beriman dizhalimi dan diperangi. Imam Ibnu Jarir Rahimahullah berkata:

أذن الله للمؤمنين الذين يقاتلون المشركين في سبيله بأن المشركين ظلموهم بقتالهم.

“Allah Ta’ala mengizinkan orang-orang beriman untuk berperang fisabilillah terhadap orang-orang musyrik, lantaran orang-orang musyrik telah menzhalimi mereka dengan memerangi mereka.” [16]

Hal ini juga di tegaskan oleh Abu Bakar Ash Shiddiq Radhiallahu ‘Anhu setelah ayat ini turun, katanya:

فعرفت أنه سيكون قتال

“Maka, aku tahu bahwa akan terjadi perang.” [17]

Sementara Mujahid Radhiallahu ‘Anhu berkata:

أناس مؤمنون خرجوا مهاجرين من مكة إلى المدينة، فكانوا يمنعون، فأذن الله للمؤمنين بقتال الكفار، فقاتلوهم.

“Orang-orang beriman keluar untuk hijrah dari Mekkah ke Madinah, tetapi orang-orang kafir mencegahnya, maka Allah Ta’ala mengizinkan bagi orang-orang beriman untuk memerangi orang kafir, maka mereka pun memeranginya.”[18]

Sekali lagi apa yang dikatakan oleh Imam Mujahid – juga Imam Ibnu Jarir- menunjukkan bahwa orang beriman memerangi orang kafir karena dilatarbelakangi permusuhan, kezhaliman, dan penyerangan mereka terhadap kaum mukminin. Maka kaum mukminin pun membalasnya, bukan karena faktor kekafiran mereka semata-mata. Betul, bahwa orang-orang kafir membenci, menganiaya, mengusir dan memerangi kaum mukminin karena faktor agama (lihat Al Mumatahanah ayat 9), tetapi tidak sebaliknya kita terhadap mereka. Ini menunjukkan keluhuran agama Islam dan keunggulan Islam dibanding mereka.

Namun pada kenyataannya nanti, peperangan tersebut pun berimplikasi pada perang agama, sebab pada akhirnya simbolisasi dan syiar agama tidak bisa dielakkan, seperti yang terjadi antara mujahidin Palestina melawan Zionis Yahudi. Tujuan peperangan pun bukan karena semata-mata faktor sebidang tanah yang bernama Palestina, atau karena membela sebuah bangsa dan ras, tetapi lebih dari itu adalah mempertahankan eksistensi umat Islam, meninggikan kalimat Allah Ta’ala di sana, dan inilah yang fisabilillah.

Dari Abu Musa Al Asy’ari Radhiallahu ‘Anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:

مَنْ قَاتَلَ لِتَكُونَ كَلِمَةُ اللَّهِ هِيَ الْعُلْيَا فَهُوَ فِي سَبِيلِ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ

“Barangsiapa yang berperang dengan tujuan meninggikan kalimat Allah, maka itulah yang fisabilillah ‘Azza wa Jalla.”[19]

Ayat yang paling tegas dan jelas dalam menguatkan pendapat ini adalah sebagai berikut:

“Sesungguhnya kamu dapati orang-orang yang paling keras permusuhannya terhadap orang-orang yang beriman ialah orang-orang Yahudi dan orang-orang musyrik. Dan Sesungguhnya kamu dapati yang paling dekat persahabatannya dengan orang-orang yang beriman ialah orang-orang yang berkata: “Sesungguhnya Kami ini orang Nasrani”. Yang demikian itu disebabkan karena di antara mereka itu (orang-orang Nasrani) terdapat pendeta-pendeta dan rahib-rahib, (juga) karena Sesungguhnya mereka tidak menyombongkan diri.” (QS. Al Maidah (5): 82)

Lihat, perangnya kita dengan orang kafir Yahudi, adalah karena kerasnya permusuhan mereka terhadap orang-orang beriman. Karena inilah kita memerangi mereka. Kita tidak memerangi mereka dengan alasan mereka menyembah sapi betina, tidak memerangi mereka dengan alasan mereka membunuh para nabi, tidak memerangi mereka dengan alasan mereka telah merubah taurat, tetapi memerangi mereka dengan alasan kerasnya permusuhan mereka terhadap kaum muslimin.

Bersama Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah Rahimahullah

Di antara ulama Ahlus Sunnah yang berpendapat bahwa memerangi orang kafir adalah disebabkan permusuhan dan penindasan mereka terhadap kaum muslimin, adalah Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah Rahimahullah, dalam buku kecil Risalah Al Qital, pada kompilasi Majmu’ Ar Rasail An Najdiyyah.

Imam Ibnu Taimiyah membahas masalah ini bahwa asal diwajibkannya perang dan apa yang menjadi penyebabnya. Dia menegaskan bahwa secara realitas pendapat yang mengatakan kewajiban perang adalah disebabkan adanya tindakan orang kafir yang melakukan tindakan permusuhan keras terhadap Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dan para sahabatnya. Mereka dikeluarkan dari negeri dan tempat tinggal mereka. Lalu apakah yang menjadi penyebab peperangan itu? Apakah karena mereka itu orang kafir atau karena mereka melakukan permusuhan? Jika jawabannya yang pertama, maka boleh saja memerangi orang kafir kapan saja dan di mana saja. Jika jawabannya yang kedua, maka sesungguhnya tidak boleh bagi siapa pun untuk memerangi orang kafir kecuali jika dia melakukan permusuhan. Sebab tidak semua orang kafir bisa diperangi. Jika sebab perang karena seseorang statusnya yang kafir, maka hubungan antara kaum muslimin dan orang kafir adalah hubungan perang hingga ada satu perjanjian dan kesepakatan. Dan tentu saja setiap negeri yang tidak beragama Islam adalah negeri perang (Darul Harb) sebelum adanya kesepakatan.

Namun jika sebab perang adalah karena permusuhan mereka terhadap kaum muslimin, maka dasar hubungan kaum muslimin dan non muslim adalah damai, hingga adanya hal-hal yang mendorong terjadinya perang. Dan jika dasar hubungan kaum muslimin dan non muslim adalah damai, maka boleh saja melakukan perjanjian yang sifatnya abadi. Sebab, makna kesepakatan tersebut adalah kesepakatan untuk tidak saling mengganggu. Jika asal hubungan kaum muslimin dan non muslim adalah perang, maka tidak boleh mengadakan suatu perjanjian kecuali dalam batas tertentu.

Dengan demikian ada tiga masalah yang saling berhubungan. Pertama, masalah perang, apakah karena kekafiran atau karena permusuhan mereka. Kedua, dasar hubungan antara kaum muslimin dan non muslim, apakah damai atau perang. Ketiga, boleh tidaknya mengadakan perjanjian damai yang permanen.

Kita akan membahas masalah pertama saja. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah mengatakan ada dua pendapat tentang apakah peperangan kita dengan orang kafir karena kekafiran mereka, atau karena mereka memusuhi kaum muslimin.

Pertama, pendapat jumhur seperti Imam Malik, Imam Ahmad, Imam Abu Hanifah dan yang lainnya yang mengadakan bahwa asal diperangi orang kafir adalah karena mereka melakukan permusuhan. Konsekuensi dari pendapat ini adalah bahwa tidak ada perang jika tidak permusuhan. Sebab perang itu hanyalah untuk membela diri dan bukan untuk melakukan sergapan dan penyerangan. Dan jika perang bergolak maka tidak boleh ada pembunuhan kecuali terhadap orang-orang yang ikut berperang dan para ahli strategi mereka. Tidak diperkenankan membunuh para wanita, pendeta ahli ibadah, orang jompo, dan yang berpenyakit parah karena mereka tidak ikut memerangi kaum muslimin dan tidak memiliki pengalaman perang yang bisa diambil manfaatnya oleh mereka sendiri. Ringkasnya adalah, orang-orang yang tidak ikut berperang dan tidak memerintahkan orang lain untuk berperang, serta tidak bisa diambil manfaatnya dalam perang, mereka tidak boleh dibunuh.

Kedua, sesungguhnya yang membolehkan seseorang itu diperangi adalah karena dia memiliki sifat kafir dan bukan karena mereka melakukan tindakan permusuhan. Inilah pendapat Imam Asy Syafi’i. Dengan demikian, maka setiap orang kafir yang telah baligh boleh diperangi, baik yang mampu berperang atau tidak, baik dia seorang yang terlibat perang atau tidak, baik yang membantu atau tidak.

Imam Ibnu Taimiyah mengatakan pendapat jumhur adalah pendapat yang benar, yang memiliki dasar dan sandaran kuat dari Al Quran dan As Sunnah. Beliau berkata, “Perkataan jumhur ulama adalah pendapat yang ditetapkan oleh Al Quran dan As Sunnah.” [20]

Imam Ibnu Taimiyah memaparkan beberapa dalil Al Quran, di antaranya:

“Dan bunuhlah mereka di mana saja kamu jumpai mereka, dan usirlah mereka dari tempat mereka telah mengusir kamu (Mekah); dan fitnah itu lebih besar bahayanya dari pembunuhan, dan janganlah kamu memerangi mereka di Masjidil haram, kecuali jika mereka memerangi kamu di tempat itu. Jika mereka memerangi kamu (di tempat itu), Maka bunuhlah mereka. Demikianlah Balasan bagi orang-orang kafir. Kemudian jika mereka berhenti (dari memusuhi kamu), Maka Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. Dan perangilah mereka itu, sehingga tidak ada fitnah lagi dan (sehingga) ketaatan itu hanya semata-mata untuk Allah. Jika mereka berhenti (dari memusuhi kamu), Maka tidak ada permusuhan (lagi), kecuali terhadap orang-orang yang zhalim. Bulan Haram dengan bulan haram, dan pada sesuatu yang patut dihormati, Berlaku hukum qishaash. Oleh sebab itu Barangsiapa yang menyerang kamu, Maka seranglah ia, seimbang dengan serangannya terhadapmu. Bertakwalah kepada Allah dan ketahuilah, bahwa Allah beserta orang-orang yang bertakwa.” (QS. Al Baqarah (2): 191-194)

Beliau membahas, bahwa ayat ini menunjukkan atas disyariatkannya perang untuk membela diri bisa dilihat dari beberapa sisi.

Pertama: sesungguhnya Allah Ta’ala berfirman: “Dan perangilah di jalan Allah terhadap orang-orang yang memerangi kamu,” dengan demikian kebolehan berperang untuk kaum muslimin adalah karena adanya serangan dari pihak lain. Inilah alasan dibolehkannya perang itu.

Kedua: firman Allah Ta’ala dalam ayat itu yang mengatakan, “dan janganlah kamu melampaui batas,” ayat ini menerangkan bahwa memerangi orang yang tidak memerangi kita, atau orang-orang yang tidak pantas diperangi, adalah tindakan permusuhan yang terlarang.

Ketiga: sesungguhnya Allah Ta’ala menjadikan puncak dari perang adalah mencegah fitnah. Allah Ta’ala berfirman, “Dan perangilah mereka itu, sehingga tidak ada fitnah lagi dan (sehingga) ketaatan itu hanya semata-mata untuk Allah.” Dengan demikian, jelas bagi kita semua, tentang pendorong dan tujuan akhir dari perang. Pendorongnya adalah permusuhan yang menimbulkan fitnah, sedangkan tujuan akhirnya adalah penghentian fitnah. Demikian.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah membantah pihak yang menilai bahwa ayat in telah di nasakh (dihapus hukumnya dan telah diganti dengan hukum lain), beliau membantah satu persatu alasan mereka, hingga akhirnya dia mengatakan bahwa pendapat yang mengatakan ayat ini telah di nasakh adalah pendapat yang lemah. Beliau berkata: “Sesungguhnya anggapan bahwa ayat ini mansukh adalah perkataan yang membutuhkan dalil. Sebab di dalam Al Quran tidak ada satu ayat pun yang bertentangan dengan ayat ini. Semua ayatnya sepakat dengan ayat ini. Lalu manakah ayat yang menghapusnya (nasikh)?” [21]

Menurutnya adalah hal yang aneh, jika larangan ‘jangan melampaui batas’ di hapus, tetapi mereka justru mengatakan, “Sesungguhnya melampaui batas itu adalah satu kezhaliman dan Allah tidak menyukai kezhaliman.”

Imam Ibnu Taimiyah juga berdalil dengan ayat lain, yakni:

“Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam); Sesungguhnya telah jelas jalan yang benar daripada jalan yang sesat. “ (QS. Al Baqarah (2): 256)

Ayat ini bersifat umum. Seandainya perang itu adalah karena kekafiran seseorang, maka pastilah perang merupakan paksaan untuk masuk Islam. Imam Ibnu Taimiyah berkata, “Sesungguhnya kami tidak pernah memaksa orang lain untuk masuk Islam. Andai seseorang diperangi agar dia masuk Islam, maka hal itu merupakan pemaksaan paling besar terhadap orang lain untuk masuk Islam.”

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah membantah pihak yang mengatakan bahwa ayat ini telah di nasakh. Beliau mengatakan: “Semua ulama salaf mengatakan bahwa ayat ini tidak bersifat khusus dan tidak pula mansukh. Bahkan mereka mengatakan bahwa kami tidak pernah melakukan pemaksaan kepada orang lain untuk masuk ke dalam Islam. Kami akan memerangi orang-orang yang memerangi kami, dan jika mereka masuk Islam, maka darah dan harta mereka terlindungi. Jika dia bukan dari orang yang pantas untuk diperangi, maka kami tidak akan memeranginya dan kami tidak akan memaksakannya untuk masuk ke dalam Islam.” [22]

Syaikhul Islam juga memaparkan dalil-dalil dari As Sunnah. Dikisahkan bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam pernah melewati seorang wanita yang terbunuh. Saat itu Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda, “Tidak sepantasnya wanita ini diperangi dan dibunuh.” Dari sini jelaslah bahwa sebab larangan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam membunuh wanita itu adalah karena dia tidak ikut perang. Dengan demikian, perang yang mereka lakukanlah sebagai pendorong bagi kita untuk memerangi mereka.

Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam selalu memperingatkan kepada tentaranya yang akan berangkat perang agar tidak membunuh siapa pun kecuali mereka yang ikut berperang. Beliau bersabda: “Berangkatlah kalian dengan menyebut nama Allah, bersama Allah dan selalu tetap di atas agama Rasulullah. Jangan membunuh orang jompo, anak-anak, dan wanita. Janganlah kalian melampaui batas, kumpulkanlah harta rampasan kalian, berbuat baiklah sesungguhnya Allah senang terhadap orang yang berbuat baik.”

Nabi juga pernah menawan laki-laki dan perempuan musyrikin, tetapi beliau tidak pernah memaksa mereka untuk masuk agama Islam. Bahkan Rasulullah pernah berbuat baik kepada musyrikin yang ditawan, Tsumamah bin Utsal. Rasulullah tidak memaksanya untuk masuk Islam, hingga akhirnya ia sadar sendiri untuk masuk Islam. Hal ini juga dilakukan Rasulullah dalam menyikapi tawanan perang Badar.

Syaikhul Islam mengatakan, “Sirah Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam menunjukkan kepada kita, bahwa siapa saja yang mengangkat kesepakatan dengannya, maka dia tidak akan pernah memeranginya. Kitab-kitab sirah, hadits, tafsir, dan kisah-kisah peperangan Rasulullah membuktikan hal itu, berita tentang hal ini telah menjadi berita yang hampir semua orang tahu. Bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam tidak pernah memulai peperangan dengan siapa pun.” [23]

Demikianlah. Maka, pendapat yang menyebutkan bahwa peperangan umat Islam dengan orang kafir (termasuk Yahudi), adalah karena faktor permusuhan dan penyerangan mereka terhadap kaum muslimin, adalah pendapat yang kuat. Inilah pendapat jumhur (mayoritas) ulama, seperti Imam Abu Hanifah, Imam Malik, dan Imam Ahmad bin Hambal, lalu dikuatkan oleh Imam Ibnu Taimiyah. Pendapat inilah yang difatwakan oleh Syaikh Hasan Al Banna dan Syaikh Yusuf Al Qaradhawi, namun sayangnya pendapat ini disebut oleh sebagian kalangan sebagai fatwa yang jahat. Laa haulaa walaa quwwata illa billah…

Perlu diketahui, sebagian ulama Arab Saudi telah mengingkari kitab Risalah Qital sebagai bagian dari Majmu’ Fatawa-nya. Namun, para ulama seperti Syaikh Abu Zahrah, Syaikh Abdullah bin Zaid bin Ali Mahmud Al Hambali (seorang Hakim di Qatar yang bermazhab Hambali), juga ulama Arab Saudi seperti Syaikh Abdullah Al Qadiri Al Ahdal, menguatkannya bahwa itu memang merupakan risalah Imam Ibnu Taimiyah.

Selain itu, beliau juga menjelaskan dalam kitabnya As Siyaasah Asy Syar’iyyah:

…لأن القتال هو لمن يقاتلنا إذا أردنا إظهار دين الله كما قال الله تعالى : { وقاتلوا في سبيل الله الذين يقاتلونكم ولا تعتدوا إن الله لا يحب المعتدين}

“…. Karena sesungguhnya peperangan adalah bagi siapa saja yang memerangi kita, jika kita menghendaki kemenangan bagi agama Allah, sebagaimana firman Allah Ta’ala: Dan perangilah di jalan Allah orang-orang yang memerangi kamu, (tetapi) janganlah kamu melampaui batas, karena sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas. (QS. Al Baqarah (2): 190)

Syaikhul Islam juga mengatakan:

وذلك أن الله تعالى أباح من قتل النفوس ما يحتاج إليه في صلاح الخلق كما قال الله تعالى : { والفتنة أكبر من القتل } أي أن القتل وإن كان فيه شر وفساد ففي فتنة الكفار من الشر والفساد ما هو أكبر منه

Dengan demikian Allah Ta’ala membolehkan pembunuhan jika itu dibutuhkan bagi kemaslahatan hamba. Sebagaimana firman Allah Ta’ala: fitnah itu lebih besar bahayanya dari pembunuhan. (QS. Al Baqarah (2): 217) yaitu bahwa jika pada pembunuhan memiliki keburukan dan kerusakan, maka fitnah yang dilakukan oleh orang kafir (karena menyerang kita, pen) adalah lebih buruk dan lebih merusak dari pada pembunuhan (terhadap orang kafir, pen) itu sendiri. (Imam Ibnu Taimiyah, As Siyaasah Asy Syar’iyyah, Hal. 159. Darul Ma’rifah)

Demikianlah pendapat Imam Ibnu Taimiyah yang begitu jelas, bahwa peperangan terjadi karena kaum kafir menyerang kita, oleh karenanya kita dilarang menyerang yang tidak menyerang kita, seperti anak-anak, kaum wanita, dan orang jompo. Jika kita memerangi manusia dengan sebab semata-mata kekafirannya, sudah barang tentu habislah orang kafir kita perangi tanpa kecuali. 

Imam Ibnu Qayyim Al Jauziyah Rahimahullah

Beliau berkata dalam kitabnya yang berjudul Hidaayah Al Hiyari:

ومن تأمل سيرة النبي صلى الله عليه و سلم تبين له انه لم يكره أحدا على دينه قط وانه انما قاتل من قاتله وأما من هادنه فلم يقاتله ما دام مقيما على هدنته لم ينقض عهده بل أمره الله تعالى أن يفي لهم بعهدهم ما استقاموا له كما قال تعالى فما استقاموا لكم فاستقيموا لهم ولما قدم المدينة صالح اليهود وأقرهم على دينهم فلما حاربوه ونقضوا عهده وبدؤوه بالقتال قاتلهم فمن على بعضهم وأجلى بعضهم وقتل بعضهم وكذلك لما هادن قريشا عشر سنين لم يبدءهم بقتال حتى بدءوا هم بقتاله ونقضوا عهده فعند ذلك عزاهم في ديارهم وكانوا هم يغزونه

Bagi siapa yang memperhatikan sirah Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, akan jelas baginya bahwa Beliau tidak pernah sekali pun memaksakan seseorang untuk masuk ke agamanya (Islam). Sesungguhnya Beliau hanyalah memerangi orang yang memeranginya, ada pun yang mau berdamai dengannya Beliau tidak akan memeranginya, selama perjanjian itu berlaku dan dia tidak melanggarnya. Bahkan Allah Ta’ala memerintahkan Beliau untuk menepati janji dengan mereka, sejauh mereka konsisten berlaku lurus dengan janji itu, sebagaimana firman Allah Ta’ala: maka selama mereka berlaku lurus terhadapmu, hendaklah kamu berlaku lurus (pula) terhadap mereka. (QS. At Taubah (9): 7)

Ketika Beliau datang ke Madinah, Beliau berdamai dengan Yahudi dan mengakui agama mereka. Namun ketika mereka memeranginya dan melanggar janjinya serta memulai menyerangnya dengan peperangan, maka Beliau pun memerangi mereka, sebagian mereka diusir, sebagian lagi diperangi. Demikian juga ketika Beliau berdamai dengan Quraisy selama sepuluh tahun, Beliau tidak pernah memulai penyerangan terhadap mereka sampai mereka dahulu yang memeranginya dan melanggar janjinya. Nah, saat itulah Beliau memerangi mereka di negeri mereka padahal dahulu mereka dulu yang memerangi Beliau. (Lihat Imam Ibnul Qayyim, Hidaayah Al Hiyari fi Ajwibah Al Yahuud wan Nashaara, Hal. 12. Al Jami’ah Al Islamiyah, Madinah Al Munawarah)

Apa yang dijelaskan oleh Imam Ibnul Qayyim amat jelas, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam tidaklah memerangi orang kafir (offensive), kecuali jika mereka menyerang dulu (defensive). Dan, sikap dengan Yahudi di Madinah pun juga demikian, Beliau memeranginya lantaran mereka dulu yang menyerang dan melanggar janji, barulah Beliau menyerang mereka. Apa artinya ini? Islam tidaklah memerangi orang kafir karena aqidahnya, tapi karena mereka menyerang umat Islam terlebih dahulu. Demikianlah pandangan Imam Ibnul Qayyim Rahimahullah.

Selanjutnya ……….

Imam Ibnu Katsir Rahimahullah

Beliau menjelaskan dalam tafsirnya, ketika menjelaskan surat Al Baqarah ayat 190:

قال أبو جعفر الرازي، عن الربيع بن أنس، عن أبي العالية في قوله تعالى: { وَقَاتِلُوا فِي سَبِيلِ اللَّهِ الَّذِينَ يُقَاتِلُونَكُمْ } قال: هذه أول آية نزلت في القتال بالمدينة، فلما نزلت كان رسول الله صلى الله عليه وسلم يقاتل من قاتله، ويكف عَمَّن كف عنه حتى نزلت سورة براءة وكذا قال عبد الرحمن بن زيد بن أسلم حتى قال: هذه منسوخة بقوله: { فَاقْتُلُوا الْمُشْرِكِينَ حَيْثُ وَجَدْتُمُوهُمْ } [التوبة: 5] وفي هذا نظر؛ لأن قوله: { الَّذِينَ يُقَاتِلُونَكُمْ } إنما هو تَهْييج وإغراء بالأعداء الذين همّتْهم قتال الإسلام وأهله، أي: كما يقاتلونكم فقاتلوهم أنتم

Berkata Abu Ja’far Ar Razi, dari Ar Rabi’ bin Anas, dari Abul ‘Aliyah, tentang firman-Nya: (Berperanglah di jalan Allah terhadap orang-orang yang memerangi kalian), dia berkata: ini adalah ayat pertama tentang perang yang diturunkan di Madinah, maka ketika ayat ini turun Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam memerangi orang yang memeranginya. Dia menahan diri terhadap orang yang tidak mengganggunya, sampai turunnya surat Bara’ah. Demikian juga yang dikatakan Abdurrahman bin Zaid bin Aslam, katanya: ayat ini mansukh (dihapus) dengan ayat: (maka perangilah orang-orang musyrik di mana saja kalian menemukan mereka) (QS. At Taubah (9): 5), namun pendapat ini (yang mengatakan mansukhpen) perlu dipertimbangkan. Karena firman-Nya: (Orang-orang yang memerangi kalian), itu adalah sebagai penggerak dan pembangkit untuk melawan musuh yang telah menyusahkan mereka dengan memerangi Islam dan pemeluknya, yaitu sebagaimana mereka memerangi kalian, maka kalian perangilah mereka. (Tafsir Al Quran Al ‘Azhim, 1/523. Cet. 2, 1999M-1420H. Dar Ath Thayyibah. Tahqiq: Saami bin Muhammad Salaamah)

Sangat jelas, Imam Ibnu Katsir mengatakan bahwa peperangan dengan orang kafir terjadi karena kaum kafir memerangi Islam dan pemeluknya, bukan karena aqidah mereka yang kafir. Dan Beliau pun menyanggah pihak yang mengatakan bahwa ayat Al Baqarah 190 telah mansukh.

Imam Muhammad Al Khathib Asy SyarbiniRahimahullah

Beliau salah seorang ulama bermazhab Syafi’iyah, mengatakan:

وَوُجُوبُ الْجِهَادِ وُجُوبُ الْوَسَائِلِ لَا الْمَقَاصِدِ ، إذَا الْمَقْصُودُ بِالْقِتَالِ إنَّمَا هُوَ الْهِدَايَةُ وَمَا سِوَاهَا مِنْ الشَّهَادَةِ ، وَأَمَّا قَتْلُ الْكُفَّارِ فَلَيْسَ بِمَقْصُودٍ حَتَّى لَوْ أَمْكَنَ الْهِدَايَةِ بِإِقَامَةِ الدَّلِيلِ بِغَيْرِ جِهَادٍ كَانَ أَوْلَى مِنْ الْجِهَادِ

Kewajiban jihad adalah kewajiban yang bernilai sebagai sarana (al wasaail) bukan maksud (al maqaashid). Jika maksud dari peperangan adalah mengantarkan hidayah dan syahadah (kesaksian), maka memerangi orang kafir bukanlah tujuannya. Sehingga, jika memungkin hidayah dapat disampaikan dengan menegakkan dalil tanpa jihad, maka itu lebih utama dibanding jihad. (Imam Asy Syarbini, Mughni Muhtaj, 17/226. Mawqi’ Al Islam)

Ya, jika memang memerangi orang kafir karena kekafirannya, maka tentunya tidak ada kompromi dengan cara lainnya. Namun, di sini Imam Asy Syarbini mengatakan bahwa jika tujuan jihad adalah tersampaikannya hidayah dan mereka mau bersyahadat, dan ternyata ada cara lain yang lebih mungkin dan tepat, maka cara itulah yang digunakan, bukan dengan perang.

Berperang Karena Membela Palestina dan Al Aqsha

Sebagian manusia juga ada yang melecehkan hal ini, kata mereka, perang saat ini karena sebidang tanah! Kami sudah katakan sebelumnya, peperangan kita adalah lebih tinggi dari itu yaitu mempertahankan eksistensi umat Islam dan meninggikan kalimat Allah Ta’ala di sana.

Namun, perang karena membela Palestina dan Al Aqsha juga bukan kesalahan, dan tidak juga dikatakan bukan jihad, dan jika terbunuh bukan syahid. Tidak demikian! Sebab Allah Ta’ala telah memuliakan wilayah tersebut, memberkahinya, serta tempatnya para nabi dan shalihin.

Allah Ta’ala berfirman:

“Maha suci Allah, yang telah memperjalankan hamba-Nya pada suatu malam dari Al Masjidil Haram ke Al Masjidil Aqsha yang telah Kami berkahi sekelilingnya agar Kami perlihatkan kepadanya sebagian dari tanda-tanda (kebesaran) kami. Sesungguhnya Dia adalah Maha mendengar lagi Maha mengetahui.” (QS. Al Isra’ (17): 1)

Berkata Imam Ali Asy Syaukani Rahimahullah tentang makna “telah Kami berkahi sekelilingnya”:

بالثمار والأنهار والأنبياء والصالحين ، فقد بارك الله سبحانه حول المسجد الأقصى ببركات الدنيا والآخرة

“Dengan buah-buahan, sungai, para nabi dan shalihin, maka Allah Subhanahu wa Ta’ala telah memberikan keberkahan di sekitar masjid Al Aqsha dengan keberkahan dunia dan akhirat.”[24]

Dari Abu Sa’id Al Khudri Radhiallahu ‘Anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:

لَا تَشُدُّوا الرِّحَالَ إِلَّا إِلَى ثَلَاثَةِ مَسَاجِدَ مَسْجِدِي هَذَا وَالْمَسْجِدِ الْحَرَامِ وَالْمَسْجِدِ الْأَقْصَى

“Janganlah kalian bersungguh-sungguh untuk melakukan perjalanan kecuali menuju ke tiga masjid: masjidku ini (masjid nabawi), masjid Al Haram, dan masjid Al Aqsha.”[25]

Maka, berperang mempertahankan bumi Palestina, yang di dalamnya terdapat Al Aqsha yang diberkahi sekelilingnya, shalat di dalamnya lebih utama 500 kali dibanding di masjid lain (kecuali Masjidil Haram dan Masjid An Nabawi), kiblat pertama umat Islam, bumi dilahirkannya para nabi, dan tanah waqaf Umar bin Al Khathab kepada umat Islam, jelas adalah suatu kemuliaan. Jadi, sungguh terlalu dan melampaui batas jika ada orang yang melecehkan perjuangan saudaranya karena membela bumi Palestina dengan alasan ini.

Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam telah menetapkan, orang yang mempertahankan harta pribadi dan membela keluarga adalah syahid, maka apalagi mempertahankan bumi yang diberkahi ini, milik kaum muslimin -bukan milik pribadi- dan segudang keutamaan lainnya.

Dari Ibnu Umar Radhiallahu ‘Anhuma, Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:

مَنْ قُتِلَ دُونَ مَالِهِ فَهُوَ شَهِيدٌ

“Barangsiapa yang dibunuh karena hartanya, maka dia syahid.”[26]

Dari Sa’id bin Zaid Radhiallahu ‘Anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:

مَنْ قُتِلَ دُونَ مَالِهِ فَهُوَ شَهِيدٌ وَمَنْ قُتِلَ دُونَ دِينِهِ فَهُوَ شَهِيدٌ وَمَنْ قُتِلَ دُونَ دَمِهِ فَهُوَ شَهِيدٌ وَمَنْ قُتِلَ دُونَ أَهْلِهِ فَهُوَ شَهِيدٌ

“Barangsiapa yang dibunuh karena hartanya maka dia syahid, barangsiapa dibunuh karena agamanya maka dia syahid, barangsiapa yang dibunuh karena darahnya maka dia syahid, barangsiapa yang dibunuh karena membela keluarganya maka dia syahid.”[27]

Para ulama mengomentari hadits ini:

قال العلماء:المراد بشهادة هؤلاء كلهم، غير المقتول في سبيل الله، أنهم يكون لهم في الآخرة ثواب الشهداء، وأما في الدنيا، فيغسلون، ويصلى عليهم.

“Yang dimaksud adalah syahadah (mati syahid) bagi mereka semua, bukan karena terbunuh di jalan Allah, dan sesungguhnya bagi mereka di akhirat akan mendapatkan ganjaran syuhada, ada pun di dunia mereka tetap dimandikan dan dishalatkan.”[28]

Maka, beberapa keterangan dari Al Quran, Al Hadits, dan para ulama, menunjukkan bahwa bukan aib dan cela, bahkan merupakan sebuah keutamaan dan tidak mengurangi nilai kesyahidan, jika seorang mujahidin berperang karena membela bumi yang diberkahi, Al Aqsha dan di sekitarnya (Palestina), bumi para nabi dan kiblat pertama umat Islam. Tentunya, lebih utama hendaknya dibarengi niat li i’la kalimatillah (demi meninggikan kalimat Allah Ta’ala). Memang demikianlah perjuangan para mujahidin.

Wallahu A’lam.


Catatan Kaki:

[1] Imam Al ‘Iraqi, Takhrijul Ihya’, Juz. 6 Hal. 216. No hadits. 2567. Markaz Nur Al Islam Li Abhats Al Quran was Sunnah Iskandariah. Syamilah

[2] Syaikh Muhammad Nashiruddin Al Albani, Silsilah Adh Dha’ifah, Juz. 5, Hal 459, No hadits. 2460. Syamilah

[3] Syaikh Muhammad Nashiruddin Al Albani, Silsilah Adh Dha’ifah, Juz. 5, Hal 459, No hadits. 2460. Syamilah

[4] Imam Ibnu Taimiyah, Majmu’ Fatawa, Juz. 2, hal. 487. Syamilah

[5] HR. Abu Daud, Kitab Al Malahim Bab Al Amru wan Nahyu, Juz. 11, Hal. 419, No hadits. 3781. At Tirmidzi, Kitab al Fitan ‘an Rasulillah Bab Maa Jaa’a Afdhalul Jihad …, Juz. 8, hal. 83, No hadits. 2100. Katanya: hadits ini hasan gharib. Ibnu Majah, Kitab Al Fitan Bab Al Amru bil Ma’ruf wan nahyu ‘anil Munkar, Juz.12 Hal. 15, No hadits. 4001. Ahmad, Juz. 22 Hal. 261, No hadits. 10716. Dalam riwayat Ahmad tertulis Kalimatul haq (perkataan yang benar). Syamilah

[6] Lihat Misykah al MashabihKitab Al Imarah wal Qadha – Al Fashlu al Awal, Juz. 2, Hal. 343, No hadits. 3705. Syamilah

[7] HR. Bukhari, Kitab Al Haj Bab Fadhlu Al Haj al Mabrur, Juz. 5 Hal. 399, No hadits. 1423. Syamilah

[8] Imam Ibnu Taimiyah, Majmu’ Fatawa, Juz. 3, Hal. 302. Syamilah

[9] Imam Ibnu Qayyim, Zaadul Ma’ad, Juz. 3, Hal. 5. Syamilah

[10] Imam Al Qurthubi, Jami’ Li Ahkamil Quran, Juz. 18, Hal. 15

[11] Imam Abu Ja’far Ath Thabari, Jami’ Al Bayan fi Ta’wilil Quran, Juz. 23, Hal. 322-323

[12] Imam Asy Syaukani, Fathul Qadir, Juz. 7, Hal. 205. Syamilah

[13] Imam Abu Ja’far bin Jarir Ath Thabari, Jami’ Al Bayan fi Ta’wilil Quran, Juz. 23, Hal. 322. Imam Ibnu Katsir, Tafsir Al Quran Al ‘Azhim, Juz. 8, Hal. 90

[14] Jami’ Al Bayan, Juz. 3, Hal. 361-363

[15] Ibid, Juz. 3, Hal. 563

[16] Imam Abu Ja’far bin Jarir Ath Thabari, Jami’ Al Bayan fi Ta’wilil Quran, Juz. 18, Hal. 642

[17] Ibid, Juz. 18, Hal. 644

[18] Ibid, Juz. 18, Hal. 645

[19] HR. Bukhari, Kitab Al ‘Ilmu Bab Man Sa’ala wa Huwa Qa’imun ‘Aliman Jalisan, Juz. 1, Hal. 209, No. 120. Muslim, Kitab Al Imarah Bab Man Qaatala Litakuna Kalimatallah Hiyal ‘ulya Fahuwa fi sabilillah, Juz. 10, Hal. 6, No. 3525

[20] Risalah Al Qital, Hal. 116

[21] Ibid, Hal. 118

[22] Ibid, Hal. 123

[23] Ibid, Hal. 125

[24] Imam Asy Syaukani, Fathul Qadir, Juz. 4, Hal. 280

[25] HR. Muslim, Kitab Al Hajj Bab Safar Al Mar’ah ma’a Mahram ilaa Hajji wa Ghairih, Juz. 7, Hal. 46, No. 2383

[26] HR. Bukhari, Kitab Al Mazhalim wal Ghashbi Bab Man Qaatala Duuna Malihi, Juz. 8, Hal. 377, No. 2300 .

[27] HR. At Tirmidzi, Kitab Ad Diyat ‘An Rasulillah Bab Maa Ja’a fiman Qutila Duuna Malihi fahuwa Syahid, Juz. 5, Hal. 315, No. 1341, katanya: hasan shahih. Abu Daud, Kitab As Sunnah Bab Fi Qitaalil Lushush, Juz. 12, Hal. 388, No. 4142. An Nasa’i, Kitab Tahrim Ad Dam Bab Man Qaatala Duuna Diinihi, Juz. 12, Hal. 465, No. 4027. Ahmad, Juz. 4, Hal. 76, No. 1565. Dishahihkan oleh Syaikh Al Albani dalam Shahih At Targhib wat Tarhib, Juz. 2, Hal. 75, No. 1411

[28] Syaikh Sayyid Sabiq, Fiqhus Sunnah, Juz. 2, Hal. 633



Sumber:  http://www.dakwatuna.com/2013/11/02/41452/memahami-jihad-fi-sabilillah-bagian-ke-4-hadits-tentang-kembali-dari-jihad-kecil-menuju-jihad-besar/#ixzz5RFC7lfQv 

Leave a comment