Bunda Tahu Kamu Anak yang Rajin


 

RAJIN

Oleh Ida S Widayanti*

“Aku orangnya pemalas. Jarang belajar. Dari dulu aku suka malas. Ibuku juga bilang begitu. Di antara lima bersaudara akulah yang paling malas.” Itu adalah kalimat yang selalu diucapkan seorang mahasiswi hampir di setiap akhir semester.

Apa yang terjadi ternyata seperti yang diucapkannya. Ia tetap malas belajar, dan nilainya pun pas-pasan.

Teman-teman dekat dan teman halaqah pengajiannya selalu memberi motivasi dan membantunya belajar, agar ia bisa lolos melewati setiap ujian akhir semester. Namun, ia masih yakin dengan kemalasan dirinya dalam mengerjakan tugas dan belajar. Sedangkan teman-temannya menjadi lebih sibuk meyakinkan sekaligus membantunya agar bisa menyelesaikan studinya. Akhirnya, si mahasiswi itu berhasil diwisuda meski hasilnya jauh dari memuaskan.

Rupanya kisah ini belum berakhir. Duapuluh tahun kemudian ketika si mahasiswi itu sudah bekerja, salah seorang temannya bersilaturahim ke rumah petak sewaannya. Mengejutkan, kalimat yang keluar pertama kali dari wanita itu masih sama.

“Aku kan orangnya pemalas. Jadi karierku biasa saja, aku tidak pernah naik jabatan dan gajiku tidak pernah naik.”

Kisah nyata tersebut, menjadi contoh betapa pentingnya orangtua untuk menjaga ucapan kepada anaknya. Kalimat negatif “malas”  yang ia dengar dari orangtua, khususnya ibunya menjadi pembenaran pada anaknya. Sehingga menjadi sebuah keyakinan dan benar-benar menjadi seorang pemalas.

Dalam kasus di atas, ucapan ibu si mahasiswi itu tidak bermaksud agar anaknya menjadi pemalas, tapi supaya anaknya menjadi rajin. Namun alih-alih membangun karakter rajin, ucapan itu justru menjadi label dan memperkuat karakter malasnya.

Busana Muslim Branded Berkualitas

“Aniiiii….belajar! Dasar pemalas, dari tadi kerjanya main terus. Kapan mau belajarnya? Sampai kapan kamu mau malas begini?”

Itulah kalimat yang ia dengar sejak kecil. Oleh para ahli, hal itu dinamakan Program Mental. Ibu anak tersebut tidak bermaksud membuat program negatif bagi mental anaknya. Namun, karena kalimat negatif yang ia ucapkan maka semakin menguatkan kenegatifan anak.

Hasil riset mengatakan bahwa hingga usia 18 tahun seorang anak menerima 150.000 kali ungkapan, “Tidak. Kamu tidak akan bisa!”  Sedangkan ungkapan, “Kamu bisa!” hanya 5.000 kali, berarti hanya sekitar 3% kalimat positif. Hal inilah yang menyebabkan banyak orang tidak bisa melakukan yang terbaik dari dirinya. Penelitian lain menyatakan bahwa sejak lahir hingga usia 7 tahun anak menyerap hampir 100% dari apa yang dilihat dan didengar.

Dengan demikian dalam masa usia 7 tahun sebaiknya lebih menyuburkan kalimat positif, karena hal itu akan menjadi program pikirannya. Karena itu, ketika ada seorang anak yang memanah di masjid Rasulullah SAW lebih mengutamakan memotivasinya daripada melarangnya. “Teruslah memanah wahai keturunan Ismail. Sesungguhnya nenek moyangmu seorang pemanah!”

Pada kasus di atas, jika ibu dari anak wanita itu lebih banyak berkata, “Bunda yakin kamu anak yang rajin, pasti senang belajar!” Tentu anak tersebut akan meyakini bahwa dirinya rajin dan akan menuntun perbuatannya untuk rajin belajar.

Nabi SAW bersabda dalam Hadits Qudsi: Sesungguhnya Allah berfirman: “Aku sebagaimana prasangka hambaku kepada-Ku. Aku bersamanya jika ia berdoa kepada-Ku.” (Riwayat Turmudzi). *

hilfaaz gifPenulis buku Serial Catatan Parenting Mendidik Karakter dengan Karakter. SUARA HIDAYATULLAH-MARET 2016

Leave a comment