Menundukkan Ego untuk Keharmonisan Keluarga


Trit sebelumnya :Suami Ideal 1: Disayangi Isteri, Bukan Ditakuti

Suami Ideal 2 : Menundukkan Ego untuk Keharmonisan Keluarga

Oleh : Cahyadi Takariawan

Pada tulisan terdahulu tentang karakter suami ideal, saya telah menyampaikan karakter yang pertama. Berikut ini, saya mencoba menyampaikan karakter suami ideal berikutnya.

Kedua, suami ideal mampu menundukkan egonya sehingga mudah mengalah, cepat mengakui kesalahan dan ada banyak maaf dalam dirinya. Apakah yang menghalangi seorang suami untuk meminta maaf kepada isterinya ? Apakah yang menghalangi suami untuk bersikap mengalah ketika ada perselisihan pendapat dengan isteri ? Apakah yang menghalangi suami untuk mengakui kesalahan yang dilakukan ? Apakah yang menghalangi suami untuk memaafkan kesalahan dan kekurangan isteri?

Itulah yang disebut dengan ego. Ada ego lelaki, ada ego perempuan. Dalam suatu pertengkaran antara suami isteri, ego masing-masing memuncak tinggi. Tidak ada yang mau mengalah, tidak ada yang mendahului meminta maaf, tidak ada yang mau mengakui kesalahan. Padahal, dalam setiap konflik dan pertengkaran suami isteri, selalu ada andil kesalahan dari kedua belah pihak. Keduanya mesti memiliki andil dalam menciptakan suasana konflik.

Tapi, “Mengapa harus aku yang selalu mengalah?” kata suami dan isteri. Mereka berdua merasa sudah selalu mengalah, dan mengapa harus mengalah terus ? Dalam kasus konflik suami isteri, sering kali kedua belah pihak merasa dirinyalah yang selama ini selalu mengalah. Wah, seperti mengingatkan kita kepada lagunya Seventeen, “Selalu Mengalah”.

Jelaskan padaku isi hatimu
Seberapa besar kau yakin padaku
Untuk tetap bisa bertahan denganku
Menjaga cinta ini

Pertengkaran yang terjadi
Seperti semua salahku
Mengapa selalu aku yang mengalah
Tak pernahkah kau berpikir
Sedikit tentang hatiku
Mengapa ku yang harus selalu mengalah
Pantaskah hatiku masih bisa bersamamu

Dalam kehidupan keseharian, saat suami dan isteri bertengkar, harus saling mengalah. Tundukkan ego, segera akhiri pertengkaran. Segera meminta maaf, dan akui kesalahan di hadapan pasangan, walaupun belum tentu anda yang bersalah. Inilah yang amat sangat sulit dilakukan. Karena masing-masing memiliki ego, dan ego mengajak tuannya untuk tidak mau mengalah dan dikalahkan.

“Apa salahku, mengapa aku yang harus meminta maaf”, kata suami dan isteri usai pertengkaran. Masing-masing merasa bersih, tidak bersalah. Pasangannyalah yang bersalah dan membuat mereka berdua terlibat pertengkaran. Pada titik itu, isteri terdesak dan menangis terisak. Kadang terdiam saja tidak menangis, karena “sudah kering air mataku, terlalu banyak menangis”.

Jika anda ingin menjadi pemimpin yang dipercaya dan berwibawa, tegakkan kepercayaan dan kewibawaan itu dengan kelemahlembutan. Sebagai suami, anda tengah memimpin isteri yang memiliki, hati, jiwa, akal dan perasaan. Lengkap semua potensi dirinya. Yang anda pimpin bukan robot tanpa jiwa. Maka memimpin harus dengan kebeningan akal dan hati, dengan kebersihan jiwa, dengan kemuliaaan budi pekerti, dengan ketulusan dada.

Membentak, memarahi, mengucapkan kata-kata kasar kepada isteri adalah menancapkan paku-paku besi pada dinding hati. Luka, berdarah, sakit. Itu yang dirasakan isteri; dan cenderung sulit diobati. Bisakah anda menghitung berapa jumlah luka di hati isteri anda ? Bisa. Caranya, setiap kali anda berlaku kasar kepada isteri, tancapkan satu paku besi di dinding tembok kamar anda.

Biarkan berlangsung dalam waktu tiga bulan, lalu hitunglah berapa jumlah paku yang telah tertancap. Setelah berlangsung tiga bulan, sekarang cabutlah satu paku setiap kali anda berhasil menahan rasa marah kepada isteri. Terus lakukan itu, hingga semua paku yang tertancap habis tercabut. Namun coba perhatikan, apa yang terjadi saat anda mencabut paku besi dari dinding kamar anda ? Bukankah anda melihat ada bekas lubang yang ada di dinding kamar anda ?

Begitulah hati wanita. Selalu ada luka apabila anda menyakitinya dengan ucapan, perilaku dan kekasaran sikap. Bagaimana cara anda agar bekas lubang yang ada di tembok kamar anda bisa hilang dan tembok kamar anda bisa bersih seperti semula ? Anda harus menambalnya lagi, dan menghaluskannya kembali, lalu terakhir ditutup dengan cat. Tampaklah kamar anda seperti dinding baru.

Celakanya, banyak pula suami yang tidak merasa telah menyakiti hati isterinya. Ia tidak tahu bahwa sang isteri menangis semalam tidak bisa tidur, karena ada sikap suami yang menyakitkan hati. Saat sepasang suami isteri mendialogkan masalahnya kepada konsultan, isteri menyatakan terlalu sering disakiti hatinya oleh suami. Kata-kata yang sangat kasar dan melukai hati isteri, ternyata suami merasa biasa saja, dan bahkan heran mengapa isterinya bisa sakit hati hanya karena ucapan seperti itu.

Ucapan seperti apakah yang melukai hati isteri ? Yang paling puncak adalah kalimat yang diucapkan suami saat mereka berdua bertengkar hebat, “Kamu tahu nggak sih, kamu itu kayak Bagong !” Kalimat ini menjadi klimaks dari seluruh pertengkaran yang hampir selalu terjadi setiap hari. Bagong adalah salah satu tokoh pewayangan, bagian dari punakawan yang bentuknya jelek.

“Saya tidak terima disamakan dengan Bagong. Itu sangat menyakitkan dan melecehkan saya. Bagong itu kan laki-laki”, kata isteri sambil menangis terisak di depan konsultan.

Ketika sang suami diberi kesempatan untuk menyampaikan penjelasan di depan konsultan, dengan sangat santai sang suami mengatakan, “Cuma dikatakan seperti Bagong saja kok marah. Lha kalau memang tidak mirip harusnya tidak marah. Kalau marah itu berarti malah mengakui kalau memang mirip Bagong”. Luar biasa penjelasannya.

Metoda menancapkan paku di tembok tadi menjadi tidak ada gunanya, karena banyak suami tidak merasa dan tidak mengetahui kalau telah melakukan perbuatan atau perkataan yang menyakiti hati isteri. Suami tadi dengan akal dan pikirannya merasa ucapan “Bagong” itu sederhana saja. “Kalau tidak mirip Bagong ya tidak perlu marah”, itu sangat masuk akal, namun menyakitkan hati.

Hendaklah para suami berusaha lebih memahami bahasa hati dan perasaan. Agar bisa mengetahui hal-hal apa yang bisa menyakiti hati isterinya. Agar tidak mudahk mengucapkan kata-kata atau melakukan tindakan yang ternyata sangat melukai hati isteri, sementara ia tidak menyadari. Jika kondisi itu berlangsung dalam waktu lama, akan menimbulkan tumpukan luka yang semakin menganga. Dampaknya, isteri merasa tersiksa oleh suami.

Maka para suami harus mampu menundukkan egonya. Saat isteri tengah marah, jangan diimbangi dengan kemarahan. “Kamu kira aku tidak bisa marah ? Kalau kamu marah, akupun bisa marah”, kata seorang suami. Ia merasa gengsi bahwa menjadi suami diam saja saat dimarahi isteri. Padahal seorang kepala negara sekaliber Umar bin Khathab telah memberikan contoh kelembutan dalam berinteraksi dengan isteri. Saat isterinya marah, ia diam saja mendengarkan kemarahan sang isteri.

Kalau Khalifah
Umar mau, ia bisa saja mengatakan, “Aku ini kepala negara. Jangan berlaku seperti itu kepadaku”. Namun nyatanya ia lebih memilih diam, karena merasa bahwa isterinya telah sangat banyak berlaku baik kepada dirinya selama ini. Selain itu, ia tidak ingin menyakiti hati isteri. Ia bisa memahami mengapa isterinya bersikap seperti itu. Inilah kebesaran hati yang luar biasa dari seorang khalifah terhadap isterinya.

Banyak suami yang –karena merasa laki-laki— maka pantang direndahkan dan dikalahkan oleh isteri. Karena laki-laki, maka harus selalu menang. Maka ia menjadi sangat sulit untuk menundukkan egonya. Ia menjadi sangat sulit untuk “merendahkan diri” pada saat terjadi ketegangan hubungan yang berujung pertengkaran. Yang terjadi, pertengkaran semakin sengit, tidak ada yang mau mengalah, tidak ada yang mengakhiri dengan meminta maaf dan memaafkan pasangan.

Apa sulitnya bagi kita, para suami, untuk bersikap rendah hati di hadapan isteri ? Maaf bukanlah bahasa hukum. Dalam perspektif relasi suami isteri, maaf lebih merupakan bahasa komunikasi, bahasa cinta, dan bahasa kedewasaan serta kematangan hubungan di antara mereka berdua. Maka rumusnya : siapa yang lebih cepat meminta maaf, dialah yang lebih baik. Siapa yang lebih cepat mengalah, dialah yang lebih baik. Siapa yang lebih cepat mengakui kesalahan, dialah yang lebih baik. Siapa yang lebih cepat memaafkan, dialah yang lebih baik.

Kalau maaf dipahami sebagai bahasa hukum, selalu ada pernyataan “harus jelas dulu siapa yang salah dan siapa yang benar”. Maksudnya, supaya yang salah meminta maaf kepada yang benar. Namun dalam kehidupan keseharian di rumah tangga, sangat sulit untuk selalu membawa perselisihan suami isteri ke ranah hukum. Sulit untuk menuntut teruraikannya persoalan dengan hitam putih, ada yang dinyatakan salah, ada yang dinyatakan benar.

Ego telah menguasai tuannya, dan selalu mengajak untuk berposisi menang dengan mengalahkan pasangan. Padahal, dalam manajemen modern pun telah dikenal prinsip “win win solution”, semua dimenangkan. Dalam budaya Jawa ada istilah “menang tanpo ngasorake” yang bermakna menang tanpa harus mengalahkan. Maka sebagai suami, semestinya kita melatih diri untuk menundukkan ego, agar mudah meminta maaf, mudah mengalah, mudah mengakui kesalahan, dan mudah memaafkan isteri.

Sampaikan permintaan maaf tanpa harus mendetailkan siapa salah, siapa benar. Berikan maaf walaupun isteri belum meminta dari anda. Di dalam jiwa suami, tersimpan sangat banyak maaf untuk isterinya. Cadangan ini sangat penting, karena kita akan menempuh perjalanan kehidupan berumah tangga yang tidak sebentar. Perjalanan ini sangat panjang, sampai akhir menutup mata. Wah, lagi-lagi teringat lagu Seventeen, “Jaga Selalu Hatimu” :

kau jaga selalu hatimu
saat jauh dariku tunggu aku kembali
ku mencintaimu selalu
menyayangimu sampai akhir menutup mata

Segera peluk isteri anda saat ada pertengkaran kecil diantara anda berdua, dan ucapkan permintaan maaf dengan tulus. “Maafkan aku sayang, aku telah membuatmu marah. Aku sangat menyesal”, sulitkah mengatakan kalimat seperti itu ? Sulit, jika kita menuruti ego. Tidak sulit, jika kita telah mampu menundukkan ego. Pada kenyataannya banyak suami yang berkarakter “hard to say I’m sorry”. Betapa berat sekedar mengucapkan kata maaf kepada isteri.

Maka, jadilah pihak yang mudah mengalah jika menghadapi perselisihan dengan isteri. Jangan membiarkan ego menguasai anda yang menyebabkan anda tersulut emosi dan melayani kemarahan isteri. Merendahlah, tundukkan ego, demi keutuhan dan keharmonisan rumah tangga anda. Tidak ada sulitnya, karena mengalah tidak berarti kalah. Meminta maaf bukan berarti rendah.

“Tapi, mengapa harus saya yang selalu mengalah ?” kata seorang suami bernada protes mendengar nasihat saya ini.

Ingin tahu jawabannya ?

“Karena, anda adalah suami ideal”, itu jawaban saya.

One thought on “Menundukkan Ego untuk Keharmonisan Keluarga

Leave a comment