Kenapa Harus Ikut Standarisasi Dai  MUI


Standarisasi Dai MUI

Pada hari Senin, 16 Sya’ban 1445 H / 26 Februari 2024 M saya mengikuti Standarisasi Dai MUI yang ke-29 yang diselenggarakan di Gedung Wisma Mandiri, Kebon Sirih, Jakarta Pusat dan ini merupakan agenda tahunan yang diselenggarakan oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI), agenda tahunan ini dihadiri oleh asatidzah, dai dan ulama dari seluruh Indonesia dari berbagai ormas. Tujuan dari kegiatan ini adalah membina para dai agar mematuhi kode etik dalam berdakwah, dan untuk keperluan administrasi sangat berguna karena ada beberapa lembaga meskipun tidak ada aturan tertulis mengutamakan dai yang direkomendasikan oleh MUI untuk berdakwah dan juga bagi yang akan berdakwah di luar negeri akan sangat berguna. Kegiatan ini dimulai pada pukul 09.00 WIB dan berakhir pada pukul 21.00 WIB. Pembahasan pada agenda tahunan ini adalah sebagai berikut:

1) Fikih Dakwah
Membahas keutamaan berdakwah dan menjadi dai, apa saja unsur-unsur dalam dakwah, metode dalam berdakwah, sifat yang harus dimiliki dai, bagaimana agar dakwah memberikan dampak yang besar bagi mad’u (Objek dakwah), macam-macam dakwah, hukum berdakwah.

2) Pedoman dan Kode Etik Dakwah
Membahas tentang visi dakwah:

1) Terciptanya masyarakat dan berbangsa yang baik dan mendapatkan ridha dan ampunan Allah Subhanahu Wa Ta’ala.

2) Terciptanya masyarakat yang berkualitas atau kuntum khaira ummatin ukhrijat linnas.

3) Mewujudkan kejayaan Islam dalam wadah NKRI.

Misi dakwah:

1) Menggerakan kepemimpinan.
2) Menggerakan Amar Ma’ruf Nahi Munkar.
3) Mewujudkan Ukhuwah Islamiyyah.

Ada tujuh prinsip yang harus diperhatikan dalam berdakwah:

1) Bersatu dalam aqidah.
2) Berjamaah dalam ibadah.
3) Tasamuh (Toleran) dalam khilafiyah.
4) Ihsan (Baik) dalam mujadalah.
5) Fathanah dalam siyasah (Cerdas dalam mengambil kebijakan)
6) Santun dalam muamalah.
7) Istiqamah dalam dakwah.

3) Islam Wasathiyah
Pembahasan tentang Islam yang moderat, berikut ini definisi Islam Wasathiyah menurut KH. Cholil Nafis (Ketua MUI Bidang Dakwah):

1) Tawasuth (Pertengahan)
2) Tawazun (Seimbang)
3) I’tidal (Lurus)
4) Tasamuh (Toleransi)
5) Musawah (Setara)
6) Syura (Musyawarah)
7) Islah (Reformasi)
8) Aulawiyah (Mendahulukan yang prioritas)
9) Tathawwur Wal Ibtikar (Dinamis, Inovatif dan Kreatif)
10) Tahadhur (Peradaban)

Menurut KH. Miftachul Akhyar (Mantan Ketua Umum MUI), prinsip dakwah Islam yang moderat adalah berdasarkan hadits Nabi yang diriwayatkan oleh Imam Al Bukhari dan Muslim dari sahabat Anas Radhiyallahu ‘Anhu:

يسروا ولا تعسروا بشروا ولا تنفروا

“Permudahlah dan jangan mempersulit, berilah kabar gembira dan jangan membuat orang lari.”

4) Hukum Positif Terkait Dakwah
Membahas tentang dasar hukum untuk berdakwah dan ceramah menurut UUD 1945 pasal 28, 28 E dan 29, dan membahas tentang peran dai sebagai pelindung umat dari aliran-aliran sesat dan menyimpang berdasarkan UU No. 1 PNPS 1965 tentang pencegahan, penyalahgunaan atau penodaan agama.

Ada beberapa hal yang harus diperhatikan oleh para dai khususnya ketika berdakwah menggunakan media sosial:

1) Jangan terpancing situasi.
2) Fokus kepada materi yang disiapkan.
3) Berfikir ulang terhadap materi yang akan disampaikan terlebih lagi jika materi yang akan disampaikan sensitif.
4) Tidak memasuki atau mengkritik agama lain.
5) Jika mengkritik agama lain maka hendaklah dilakukan dengan cara yang baik dan mengacu kepada karya-karya para ulama terdahulu.

Definisi Dakwah menurut KH. Miftachul Akhyar:

1) Dakwah itu mengajak bukan mengejek.
2) Dakwah itu merangkul bukan memukul.
3) Dakwah itu menyayangi bukan menyaingi.
4) Dakwah itu mendidik bukan membidik.
5) Dakwah itu membina bukan menghina.
6) Dakwah itu mencari solusi bukan mencari simpati.
7) Dakwah itu membela bukan mencela.

5) Ke-MUI-an
Membahas sejarah berdirinya MUI, visi dan misi MUI, hubungan MUI dengan pihak eksternal khususnya dengan penguasa, bagaimana MUI mengeluarkan fatwa dan apakah fatwa yang dikeluarkan oleh MUI bisa menjadi dasar hukum atau tidak.

6) Islam dan Kebangsaan
Membahas tentang sejarah Pancasila dan apakah bertentangan dengan Islam, sejarah perumusan dasar negara yang merujuk kepada Piagam Madinah, tafsir Surat Al Qashash ayat ke-85:

إن الذي فرض عليك القرآن لرادك إلى معاد قل ربي أعلم من جاء بالهدى ومن هو في ضلال مبين

“Sesungguhnya (Allah) yang mewajibkan kamu (Muhammad) untuk melaksanakan hukum-hukum Al Qur’an akan mengembalikanmu ketempat kembali (Mekkah), katakanlah: “Tuhanku lebih tahu siapa yang membawa petunjuk dan yang berada diatas kesesatan yang nyata.”

Syaikh Ismail Haqqi Al Hanafi (Wafat tahun 1127 H) berkata dalam karyanya “Ruhul Bayan”:

وفى تفسير الآية إشارة إلى أن حب الوطن من الإيمان وكان عليه السلام يقول كثيرا الوطن الوطن فحقق الله سؤله إلى أن قال عمر رضى الله عنه لولا حب الوطن لخرب بلد السوء فبحب الأوطان عمرت البلدان

“Didalam tafsir ayat (QS. Al Qashash: 85) terdapat petunjuk bahwasanya cinta kepada tanah air adalah bagian dari iman, dan dahulu Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi Wassallam menyebutkan ketika hijrah ke Madinah: “Negeriku, negeriku.” Maka Allah mengabulkan permohonannya (Yaitu kembali ke Mekkah ketika Fathu Makkah) sampai Umar Bin Khattab Radhiyallahu Anhu berkata: “Jika bukan karena cinta kepada tanah air maka akan rusak negeri yang jelek, dengan cinta kepada tanah air maka dibangunlah negeri-negeri.”

عن أنس رضي الله عنه أن النبي صلى الله عليه وسلم كان إذا قدم من السفر فنظر إلى جدرات المدينة أوضع راحلته وإن كان على دابة حركها من حبها

“Dari Anas Radhiyallahu Anhu bahwasanya Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam apabila pulang dari bepergian dan melihat dataran tinggi kota Madinah, Beliau mempercepat jalan unta Beliau dan bila menunggang hewan lain Beliau memacunya karena kecintaannya (kepada Madinah).” [HR. Al Bukhari]

Ibnu Hajar Al Asqalani (Wafat tahun 852 H) menyebutkan dalam Fathul Bari bahwasanya hadits ini menunjukkan tentang keutamaan Madinah dan disyariatkan untuk mencintai tanah air dan merindukannya, sebagaimana Nabi berdoa:

اللهم حبب إلينا المدينة كحبها مكة أو أشد

“Ya Allah, jadikanlah kecintaan kami kepada Madinah sebagaimana kecintaan kami kepada Mekkah atau lebih.” [HR. Al Bukhari]

Apakah Pancasila bertentangan dengan Islam? Pembahasan tentang hubungan Pancasila dengan Islam selalu menjadi perbincangan hangat antar kelompok dalam Islam, ada yang mengatakan sesuai dengan Islam dan ada yang mengatakan tidak sesuai dengan Islam. Jika dilihat dari sisi sejarah, Pancasila ada karena kesepakatan dan ijtihad para ulama dan tokoh pendiri bangsa. Artinya, perumusan Pancasila memiliki dasar-dasar agama yang sesuai dengan kaidah dan syariat Islam. Berikut ini bukti bahwasanya Pancasila tidak bertentangan dengan Islam:

1) Ketuhanan Yang Maha Esa.
Merujuk pada QS. Al Ikhlash: 1.

2) Kemanusiaan yang adil dan beradab.
Merujuk pada QS. An Nisa: 135.

3) Persatuan Indonesia.
Merujuk pada QS. Al Hujurat: 13

4) Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan dan perwakilan.
Merujuk pada QS. Asy Syura: 38

5) Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Merujuk pada QS. An Nahl: 90

Itulah beberapa faedah yang saya dapatkan dari agenda tahunan ini yang diselenggarakan oleh MUI, dan apabila ada kekurangan saya meminta maaf sebesar-besarnya. Allahu A’lam

Leave a comment