PENDIDIKAN AGAMA YANG BERGIZI DAN GURIH, SPIRITUALITAS, DAN KISAH KATY PERRY


Seorang teman, Guru Besar Teknik Elektro di ITB pernah berkata kepada saya :

“Bang, Islam itu perlu diajarkan secara bergizi, namun juga gurih. Ibarat makanan, tak ada makanan yang lebih bergizi daripada makanan rumah sakit. Namun, adakah orang yang mau mentraktir kita makan di kantin rumah sakit ? Rasanya tidak. Karena walaupun sangat bergizi, namun tidak gurih, tidak lezat”.

Pesannya mengingatkan saya tentang sebuah kejadian di rumah sendiri. Suatu ketika istri saya memasak sayur. Sengaja dia memasaknya setengah matang, karena begitulah cara memasak sayur agar gizinya tetap tinggi. Tapi, apa yang terjadi ? tak seorangpun dari anak-anak saya yang mau memakannya, dengan alasan tak enak, bagaikan memakan sayur mentah. Namun istri saya tetap ngotot bahwa begitulah cara memasak yang paling baik untuk menjaga gizi sayuran.

Akhirnya, anak kedua sayapun angkat bicara :

“Ummi, dengan cara memasak seperti itu, mungkin gizinya masih 80 %. Tapi kami hanya mau memakannya satu kali saja, karena tak enak. Jika ummi memasaknya lebih matang, mungkin gizinya tinggal 50 %. Tapi kami bersedia memakannya berulang-ulang. Jadi, mana yang lebih baik bagi tubuh kami : 1 X 80 % atau 5 X 50 % ???”

Dan istri sayapun mengerti.

Saya jadi teringat dengan Katy Perry, seorang penyanyi seksi dari Amerika : Penampilannya seronok, gerak tubuhnya seronok, lagunya seronok, syairnya banyak yang menohok moralitas, serta seorang lesbian pula.

Pendidikan macam apa yang ia dapatkan sehingga dia berperilaku semacam itu ? Kedua orang tuanya adalah Kristen puritan. Ayahnya adalah seorang pendeta. Pendidikan agamanya sangat ketat. Ia hanya dibenarkan menyanyikan lagu-lagu gereja. Pergaulannya sangat diawasi. Pakaiannya sangat sopan dan makanannya pun terjaga.

Ah… mungkin kedua orangtuanya ketat menddiknya dengan ritualitas, namun sayang tampaknya lalai dalam pendidikan spiritualitas. Pendidikan spiritualitas adalah pendidikan tentang “meaning and value” : tentang makna dan nilai, tentang esensi dan hakikat, tentang hikmah dan manfaat. Ya, mungkin karena mereka Non-Muslim. Tapi apakah sebagai Muslim kita sudah cukup sadar dengan hal ini ?

Yang jelas, setiap Allah dan RasulNya mengajarkan kita tentang ad-dien, tak pernah sekalipun lalai dengan dimensi spiriualnya, dimensi meaning and value-nya. Wallahu ‘alam bish-shawab

Postingan ust Adriano Rusfi

Leave a comment