Sejarah Gerhana, Fiqih Khutbah dan Shalat Gerhana Lengkap



Fiqih Khutbah dan Shalat Gerhana Lengkap

Fenomena Gerhana Matahari tinggal hitungan hari. Banyak
masyarakat menunggu momen langka ini. Terutama daerah tertentu yang
dilewati Gerhana Matahari Total (GMT), berbagai macam sarana untuk
menyaksikan gerhana pun disiapkan.
Sebagai seorang Muslim, selain menyiapkan perangkat untuk melihat
langsung fenomena tersebut, ada persiapan lain yang lebih penting untuk
disiapkan, yaitu ilmu tentang bagaimana seharusnya kita menghadapi
peristiwa gerhana tersebut.

Dalam kajian fikih, istilah gerhana matahari disebut dengan kusuf, sedangkan gerhana bulan disebut dengan khusuf. Walaupun sebagian ulama berpendapat kata kusuf adalah sinonim dari kata khusuf.
Kusuf terjadi ketika hilangnya cahaya dari
matahari dan bulan secara keseluruhan, atau sebagiannya saja. Sehingga
warnanya berubah manjadi hitam. (Lihat: Shahih Fikih Sunnah, hal: 432)

Sedangkan pengertian shalat kusuf ialah shalat yang
dilakukan dengan tata cara khusus, ketika munculnya peristiwa gerhana
matahari atau bulan, baik secara total maupun sebagiannya saja. (Lihat: Nihayatul Muhtaj, 2/394)

Dalam catatan salah satu tokoh ahli falak di Indonesia. Beliu adalah  Ahmad Izzuddin, Ketua Asosiasi Dosen Falak Indonesia., selama masa Nabi SAW setidaknya terjadi 8 kali
gerhana dengan beragama jenisnya. Rnciannya adalah tiga kali gerhana
matahari dan lima kali gerhana bulan, sehingga total ada 8 kejadian
gerhana. 



Shalat wajib 5 waktu disyariatkan saat peristiwa Isra’ dan Mi’raj. Adapun Isra’
dan Mi’raj terjadi pada hari Senin Legi tanggal 27 Rajab –3 H (hijriah)/19
Maret 619 M (masehi). Sebagian riwayat mengatakan 16 bulan sebelum hijrah,
sebagian lagi mengatakan 5 tahun sebelum hijrah. Sedangkan shalat gerhana baru
disyariatkan 6 tahun 2 bulan setelah Isra’ dan Mi’raj. Shalat gerhana disyariatkan
pertama kali pada tahun ke-5 hijrah, yakni ketika terjadi gerhana bulan total pada
malam Rabu 14 Jumadal Akhirah 4 H, bertepatan dengan 20 November 625 M
.
Sejak disyariatkannya shalat gerhana, 14 Jumadal Akhirah 4 H/20 November
625 M sampai Rasulullah SAW wafat pada hari Senin Legi, 14 Rabi’ul Awal 11 H/8
Juni 632 M terjadi 3 kali gerhana matahari dan 5 kali gerhana bulan. Menurut
riwayat, Rasulullah SAW wafat tanggal 12 Rabi’ul Awal. Lebih detalinya gerhana
yang terjadi dalam kurun waktu tersebut berdasarkan perhitungan hisab tadqiqi,
lihat tabel di bawah.
 

Sejak disyariatkannya shalat gerhana sampai beliau wafat, Rasulullah SAW
melakukan shalat gerhana hanya dua kali. Yang pertama saat gerhana bulan, 14 Jumadal
Akhirah 4 H yang bertepatan dengan 20 November 625 M; dan yang kedua saat
gerhana matahari, 29 Syawal 10 H yang bertepatan dengan 27 Januari 632 M. Namun
di dalam kitab Syarah Shahihul Bukhari Liibnil Bathal disebutkan bahwa Rasulullah
SAW shalat gerhana beberapa kali.
Kenapa Rasulullah hanya shalat satu kali gerhana bulan dan satu kali
gerhana matahari, padahal setelah disyariatkannya shalat gerhana, menurut hisab
masih terjadi 4 kali gerhana bulan dan 3 kali gerhan matahari? Memang betul
secara hisab terjadi beberapa kali gerhana bulan dan matahari namun waktu
terjadinya gerhana bulan maupun matahari terlalu dekat dengan terbit dan
terbenamnya bulan atau matahari, sehingga waktunya sempit.
Berikut sedikit uraian kronologi gerhana yang ada di tabel atas.
1.     Enam bulan setelah gerhana bulan yang pertama kali
disyari’atkan tepatnya 15 Dzulhijjah 4 H/17 Mei 2626 M terjadi gerhana bulan
parsial namun waktunya menjelang shubuh dan beberapa saat setelah shubuh bulan
tenggelam dalam keadaan gerhana.
2.     Sebelas bulan berikutnya tepatnya 29 Dzulqo’dah 5 H/21
April 627 M terjadi gerhana matahari, namun persentasi piringan matahari yang
tertutup hanya 5 persen, kemungkinan besar tidak bisa dilihat dengan mata
telanjang.
3.     Sebelas bulan kemudian tepatnya 14 Dzulqo’dah 6 H/25 Maret
628 M terjadi gerhana bulan dengan persentasi gerhana 31 persen namun terjadi
saat-saat maghrib. Awal gerhana terjadi sebelum bulan terbit, sehingga saat
terbit, bulan sudah dalam keadaan gerhana, lalu beberpa menit sebelum waktu
isya’, gerhana sudah berakhir.
4.     Enam bulan berikutnya tepatnya 29 Jumadal Ula 7 H/3
Oktober 628 M terjadi gerhana matahari, namun persentasi piringan matahari yang
tertutup hanya 12 persen. kemungkinan besar tidak bisa dilihat dengan mata
telanjang. Awal gerhana terjadi sebelum matahari terbit dilihat dari Madinah,
sehingga saat terbit, matahari sudah dalam keadaan gerhana, lalu beberpa menit
setelah matahari terbit, gerhana sudah berakhir.
5.     Lima bulan berikutnya tepatnya 14 Dzulqo’dah 7 H/15 Maret
629 M terjadi gerhana bulan total di tengah malam. Bulan Maret adalah mulai
berakhirnya musim dingin. Aktifitas malam masyarakat Arab masih rendah karena
beberapa hari sebelumnyah suhu udara masih dingin. Disamping itu sisa-sisa
mendung kemungkinan masih banyak sehingga bulan yang sedang gerhana luput dari
perhatian masyarakat Madinah saat itu, selebihnya wallohu A’lam.
6.     Dua belas bulan berikutnya, tepatnya 15 Dzulqo’dah 8H/4
Maret 630 M terjadi gerhana sebagian dengan persentasi puncak gerhan sekitar 68
persen, namun terjadi saat-saat maghrib. Awal gerhana terjadi sebelum bulan
terbit, sehingga saat terbit, bulan sudah dalam keadaan gerhana, lalu beberapa
menit (23 menit) setelah matahari terbenam (waktu maghrib) gerhana sudah
berakhir.
7.     Duapuluh tiga bulan berikutnya tepatnya 29 Syawal 10 H/27
Januari 632 M terjadi gerhana matahari dengan persentasi puncak gerhana 82
persen. Bertepatan dengan peristiwa gerhana tersebut, tepatnya malam hari
sebelum gerhana, Sayyid Ibrohim putra Rasulullah SAW dari ibu Maria Al-QIbtiyah
wafat. Pada saat gerhana matahari inilah pertama kali sekaligus terakhir kalinya
Rasulullah SAW melaksanakan shalat gerhana matahari.
Kontroversi
Gerhana Matahari Zaman Nabi
Ketika terjadi
gerhana, kita pasti teringat akan wafatnya sayyid Ibrohim, putra Rasulullah SAW
dari Maria Al-Qibtiyah binti Syam’un (Istri Jariyah rosul hadiah dari
penguasa Mesir, Juraij bin Mina Al-Mukaukis
) yang wafat saat terjadi
gerhana matahari, sebagaimana disebutkan dalam sebuah hadits :

عن عبد الرحمن بن حسان بن ثابت عن أمه سيرين قالت : حضرت
موت إبراهيم ابن النبى صلى الله عليه وسلم فكسفت الشمس يومئذ فقال الناس : هذا
لموت إبراهيم فقال رسول الله صلى الله عليه وسلم :« إن الشمس لا تنكسف لموت أحد
ولا لحياته ». ومات يوم الثلاثاء لعشر خلون من ربيع الأول سنة عشر
Dari Abdurrohman bin Hasan bin Tsabit dari ibunya Sirin katanya:“Saya telah
menghadiri kematian Ibrahim putra Rosululooh SAW. Dan pada hari tersebut
terjadi gerhana matahari. Lantas orang pada kasak-kusuk bahwa gerhana tersebut
terjadi karena wafatnya Ibrohim, kemudian Rasulullah SAW bersabda “ Sesungguhnya
matahari dan bulan itu dua tanda dari tanda-tanda kekuasaan Alloh, tidaklah
keduanya gerhana karena mati atau hidupnya seseorang. Beliau wafat pada hari
Selasa, 10 hari dari bulan Rabi’ul Awal tahun 10 H.
Menurut riwayat yang
kuat menyebutkan bahwa gerhana matahari yang bertepatan dengan wafatnya sayyid
Ibrohim terjadi pada tanggal 10 Rabi’ul Awwal 10 H sementara menurut riwayat
lain menyebutkan bulan Romadlon dan bulan Dzulhijjah, bahkan ada yang
menyebutkan terjadi pada saat penjanjian hudaibiyah.
Hal ini sangat
anomali dengan kaedah hisab yang mana gerhana matahari mestinya terjadi pada
pada akhir bulan qomariyah (penileman) yakni saat ijtimak/konjungsi, sedangkan
gerhana bulan terjadi pada saat purnama/badr.
Dari penelusuran
hisab, sejak tahun 8 (tahun lahirnya sayyid Ibrohim) sampai 10 hijriyah hanya
terjadi satu kali gerhana matahari, yaitu gerhana cincin yang terjadi pada hari
Senin Pon, 29 Syawal 10 H, bertepatan dengan 27 Januari 632 M, terjadi pada
pagi hari jam 07:15 dan berakhir pada jam 09:53. waktu Madinah. Dengan demikian
maka kemungkinan besar wafatnya sayyid Ibrohim adalah malam Senin, 29 Syawwal
10 H.
Lalu bagaimana
dengan riwayat yang menyebutkan terjadi pada tanggal 10 Rabi’ul Awwal 10 H?
Riwayat tersebut tidaklah salah karena saat itu masyarakat Arab belum mempunyai
kalender baku yang menjadi patokan syar’i secara umum. Saat itu sistem kalender
masih sering berubah, kabilah Arab seringkali menambah atau mengurangi bilangan
bulan dalam setahun untuk kepentingan perang, kadang dalam setahun ada 13
bulan. Kalender qomariyah mulai tertib setelah nabi menyampaikan ayat ke 36
surat At-Taubah pada waktu khutbah hari Tasyrik di Mina.
إِنَّ عِدَّةَ الشُّهُورِ عِنْدَ
اللَّهِ اثْنَا عَشَرَ شَهْرًا فِي كِتَابِ اللَّهِ يَوْمَ خَلَقَ السَّمَوَاتِ
وَالْأَرْضَ مِنْهَا أَرْبَعَةٌ حُرُمٌ ذَلِكَ الدِّينُ الْقَيِّمُ (التوبة 36)
“Sesungguhnya
bilangan bulan pada sisi Allah ialah dua belas bulan, dalam ketetapan Allah di
waktu Dia menciptakan langit dan bumi, di antaranya empat bulan haram. Itulah
(ketetapan) agama yang lurus” (At-Taubah 36)
إِنَّمَا النَّسِيءُ زِيَادَةٌ فِي
الْكُفْرِ يُضَلُّ بِهِ الَّذِينَ كَفَرُوا يُحِلُّونَهُ عَامًا وَيُحَرِّمُونَهُ
عَامًا لِيُوَاطِئُوا عِدَّةَ مَا حَرَّمَ اللَّهُ فَيُحِلُّوا مَا حَرَّمَ
اللَّهُ زُيِّنَ لَهُمْ سُوءُ أَعْمَالِهِمْ وَاللَّهُ لَا يَهْدِي الْقَوْمَ
الْكَافِرِينَ (التوبة 37)
“Sesungguhnya
mengundur-undurkan bulan haram itu adalah menambah kekafiran. Disesatkan
orang-orang yang kafir dengan mengundur-undurkan itu, mereka menghalalkannya
pada suatu tahun dan mengharamkannya pada tahun yang lain, agar mereka dapat
mempersesuaikan dengan bilangan yang Allah mengharamkannya, maka mereka
menghalalkan apa yang diharamkan Allah. (Syaitan) menjadikan mereka memandang
perbuatan mereka yang buruk itu. Dan Allah tidak memberi petunjuk kepada
orang-orang yang kafir” (At-Taubah 37)
Sebelum ayat
tersebut turun, kalender bulan qomariyah diselaraskan dengan kalender syamsiyah
sehingga dalam 3 tahun terdapat tahun yang jumlah bulannya 13 bulan. Sebelum
dan sa’at berkembangnya Islam di jazirah Arab, baik kalender Qomariyah (Lunar
Calendar) maupun Syamsiyah (Solar Calendar) sudah dikenal akan tetapi belum ada
patokan tahunnya serta kaidah-kaidah yang baku yang menjadi ketetapan kalender
sehingga baik awal tahun maupun awal bulan serta jumlah bulan dalam setahun
tidak beraturan.
Baru pada masa
kholifah Umar bin Khottob beliau mengumpulkan segenap sahabat serta elit-elit
pemerintahan pada hari Rabu 20 Jumadil Akhir tahun 17 dari hijrah yang
bertepatan dengan 8 Juli 638 M, untuk membahas perlunya sebuah kalender yang
baku. Akhirnya disepakati sebuah kalender yang berbasis bulan, Lunar System.
Diputuskan bahwa awal tahun hijri dimulai pada sa’at nabi berangkat hijrah ke
Madinah yaitu tahun 622 M sedangkan awal bulannya dimulai dari Muharrom, karena
pada sa’at itu berakhirnya aktivitas ibadah haji dan menuju kehidupan yang
baru. 1 Muharrom 1 H bertepatan dengan 16 Juli 622 M tepat pada hari Jumat
Legi.
 

Hikmah Dibalik Peristiwa Gerhana
Banyak cerita khurafat dan tahayyul beredar di masyarakat seputar
terjadinya gerhana. Namun syariat telah menyatakan dengan tegas
nilai-nilai yang terkandung dibalik terjadinya peristiwa tersebut. Di
antaranya adalah:

1-    Menunjukkan salah satu keagungan dan kekuasaan Allah Ta’ala yang Maha mengatur alam ini.
2-    Untuk menimbulkan rasa gentar di hati setiap hamba atas
kebesaran Allah Ta’ala dan azab-Nya bagi siapa yang tidak taat
kepada-Nya.

Rasulullah saw bersabda,

إِنَّ الشَّمْسَ وَالْقَمَرَ لاَ
يَخْسِفَانِ لِمَوْتِ أَحَدٍ وَلاَ لِحَيَاتِهِ وَلَكِنَّهُمَا آيَتَانِ
مِنْ آيَاتِ اللَّهِ فَإِذَا رَأَيْتُمُوهَا فَصَلُّوا  (رواه البخاري)

“Sesungguhnya matahari dan bulan tidak gerhana karena kematian
seseorang atau karena kehidupannya. Akan tetapi keduanya merupakan
tanda-tanda kebesaran Allah. Jika kalian menyaksikannya, maka hendaklah
kalian shalat.”
(HR. Bukhari)

Dalam redaksi yang lain, Bukhari juga meriwayatkan,

إِنَّ الشَّمْسَ وَالْقَمَرَ آيَتَانِ مِنْ
آيَاتِ اللَّهِ لاَ يَنْكَسِفَانِ لِمَوْتِ أَحَدٍ وَلاَ لِحَيَاتِهِ
وَلَكِنَّ اللَّهَ تَعَالَى يُخَوِّفُ بِهَا عِبَادَهُ

“Sesungguhnya matahari dan bulan keduanya merupakan tanda-tanda
kebesaran Allah, keduanya  tidak gerhana karena kematian seseorang atau
karena kehidupannya.. Akan tetapi Allah hendak membuat gentar para
hamba-Nya.”
(HR. Bukhari)

Disamping hal ini juga mengingatkan seseorang dengan kejadian hari
kiamat yang salah satu bentuknya adalah terjadinya gerhana dan
menyatunya matahari dengan bulan, seperti Allah nyatakan dalam surat
Al-Qiyamah: 8-9.

وَخَسَفَ الْقَمَرُ . وَجُمِعَ الشَّمْسُ وَالْقَمَرُ (سورة القيامة)

“Dan apabila bulan telah hilang cahayanya. Dan Matahari dan bulan dikumpulkan.” (QS. Al-Qiyamah: 8-9)
Shalat Gerhana
Islam mengajarkan umatnya untuk melakukan shalat apabila mereka
menyaksikan peristiwa gerhana, baik matahari maupun bulan, sebagaimana
diisyaratkan dalam hadits di atas, juga sebagaimana riwayat adanya
perbuatan Rasulullah saw tentang hal tersebut.

Para ulama menyimpulkan bahwa hukum shalat gerhana adalah sunnah.
Imam Nawawi rahimahullah  menyatakan bahwa sunahnya shalat gerhana
merupakan ijma ulama (Lihat: Syarah Muslim, 6/451). Ibnu Qudamah dan
Ibnu Hajar menyatakan bahwa shalat gerhana merupakan sunnah  mu’akkadah/sunnah
yang sangat ditekankan (Al-Mughni, 3/330, Fathul Bari, 2/527). Sebagian
ulama bahkan menyatakan kewajiban shalat gerhana, karena Rasulullah saw
melaksanakannya dan memerintahkannya. Ibnu Qayim menyatakan bahwa
pendapat ini (wajibnya shalat gerhana) merupakan pendapat yang kuat.
(Kitab Ash-Shalah, Ibnu Qayim, hal. 15).

Di sisi lain, karena jarang kaum muslimin yang mengenal dan
melaksanakan shalat gerhana, maka dengan melakukannya maka dia akan
mendapatkan keutamaan orang yang menghidupan sunnah.

Adab Shalat Gerhana
1.    Menghadirkan rasa takut kepada Allah saat terjadinya gerhana
bulan dan matahari. Baik karena peristiwa tersebut mengingatkan kita
akan tanda-tanda kejadian hari kiamat, atau karena takut azab Allah
diturunkan akibat dosa-dosa yang dilakukan.

2.     Mengingat apa yang pernah disaksikan Nabi saw dalam shalat
Kusuf. Diriwayatkan bahwa dalam shalat kusuf, Rasulullah saw
diperlihatkan oleh Allah surga dan neraka. Bahkan beliau ingin mengambil
setangkai dahan dari surga untuk diperlihatkan kepada mereka. Beliau
juga diperlihatkan berbagai bentuk azab yang ditimpakan kepada ahli
neraka. Karena itu, dalam salah satu khutbahnya selesai shalat gerhana,
beliau bersabda,

يَا أُمَّةَ مُحَمَّدٍ وَاللَّهِ لَوْ تَعْلَمُونَ مَا أَعْلَمُ لَضَحِكْتُمْ قَلِيلًا وَلبَكَيْتُمْ كَثِيرًا (متفق عليه)

“Wahai umat Muhammad, demi Allah, jika kalian mengetahui apa yang
aku ketahui, niscaya kalian akan sedikit tertawa dan banyak menangis.”
(Muttafaq alaih)

3.    Menyeru dengan panggilan “Asshalaatu Jaami’ah” .
Maksunya adalah panggilan untuk melakukan shalat secara berjamaah.
Aisyah meriwayatkan bahwa saat terjadi gerhana, Rasulullah saw
memerintahkan untuk menyerukan “Ashshalaatu Jaami’ah” (HR. Abu Daud dan Nasa’i)

Tidak ada azan dan iqamah bagi shalat gerhana. Karena azan dan iqamah hanya berlaku pada shalat fardhu yang lima.
4.    Disunahkan mengeraskan bacaan surat, baik shalatnya dilakukan
pada siang atau malam hari. Hal tersebut dilakukan Rasulullah saw dalam
shalat gerhana (Muttafaq alaih).

5.    Shalat gerhana sunah dilakukan di masjid secara berjamaah.
Rasulullah saw selalu melaksanakannya di masjid sebagaimana disebutkan
dalam beberapa riwayat. Akan tetapi boleh juga dilakukan seorang diri.
(Lihat: Al-Mughni, Ibnu Qudamah, 3/323)

6.    Wanita boleh ikut shalat berjamaah di belakang barisan
laki-laki. Diriwayatkan bahwa Aisyah dan Asma ikut shalat gerhana
bersama Rasulullah saw. (HR. Bukhari).

7.    Disunahkan memanjangkan bacaan surat. Diriwayatkan bahwa
Rasulullah saw dalam shalat gerhana memanjangkan bacaannya. (Muttafaq
alaih). Namun hendaknya tetap mempertimbangkan kemampuan dan kondisi
jamaah.

8.    Disunahkan menyampaikan khutbah setelah selesai shalat,
berdasarkan perbuatan Nabi saw bahwa beliau setelah selesai shalat naik
ke mimbar dan menyampaikan khutbah (HR. Nasa’i). Sejumlah ulama
menguatkan bahwa khutbah yang disampaikan hanya sekali saja, tidak dua
kali seperti shalat Jumat. Sebagian ulama menganggap tidak ada sunah
khutbah selesai shalat. Akan tetapi petunjuk hadits lebih menguatkan
disunahkannya khutbah setelah shalat gerhana. Wallahua’lam.

9.       Dianjurkan memperbanyak istighfar, berzikir dan berdoa,
bertakbir, memedekakan budak, shalat serta berlindung kepada Allah dari
azab neraka dan azab kubur.


Hukum Shalat Gerhana




Para ulama membedakan antara hukum shalat gerhana matahari dan gerhana bulan.
1. Gerhana Matahari
Para ulama umumnya sepakat mengatakan bahwa shalat gerhana matahari
hukumnya sunnah muakkadah, kecuali mazbah Al-Hanafiyah yang mengatakan
hukumnya wajib.

a. Sunnah Muakkadah
Jumhur ulama yaitu Mazhab Al-Malikiyah, As-Syafi’iyah dan
Al-Malikiyah berketetapan bahwa hukum shalat gerhana matahari adalah
sunnah muakkad.

b. Wajib
Sedangkan Mazhab Al-Hanafiyah berpendapat bahwa shalat gerhana matahari hukumnya wajib. 

2. Gerhana Bulan
Sedangkan dalam hukum shalat gerhana bulan, pendapat para ulama
terpecah menjadi tiga macam, antara yang mengatakan hukunya hasanah,
mandubah dan sunnah muakkadah.

a. Hasanah
Mazhab Al-Hanafiyah memandang bahwa shalat gerhana bulan hukumnya hasanah.
b. Mandubah
Mazhab Al-Malikiyah berpendapat bahwa hukum shalat gerhana bulan adalah mandubah.
c. Sunnah Muakkadah
Mazhab As-Syafi’iyah dan Al-Hanabilah berpendapat bahwa hukum shalat gerhana bulan adalah sunnah muakkadah.


Akan tetapi Jumhur ulama berpendapat bahwa hukum shalat gerhana matahari atau bulan adalah sunnah muakkadah,
yaitu sunnah yang ditekankan bagi setiap kaum Muslimin. Sebagian ulama
menyatakan bahwa pendapat tersebut sudah menjadi ijma’ di antara mereka.
Sehingga Imam Syafi’i berkata, 

“Tidak boleh meninggalkan shalat
gerhana, baik yang bermukim maupun mereka yang sedang melakukan safar,
atau siapa saja yang mampu melaksanakannya.” (Lihat: Al-Majmu’, 5/66)

Pendapat di atas berdasarkan dengan hadits dari Nabi SAW. Dari Abu Musa RA, ia berkata, ”Pernah
terjadi gerhana matahari pada zaman Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam. Nabi lantas berdiri takut karena khawatir akan terjadi hari
kiamat, sehingga beliau pun mendatangi masjid kemudian beliau
mengerjakan shalat dengan berdiri, ruku’ dan sujud yang lama. Aku belum
pernah melihat beliau melakukan shalat sedemikian rupa.”

Nabi SAW lantas bersabda, ”Sesungguhnya ini adalah tanda-tanda
kekuasaan Allah yang ditunjukkan-Nya. Gerhana tersebut tidaklah terjadi
karena kematian atau hidupnya seseorang. Akan tetapi Allah menjadikan
demikian untuk menakuti hamba-hamba-Nya. Jika kalian melihat sebagian
dari gerhana tersebut, maka bersegeralah untuk berdzikir, berdoa dan
memohon ampun kepada Allah.”
(HR. Muslim)

Kapan Diperintahkan untuk Shalat Gerhana?
Shalat gerhana diperintahkan ketika melihat gerhana matahari atau
gerhana bulan dengan pandangan mata secara langsung (rukyah). Hal ini
sesuai dengan sabda Nabi SAW:
فَإِذَا رَأَيْتُمْ مِنْهَا شَيْئًا، فَصَلُّوْا، وَادْعُوا اللهَ حَتَى يَكْشِفَ مَا بِكُمْ
“Maka apabila kalian melihatnya, maka lakukanlah solat dan berdoalah kepada Allah sampai hal yang menakutkan itu hilang.” (HR. Muslim)
Sehingga ketika keadaan cuaca mendung dan gerhananya tidak dapat
terlihat dengan kasat mata, maka tidak diperintahkan untuk shalat.
Syaikh Ibnu Utsaimin menjelaskan, “Suatu hal yang mungkin Allah
menyembunyikan penglihatan gerhana pada satu daerah, lalu menampakkannya
pada daerah lain. Ada hikmah di balik itu semua. (Lihat: Majmu’ Fatawa, 16/309)
Lalu jika seseorang tidak mengetahui adanya gerhana kecuali setelah
peristiwa itu berlalu, maka ia juga tidak perlu melaksanakan shalat.
Karena perintah tersebut sangat terikat dengan waktu terlihatnya
gerhana. Apabila gerhananya berlalu maka tidak ada lagi perintah shalat.
Kemudian shalat gerhana boleh dilakukan pada saat waktu-waktu yang
dilarang mengerjakan shalat. Karena ia merupakan shalat yang memiliki
sebab. Walaupun sebagian ulama memiliki pendapat yang berbeda tentang
hal itu. (Lihat: Shahih Fikih Sunnah, hal: 434)

Cara Shalat Gerhana Bulan = Shalat Gerhana Matahari
Cara shalat gerhana matahari dilakukan sama seperti shalat gerhana bulan. Dalilnya adalah sabda Nabi SAW:
“Sesungguhnya matahari dan bulan adalah dua tanda di
antara tanda-tanda kekuasaan Allah. Kedua gerhana tersebut tidak terjadi
karena kematian atau lahirnya seseorang. Jika kalian melihat keduanya,
berdo’alah pada Allah, lalu shalatlah hingga gerhana tersebut hilang
(berakhir).
(HR. Bukhari Muslim)
Ibnu Mundzir berkata, ”Shalat gerhana bulan dilakukan sama sebagaimana shalat gerhana matahari.” (Ibnu Mundzir, Al-Iqna’, 1/124-125)

Tanpa Ada Azan dan Iqamat
Para ulama sepakat bahwa shalat gerhana matahari di dalamnya tidak
dikumandangkan azan dan iqamat. Sedangkan yang disunnahkan ketika itu
adalah mengucapkan Ash-Shalatul Jami’ah. Dalil mengenai hal ini ialah hadits yang diriwayatkan oleh Abdullah bin Amr yang berkata, “Ketika terjadi gerhana matahari pada masa Rasulullah, dikumandangkan ash-shalatul jami’ah.” (HR. Bukhari Muslim)

Tata Cara Pelaksanaan Shalat Gerhana



Shalat gerhana dilakukan dua rakaat, setiap rakaat ada dua kali ruku’
dan dua kali sujud. Tata caranya disebutkan langsung secara rinci di
dalam hadits yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari, yaitu:

Dari Aisyah, beliau menuturkan bahwa gerhana matahari pernah
terjadi pada masa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Lantas
beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bangkit dan mengimami manusia dan
beliau memanjangkan berdiri. Kemuadian beliau ruku’ dan memperpanjang
ruku’nya. Kemudian beliau berdiri lagi dan memperpanjang berdiri
tersebut namun lebih singkat dari berdiri yang sebelumnya.
Kemudian beliau ruku’ kembali dan memperpanjang ruku’ tersebut
namun lebih singkat dari ruku’ yang sebelumnya. Kemudian beliau sujud
dan memperpanjang sujud tersebut. Pada raka’at berikutnya, beliau
mengerjakannya seperti raka’at pertama. Lantas beliau beranjak (usai
mengerjakan shalat tadi), sedangkan matahari telah nampak. Setelah itu
beliau berkhotbah di hadapan orang banyak, beliau memuji dan menyanjung
Allah
.
kemudian beliau bersabda, ”Sesungguhnya
matahari dan bulan adalah dua tanda di antara tanda-tanda kekuasaan
Allah. Gerhana ini tidak terjadi karena kematian seseorang atau lahirnya
seseorang. Jika melihat hal tersebut maka berdo’alah kepada Allah,
bertakbirlah, kerjakanlah shalat dan bersedekahlah.”
Nabi selanjutnya bersabda, ”Wahai umat Muhammad, demi Allah,
tidak ada seorang pun yang lebih cemburu daripada Allah karena ada
seorang hamba baik laki-laki maupun perempuan yang berzina. Wahai Umat
Muhammad, demi Allah, jika kalian mengetahui yang aku ketahui, niscaya
kalian akan sedikit tertawa dan banyak menangis.” 
(HR. Bukhari, no. 1044)

Tambahan 

Adapun terkait cara shalat gerhana bulan, para ulama berbeda
pendapat. Sebagian ulama menganalogikan cara shalat gerhana bulan dengan
cara shalat gerhana matahari. Sementara ulama lain menyatakan bahwa
cara shalat gerhana bulan sama saja dengan cara shalat sunah lainnya,
cukup dikerjakan sendiri-sendiri di rumah masing-masing.



Syekh Hasan Sulaiman Nuri dan Sayyid Alwi bin Abbas Al-Maliki menjelaskan perbedaan pendapat ulama dalam Ibanatul Ahkam, Syarah Bulughul Maram sebagai berikut:
أما
خسوف القمر فقالت الشافعية والحنابلة هي ركعتان في كل ركعة؛ ركوعان كصلاة
كسوف الشمس في جماعة. وقالت الحنفية صلاة الخسوف ركعتان بركوع واحد كبقية
النوافل وتصلى فرادى، لأنه خسف القمر مرارا في عهد الرسول ولم ينقل أنه جمع
الناس لها فيتضرع كل وحده، وقالت المالكية: ندب لخسوف القمر ركعتان جهرا
بقيام وركوع واحد كالنوافل فرادى في المنازل وتكرر الصلاة حتى ينجلي القمر
أو يغيب أو يطلع الفجر وكره إيقاعها في المساجد جماعة وفرادى.


Artinya,
“Shalat gerhana bulan, bagi kalangan syafiiyah dan hanbaliyah, adalah
dua rakaat dengan dua rukuk pada setiap rakaatnya persis seperti
mengamalkan shalat gerhana matahari secara berjamaah. Kalangan Hanafi
mengatakan, shalat gerhana bulan itu berjumlah dua rakaat dengan satu
rukuk pada setiap rakaatnya sebagai shalat sunah lain pada lazimnya, dan
dikerjakan secara sendiri-sendiri. Pasalnya, gerhana bulan terjadi
berkali-kali di masa Rasulullah SAW tetapi tidak ada riwayat yang
menyebutkan bahwa Rasul mengumpulkan orang banyak, tetapi beribadah
sendiri. Kalangan Maliki menganjurkan shalat sunah dua rakaat karena
fenomena gerhana bulan dengan bacaan jahar (lantang) dengan sekali rukuk
pada setiap kali rakaat seperti shalat sunah pada lazimnya, dikerjakan
sendiri-sendiri di rumah. Shalat itu dilakukan secara berulang-ulang
sampai gerhana bulan selesai, lenyap, atau terbit fajar. Kalangan Maliki
menyatakan makruh shalat gerhana bulan di masjid baik berjamaah maupun
secara sendiri-sendiri,” (Lihat Syekh Hasan Sulaiman Nuri dan Sayyid
Alwi bin Abbas Al-Maliki, Ibanatul Ahkam Syarah Bulughul Maram, Beirut, Darul Fikr, cetakan pertama, 1996 M/1416 H, juz I, halaman 114).



Keterangan
ini cukup jelas memilah pendapat para ulama. Madzhab Syafii berpendapat
bahwa shalat gerhana bulan dilakukan secara berjamaah di masjid
sebagaimana shalat gerhana matahari. Pendapat ini juga dipakai oleh
Ahmad bin Hanbal, Dawud Az-Zhahiri, dan sejumlah ulama. Sedangkan Imam
Malik dan Imam Hanafi berpendapat sebaliknya. Bagi keduanya, shalat
gerhana bulan tidak dilakukan secara berjamaah, tetapi dilakukan secara
sendiri-sendiri sebanyak dua rakaat seperti dua rakaat shalat sunah
lainnya.



Ibnu Rusyd mencoba memetakan sebab perbedaan di kalangan ulama perihal tata cara shalat sunah gerhana bulan. Dalam Bidayatul Mujtahid, ia memperlihatkan pendekatan yang dilakukan masing-masing ulama sebagai berikut ini:
سبب
اختلافهم اختلافهم في مفهوم قوله عليه الصلاة والسلام: “إن الشمس والقمر
آيتان من آيات الله لا يخسفان لموت أحد ولا لحياته فإذا رأيتموهما فادعوا
الله وصلوا حتى يكشف ما بكم وتصدقوا” خرجه البخاري ومسلم. فمن فهم ههنا من
الأمر بالصلاة فيهما معنى واحدا وهي الصفة التي فعلها في كسوف الشمس رأى
الصلاة فيها في جماعة. ومن فهم من ذلك معنى مختلفا لأنه لم يرو عنه عليه
الصلاة والسلام أنه صلى في كسوف القمر مع كثرة دورانه قال المفهوم من ذلك
أقل ما ينطلق عليه اسم صلاة في الشرع وهي النافلة فذا وكأن قائل هذا القول
يرى أن الأصل هو أن يحمل اسم الصلاة في الشرع إذا ورد الأمر بها على أقل ما
ينطلق عليه هذا الاسم في الشرع إلا أن يدل الدليل على غير ذلك فلما دل
فعله عليه الصلاة والسلام في كسوف الشمس على غير ذلك بقي المفهوم في كسوف
القمر على أصله والشافعي يحمل فعله في كسوف الشمس بيانا لمجمل ما أمر به من
الصلاة فيهما فوجب الوقوف عند ذلك. وزعم أبو عمر بن عبد البر أنه روي عن
ابن عباس وعثمان أنهما صليا في القمر في جماعة ركعتين في كل ركعة ركوعان
مثل قول الشافعي


Artinya, “Sebab perbedaan itu
terletak pada perbedaan pandangan mereka dalam memahami hadits
Rasulullah SAW, ‘Matahari dan bulan adalah dua tanda kebesaran Allah.
Keduanya tidak terjadi gerhana karena kematian atau kelahiran seseorang.
Kalau salah seorang kalian melihat keduanya, sebutlah nama Allah dan
shalatlah sampai Allah membuka gerhana itu, dan bersedekahlah,’ HR
Bukhari. Ulama yang memahami di sini sebagai perintah shalat pada kedua
gerhana dengan sebuah pengertian yaitu sifat shalat yang telah
dikerjakan Rasulullah SAW ada saat gerhana matahari, memandang bahwa
shalat pada gerhana matahari dilakukan secara berjamaah.” Sedangkan
ulama yang memahami hadits ini dengan sebuah pengertian berbeda,
sementara belum ada riwayat yang menyebutkan bahwa Rasulullah SAW
melakukan shalat gerhana bulan padahal fenomena itu terjadi berkali-kali
sema beliau hidup, berpendapat bahwa pengertian yang dapat ditarik dari
teks hadits ini adalah sekurang-kurang sebutan shalat dalam syara’,
yaitu shalat sunah sendiri. Ulama ini seakan memandang bahwa pada
asalnya kata ‘shalat’ di dalam syarak bila datang perintah padanya harus
dipahami dengan konsep paling minimal yang mengandung sebutan itu dalam
syariat kecuali ada dalil lain yang menunjukkan hal yang berlainan.
Ketika sikap Nabi SAW menghadapi gerhana matahari berbeda dengan itu,
maka konsep terkait gerhana bulan tetap dipahami sebagai aslinya.
Sedangkan Imam Syafi’i memahami sikap Nabi SAW dalam melewati gerhana
matahari sebagai penjelasan atas keijmalan perintah shalat oleh
Rasulullah pada kedua gerhana tersebut sehingga konsep atas amaliah
gerhana bulan harus berhenti di situ. Sementara Abu Amr bin Abdil Bar
meriwayatkan dari Ibnu Abbas dan Utsman RA bahwa keduanya melaksanakan
shalat dua rakaat secara berjamaah saat gerhana bulan dengan dua rukuk
pada setiap rakaatnya seperti pendapat Imam As-Syafi’i,” (Lihat Ibnu
Rusyd, Bidayatul Mujtahid, Beirut, Darul Kutub Al-Ilmiyah, 2013 M/1434 H, cetakan kelima, halaman 199).


Ada Khutbah Setelah Shalat Gerhana
Ulama berbeda pendapat mengenai hukum khutbah shalat gerhana, apakah termasuk dianjurkan satu paket dengan shalatnya ataukah itu sunah terpisah, dalam arti dianjurkan jika ada kebutuhan. Bukan satu paket dengan shalat.


Pendapat pertama,


Dianjurkan ada khutbah setelah shalat gerhana.


Ini merupakan pendapat Imam as-Syafii dan salah satu pendapat Imam Ahmad.


An-Nawawi ketika menyebutkan pendapat yang menganjurkan khutbah, beliau mengatakan,


وبه قال جمهور السلف ، ونقله ابن المنذر عن الجمهور


Ini merupakan pendapat jumhur . dan dinukil oleh Ibnul Mundzir bahwa ini pendapat jumhur. (al-Majmu’, 5/59).

Disunnahan bagi imam untuk berkhutbah setelah melaksanakan shalat
seperti khutbah shalat ‘Id. 

Dinyatakan dalam hadis dari Aisyah radhiyallahu ‘anha, beliau menceritakan khutbah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,


“Setelah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam selesai shalat, matahari mulai terlihat. Lalu beliau berkhutbah kepada para sahabat. Beliau memuji Allah dan menyanjung-Nya. Lalu beliau menyampaikan,


إن الشَّمس و القَمَر آيتانِ مِنْ آيَاتِ الله لاَ تنْخَسِفَانِ لِمَوتِ أحد. وَلاَ لِحَيَاتِهِ. فَإذَا رَأيتمْ ذلك فَادعُوا الله وَكبروا وَصَلُّوا وَتَصَدَّقوا


Sesungguhnya matahari dan bulan adalah tanda kekuasaan Allah, tidak mengalami gerhana karena kematian orang besar atau karena kelahiran calon orang besar. Jika kalian melihat peristiwa gerhana, perbanyak berdoa kepada Allah, perbanyak takbir, kerjakan shalat, dan perbanyak sedekah.


Lalu beliau mengatakan,


يَا أمةَ مُحمَّد والله مَا مِنْ أحَد أغْيَرُ مِنَ الله سُبْحَانَهُ من أن يَزْنَي عَبْدُهُ أوْ تَزني أمَتُهُ. يَا أمةَ مُحَمد، وَالله لو تَعْلمُونَ مَا أعلم لضَحكْتُمْ قَليلاً وَلَبَكَيتم كثِيرا


Wahai ummat Muhammad, demi Allah, tidak ada dzat yang lebih pencemburu dari pada Allah, melebihi cemburunya kalian ketika budak lelaki dan budak perempuan kalian berzina. Wahai Ummat Muhammad, demi Allah, andai kalian tahu apa yang aku tahu, kalian akan sedikit tertawa dan banyak menangis. (HR. Bukhari 1044 & Muslim 2127).






Dan ini pendapat yang dikuatkan oleh Imam Ibnu Baz dan Imam Ibnu Utsaimin.


Mereka berdalil dengan hadis dari Aisyah radhiyallahu ‘anha di atas.


Pendapat kedua,


Tidak dianjurkan adanya khutbah ketika shalat gerhana.


Ini pendapat Imam Abu Hanifah dan Imam Ahmad menurut riwayat yang masyhur.


Sementara hadis Aisyah radhiyallahu ‘anha di atas, dipahami bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melakukan khutbah karena hendak menjelaskan beberapa hukum terkait gerhana. Untuk meluruskan pemahaman mereka tentang peristiwa gerhana. (al-Mughni, 2/144).


Sementara madzhab Malikiyah mengatakan bahwa dianjurkan untuk memberikan nasehat setelah shalat gerhana. Namun bentuknya bukan seperti khutbah.


Ahmad as-Shawi mengatakan,


وندب وعظ بعدها: أي لا على طريقة الخطبة لأنه لا خطبة لها


Dianjurkan untuk memberikan nasehat setelah shalat gerhana, artinya bentuknya bukan khutbah. Karena tidak ada khutbah untuk shalat gerhana. (Bulghah as-Salik, Ahmad as-Shawi, 1/350).


Dan pendapat yang lebih mendekati adalah pendapat jumhur ulama. Karena ini yang sesuai dengan sunah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Terlepas dari latar belakang khutbah yang beliau sampaikan.  Mengingat, yang namanya khutbah, tujuannya tidak hanya terbatas untuk menyelesaikan satu kasus. Tapi disesuaikan dengan semua kasus yang ada di masyarakat. (Ihkam al-Ahkam, 2/352)

Maka, yang shahih adalah –wallahu a’lam
bahwa khutbah gerhana adalah sunah. Seandai pun nabi hanya melakukan
sekali dalam hidupnya, itu tidaklah menghilangkan kesunahannya. Hanya
saja tidak ada keterangan khutbah itu adalah dua kali khutbah
sebagaimana shalat Id. Tidak dalam hadits, dan tidak pula dalam atsar
para salaf. Dengan kata lain, aturan dalam khutbah setelah shalat
gerhana tidak se-rigid (kaku) khutbah Jumat dan Id (Hari Raya). Ada pun pendapat kalangan Syafi’iyah bahwa khutbah adalah dua kali hanya berasal dari qiyas saja.

Ada ulasan yang bagus dan patut dijadikan renungan dari Imam Shiddiq Hasan Khan Rahimahullah sebagai berikut:

ثم
اعلم أن الخطبة المشروعة هي ما كان يعتاده صلى الله تعالى عليه وآله وسلم
من ترغيب الناس وترهيبهم فهذا في الحقيقة روح الخطبة الذي لأجله شرعت, وأما
اشتراط الحمد لله أو الصلاة على رسول الله أو قراءة شيء من القرآن فجميعه
خارج عن معظم المقصود من شرعية الخطبة واتفاق مثل ذلك في خطبته صلى الله
تعالى عليه وآله وسلم لا يدل على أنه مقصود متحتم وشرط لازم ولا يشك منصف
أن معظم المقصود هو الوعظ دون ما يقع قبله من الحمد والصلاة عليه صلى الله
تعالى عليه وآله وسلم, وقد كان عرف العرب المستمر أن أحدهم إذا أراد أن
يقوم مقاما ويقول مقالا شرع بالثناء على الله وعلى رسوله وما أحسن هذا
وأولاه, ولكن ليس هو المقصود بل المقصود ما بعده ولو قال قائل أن من قام في
محفل من المحافل خطيبا ليس له باعث على ذلك إلا أن يصدر منه الحمد والصلاة
لما كان هذا مقبولا بل كل طبع سليم يمجه ويرده, إذا تقرر هذا عرفت أن
الوعظ في خطبة الجمعة هو الذي يساق إليه الحديث فإذا فعله الخطيب فقد فعل
الأمر المشروع إلا أنه إذا قدم الثناء على الله وعلى رسوله أو استطرد في
وعظه القوارع القرآنية كان أتم وأحسن.

Kemudian ketahuilah, bahwa khutbah yang disyariatkan adalah yang biasa dilakukan oleh Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa sallam,
yaitu memberikan kabar gembira dan menakut-nakuti manusia. Inilah
hakikat yang menjadi jiwa sebuah khutbah yang karenanya khutbah menjadi
disyariatkan. Adapun yang disyaratkan berupa membaca Alhamdulillah, shalawat kepada Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam,
membaca ayat Al Quran, maka semuanya itu adalah perkara di luar tujuan
umum disyariatkannya khutbah. Telah disepakati bahwa hal-hal seperti ini
(membaca hamdalah, shalawat, dan membaca ayat, pen) dalam khutbah Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam tidaklah menunjukkan bahwa hal itu menjadi syarat yang wajib dilakukan. Tidak ragu lagi bagi orang yang objektif (munshif), bahwa tujuan utama dari khutbah adalah nasihatnya, bukan apa yang dibaca sebelumnya baik itu Alhamdulillah dan shalawat kepada Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam.
Telah
menjadi tradisi orang Arab yang terus menerus, bahwa jika salah seorang
di antara mereka berdiri untuk pidato mereka akan memuji Allah Ta’ala
dan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, dan memang betapa
baik dan utama hal itu. Tetapi itu bukanlah tujuannya, tujuannya adalah
apa yang diuraikan setelahnya. Jika ada yang mengatakan bahwa tujuan
orang berpidato dalam sebuah acara adalah hanya mengutarakan Alhamdulillah dan Shalawat, maka hal ini tidak bisa diterima, dan setiap yang berpikiran sehat akan menolaknya.

Jadi,
jika telah dipahami bahwa jika orang sudah menyampaikan nasihat dalam
khutbah Jumat, dan itu sudah dilakukan oleh khatib, maka dia telah cukup
disebut telah menjalankan perintah. Hanya saja jika dia mendahuluinya
dengan membaca puji-pujian kepada Allah Ta’ala dan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam,
serta mengaitkan pembahasannya dengan membaca ayat-ayat Al Quran, maka
itu lebih sempurna dan lebih baik. (Imam Shiddiq Hasan Khan, Ar Raudhah An Nadiyah, 1/137)

Demikian menurut Imam Shiddiq Hasan Khan. Sebenarnya di dalam sunah, Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam membuka khutbah dengan bacaan berikut:

أَنْ
الْحَمْدُ لِلَّهِ نَسْتَعِينُهُ وَنَسْتَغْفِرُهُ وَنَعُوذُ بِهِ مِنْ
شُرُورِ أَنْفُسِنَا مَنْ يَهْدِ اللَّهُ فَلَا مُضِلَّ لَهُ وَمَنْ
يُضْلِلْ فَلَا هَادِيَ لَهُ وَأَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ
وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُولُهُ يَا أَيُّهَا الَّذِينَ
آمَنُوا
{ اتَّقُوا اللَّهَ الَّذِي تَسَاءَلُونَ بِهِ وَالْأَرْحَامَ إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلَيْكُمْ رَقِيبًا }
{ يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلَا تَمُوتُنَّ إِلَّا وَأَنْتُمْ مُسْلِمُونَ }
{
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَقُولُوا قَوْلًا
سَدِيدًا يُصْلِحْ لَكُمْ أَعْمَالَكُمْ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ
وَمَنْ يُطِعْ اللَّهَ وَرَسُولَهُ فَقَدْ فَازَ فَوْزًا عَظِيمًا }

(Bacaan pembuka khutbah ini, diriwayatkan oleh Imam At Tirmidzi No. 1105, Imam Abu Daud No. 2118, Imam Al Baihaqi dalam As Sunan Al Kubra No. 1360, Imam An Nasa’i dalam As Sunan Al Kubra No. 5528, Imam Ath Thabarani Al Mu’jam Al Kabir No. 10079, Ahmad No. 4115)

Hadits ini dikatakan hasan oleh Imam At Tirmidzi. (Sunan At Tirmidzi No. 1105), dishahihkan oleh syeikh Syu’aib Al Arnauth. (Tahqiq Musnad Ahmad No. 4115), syeikh Al Albani juga menshahihkan hadits ini. (Shahih wa Dhaif Sunan Abi Daud No. 2118)

Kalimat pembuka ini dipakai ketika Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam khutbah haji wada’, oleh karenanya dikenal dengan Khutbatul Hajjah. Tetapi, pembukaan seperti ini juga dianjurkan pada khutbah-khutbah lainnya, termasuk khutbah gerhana.

Imam Al Baihaqi menceritakan sebagai berikut:

قال شعبة قلت لأبي إسحاق هذه في خطبة النكاح أو في غيرها قال في كل حاجة

Berkata Syu’bah: Aku bertanya kepada Abu Ishaq, apakah bacaan ini pada khutbah nikah atau selainnya? Beliau menjawab: “Pada setiap hajat (kebutuhan).” (Lihat As Sunan Al Kubra No. 13604)

Ada
pun tentang penutup khutbah, di dalam sunah pun ada petunjuknya, yaitu
sebuah doa ampunan yang singkat untuk khathib dan pendengarnya.

عن
ابن عمر ، رضي الله عنهما قال : إن النبي صلى الله عليه وسلم يوم فتح مكة
قام على رجليه قائما ، وخطب فحمد الله تعالى وأثنى عليه وخطب خطبة ، ذكرها
ثم قال : أقول قولي هذا وأستغفر الله لي ولكم

Dari Ibnu Umar Radhiallahu ‘Anhuma, dia berkata: sesungguhnya Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam
pada hari Fathul Makkah berdiri di atas kedua kakinya, dan dia
berkhutbah, lalu memuji Allah Ta’ala, dan menyampaikan khutbahnya,
kemudian berkata: Aquulu qauliy hadza wa astaghfirullahu liy wa lakum – aku ucapkan perkataanku ini dan aku memohonkan ampun kepada Allah untukku dan untuk kalian. (HR. Al Fakihani dalam Al Akhbar Al Makkah No. 1731)

Ucapan ini juga diriwayatkan banyak imam dengan kisah yang berbeda-beda, seperti oleh Imam Abu Nu’aim dalam Ma’rifatush Shahabah, Imam Al-Baghawi dalam Syarhus Sunnah, Imam Ad-Darimi dalam Sunannya, Imam Ath-Thabarani dalam Al-Mu’jam Al-Kabir, dan lainnya.



Khutbahnya Pendek


Pada aturan dalam khutbah gerhana, sama dengan aturan pada khutbah lainnya.


Dan salah satu prinsip khutbah adalah hanya menyampaikan yang penting, yang bersifat indoktrinasi (tau’iyah). Karena itulah, khutbah diajurkan untuk dibuat ringkas.


Dari Ammar bin Yasir radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,


إِنَّ طُولَ صَلاَةِ الرَّجُلِ وَقِصَرَ خُطْبَتِهِ مَئِنَّةٌ مِنْ فِقْهِهِ فَأَطِيلُوا الصَّلاَةَ وَاقْصُرُوا الْخُطْبَةَ


Panjangnya shalat imam, dan pendeknya khutbahnya menunjukkan pemahaman dia terhadap agama. Karena itu, perpanjang shalat dan perpendek khutbah. (HR. Muslim 2046)


Kita bisa lihat, redaksi khutbah gerhana yang disampaikan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sangat ringkas, bersifat indotrinasi, meluruskan pemahaman yang keliru di masyarakat, dan penjelasan amalan yang harus dilakukan oleh seorang muslim ketika gerhana.




Pengertian Shalat Shalat Gerhana: Kusuf dan Khusuf

Shalat gerhana dalam bahasa Arab sering disebut dengan istilah khusuf (الخسوف) dan kusuf (الكسوف). 
Secara bahasa, kedua istilah itu sebenarnya punya makna yang sama.
Shalat gerhana matahari dan gerhana bulan sama-sama disebut dengan kusuf
dan khusuf sekaligus.



Namun, kalangan ulama membedakan istilah khusuf untuk gerhana bulan dan kusuf untuk gerhana matahari.


Hukum Shalat Gerhana

Hukum shalat gerhana adalah shalat sunah yang sangat dianjurkan (sunnah muakkadah) berdasarkan firman Allah SWT:

وَمِنْ
آيَاتِهِ اللَّيْلُ وَالنَّهَارُ وَالشَّمْسُ وَالْقَمَرُ لا تَسْجُدُوا
لِلشَّمْسِ وَلا لِلْقَمَرِ وَاسْجُدُوا لِلَّهِ الَّذِي خَلَقَهُنَّ إِن
كُنتُمْ إِيَّاهُ تَعْبُدُونَ

“Dan dari sebagian
tanda-tanda-Nya adalah adanya malam dan siang serta adanya matahari dan
bulan. Janganlah kamu sujud kepada matahari atau bulan tetapi sujudlah
kepada Allah Yang Menciptakan keduanya”
(QS. Fushshilat : 37)



Maksud
dari perintah Allah SWT untuk bersujud kepada Yang Menciptakan matahari
dan bulan adalah perintah untuk mengerjakan shalat gerhana matahari dan
gerhana bulan.


Rasulullah Saw bersabda :

إِنَّ الشَّمْسَ وَالْقَمَرَ
آيَتَانِ مِنْ آيَاتِ اللَّهِ لاَ يَنْكَسِفَانِ لِمَوْتِ أَحَدٍ وَلاَ
لِحَيَاتِهِ فَإِذَا رَأَيْتُمُوهُمَا فَادْعُوا اللَّهَ وَصَلُّوا حَتَّى
يَنْجَلِيَ

“Sesungguhnya matahari dan bulan adalah sebuah
tanda dari tanda-tanda Allah SWT. Keduanya tidak menjadi gerhana
disebabkan kematian seseorang atau kelahirannya. Bila kalian mendapati
gerhana, maka lakukanlah shalat dan berdoalah hingga selesai fenomena
itu”
(HR. Bukhari, Muslim dan Ahmad)


لَمَّا كَسَفَتِ الشَّمْسُ عَلَى عَهْدِ رَسُول اللَّهِ نُودِيَ : إِنَّ الصَّلاَةَ جَامِعَةٌ

“Ketika matahari mengalami gerhana di zaman Rasulullah SAW, orang-orang dipanggil shalat dengan lafaz : As-shalatu jamiah” (HR. Bukhari).


Cara Shalat Gerhana: Kusuf dan Khusuf

Memanggil Orang Untuk Shalat Gerhana

 

Riwayat Imam Bukhari: Innas as-Shalata Jami’atun

Kembali kepada judul diatas, memang dalam hadits shahih, ada
perbedaan antara riwayat Imam Bukhari (w. 256 H) dan Imam Muslim (w.
261 H).

لَمَّا كَسَفَتِ الشَّمْسُ عَلَى عَهْدِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نُودِيَ إِنَّ الصَّلاَةَ جَامِعَةٌ. صحيح البخاري : 2/ 35

Saat gerhana matahari di zaman Nabi, ada panggilan: Inna as-Shalata Jamiatun. (Shahih Bukhari)
Susunannya dengan tarkib isnadiy, Mubtada-khabar. “As-Shalata” dibaca fathah, karena menjadi isim dari “inna” amil nawasikh. “Jami’atun” menjadi khabar dari “inna”.

Riwayat Muslim: As-Shalatu Jami’atun

عَنْ عَائِشَةَ، أَنَّ
الشَّمْسَ خَسَفَتْ عَلَى عَهْدِ رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ، فَبَعَثَ مُنَادِيًا: «الصَّلَاةُ جَامِعَةٌ»، فَاجْتَمَعُوا.
صحيح مسلم : 2/ 620

Saat gerhana di zaman Nabi, Nabi mengutus orang yang memanggil (untuk shalat): as-Shalatu Jamiatun. (Shahih Bukhari)
Susunannya masih dengan tarkib isnadiy, Mubtada-khabar.

Boleh 4 Macam

Jika “as-Shalata” dibaca dengan fathah dalam hadits Bukhari kan karena ada amil nawasikh “inna”. Bagaimana jika tak ada “inna”nya?
Tetap boleh. Sebagaimana pernyataan dari Syeikh Ibnu Hisyam (w. 761
H); salah seorang pakar bahasa Arab abad ke-8, saat menjelaskan kitab al-Fiyah karya Imam Ibnu Malik al-Andaluisiy ad-Dimasyqiy (w. 672 H). Beliau menyebutkan dalam kitabnya Audhah al-Masalik:

ويقال: “الصلاةَ جامعةً”؛
فتنصب “الصلاة” بتقدير احضروا، و”جامعة” على الحال. أوضح المسالك إلى ألفية
ابن مالك، عبد الله بن يوسف بن أحمد بن عبد الله ابن يوسف، أبو محمد،
جمال الدين، ابن هشام (المتوفى: 761هـ)، ص. 4/ 76

“as-Shalata Jami’atan” lafadz as-shalat dibaca nashab menjadi
maf’ul bih, dengan mengira-ngirakan fi’il atau kata kerja ‘uhdhuru”;
hadirlah kalian semua. “Jami’atan” dibaca nashab menjadi “hal”.
(Ibnu Hisyam w. 761 H, Audah al-Masalik, h. 4/ 76)

Dalam ilmu nahwu atau gramatikal Bahasa Arab, itu disebut dengan i’rab ighra’, penganjuran terhadap suatu kebaikan.
Bahkan dalam tahqiq kitab Audhah al-Masalik yang ditulis oleh Syeikh Yusuf as-Syeikh Muhammad al-Biqa’iy disebutkan bahwa bisa 4 model dalam membacanya:

  1. Fathah-fathah : as-Shalata Jami’atan
  2. Dhammah-dhammah : as-Shalatu Jami’atun
  3. Dhammah-fathah : as-Shalatu Jami’atan
  4. Fathah-dhammah : as-Shalata Jami’atun

Pertama, fathah-fathah atau as-shalata jami’atan. Ini sebagaimana penjelasan Ibnu Hisyam (w. 761 H) diatas.
Kedua, dhammah-dhammah atau as-shalatu jami’atun. Yaitu menggunakan susunan isnadiy, mubtada-khabar.
Ketiga, dhammad-fathah atau as-Shalatu jami’atan. As-Shalatu dibaca rafa’ dengan alamat dhammah karena menjadi mubtada’, dimana khabar-nya dibuang, kira-kira khabar-nya adalah mathlubatun. “Jami’atan” dibaca nashab dengan fathah karena menjadi “hal”. Seolah kita ucapkan [الصلاة مطلوبة حال كونها جامعة].
Keempat, fathah-dhammah atau as-shalata jam’atun. Yaitu as-shalata dibaca nashab dengan fathah karena i’rab ighra’. Sedangkan jami’atun menjadi khabar dari mubtada’ yang dikira-kirakan. Seolah kita ucapkan [احضروا الصلاة وهي جامعة]. ((Ibnu Hisyam w. 761 H, Audah al-Masalik, h. 4/ 76, ditahqiq dan dijabarkan oleh Syeikh Yusuf as-Syeikh Muhammad al-Biqa’iy).
Maka, mana yang tepat; as-shalatu atau as-shalata?” Keduanya boleh digunakan. Waallahua’lam

 

1. Berjamaah 2 Rakaat, 2 Ruku, 2 Sujud
Shalat gerhana bulan
ataupun gerhana matahari dikerjakan dengan cara berjamaah di masjid
sebagaimana dilakukan Rasulullah Saw dan para sahabat. 

Shalat khusuf dan kusuf dilakukan dua rokaat. Masing-masing rakaat
dilakukan dengan 2 kali berdiri, 2 kali membaca qiraah surat Al-Quran, 2
ruku’ dan 2 sujud. 
“Tatkala terjadi gerhana matahari pada masa Nabi SAW, orang-orang
diserukan untuk shalat “As-shalatu jamiah”. Nabi melakukan 2 ruku’ dalam
satu rakaat kemudian berdiri dan kembali melakukan 2 ruku’ untuk rakaat
yang kedua. Kemudian matahari kembali nampak. Aisyah ra berkata,”Belum
pernah aku sujud dan ruku’ yang lebih panjang dari ini. (HR. Bukhari dan
Muslim)
Teknisnya sebagai berikut:
Tatacara Salat Gerhana sesuai siarah pers Kemenag adalah sebagai berikut.

Rakaat Pertama:
  1. Berniat di dalam hati. 
  2. Takbiratul ihram, yaitu bertakbir sebagaimana shalat biasa
  3. Membaca do’a iftitah dan ta’awudz
  4. Membaca surat Al Fatihah 
  5. Membaca surat yang panjang (seperti surat Al Baqarah) sambil dijaharkan (dikeraskan suaranya, bukan lirih); 
  6. Ruku’ sambil memanjangkannya; 
  7. Bangkit dari ruku’ (i’tidal) sambil mengucapkan “Sami’allahu Liman Hamidah, Rabbana Wa Lakal Hamd”;
  8. Setelah i’tidal ini tidak langsung sujud, namun dilanjutkan
    dengan membaca surat Al Fatihah dan surat yang panjang untuk kedua
    kalinya
    .
  9. Ruku’ kembali (ruku’ kedua) yang panjangnya lebih pendek dari ruku’ sebelumnya; 
  10. Bangkit dari ruku’ (i’tidal); 
  11. Sujud yang panjangnya sebagaimana ruku’
  12. Duduk di antara dua sujud kemudian sujud kembali;
  13. Bangkit dari sujud lalu mengerjakan raka’at kedua sebagaimana raka’at pertama.
Rakaat Kedua:
Sama dengan rakaat pertama, hanya saja bacaan dan gerakan-gerakannya lebih singkat dari rakaat pertama dan diakhiri salam.
2. Tanpa Adzan dan Iqamat
Shalat gerhana dilakukan tanpa
didahului dengan azan atau iqamat. Yang disunnahkan hanyalah panggilan
shalat dengan lafaz “As-Shalatu Jamiah”. 


لَمَّا كَسَفَتِ الشَّمْسُ عَلَى عَهْدِ رَسُول اللَّهِ نُودِيَ : إِنَّ الصَّلاَةَ جَامِعَةٌ
“Ketika matahari mengalami gerhana di zaman Rasulullah SAW, orang-orang dipanggil shalat dengan lafaz : As-shalatu jamiah”. (HR. Bukhari).
3. Sirr dan Jahr
Namun shalat gerhana ini boleh juga dilakukan dengan sirr (merendahkan suara) maupun dengan jahr (mengeraskannya).
4. Disunahkan Mandi
5. Khutbah



Dalam shalat gerhana disyariatkan khutbah seperti layaknya khutbah
Idul Fithri,  Idul Adha, dan khutbah Jumat, namun disampaikan dalam cara
yang tidak seformal khutbah Id dan Jumat, yakni disampaikan seperti
ceramah biasa.


أَنَّ النَّبِيَّ لَمَّا فَرَغَ مِنَ الصَّلاَةِ
قَامَ وَخَطَبَ النَّاسَ فَحَمِدَ اللَّهَ وَأَثْنَى عَلَيْهِ ثُمَّ قَال :
إِنَّ الشَّمْسَ وَالْقَمَرَ آيَتَانِ مِنْ آيَاتِ اللَّهِ عَزَّ وَجَل
لاَ يُخْسَفَانِ لِمَوْتِ أَحَدٍ وَلاَ لِحَيَاتِهِ فَإِذَا رَأَيْتُمْ
ذَلِكَ فَادْعُوا اللَّهَ وَكَبِّرُوا وَصَلُّوا وَتَصَدَّقُوا

“Sesungguhnya
ketika Nabi SAW selesai dari shalatnya, beliau berdiri dan berkhutbah
di hadapan manusia dengan memuji Allah, kemudian bersabda, “Sesungguhnya
matahari dan bulan adalah sebuah tanda dari tanda-tanda Allah SWT.
Keduanya tidak menjadi gerhana disebabkan kematian seseorang atau
kelahirannya. Bila kalian mendapati gerhana, maka lakukanlah shalat dan
berdoalah”
(HR. Bukhari Muslim)



Ada juga pendapat Tidak
Disyariatkan Khutbah. Alasannya, pembicaraan Nabi SAW setelah shalat
gerhana sekadar memberikan penjelasan tentang fenomene gerhana sebagai
salah satu kekuasaan Allah SWT.


فَإِذَا رَأَيْتُمْ ذَلِكَ فَادْعُوا اللَّهَ وَكَبِّرُوا وَصَلُّوا وَتَصَدَّقُوا

“Bila kalian mendapati gerhana, maka lakukanlah shalat dan berdoalah.” (HR. Bukhari Muslim)

Mengeraskan Suara Ketika Membaca Surat
Bacaan surat di dalam shalat gerhana matahari ialah jahriyah (mengeraskan bacaan) sebagaimana yang dilakukan oleh Nabi SAW. Ibunda Aisyah RA meriwayatkan, “Nabi SAW
mengeraskan suara ketika membaca surat di dalam shalat gerhana bulan.
Apabila beliau selesai bertakbir lalu melaksanakan ruku’. Dan ketika
beliau bangun dari ruku’, beliau mengucapkan:
سَمِعَ اللهُ لِمَن حمِده رَبَّنَا وَلَكَ اْلحَمْدُ
Semoga Allah meneria pujian orang yang memuj-Nya. Rabb kami, segala puji hanyalah bagimu.”
Kemudian beliau mengulangi membaca surat lagi. Di dalam gerhana matahari, empat ruku dan empat sujud ada  di dalam dua rakaat.” (HR. Bukhari Muslim)

Imam At-Tirmidzi berkata, “Para ulama berselisih pendapat mengenai
bacaan surat di dalam shalat gerhana matahari. Sebagian mereka
berpendapat bahwa bacaan surat dibaca pelan ketika melaksanakan shalat
gerhana  di siang hari. Sebagian lain berpendapat tetap dikeraskan.
Sebagaimana shalat ‘Id dan shalat Jum’at. Pendapat ini diungkapkan oleh
Imam Malik, Ahmad dan Ishaq. Sedangkan Imam Syafi’i  berpendapat bahwa
tidak perlu mengeraskan bacaan di dalam shalat gerhana matahari.” (Lihat: Sunan Tirmidzi 11/448 tahqiq Ahmad Syakir)

Dilakukan secara Berjamaah di Dalam Masjid

Shalat
gerhana matahari disunnahkan untuk dilakukan di masjid. Hal ini sesuai
dengan petunjuk Nabi SAW. Diantaranya adalah beliau mengumandangkan
panggilan shalat gerhana dengan membaca “as-shalatul jami’ah.

 

Demikian juga dengan kandungan makna dari hadits, yang menunjukkan
bahwa Rasulullah SAW mengerjakan shalat gerhana secara berjamaah di
masjid. Bahkan dalam riwayat Aisyah disebutkan bahwa, “Terjadi
gerhana matahari pada saat Rasulullah masih hidup. Lantas beliau keluar
menuju masjid. Kemudian beliau berdiri dan bertakbir, sedangkan para
sahabat membuat barisan di belakang beliau….”
(HR. Bukhari)

Ibnu Hajar berkata, “Pendapat  tentang disyariatkannya shalat gerhana
matahari secara berjamaah adalah pendapat jumhur. Apabila imam yang
bertugas belum hadir, maka sebagian dari mereka bertindak sebagai imam.”
(Lihat: Fathul Bari, 11/539)

Meski demikian, seseorang yang menyaksikan gerhana matahari, namun
kondisinya tidak memungkinkan untuk datang menghadiri shalat jamaah di
masjid, maka tidak mengapa shalat sendirian di tempat tinggalnya.
Syaikh Utsaimin menerangkan, ”Mengerjakan shalat gerhana secara
berjamaah bukanlah syarat. Jika seseorang berada di rumah, dia juga
boleh melaksanakan shalat gerhana di rumah. Sesuai dengan sabda Nabi
SAW,
فَإِذَا رَأَيْتُمْ فَصَلُّوا
“Jika kalian melihat gerhana tersebut, maka shalatlah.” (HR. Bukhari no. 1043)

Dalam hadits tersebut, Nabi SAW tidak mengatakan, ”(Jika kalian
melihatnya), shalatlah kalian di masjid.” Oleh karena itu, hal ini
menunjukkan bahwa shalat gerhana diperintahkan untuk dikerjakan walaupun
seseorang melakukan shalat tersebut sendirian. Namun, tidak diragukan
lagi bahwa menunaikan shalat tersebut secara berjama’ah tentu saja lebih
utama, apalagi dilakukan di masjid.” (Lihat: Syarhul Mumthi’, 2/430)

Wanita Boleh Mengikuti Shalat Gerhana

Diriwayatkan dari Asma’ binti Abi Bakr RA, beliau berkata:
أَتَيْتُ عَائِشَةَ – رضى الله عنها – زَوْجَ النَّبِىِّ –
صلى الله عليه وسلم – حِينَ خَسَفَتِ الشَّمْسُ ، فَإِذَا النَّاسُ قِيَامٌ
يُصَلُّونَ ، وَإِذَا هِىَ قَائِمَةٌ تُصَلِّى فَقُلْتُ مَا لِلنَّاسِ
فَأَشَارَتْ بِيَدِهَا إِلَى السَّمَاءِ ، وَقَالَتْ سُبْحَانَ اللَّهِ .
فَقُلْتُ آيَةٌ فَأَشَارَتْ أَىْ نَعَمْ
“Saya mendatangi Aisyah radhiyallahu ‘anha—isteri Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam—ketika terjadi gerhana matahari. Saat itu
manusia tengah menegakkan shalat. Ketika Aisyah turut berdiri untuk
melakukan shalat, saya bertanya: ‘Kenapa orang-orang ini?’ Aisyah
mengisyaratkan tangannya ke langit seraya berkata, ‘Subhanallah (Maha
Suci Allah).’ Saya bertanya: ‘Tanda (gerhana)?’ Aisyah lalu memberikan
isyarat untuk mengatakan iya.”
(HR. Bukhari)

Syaikh Abu Malik Kamal menjelaskan bahwa sesuai dengan hadits di
atas, maka seorang wanita boleh ikut melaksanakan shalat gerhana bersama
kaum pria di masjid. Namun, jika ditakutkan akan membawa fitnah, maka
sebaiknya mereka shalat sendiri di rumah. (Lihat: Shahih Fikih Sunnah, 434-435)

Tertinggal Satu Ruku’ dalam Satu Rakaat, Haruskah Menyempurnakan?

Shalat gerhana adalah dua rakaat. Setiap rakaat terdapat dua ruku’
dan dua sujud. Jadi, secara global terdapat empat ruku dan empat sujud
di dalam dua rakaat. Barangsiapa yang mendapati ruku’ kedua dalam rakaat
pertama, berarti ia tertinggal satu bacaan dan satu ruku’. Berdasarkan
hal ini, berarti ia belum mendapatkan satu rakaat dari dua ruku’ shalat
gerhana.

Amalan yang benar, makmum yang tertinggat rakaat pertama shalat
kusuf, maka rakaat tersebut tidak terhitung. Ia harus mengganti satu
rakaat lagi dengan dua kali rukuk. Sebab, shalat kusuf adalah ibadah,
dan ibadah itu bersifat tauqifi (harus merujuk dalil). Tata caranya harus mengacu pada nash-nash sahih. (Majalah Al-Buhûts Al-‘Ilmiyyah, 13/98, 23/93)

Oleh karena itu, rakaat ini tidak dihitung. Dengan demikian, setelah
imam  mengucapkan salam maka hendaknya ia menyempurnakan satu rakaat
lagi dengan dua ruku’ sebagaimana terdapat dalam hadits-hadits shahih.

Demikianlah beberapa ringkasan hukum fikih seputar shalat gerhana.
Semoga tulisan ini menjadi bekal dalam rangka menyambut momen datangnya
gerhana matahari agar lebih bermakna.






Bagaimana kalau menurut hisab terjadi gerhana tetapi tertutup mendung?

Mengqiyaskan seperti halnya hilal, dari Ibnu Daqiq Al-Iidi dan Ibnu Hajar
di dalam kitab Tuhfahnya, Syeikh Bakhit Al-Muthi’i menjelaskan bahwa jika
menurut hisab yang qoth’i (kuat kepastinnya) hilal sudah ada dan memungkinkan
untuk bisa dilihat setelah maghrib, namun ternyata tidak bisa dilihat karena
terhalang mendung maka hal ini bisa menggunakan perhitungan hisab untuk
penentuan awal bulan. Jika penentuan awal bulan saja yang notabene menentukan
sesuatu yang wajib cukup dengan hisab yang qoth’i maka apalagi untuk menentukan
sesuatu yang sunnah, gerhana misalnya. Kita semua tahu bahwa hisab hilal,
gerhana bulan maupun gerhana matahari adalah perhitungan yang sama-sama pasti
dan meyakinkan.
 

Namun Ibnu Hajar di dalam kitab Tuhfah terkait shalat gerhana mengatakan
bahwa: Jika bulan atau matahari terhalang oleh mendung sebelum gerhana terlihat
tetapi menurut ahli hisab terjadi gerhana maka tidak ada konskuensinya, artinya
tidak sunnah shalat gerhana, karena hukum asalnya tidak terjadinya gerhana.
Namun jika bulan atau matahari terlihat gerhana lalu kemudian mendung dan
bimbang gerhana sudah selesai atau belum walaupun menurut ahli hisab gerhana
sudah selesai maka tetep sunnah shalat gerhana karena hukum asalnya terlihatnya
gerhana. Beliau menegaskan tidak ada tempat bagi ahli hisab dalam hal ini,
yakni tidak boleh berdasarkan hisab semata walaupun hisab yang qoth’i
sekalipun.

Apakah sunnah takbiran saat terjadi gerhana?

Di masjid-masjid Jawa Barat, saat terjadi gerhana diramaikan dengan
takbiran seperti halnya takbiran hari raya. Mulai awal gerhana sampai berakhirnya
gerhana.

Rasulullah SAW bersabda:

إِنَّ الشَّمْسَ
وَالْقَمَرَ آيَتَانِ مِنْ آيَاتِ اللَّهِ ، لاَ يَنْخَسِفَانِ لِمَوْتِ أَحَدٍ
وَلاَ لِحَيَاتِهِ ، فَإِذَا رَأَيْتُمْ ذَلِكَ فَادْعُوا اللَّهَ وَكَبِّرُوا ،
وَصَلُّوا وَتَصَدَّقُوا (البخاري)

Artinya : Sesungguhnya matahari dan bulan adalah dua
tanda dari tanda-tanda kekuasaan Allah. Terjadinya gerhana matahari atau bulan
tidaklah terkait kematian atau kehidupan seseorang. Karenanya jika kalian
melihat gerhana itu, berdoalah kepada Allah, bertakbirlah, shalatlah dan bersedekahlah
(HR. Bukhari)

Sependek yang saya tahu para ulama dalam koridor madzhab empat tidak
memaknai “Fakabbiru” di dalam hadits tersebut dengan takbiran seperti
hari raya tetapi bermakna mengagungkan Allah dalam arti kekuasaan Allah yang
sangat luar biasa di mana benda-benda langit yang besar (matahari dan bulan)
tunduk dan patuh atas perintah Allah SWT. atau dengan kata lain katakanlah
“Allohu Akbar”.



Bagaimana Jika Gerhana Bersamaan Dengan Shalat Jum’at?

Fatwa Syaikh Muhammad Shalih Al Munajjid



Soal:



Apa hukumnya jika waktu terjadinya gerhana bersamaan dengan pelaksanaan shalat Jum’at?



Jawab:



Segala puji bagi Allah,



Pertama, tatkala gerhana terjadi pada hari Jum’at. Maka, jika
gerhana matahari terjadi sebelum pelaksanaan shalat Jum’at, dengan
waktu yang cukup sehingga shalat gerhana dapat dilaksanakan dengan
leluasa semisal di gerhana terjadi waktu dhuha, maka dalam kondisi
tersebut shalat gerhana dikerjakan terlebih dahulu, kemudian shalat
Jum’at dilaksanakan pada waktunya.



Jika gerhana terjadi pada waktu pelaksanaan shalat Jum’at, maka:



  • Berdasarkan kesepakatan ulama, shalat
    Jum’at didahulukan apabila dikhawatirkan durasi terjadinya gerhana
    berlangsung lama dan melampaui waktu shalat Jum’at;
  • Apabila durasi berlangsungnya gerhana tidak melampaui
    waktu shalat Jum’at, maka mayoritas ulama berpendapat shalat gerhana
    didahulukan pelaksanaannya daripada shalat Jum’at. Berbeda dengan ulama
    Hanabilah yang berpatokan pada pendapat yang dikuatkan oleh Ibnu Qudamah
    rahimahullah, di mana beliau berpandangan untuk lebih mendahulukan
    pelaksanaan shalat Jum’at karena mendahulukan pelaksanaan shalat gerhana
    akan menimbulkan kesulitan. Dan hal itu justru berkonsekuensi menahan
    dan melazimkan manusia untuk mengerjakan shalat gerhana. Padahal telah
    diketahui bersama hukum asal shalat gerhana tidaklah wajib.



Ibnu Qudamah menerangkan di dalam kitabnya, Al Mughni,



وإذا اجتمع صلاتان , كالكسوف مع غيره من الجمعة , أو العيد , أو صلاة مكتوبة , أو الوتر , بدأ بأخوفهما فوتا , فإن خيف فوتهما بدأ بالصلاة الواجبة , وإن لم يكن فيهما واجبة كالكسوف والوتر أو التراويح , بدأ بآكدهما , كالكسوف والوتر , بدأ بالكسوف ; لأنه آكد , ولهذا تسن له الجماعة , ولأن الوتر يقضى , وصلاة الكسوف لا تقضى فإن اجتمعت التراويح والكسوف , فبأيهما يبدأ ؟ فيه وجهان ، هذا قول أصحابنا ، والصحيح عندي أن الصلوات الواجبة التي تصلى في الجماعة مقدمة على الكسوف بكل حال ; لأن تقديم الكسوف عليها يفضي إلى المشقة , لإلزام الحاضرين بفعلها مع كونها ليست واجبة عليهم , وانتظارهم للصلاة الواجبة , مع أن فيهم الضعيف والكبير وذا الحاجة ، وقد أمر النبي صلى الله عليه وسلم بتخفيف الصلاة الواجبة , كي لا يشق على المأمومين , فإلحاق المشقة بهذه الصلاة الطويلة الشاقة , مع أنها غير واجبة , أولى ، وكذلك الحكم إذا اجتمعت مع التراويح , قدمت التراويح لذلك , وإن اجتمعت مع الوتر في أول وقت الوتر قدمت ؛ لأن الوتر لا يفوت , وإن خيف فوات الوتر قدم ; لأنه يسير يمكن فعله وإدراك وقت الكسوف , وإن لم يبق إلا قدر الوتر , فلا حاجة بالتلبس بصلاة الكسوف ; لأنها إنما تقع في وقت النهي ، وإن اجتمع الكسوف وصلاة الجنازة , قدمت الجنازة وجها واحدا ; لأن الميت يخاف عليه , والله أعلم



Jika pada suatu
waktu pelaksanaan dua shalat terjadi pada waktu bersamaan sebagai contoh
shalat gerhana yang terjadi bersamaan dengan shalat lain seperti shalat
Jum’at,
‘Ied, shalat wajib maupun witir, maka:



  • Shalat yang waktunya paling dikhawatirkan akan segera berakhir dikerjakan terlebih dahulu;
  • Apabila waktu pelaksanaan kedua shalat tersebut sama-sama dikhawatirkan akan berakhir, maka pelaksanaan shalat wajib didahulukan;
  • Jika keduanya bukan shalat wajib seperti shalat gerhana dengan shalat witir atau shalat tarawih, maka shalat yang hukumnya paling ditekankan dikerjakan terlbih dahulu. Sebagai contoh shalat gerhana dengan shalat witir. Pada kondisi ini, shalat gerhana dikerjakan terlebih dahulu mengingat yang pelaksanaan shalatnya lebih ditekankan. Shalat gerhana lebih ditekankan pelaksanaannya karena shalat gerhana dilaksanakan dengan berjama’ah. Selain itu, shalat witir dapat diqadha di waktu lain, berbeda dengan shalat gerhana yang tidak diqadha. Lalu, apabila waktu pelaksanaan shalat tarawih dan shalat gerhana terjadi bersamaan, manakah di antara keduanya yang dikerjakan terlebih dahulu? Ada dua pendapat dalam masalah tersebut. Uraian di atas merupakan pendapat rekan-rekan kami.



Adapun pendapat yang tepat menurut pandanganku adalah, shalat wajib yang dikerjakan secara berjama’ah
lebih didahulukan daripada pelaksanaan shalat gerhana bagaimanapun
kondisinya.Hal ini dikarenakan mendahulukan pelaksanaan shalat gerhana
terhadap shalat wajib akan menimbulkan kesulitan, di mana
para jama’ah yang hadir diharuskan untuk mengerjakan shalat gerhana yang sebenarnya bukan sebuah kewajiban bagi mereka.



Hal ini juga membuat mereka harus menunggu sekian
lama untuk mengerjakan shalat wajib sementara boleh jadi di antara
mereka ada yang berfisik lemah, berusia lanjut, dan memiliki suatu
keperluan. Padahal Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam memerintahkan kita
untuk memperingan shalat wajib sehingga tidak memberatkan makmum. Tentu
lebih diutamakan untuk tidak menyulitkan makmum dengan mendahulukan
pelaksanaan shalat gerhana yang sudah diketahui bersama pelaksanaannya
sendiri membutuhkan waktu yang lama dan memberatkan, sementara hukumnya
sendiri tidak wajib.



Hukum yang sama berlaku jika waktu pelaksanaan shalat
gerhana bersamaan dengan shalat tarawih, dalam kondisi tersebut
pelaksanaan shalat tarawih didahulukan;



Apabila shalat gerhana terjadi bersamaan dengan
shalat witir di awal waktu witir, maka shalat gerhana dilakukan terlebih
dahulu karena waktu shalat witir masih panjang.



Adapun jika khawatir waktu shalat witir
akan usai, maka pelaksanaan shalat witir didahulukan karena pelaksanaan
shalat witir tidak memakan waktu yang lama, sehingga masih memungkinkan
untuk melakukan shalat gerhana.



Jika tidak ada lagi waktu yang tersedia
kecuali hanya sebatas mengerjakan shalat witir saja, maka tidak perlu
lagi melakukan shalat gerhana, karena jika dilakukan boleh jadi shalat
gerhana akan dilaksanakan pada waktu terlarang untuk shalat;



Jika shalat gerhana berbarengan dengan shalat jenazah, maka hanya terdapat satu pendapat yang menyatakan pelaksanaan shalat jenazah dilakukan terlebih dahulu. Hal ini dikarenakan jenazah tersebut berhak mendapat perhatian untuk segera dishalatkan dan dimakamkan. Allahu A’lam” Al Mughni (2/146).



Imam Nawawi rahimahullah dalam Al Majmu’ (5/61) menuturkan,



قال الشافعي والأصحاب رحمهم الله : إذا اجتمع صلاتان في وقت واحد قدم ما يخاف فوته , ثم الأوكد , فإذا اجتمع عيد وكسوف , أو
جمعة وكسوف وخيف فوت العيد أو الجمعة لضيق الوقت قدم العيد والجمعة ؛
لأنهما أوكد من الكسوف وإن لم يخف فوتهما فالأصح وبه قطع المصنف
[أبو إسحاق الشيرازي] والأكثرون: يقدم الكسوف ، لأنه يخاف فوته



Asy-Syafi’i dan rekan-rekan ulama Syafi’iyah mengatakan jika dua shalat bersamaan dalam satu waktu, maka shalat yang paling dikhawatirkan akan segera terlewatkan waktunya dilakukan terlebih dahulu, kemudian shalat yang hukumnya
paling ditekankan. Oleh karena itu jika shalat ‘Ied dan shalat gerhana
waktunya bersamaan, atau shalat Jum’at dan shalat gerhana, dan
dikhawatirkan shalat ‘Ied atau shalat Jum’at akan terlewatkan karena
waktu tidak cukup tersedia, maka pelaksanaan shalat ‘Ied atau Jum’at
didahulukan karena kedua shalat tersebut lebih ditekankan hukumnya
daripada shalat gerhana. Jika waktu yang tersedia memadai untuk melakukan dua shalat tersebut, maka menurut pendapat yang lebih tepat adalah mendahulukan shalat gerhana karena shalat gerhana memiliki limit waktu yang lebih terbatas. Pendapat inilah yang dipilih oleh Abu Ishaq ashShirazy dan mayoritas ulama Syafi’iyah.”



Pendapat ulama terkait permasalahan ini juga dapat dilihat di kitab al-Mausuu’ah al-Fiqhiyyah [27/258].


Pendapat terpilih (rajih) dalam hal ini adalah sebagaimana yang diterangkan Ibnu Qudamah rahimahullah
karena alasan yang diterangkan beliau perihal adanya kesulitan apabila
pelaksanaan shalat gerhana didahulukan terlebih dahulu daripada shalat
Jum’at. Selain itu shalat Jum’at lebih penting dan hukumnya lebih
ditekankan.



Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah
pernah ditanya, “Jika dua shalat waktunya bersamaan, semisal shalat
gerhana dan shalat lainnya seperti shalat wajib, Jum’at, witir atau
tarawih, Maka manakah diantara kedaunya yang didahulukan?”

Beliau menjawab,



الفريضة مقدمة على الكسوف والخسوف ؛ لأنها أهم ، ولأن الله تعالى قال في الحديث القدسي: ( ما تقرب إلي عبدي بشيء أحب إلي مما افترضته عليه ) ” انتهى من مجموع فتاوى ابن عثيمين



“Shalat wajib didahulukan atas shalat gerhana matahari dan bulan karena shalat fardhu itu lebih penting. Allah Ta’ala
berfirman dalam hadits qudsi, ‘Tidaklah hamba-Ku mendekatkan diri
kepada-Ku dengan sesuatu (amal shaleh) yang lebih aku cintai daripada
amal-amal yang Aku wajibkan kepadanya” (Majmu’ Fatawa Ibnu Utsaimin [16/307]).



Kedua, terkait pelaksanaan kedua shalat tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut:



  • Jika imam memulai dengan shalat Jum’at,
    maka ia harus menyampaikan khutbah lalu mengimami shalat Jum’at. Lalu
    mengerjakan shalat gerhana dilanjutkan dengan khutbah setelahnya;
  • Jika imam memulai dengan shalat gerhana
    dan telah menyelesaikannya, maka selanjutnya imam menyampaikan khutbah
    Jum’at dan menyampaikan pembahasan tentang gerhana dalam khutbahnya.
    Setelah itu barulah imam melaksanakan shalat Jum’at. kedua khutbah
    Jum’at yang telah disampaikan telah mencukupi sehingga khutbah gerhana
    tidak perlu disampaikan.



Imam An Nawawi rahimahullah menerangkan di dalam kitab sebagaimana yang telah dikutip sebelumnya,



ولو اجتمع جمعة وكسوف واقتضى الحال تقديم الجمعة خطب لها ثم صلى الجمعة , ثم الكسوف , ثم خطب للكسوف وإن اقتضى الحال تقديم الكسوف بدأ بها , ثم خطب للجمعة خطبتها , وذكر فيهما شأن الكسوف وما يندب في خطبتيه ولا يحتاج إلى أربع خطب , وقال أصحابنا : ويقصد بالخطبتين الجمعة خاصة ، وكذا نص عليه الشافعي في الأم



“Jika shalat Jum’at dan shalat gerhana bersamaan waktunya dan situasi mengharuskan untuk mendahulukan shalat Jum’at, maka imam melaksanakan
khutbah Jum’at terlebih dahulu lalu dilanjutkan shalat Jum’at. Kemudian
menunaikan shalat gerhana dilanjutkan dengan khutbah shalat gerhana.



Jika situasi mengharuskan untuk mendahulukan shalat gerhana, maka imam memulai terlebih dahulu pelaksanaan shalat gerhana. Kemudian memberikan khutbah Jum’at dengan menjelaskan tentang gerhana dan aktivitas yang dianjurkan ketika terjadi gerhana di dalam khutbah yang disampaikan. Dalam kasus seperti ini, tidak diperlukan empat khutbah (cukup dengan dua khutbah Jum’at). Para ulama Syafi’iyah menerangkan bahwa dalam kondisi tersebut cukup dengan dua khutbah saja. Hal ini juga ditegaskan oleh asy-Syafi’i dalam kitab al-Umm”.


Allahu A’lam.


***




 diolah dari berbagai sumber


IKADI KEC NGUTER KAB SUKOHARJO
☘Sekretariat : Jl Raya Solo Wng Km 22 Sukoharjo
☘Butuh Khatib Dai Wilayah Nguter Sukoharjo 📞 081-2261-7316


Gabung channel telegram.me/ikadi_nguter
💈IG : @ikadi_nguter
💈Telegram : @ikadi_nguter
💈Fb.: Tausiyah Singkat
Ikatan Dai Indonesia (IKADI) Kec. Nguter Kab. Sukoharjo
Menebar Islam Rahmatan Lil ‘Alamin



Toko Busana Keluarga Muslim
GRIYA HILFAAZ 
Toko Busana Keluarga Muslim

Leave a comment