SYAIR ITU MEMANG MENGANDUNG UNSUR MUSIK: KETIKA LULUSAN BAHASA DAN SASTRA ARAB DARI LIBYA DILAWAN OLEH LULUSAN TERJEMAH TEKSTUAL


SYAIR ITU MEMANG MENGANDUNG UNSUR MUSIK: KETIKA LULUSAN BAHASA DAN SASTRA ARAB DARI LIBYA DILAWAN OLEH LULUSAN TERJEMAH TEKSTUAL

Sungguh salah satu musibah besar di negeri ini adalah ketika masalah tertentu diserahkan pada bukan ahlinya.

Syair itu memang ada unsur musiknya. Ada nadanya, iramanya, ketukannya, di zaman Jahiliyah ditemukan 16 ketukan (buhur) untuk membuat suatu syair, meskipun pada akhirnya yang dianggap menemukan ketukan-ketukan ini adalah al-Farāhīdī yang lahir ratusan tahun setelahnya.

Orang-orang Arab Jahiliyah, bahkan ketika bersafar, mereka berdendang dengan alat gendang dan nyanyian yang mereka beri nama “nyanyian unta”. Di zaman Nabi pun, ketika beliau masuk Madinah, para kaum Anshar bergendang dengan alat musik, menyambut Nabi dengan syair “Thola’al Badru”-nya. Nabi tidak melarang mereka. Bahkan ketika merayakan walimah, mereka juga suka berdendang. Banyak riwayat yang menunjukkan Nabi tidak melarang mereka, bahkan terkesan membela. Belum lagi ketika Hari Raya besar, Nabi pernah membiarkan anak-anak kecil berdendang ria dengan alat musik sambil bersyair di dalam rumah beliau sendiri. Meskipun ada sahabat yang memprotes, akan tetapi Nabi malah membela anak-anak tersebut.

Perihal hadits yang mengharamkan alat musik, itu jelas disertai dengan qarīnah lafal sebelumnya yaitu zina dan khomr, sehingga apabila syair dengan unsur musik di dalamnya tersebut dipakai untuk menemani orang minum khomr, memakai sutra dan berzina seperti halnya yang dilakukan kalangan awam di masa Abbasiyah, maka musik menjadi haram. Abu Nawas adalah salah satu penyair khomr yang terkenal dengan syair mabuknya. Di zaman sekarang, keadaan tersebut mirip dengan keadaan musik di bar dan diskotik sembari orang-orang di dalamnya meminum khomr dan mencari pasangan zinanya. Nabi -shallallāhu ‘alaihi wa sallam- bersabda :

ليكونن من أمتي أقوام يستحلون الحر والحرير والخمر والمعازف

“Benar-benar akan datang beberapa kaum pada ummatku yang menghalalkan zina, sutra, khamr dan alat musik”

Perhatikan teks hadits di atas. Semua unsur yang disebutkan “akan dihalalkan” (maksudnya: haram yang dihalalkan) dihubungkan dengan kata sambung “وَ (dan)” yang salah satu faidahnya mensyaratkan adanya “pengumpulan”. Jadi, tidak sekonyong-konyong semua musik haram. Membaca hadits harus juga memahami gaya bahasa (uslūb) yang sedang dipakai. Gaya bahasanya jelas menggunakan huruf “و” yang dalam ilmu Balaghah disebutkan :

تشريك المعطوف والمعطوف عليه في الحكم

“Ma’thuf (kata yang disambungkan) dan ma’thuf ‘alaih (kata yang disambungkan padanya) hukumnya sama dan fungsinya dikumpulkan keduanya di waktu yang sama, tidak bisa dipisahkan”

Sama halnya ketika Al-Qurān menyebutkan :

أَمَّا ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ وَعَمِلُواْ ٱلصَّٰلِحَٰتِ فَلَهُمۡ جَنَّٰتُ ٱلۡمَأۡوَىٰ نُزُلَۢا بِمَا كَانُواْ يَعۡمَلُونَ

“Adapun orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal-amal saleh, maka bagi mereka surga tempat kediaman sebagai pahala terhadap apa yang telah mereka kerjakan”

[QS. As-Sajdah (32): 19]

Ayat di atas menghubungkan unsur “beriman” dan “beramal saleh (berbuat kebaikan)” dengan menggunakan kata sambung “وَ” sehingga maknanya adalah mendapatkan surga sebagai tempat kediaman kelak maka mesti beriman dan beramal saleh. Keduanya harus terkumpul, tidak bisa salah satu saja. Tidak bisa seseorang hanya beriman saja, namun tidak melakukan amal saleh. Sebaliknya, tidak bisa seseorang beramal saleh, namun tidak beriman.

Demikianlah fungsi kata sambung “وَ” yang membedakannya dengan kata sambung yang lain.

Oleh karena itu, apabila kita mengamatik teks hadits sebelumnya, maka musik yang diharamkan adalah musik yang dikumpulkan dan ditemani oleh sutra, zina dan khomr. Imam Ibnu Hazm dalam kitab “al-Muhallā” menyebutkan bahwa musik yang haram adalah musik yang kotor, porno, jorok, membawa pada maksiat dan melalaikan. Hukum musik disamakan dengan hukum kalam (ucapan manusia). Jika ucapan tersebut baik, maka hukumnya boleh, namun jika ucapan tersebut buruk atau melalaikan dari mengingat Allah, maka haram.

Hassān bin Tsābit, orang yang dijuluki “penyairnya Nabi”, beliau bersyair untuk membela Nabi. Syairnya bahkan ada ketukannya sehingga bisa diiringi dengan alat musik. Tidak hanya Hassān bin Tsābit, bahkan Ka’ab bin Zuhair pun diberi burdah (sorban) oleh Nabi sebagai hadiah karena telah memuji Nabi dalam syairnya.

Tidak hanya lelaki, bahkan penyair perempuan pun dipuji Nabi. Al-Khansā’ namanya. Ketika ditanya siapa orang yang paling pandai membuat syair, maka Nabi menjawab: “al-Khansā'”. Nabi mana yang pernah memuji penyair perempuan? Ya cuma Nabi kita, Nabi Muhammad -shallallāhu ‘alaihi wa sallam-.

Syair memang ada hubungannya dengan musik. Oleh karena itu dalam kitab-kitab ilmu ‘Arūdh dan Qawāfī disebutkan bahwa buhur-buhur syair yang ada 16 itu adalah musiknya.

Jangan jauh-jauh, surah di dalam Al-Qurān saja ada sajaknya. Bacalah surat Adh-Dhuhā dan temukan sajak di setiap ujung ayatnya.

Tidak usah jauh-jauh juga, cukup bangun pagi saja. Dengarkan bunyi kicauan burung dan kalian akan menemukan ketukannya. Bunyi air yang mengalir indah dan mempesona, bunyi ombak di lautan yang menghanyutkan perasaan, dengarkan, maka kita akan temukan unsur musiknya.

Ini adalah tanda bahwa musik dan ketukan nada tidak pernah haram dalam Islam. Hanya orang yang tidak punya hati yang tidak suka dengan nada dan musik, yang hatinya sudah membatu.

Kadang kita heran dengan orang-orang yang berbicara tanpa ilmu, berani sekali berbicara di depan publik tanpa spesialisasinya. Sudahlah itu pengikutnya banyak pula. Saling dukung satu sama lain dalam tempurung ketidaktahuan, sambil merasa dirinya sudah paling tahu.

La haula wa lalā quwwata illā billāh

✍🏻 Penulis :

Ustadz Muhammad Zakaria Darlin

🌐 Sumber :

https://www.facebook.com/share/p/A68VPRcLU8TEe6o4/?mibextid=oFDknk

Leave a comment