Pendidikan Berkarakter atau Berakhlak?


Pendidikan Berkarakter atau Berakhlak? [1]

Foto sekelompok anak SD yang sedang berjalan di atas trotoar melewati seorang pengemis. Salah satu anak mengacungkan jari tengah ke arah pengemis. Inilah contoh kegagalan pendidikan. Foto ini sempat menjadi pembicaraan netizen di Barat (ilustrasi)
Oleh: Syahrullah Asyari

BELAKANGAN ini, hangat dibicarakan tentang karakter. Sebenarnya ada apa dengan karakter? Apakah karena karakter dan akhlak itu sama saja?

Dalam tulisan ini, saya membedakan istilah ‘karakter’ dan ‘akhlak’. Tidak banyak yang menelusuri apa sebenarnya makna kedua kata tersebut.

Banyak yang hanya sekilas memandangnya, lalu berkesimpulan bahwa kedua kata itu bermakna sama. Saya sendiri tidak setuju dengan penggunaan istilah karakter, apalagi dimasukkan dalam konteks pendidikan, lalu disebut pendidikan karakter. Mengapa? Alasannya adalah sebagai berikut.

Pemikir dan pengusung terminologi pendidikan karakter kontemporer, Thomas Lickona, adalah seorang sekuler–liberal. Sejak tahun 1990-an terminologi ini mulai ramai dibicarakan. Melalui karyanya yang berjudul, ‘The Return of Character Education’, Thomas Lickona menyadarkan dunia Barat secara khusus di mana tempat Lickona hidup, dan seluruh dunia pendidikan secara umum bahwa pendidikan karakter adalah sebuah keharusan. Inilah awal kebangkitan ‘pendidikan karakter’. Namun demikian, pemikirannya tentang pendidikan karakter sangat keliru.

Thomas Lickona membedakan secara tegas antara pendidikan agama dan pendidikan karakter. Menurutnya, pendidikan karakter dan pendidikan agama mestinya dipisahkan dan tidak dicampuradukkan.

Tuturnya lagi, agama bukanlah urusan sekolah negeri, sementara pendidikan karakter tidak ada urusan dengan ibadah dan do’a-do’a yang dilakukan di dalam lingkungan sekolah, atau tidak ada urusan dengan promosi anti-aborsi oleh kalangan agama tertentu, atau tidak ada urusan dengan penerapan ajaran-ajaran liberal dalam diri anak didik.

Baginya, agama memiliki pola hubungan vertikal antara seorang pribadi dengan keilahian (individu dengan ilahi), sedangkan pola hubungan pendidikan karakter adalah horizontal antarmanusia di dalam masyarakat (individu dengan individu lain).

Karenanya, menurut Lickona, jika sebuah masyarakat mau hidup dan bekerja secara damai, maka nilai yang berkaitan dengan pendidikan karakter merupakan nilai-nilai dasar yang harus dihayati. Lebih lanjut tuturnya, bahwa nilai-nilai seperti kebijaksanaan, penghormatan terhadap yang lain, tanggung jawab pribadi, perasaan senasib sependeritaan, pemecah konflik secara damai, merupakan nilai-nilai yang mestinya diutamakan dalam pendidikan karakter.

Pandangan Lickona ini didasarkan pada pendapat filsuf Yunani, Aristoteles, yang menyatakan bahwa “… good character as the life of right conduct – right conduct in relation to other persons and in relation to oneself.”

Padahal dalam konteks ajaran Islam, pemisahan pendidikan agama (Islam) dan pendidikan karakter (baca: pendidikan akhlak) dalam lembaga pendidikan patut dipertanyakan keshahihannya. Sebab, jika pemisahan itu terjadi, maka pendidikan karakter yang dijalankan itu ‘memungkinkan’ terjadinya pertentangan dengan prinsip pendidikan Islam, yaitu tauhid. Berdasarkan konsep tauhid uluhiyyah, seorang muslim tidak boleh mencampuradukkan iman mereka dengan kezhaliman.

Maksudnya, mereka tidak boleh mencampuradukkan keimanan mereka dengan kesyirikan. Dengan pemaknaan pendidikan karakter seperti yang dikemukakan Thomas Lickona, maka dengan alasan kebijaksanaan, penghormatan terhadap yang lain, toleransi dan tanggung jawab pribadi, maka seorang Muslim bisa saja mengadakan kemusyrikan umum melalui upacara tolak bala seperti larung laut, larung sesaji untuk setan laut. Mungkin juga, seorang muslim turut serta merayakan natal dan tahun baru dan sebagainya. Intinya, dengan pandangan Lickona ini, seorang muslim bisa saja dianggap berkarakter baik, sekalipun ia seorang yang melakukan perbuatan syirik. Ini jelas bertentangan dengan prinsip pendidikan Islam. Ini adalah bentuk akhlak paling tercela, kezhaliman terbesar karena melanggar hak Allah ‘azza wajalla sebagai satu-satunya Dzat yang berhak diibadahi secara benar.

Sebenarnya, kalau pemerintah ingin konsisten mengikuti undang-undang, mestinya tidak perlu ikut-ikutan menggunakan istilah Thomas Lickona, ‘character education’ yang kemudian populer disebut ‘pendidikan karakter’ di Indonesia. Hal ini karena dalam Undang-Undang No.20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, disebutkan bahwa tujuan pendidikan nasional adalah agar peserta didik menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri dan menjadi warga negara yang demokratis dan bertanggung jawab.”

Jelas, salah satu tujuan pendidikan nasional kita adalah berakhlak mulia. Mengapa kita tidak konsisten saja terhadap penggunaan frase ini dalam proses pendidikan, lalu menyebutnya sebagai ‘pendidikan akhlak’ yang tentu berangkat dari ajaran agama. Mengapa justru cenderung pada penggunaan istilah ‘pendidikan karakter’ oleh Thomas Lickona yang sebenarnya hanya didasarkan pada pendapat filsuf Yunani, Aristoteles. Seorang yang tidak beragama (ateis) yang tidak dibimbing melalui wahyu.

Kalau kita telusuri asal kata, ‘karakter’ dan ‘akhlak’, memang sangatlah berbeda. Sehingga maknanya pun berbeda. Kalau ada yang mengatakan sama, itu karena dipaksakan sama. Ditinjau dari sisi ajaran Islam, kata ‘akhlak’ ini adalah sebuah kata yang agung. Bila ditelusuri asal kata ‘karakter’, kata ini berasal dari bahasa Latin: ‘kharakter’, ‘kharassein’, ‘kharax’, dalam bahasa Inggris: ‘character’, dan Indonesia ‘karakter’, Yunani: ‘character’ dari ‘charassein’ yang berarti membuat tajam, membuat dalam.

Dalam kamus Poerwadarminta, karakter diartikan sebagai tabiat, watak, sifat-sifat kejiwaan, akhlak atau budi pekerti yang membedakan seseorang dengan yang lain. Karakter adalah akumulasi dari seluruh ciri pribadi seperti perilaku, kebiasaan, kesukaan, ketidaksukaan, kemampuan, kemampuan, kecenderungan, potensi, nilai-nilai dan pola-pola pemikiran. Adapun kata ‘akhlak’ berasal dari bahasa Arab ‘khuluqun’ yang secara bahasa berarti budi pekerti, perangai, tingkah laku atau tabiat. Melihat arti ‘karakter’ dan ‘akhlak’ dari sisi bahasa, nampaknya sama. Akan tetapi, dalam ajaran Islam, akhlak ini mengandung makna media yang menunjukkan adanya hubungan antara Khaliq dan makhluk, serta antara makhluk dan makhluk.

Kata ‘akhlak’ bersumber dari kalimat yang tercantum dalam Al-Qur’an, (artinya) “Sesungguhnya Engkau (Muhammad) mempunyai (khuluq) yang agung.” (QS.Al-Qalam: 4).

Menurut Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhu, maksud ayat ini adalah benar-benar memiliki agama yang agung. Tidak ada agama yang lebih Aku cintai dan lebih Aku ridhai dari agama itu. Yaitu agama Islam. Jadi, Allah subhanahu wata’ala menjadikan agama Islam ini seluruhnya adalah akhlak. Maka, siapa saja yang menambahkan akhlak lain di luar akhlakmu berarti ia telah menambahkan hal baru dalam agamamu. Adapun menurut Hasan radhiyallahu ‘anhu, yang dimaksud dengan akhlak yang agung itu ialah adab-adab Al-Qur’an. Selain itu, Ibnul Qayyim mengatakan: “Maksudnya ialah engkau memiliki akhlak yang hanya diberikan kepadamu di dalam Al-Qur’an.

Dalam shahih Muslim disebutkan bahwa ‘Aisyah radhiyallahu anha pernah ditanya tentang akhlak Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, lalu bunda ‘Aisyah radhiyallahu anha menjawab: “Akhlak beliau adalah Al-Qur’an.” Adapun menurut imam An-Nawawi, maksudnya adalah mengamalkan Al-Qur’an, mematuhi hukum-hukumnya, mengikuti adab-adabnya, mengambil pelajaran dari perumpamaan-perumpamaan dan kisah-kisahnya, merenungkan maknanya dan membacanya dengan cara yang baik.

Demikian juga, hadits Nabi shallallahu ‘alahi wasallam, (artinya) “Sesungguhnya aku diutus hanyalah untuk menyempurnakan akhlak yang baik.” (HR. Bukhari, Muslim dan Al-Hakim).

Menurut Fadhlullah Al-Jailani, maksud hadits ini adalah: “Tidak ada agama yang sepi dari nilai-nilai akhlak yang mulia. Tetapi nilai-nilai akhlak yang mulia itu belum pernah dihimpun seluruhnya dalam salah satu agama di masa lalu sampai Allah subhanahu wata’ala menghimpun semua akhlak yang baik di dalam agama Islam. Inilah yang dimaksud dengan kata ‘untuk menyempurnakan akhlak yang baik’.

Semakin jelas, makna kedua istilah tersebut berbeda. Apabila dimasukkan ke dalam proses pendidikan menjadi ‘pendidikan karakter’ atau ‘pendidikan akhlak’, implementasinya pun jelas berbeda. Kalau kita meninjau ‘karakter’ dari lensa ‘akhlak’, maka pembatasan ‘pendidikan karakter’ oleh Thomas Lickona hanya pada hubungan horizontal antarmanusia di dalam masyarakat (individu dengan individu lain) akan menjadi keliru, karena Lickona memberikan pemaknaan yang sangat sempit.

Dalam Islam, hubungan horizontal bukan hanya antarmanusia, tetapi antarmakhluk Allah ‘azza wajalla yang lain, termasuk hubungan antara manusia dengan jin, manusia dengan malaikat, manusia dengan binatang, dan antara manusia dengan alam. Bahkan, mengenai aturan berakhlak seperti ini, bukan hanya berlaku bagi manusia, tetapi juga berlaku bagi bangsa Jin.

Dari alasan yang telah diuraikan di atas, kiranya umat Islam sadar akan perbedaan makna antara ‘karakter’ dan ‘akhlak’ yang kelihatannya mirip atau dianggap sama secara bahasa, padahal secara istilah sebenarnya berbeda dan ternyata menyangkut perkara besar, yaitu akidah. Karenanya, penting bagi umat Islam untuk tidak memasyarakatkan istilah karakter, tetapi akhlak. Bukan pendidikan karakter, tetapi pendidikan akhlak atau secara komprehensif pendidikan Islam. Wallahu A’lam Bishshawab.*

Penulis adalah Dosen Jurusan Matematika FMIPA Universitas Negeri Makassar, ulla_math05@yahoo.co.id

http://www.hidayatullah.com/

 

Leave a comment