Makna Hadits tidak akan masuk malaikat ke rumah yg di dalamnya terdapat anjing da


Penting kiranya kita sebagai umat muslim dalam memahami “sebuah nash dalil” ittiba kepada penjelasan ulama yg mengerti tafsir dari sebuah dalil.

Akan menjadi jumud (keras) ketika seseorang memahami dalil hanya berdasar makna tarjamah, tekstual dan tanpa rujukan qoul ulama,apa lagi hanya tahu dari sebuh buletin, selebaran yg di bagi²kan majelis² yg mereka ikuti.

Kesemrawutan hukum agama ini terjadi karena ke-bodohan, doktrin yg disebar secara masif oleh para jahilun untuk menjauhkan umat islam dari ulama. Dai² awam yg hanya mementingkan jumlah pengikut, orang² awam yg memproklamirkan diri hijrah, mereka tanpa malu, tanpa keilmuan seolah merekalah “pemegang” dalil, yg faham dalil, namum justru merekalah yg meruntuhkan tatanan hukum dari agama ini !.

Lagi² mereka mengatas naman kelompok mereka salafi, jika mereka ittiba pada ulama salaf, lantas apa mereka bertemu para salaf, atau mereka dalam kajian² kelompok mereka sudah merujuk kepada qoul para muhaqiq salaf (orang yg meneliti, mengikuti, mengoreksi) ?.

Mereka berlagak seolah mufti (orang yg faham dalil untuk berfatwa), seolah mutjahid (orang yg mampu mengali hukum), seolah ahli Istidlal (orang dalam kapasitas menarik kesimpulan hukum), sunguh naif dan meyedihkan padahal mereka cuma orang² yg hanya hijrah dari mukaliddin menjadi pembangkang dalam memahami nash.

Untuk kita pahami satu contoh perlunya kita para mukaliddin (orang yg belajar) mengikuti qoul ulama agar tidak menjadi neo khawarij (kaum tekstual) dalam memahami nash dalil, Nabi saw pernah bersabda :

لا تدخل الملائكة بيتا فيه كلب ولا صورة

Laa tadkhulul malaikatu baiytan fiihi kalbun wala surotun.

“Tidak akan masuk malaikat ke rumah yg di dalamnya terdapat anjing dan gambar.”

Lantas bagaimana dengan malaikat Rakib, Atid atau bahkan malaikat pencabut nyawa Izroil, apakah dengan hadist tersebut para malaikat terkena nash ?.

Dalam riwayat lain dari Abu Thalhah ra, dengan penambahan redaksi : “Malaikat tidak akan memasuki rumah yg di dalamnya terdapat anjing, juga tidak memasuki rumah yg didalamnya terdapat gambar.

(Hr Imam Ahmad).

Imam Nawawi orang yg tentu kita jadikan “rujukan” menyatakan pendapatnya bahwa malaikat yg dimaksud adalah “malaikat rahmat” (yg suka memintakan ampun) bukan malaikat “hafazhah” yg mencatat amal manusia (Rakib & Atid).

Sementara dalam kitab Faidhul-Qadir, Imam Manawi mengatakan, Yg dimaksud dengan malaikat pada hadis itu adalah malaikat rahmat dan keberkahan atau malaikat yg selalu berkeliling mengunjungi hamba Allah guna mendengar zikir dan sejenisnya.

Imam al Manawi ahli balagoh (tata kata dan makna) yg juga men-syarah kitab “Jami as Syaghir” karya imam as Suyuthi yg berisikan ratusan hadist. Beliau menambahkan bahwa untuk malaikat pencatat amal tidak akan meninggalkan manusia meski sekejap saja.

Adapun alasan malaikat rahmat tidak mendatangi rumah yg ada anjingnya karena anjing termasuk binatang yg najis, sementara malaikat selalu terpelihara dari sesuatu yg najis atau kotor.

Artinya para ulama “Safei’iyyah sepakat maksud dari hadist tersebut adalah malaikat Rahmat, sedangkan malaikat Maut, lancar saja nga pengaruh ada anjing gambar dan patung”.

Apabila kaidahnya semua malaikat tidak masuk rumah yg ada anjing, maka orang yg punya anjing tidak akan mati, sebab malaikat maut tdk akan masuk rumah, apa iya malaikat begitu sudah takdir manusia untuk di cabut nyawanya mesti menunggu di depan gang??

Tentu kocak…

Maka ulama berijtihad bahwa yg dimaksud adalah Malaikat Rahmat yg tidak akan masuk ke dalam rumah yg ada anjingnya.

Meski demikian, pendapat tersebut pun masih mendapat “protes keras dari kalangan ahli hikam (ulama sufi)”.

Sebab Ulama sufiisme berpendapat bahwa : “Tidak ada orang yg tidak mendapatkan rahmat. Mau ada anjing atau tidak (di rumahnya) tetap saja dapat rahmat.”

Argument mereka disandarkan pada kisah “Ashabul Kahfi” yg terdapat di dalam al Qur’an.

“Dan kamu mengira mereka itu bangun, padahal mereka tidur; Dan kami balik-balikkan mereka ke kanan dan ke kiri, sedang anjing mereka mengunjurkan kedua lengannya di muka pintu gua. Dan jika kamu menyaksikan mereka tentulah kamu akan berpaling dari mereka dengan melarikan diri dan tentulah (hati) kamu akan dipenuhi oleh ketakutan terhadap mereka”.

(Qs al Kahfi 18).

Kita tahu Ashabul Kahfi merupakan orang² saleh yg diberi keistimewaan oleh Allah ketika mereka mendapat “rahmat” diselamatkan di dalam sebuah gua dari kejaran kaum musyrikin. Seperti diketahui, sekelompok pemuda tersebut ditidurkan selama ratusan tahun di dalam sebuah gua dengan dijaga oleh seekor anjing. Tetap saja mendapat Rahmat meski ada anjing bersama mereka.” Dan “Kenyataannya orang yg punya anjing mampu makan. Berarti dapat rahmat apa tidak?

Kita sebagai mukaliddin tentu berfikir qoul mana yg rajih (kuat) dan muktamad (dijadikan landasan) dalam khilafiyah makna hadist tersebut?.

Qoul hujatul Islam imam Al Ghazali bisa kita jadikan solusi untuk menengahi polemik tersebut. Beliau dalam masterpice-nya Ihya’ Ulumiddin meyatakan Itu (hadis) bahasa kinayah (menyebutkan sesuatu bukan dengan menggunakan lafadz yg sebenarnya).

Sabda Nabi tentang itu hanyalah kinayah :

بَيْتًا مُرَادًا بِهِ الْقَلْبُ

“Rumah yg dimaksud di sini adalah hati.”

Terus kalbun muradan bihi at-thama’

(كلب مرادا به الطمع).

Aw suratun muridan bihi al-khayyal.

(او صورة مريدا به الخيل)

Malaikat itu tidak masuk ke hati di mana hati itu ada mental tamak, ingin barang (milik) orang lain, atau mental khayyal, senangnya berimajinasi jauh dari dzikir ingat kepada Sang Khaliq.

Demikian contoh ijtihad ulama… hal tersebut berlaku kepada makna rumah yg “di-dalamnya” ada gambar maupun patung.

Perselisihan pun berkembang bagaimana jika gambarnya tidak utuh tidak meyerupai mahluk bernyawa yg dilarang dan jika “patungnya” di luar rumah ?.

Tentu kita orang awam kembali kepada pendapat hujatul Islam al Ghazali bahwa Rasulullah mengunakan “kinayah”.

Imam Ghazali bukan sembarangan ulama sehingga mendapat gelar hujatul islam.. karena beliau punya jasa yg amat besar dalam memberikan argumen (hujjah) baik lewat dalil akal atau naql. Yg mana “keduanya berjalin rapi” dan saling menguatkan ibarat simpul² temali yg terikat dengan benar.

Pembahasan diatas bukan berarti kita boleh memelihara anjing, sebab dalam “Madzhab Syafe’i” anjing merupakan binatang yg tidak boleh di pelihara tanpa adanya “udzur” yg kuat.

Barangsiapa memanfaatkan anjing, bukan untuk maksud menjaga hewan ternak atau bukan maksud dilatih sebagai anjing untuk berburu, maka “setiap hari pahala amalannya berkurang sebesar dua qirath”

(Hr Bukhari, Muslim).

Abu Hurairah ditanya seorang sahabat seberapa besar satu qirath, beliau menjawab “satu qirath sebesar Jabal Uhud (gunung Uhud)”.

Dan ingat pula bahwa jilatan anjing merupakan najis dan tergolong dalam najis berat (mughallazhah). Dan cara membersihkannya berbeda dengan najis lainnya. Nabi bersabda.

“Sucinya wadah kalian apabila dijilat anjing, adalah dengan dibasuh sebanyak tujuh kali, basuhan pertama dengan debu”

(Hr Muslim).

Renungkan juga bahwa terkadang anjing yg dipelihara di depan rumah umumnya akan menganggu orang lain dan pejalan kaki. Tidak jarang anjing menggonggong kencang, membuat takut dan membuat kaget bahkan mengejar orang serta menimbulkan teror.

والله اعلم

Leave a comment