Menjadi Kader Yang Diparkir?


Entah mengapa kali ini saya ingin berbicara lain dari biasanya. Biasanya saya paling enjoy menulis tentang kehidupan keluarga, anal-anak, atau hal-hal ringan dalam seputar harmonisasi keluarga. Tapi hari ini saya agak galau. Hari ini saya ingin menasehati diri saya sendiri secara khusus. Ada banyak momentum dan rentetan kejadian belakangan ini yang terus-menerus menggerus nalar sekaligus maknawiyah kita semua.

Dalam perbincangan dengan beberapa ikhwah selepas kami bersilaturahim ke seorang ustadz kami, ada satu istilah yang kemudian menjadi bahan renungan saya berikutnya. “Ana ini sekarang menjadi kader yang diparkir” begitu ucapan ikhwah yang dikutip salah seorang di antara kami. Kosa kata “Kader yang Diparkir” ini beberapa kali menjadi bahan diskusi kami. Menarik karena ini sangat berkaitan dengan kami.

Ini adalah cerita tentang seorang yang “tak lagi dipakai” di dalam struktur sebuah organisasi formal karena tuntutan pengkaderan dan keniscayaan konsep “nudawiluha”, dipergilirkannya suatu amanah kepada kader-kader lain dalam rangka proses pembelajaran. Dahulu dia selalu “dipakai” untuk menduduki suatu pos dalam organisasi itu. Seiring dengan berjalannya waktu, tiba saatnya dia harus digantikan oleh generasi berikutnya untuk keperluan dua hal tadi di atas.


Biasanya, akan ada pos lain di wajihah atau organisasi lain yang bisa menampung kapasitas dan kapabilitas dia. Bisa saja dinaikkan ke tingkat struktur yang lebih tinggi. Atau di wajihah lain yang bisa jadi sama sekali tidak berhubungan secara struktur sebelumnya. Tapi ini tidak selalu. Ada saatnya dia benar-benar free dari jabatan yang sifatnya formal tersebut. Karena itulah muncul istilah ungkapan tadi, “Ana ini sekarang menjadi kader yang diparkir.”

Suatu waktu, dalam pertemuan majelisnya Nabi Sulaiman merasa kehilangan salah satu anggotanya : “Mengapa aku tidak melihat hud-hud, apakah dia termasuk yang tidak hadir?” tanyanya kepada anggota yang hadir. Bahkan dia pun kemudian mempersiapkan hukuman bagi hud-hud jika kehadirannya bukan karena alasan yang jelas dan kuat. Semua yang hadir serasa kecut, kawatir hukuman apa yang akan diterima burung hud-hud nantinya.

Maka sesaat kemudian setelah hud-hud datang, seakan semua menjadi hening. Senyap. Menunggu apa yang akan dilakukan Sulaman. Tidak menunggu waktu, hud-hud segera menyampaikan alasan keterlambatannya. “Aku telah mengetahui sesuatu yang kamu belum mengetahuinya dan kubawa kepadamu dari negeri Saba’ suatu berita penting yang diyakini.” Begitu pembelaan hud-hud. Maka Sulaiman yang awalnya hendak marah pun melunak. Mulailah dialog dakwah itu, yang kemudian disusunlah skenario untuk membuat beriman negeri Saba’ itu.

Ini cerita tentang hud-hud. Yang dalam perjalanannya menuju majelis Sulaiman, dia menemukan aktifitas satu kaum yang menggelitik nalurinya sebagi jundi Sulaiman. Dia merasa ini bagian dari hal yang harus dia lakukan. Mungkin Sulaiman tidak pernah menerjemahkan secara detail standar operasional sebagai jundi. Tapi dengan naluri jundinya itu, hud-hud telah melakukan kerja besar yang kemudian diabadikannya Al Qur’an. Bahkan kemudian Negeri Saba’ pun menjadi negeri yang penduduknya beriman dan tunduk kepada dakwah Sulaiman.


Dinamis, kreatif dan inovatif

Salah satu muwashofat profil kader yang pernah dilaunching beberapa tahun lalu, adalah kader yang mempunyai sifat dinamis, kreatif dan inovatif. Terjemah singkat dari profil ini adalah bahwa dakwah ini diharapkan bisa mempersiapkan dan memunculkan kader-kader yang senantiasa mempunyai sikap yakin dan berusaha untuk menemukan cara-cara baru yang lebih baik untuk mengerjakan apa saja demi kepentingan dakwah ini.

Kita bisa belajar dari seekor burung yang bernama hud-hud itu. Kreatifitasnya, telah menuntunnnya untuk berhenti sejenak di negeri Saba’ dalam perjalannya menuju majelis Sulaiman. Berhentinya dia adalah untuk mendalami dan mempelajari perilaku negeri itu. Dia tidak takut akan dihukum oleh Sulaiman yang dikenal tegas. Dia mungkin tak pernah berpikir kelelahan yang menusuk tubuhnya dalam panjang perjalanan itu.

Diparkir atau di parkiran? Ini dua kata yang berbeda. Diparkir, adalah kata kerja pasif. Sedangkan di Parkiran, ini kata yang menunjukkan tempat atau lokasi. Tapi setidaknya akar katanya sama, parkir. Parkir itu artinya berhenti, tidak bergerak, dan tidak dinamis dalam waktu yang relatif lama. Sesuatu yang diparkir berarti identik dengan sesuatu yang “dibuat” tidak bergerak dalam waktu yang tidak tertentu. Sebagai catatan ini, berasal dari obyek yang pasif. Obyek yang diparkir tadi untuk bisa bergerak lagi, sangat tergantung dari yang sesuatu yang memarkirnya.

Sedang kata “di parkiran” menunjukkan sebuah obyek yang berada di lokasi parkir. Tidak selalu dia berupa obyek yang pasif. Bisa jadi dia memang sengaja menempatkan dirinya di lokasi parkir. Barangkali ia sedang ingin pasif. Mugkin dia sedang tidak ingin bergerak. Atau bisa juga dia obyek yang sedang ingin istirahat sejenak saja. Ada banyak kemungkinan di sana.


Saatnya kita memilih bukan?

Jika memang kita disuruh memilih, semestinya kita kebih memilih menjadi kader yang dinamis. Teruslah bergerak dan berhentilah hanya secukupnya dalam rangka mengisi bahan bakar dan mengatur kembali langkah-langkah kita. Berhenti sesaat diperlukan, tapi jika kita sengaja memarkir diri, tidak tahu kapan kita akan bergerak lagi, maka tunggulah mesin ruhani di jiwa akan ikut melemah mendingin.

Apatah lagi menjadi kader yang diparkir. Daya kreatifitas dan innovatifitas kita harus senantiasa terasah. Tak ada alasan untuk menjadi kader yang diparkir. Ada banyak lahan dakwah yang menunggu sentuhan kita. Ada banyak peluang dakwah yang dapat kita ciptakan tanpa harus kita menduduki posisi-posisi yang prestisius di mata kader. Banyak ikhwah yang berdakwah di sudut-sudut sepi, yang jauh dari hiruk-pikuk popularitas, yang juga menopang dakwah ini.

Maka jika ditawarkan : Mau jadi kader yang diparkir atau di parkiran? Katakanlah : No Way!! Bismillah..


Ustadz Masker Forum Sholahuddin

15 thoughts on “Menjadi Kader Yang Diparkir?

  1. jadi kangen FS :)ketika membaca tulisan ini, tiba-tiba ada yang pengen saya diskusikan dengan member FS… hmmm…btw, saya setuju, sesungguhnya berda’wah tidak hanya lewat struktur. Banyak ladanga yang bisa digarap. Sungguh masyarakat haus akan ‘kerja2’ kita untuk mereka.Namun, adalah tugas qiyadahlah menempatkan jundinya sesuai kafaahnya, dan -menurut ana- kalo bisa dijelaskan mengapa ia ada di suatu posisi jika ia bertanya. Pun ketika ia merasa di’istirahat’kan, maka hendaklah dijelaskan apa yang diinginkan qiyadah dari hilangnya ia dari struktur.

    Like

  2. Jadi ingat kisah ust. Rahmat Abdullah. Halaqah sempat terhenti, lalu sebagian ada yg berinisiatif utk menanyakan kapan akan dimulai lagi.Nah, jangan2 yg merasa diparkir itu memang didiamkan, lantaran tak ada inisiatif utk bertanya?

    Like

  3. Wahai sahabat … masih banyak ladang dakwah yang belum tergarap dipelosok bumi ini, mengapa menjadi lesu dan merasa tak berarti ketika antum tidak diberikan amanah dalam struktur …???saya selama ini belum pernah mendapatkan amanah ‘resmi’ dari struktur (karena saya memang benar2 terjun di masyarakat ammah) tapi kerja2 dakwah kita dilapangan sungguh banyak sedangkan kader dakwah yang siap gerak hanya sedikit … jadi janganlah berhenti bergerak hanya karena masalah ‘parkiran’ bergeraklah untuk sebuah perjuangan !!!

    Like

  4. Setuju dgn meythree!Betapa ber-amar ma’ruf nahi munkar itu luas cakupannya..betapa tugas dakwah itu buanyakkk..Menurut saya..ga ada istilah diparkir atau memarkirkan!itu berarti ada yg salah di mindset qta.. menganggap dakwah sekedar harus struktural ataupun kelembagaan..Padahal,hei..Banyak kisah..sirah pun membentangkan banyak makna..Posisi apa pun,dimanapun..Asal lillah,fillah,billah..pasti akan bersumbangsih besar pada dakwah,.Iya ga?Mohon koreksi klo salah..Oiya,sfs..

    Like

Leave a comment