KRITIK FATWA SYEKH BIN BAZ NIKAH DENGAN NIAT TALAK


FATWA SYEKH BIN BAZ “NIKAH DENGAN NIAT TALAK” yang kami kutip dari buku “Majmuk Fatawa“-nya Syekh Abdul Aziz bin Abdullah yang dikenal dengan sebuatan Bin Baz, Jilid 4, hal 29-30 cetakan Riyadh – Saudi Arabia, Tahun 1411/1990″.

NIKAH DENGAN NIAT (AKAN) DI TALAQ –

Pertanyaan:
Saya mendengar bahwa anda berfatwa kepada salah seorang polisi bahwa diperbolehkan nikah di negeri rantau (negeri tempat merantau), dimana dia bermaksud untuk mentalak istrinya setelah masa tertentu bila habis masa tugasnya. Apa perbedaan nikah semacam ini dengan nikah mut’ah? Dan bagaimana kalau si wanita melahirkan anak? Apakah anak yang dilahirkan dibiarkan bersama ibunya yang sudah ditalak di negara itu? Saya mohon penjelasanya.

Jawab:
Benar. Telah keluar fatwa dari “Lajnah Daimah”, di mana saya adalah ketuanya, bahwa dibenarkan nikah dengan niat (akan) talak sebagai urusan hati antara hamba dan Tuhannya. Jika seseorang menikah di negara lain (di rantau) dan niat bahwa kapan saja selesai dari masa belajar atau tugas kerja, atau lainnya, maka hal itu dibenarkan menurut jumhur para ulama. Dan niat talak semacam ini adalah urusan antara dia dan Tuhannya, dan bukan merupakan syarat dari sahnya nikah.

Berikut Scan kitabnya:

01 Scan kitab Majmu' Fatawa - Bin Baz
02 Scan kitab Majmu' Fatawa - Bin Baz
03 Scan kitab Majmu' Fatawa - Bin Baz

● ALLAH MEMBENCI PERCERAIAN

“Perbuatan halal yang paling dibenci Allah adalah cerai.”
( Abu Dawud 2178)

Dari Jabir berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya iblis meletakkan singgasananya di atas air, kemudian dia mengutus bala tentaranya, maka yang akan menjadi pasukan yang paling dekat dengan dia adalah yang paling banyak fitnahnya.
Lalu ada yang datang dan berkata : ‘Saya telah berbuat ini dan itu’.
Maka iblis berkata : ‘Engkau tidak berbuat apa-apa’.
Kemudian ada yang datang lagi dan berkata : ‘Saya tidak meninggalkan seorang pun kecuali telah aku pisahkan antara dia dengan istrinya’.
Maka iblis mendekatkan dia padanya dan mengatakan: ‘Engkaulah sebaik-baik pasukanku’.”
(Muslim, no.2167)

● IJTIHAD ULAMA ASWAJA SEPANJANG ZAMAN TENTANG TALAK /CERAI

1. Sunah: Terkadang perceraian itu dianjurkan dalam beberapa keadaan, seperti jika si istri adalah wanita yang kurang bisa menjaga kehormatannya, atau dia adalah wanita yang meremehkan kewajibannya kepada Allah, dan suami tidak bisa mengajari atau memaksanya untuk menjalankan kewajiban seperti sholat, puasa, atau lainnya. Bahkan sebagian ulama mengatakan bahwa dalam keadaan yang kedua ini wajib untuk menceraikannya.

2. Mubah: Contohnya apa yang dikatakan oleh Imam Ibnu Qudamah, “Perceraian itu mubah kalau perlu untuk melaksanakannya, disebabkan oleh akhlak istri yang jelek dan suami merasa mendapatkan mafsadah dari pergaulan dengannya tanpa bisa mendapatkan tujuan dari pernikahannya tersebut.” (Al-Mughni, 10:324)

3. Makruh: Yaitu perceraian tanpa sebab syar’i.
Meriwayatkan dari Abdullah bin Umar dengan sanad shahih mauquf, bahwasanya beliau menceraikan istrinya, maka istrinya pun berkata, “Apakah engkau melihat sesuatu yang tidak engkau senangi dariku?”
Ibnu Umar menjawab, “Tidak.”
Maka dia pun berkata, “Kalau begitu, kenapa engkau menceraikan seorang wanita muslimah yang mampu menjaga kehormatannya?”
Maka akhirnya Ibnu Umar pun merujuknya kembali.

4. Haram: Di antaranya adalah menceraikan istri saat haidh atau suci, namun sudah berjima dengannya. Dan inilah yang dinamakan dengan talak bid’ah yang keharamannya disepakati oleh para ulama sepanjang masa.

● PENUTUP

Rasulullah SAW bersabda:
Sesungguhnya Allah tidak mengambil ilmu dengan menariknya dari hati hamba-hambanya (ulama) akan tetapi mengambil ilmu dengan mencabut nyawa ulama, sehingga apabila tidak terdapat ulama, maka manusia akan menjadikan orang-orang bodoh (menjadi pegangan mereka), mereka bertanya hukum kepadanya, kemudian orang-orang bodoh itu  berfatwa menjawab pertanyakkan mereka, jadilah mereka sesat dan menyesatkan pula.
(H.R Bukhari, Muslim,Tirmidzi ,Ibnu Majah.Ahmad, ad-Darimi.).

Leave a comment