✒️ HAKIKAT WASIAT Al IMAM AS SYAFI’I menurut Al IMAM AN NAWAWI رحمهما الله 🪔


✒️ HAKIKAT WASIAT Al IMAM AS SYAFI’I menurut Al IMAM AN NAWAWI رحمهما الله 🪔

🖌️ إذا صح الحديث فهو مذهبي

“Jika shahih haditsnya maka itulah madzhabku”

🖌️ إذا صح الحديث خلاف قولي فاعملوا بالحديث واتركوا قولي

“Jika ada shahih hadits berselisih dengan pendapatku maka beramal lah kalian dengan hadits shahih dan tinggalkanlah pendapatku”

🕯️ Dua kalimat ini sering kita temui lalu bagaimanakah seorang Imam Besar Mujtahid Fatwa Al Imam An Nawawi menjelaskannya,

  • وهذا الذى قاله الشافعي ليس معناه ان كل أحد رأى حديثا صحيحا قال هذا مذهب الشافعي وعمل بظاهره

Dan ini ucapannya Al Imam As Syafi’i bukanlah maknanya bahwa setiap orang melihat hadits shahih, berkata inilah madzhab Syafi’i dan kemudian beramal secara tekstual (zhahirnya)

  • وانما هذا فيمن له رتبة الاجتهاد في المذهب على ما تقدم من صفته أو قريب منه

Dan sesungguhnya wasiat ini ditujukan bagi yang memiliki level ijtihad dalam madzhab sebagaimana telah dijelaskan kriterianya atau mendekati level tsb

  • وشرطه أن يغلب على ظنه أن الشافعي رحمه الله لم يقف على هذا الحديث أو لم يعلم صحته: وهذا انما يكون بعد مطالعة كتب الشافعي كلها ونحوها من كتب أصحابه الآخذين عنه وما أشبهها وهذا شرط صعب قل من يتصف به

Dan syaratnya mengikuti wasiat ini dia ada dugaan kuat bahwa Al Imam As Syafi’i tidak menyikapi hadits tsb atau tidak mengetahui keshahihan hadits tsb dan ini tentunya setelah dia mentela’ah kitab² As Syafi’i seluruhnya dan sejenis dari kitab² pengikutnya dan yang mengambil dari beliau atau yang semisalnya, dan syarat ini sulit hanya sedikit orang yang memenuhinya

  • وانما اشترطوا ما ذكرنا لان الشافعي رحمه الله ترك العمل بظاهر أحاديث كثيرة رآها وعلمها لكن قام الدليل عنده على طعن فيها أو نسخها أو تخصيصها أو تأويلها أو نحو ذلك

Dan sesungguhnya para ulama mensyaratkan apa yang telah kami sebutkan karena Al Imam As Syafi’i meninggalkan amalan dengan zhahirnya hadits² yang beliau pandang dan ketahui tetapi karena dalil tsb menurutnya ada yang cacat atau dinasakh atau dikhususkan atau ditafsirkan atau semacamnya.
(Al Majmu Syarah Al Muhadzab)

💡FM : Saudaraku jika menemukan seolah bertentangan antara hadits shahih dengan pendapat Al Imam As Syafii jangan tergesa menukil 2 kalimat diatas, apalagi berucap belum sampai dalil ke beliau ini kurang adab terhadap Imam As Syafi’i sang Mujtahid Mutlak kecuali anda memenuhi syarat² dari Al Imam An Nawawi diatas, wallah ‘alam – al faqir

inshof

WASIAT IMAM SYAFI’I YANG DISALAH ARTIKAN

إذا صح الحديث فهو مذهبي

“Apabila Hadits Tersebut Shoheh Maka Itulah Mazhabku”.

Wasiat beliau ini banyak di salah artikan, di mana banyak kalangan yang dengan mudahnya menyatakan bahwa pendapat Imam Syafii hanya dapat di amalkan bila sesuai dengan hadits shahih, sehingga saat ia menemukan satu hadits shahih maka ia langsung berpegang kepada dhahir hadits dan melarang mengikuti pendapat Imam Syafii dengan alasan mengamalkan wasiat Imam Syafii. Bahkan mereka menjadikan wasiat Imam Syafii ini sebagai hujjah tercelanya taqlid, mereka mengartikan wasiat ini sebagai larangan dari Imam Syafii untuk taqlid kepada beliau. Oleh karena itu kami tertarik ingin mengupas masalah ini.

Ada baiknya kita lihat bagaimana komentar Imam Nawawi dalam kitab Majmu’ terhadap wasiat Imam Syafii tersebut. Imam Nawawi mengatakan :

وهذا الذى قاله الشافعي ليس معناه ان كل أحد رأى حديثا صحيحا قال هذا مذهب الشافعي وعمل بظاهره: وانما هذا فيمن له رتبة الاجتهاد في المذهب على ما تقدم من صفته أو قريب منه: وشرطه أن يغلب على ظنه أن الشافعي رحمه الله لم يقف على هذا الحديث أو لم يعلم صحته: وهذا انما يكون بعد مطالعة كتب الشافعي كلها ونحوها من كتب أصحابه الآخذين عنه وما أشبهها وهذا شرط صعب قل من ينصف به وانما اشترطوا ما ذكرنا لان الشافعي رحمه الله ترك العمل بظاهر أحاديث كثيرة رآها وعلمها لكن قام الدليل عنده على طعن فيها أو نسخها أو تخصيصها أو تأويلها أو نحو ذلك

“Bukanlah maksud dari wasiat Imam Syafii ini adalah setiap orang yang melihat hadits yang shahih maka ia langsung berkata inilah mazhab Syafii dan langsung mengamalkan dhahir hadits. Wasiat ini hanya di tujukan kepada orang yang telah mencapai derajat ijtihad dalam mazhab sebagaimana telah terdahulu (kami terangkan) kriteria sifat mujtahid atau mendekatinya. syarat seorang mujtahid mazhab baru boleh menjalankan wasiat Imam Syafii tersebut adalah telah kuat dugaannya bahwa Imam Syafii tidak mengetahui hadits tersebut atau tidak mengetahui kesahihan haditsnya. Hal ini hanya didapatkan setelah menelaah semua kitab Imam Syafii dan kitab-kitab pengikut beliau yang mengambil ilmu dari beliau. Syarat ini sangat sulit di penuhi dan sedikit sekali orang yang memilikinya. Para ulama mensyaratkan demikian karena Imam Syafii mengabaikan makna eksplisit dari banyak hadits yang beliau temukan dan beliau ketahui namun itu karena ada dalil yang menunjukkan cacatnya hadits itu atau hadits itu telah di nasakh, di takhshish, atau di takwil atau lain semacamnya”.

(Majmuk Syarh Muhazzab Jilid 1 hal 64)

Dari komentar Imam Nawawi ini sebenarnya sudah sangat jelas bagaimana kedudukan wasiat Imam Syafii tersebut, kecuali bagi kalangan yang merasa dirinya sudah berada di derajat mujtahid mazhab yang kata Imam Nawawi sendiri pada zaman beliau sudah sulit di temukan.

Ulama besar lainnya, Imam Ibnu Shalah menanggapi wasiat Imam Syafii ini dengan kata beliau

وليس هذا بالهين فليس كل فقيه يسوغ له أن يستقل بالعمل بما يراه حجة من الحديث

“tugas ini bukanlah perkara yang mudah, tidaklah setiap faqih boleh mengamalkan hadits yang dinilainya boleh dijadikan hujjah”.

(Ibnu Shalah, Adabul Mufti wal Mustafti hal 54, dar Ma’rifah)


Kita lihat penjelasan Imam Syarwani dalam hasyiah `ala Tuhfatul Muhtaj:

يعلم منه أنه حيث قال في شيء بعينه إذا صح الحديث في هذا قلت به وجب تنفيذ وصيته من غير توقف على النظر في وجود معارض؛ لأنه – رضي الله تعالى عنه – لا يقول ذلك إلا إذا لم يبق عنده احتمال معارض إلا صحة الحديث بخلاف ما إذا رأينا حديثا صح بخلاف ما قاله فلا يجوز لنا ترك ما قاله له حتى ننظر في جميع القوادح والموانع فإن انتفت كلها عمل بوصايته حينئذ وإلا فلا

Bisa di ketahui bahwa jika Imam Syafi berkata pada satu tempat “jika sahih hadits pada masalah ini saya akan berpendapat demikian” maka wajib di tunaikan wasiat Imam Syafii tersebut tanpa tawaquf pada dalil lain yang menentang (mu’aridh) karena Imam Syafii tidak mengucapkan demikian kecuali apabila tidak ada lagi kemungkinan ada mu`aridh kecuali hanya tentang sahnya hadits tersebut, dengan sebalik bila kita temukan satu hadit syang shahih maka tidak boleh bagi kita meninggalkan pendapat Imam Syafii sehingga kita tinjau kembali seluruh dalil mu’aridh

“JIKA HADITS TERSEBUT SHAHIH MAKA ITU ADALAH MAZHABKU”

Dulu sudah pernah saya membahas tentang kalam Imam Syafi’i yang kemudian banyak dijadikan meme oleh orang-orang anti mazhab untuk menyerang muqolid beliau rahimahullah. Namun tampak nya, qoul ini masih laris manis menjadi dagangan, baiklah mari kita coba bantah kembali.

Kalimat diatas adalah hujjah andalan dari kaum anti mazhab yang tak ber mazhab kepada Imam Syafi’i, bahkan cenderung anti terhadap mazhab Imam Syafi’i tapi gemar sekali mencatut Qoul beliau jika qoul itu sesuai hawa nafsu mereka, dan kalam ini mereka gunakan untuk menyerang muqolid Imam Syafi’i rahimahullah.

Beliau berkata ;
إِن صَحَّ الْحَدِيْثُ فَهُوَ مَذْهَبِيْ

“Jika hadits tersebut shahih, maka itu adalah madzhabku.”

Semua ulama Syafi’iyah sepakat bahwa kalam tersebut memang benar dari Imam Syafi’i, ada beberapa redaksi yang riwayat nya berbeda namun memiliki maksud yang sama.

Lalu apakah setiap yang menemukan sebuah hadith yang shahih bertentangan dengan pendapat Imam Syafi’i maka otomatis pendapat Imam Syafii tertolak?
Jika ternyata memang semudah itu tentu keluasan ilmu seorang Imam Syafi’i yang seorang mujtahid muthlaq patut diragukan. Padahal selain dikenal sebagai mujtahid muthlaq, beliau juga dikenal sebagai seorang muhadith.

Kalam beliau Rahimahullah adalah bentuk ketawadhu’an luar biasa dari seorang yang berilmu, yang ilmu beliau ibarat samudra tak berdasar.

Imam Syafi’i Rahimahullah telah menghafal dan mendapatkan hadith langsung dari para ulama Salafush Sholeh, di usia 10 tahun beliau telah menghapal kitab Imam Malik Al muwaththa’ yang jika dilihat cetakan hari ini tebal nya MasyaaAllah.

Semua hadith yang telah beliau hapal bahkan jauh lebih banyak dibanding hadith – hadith yang telah di bukukan. Jadi jangan mengira beliau tidak paham hadith. #catat

Para Ulama muhaditsuun seperti Imam Bukhari dan Imam Muslim saja tetap bertalaqqi dengan ulama-ulama bermazhab yang tak lain adalah murid serta muridnya lagi dari murid-murid beliau.

Satu lagi, kalam ini hanya di peruntukkan kepada ulama-ulama Syafi’iyah yang telah mencapai derajat mujtahid, sehingga kita dapati kenapa ada ulama-ulama syafi’iyah yang seolah pendapat nya tampak menyelisihi Imam Syafi’i, semacam Imam an Nawawi Rahimahullahu.

Jadi sungguh keliru ketika ada ulama yang menemukan hadith shahih pada suatu kitab sehingga dengan hadith itu dia merasa tidak butuh lagi mengikuti pendapat Ulama Mazhab. Mungkin haditsnya shahih, namun cara mereka memahami dan mengeluarkan suatu hukum dari hadith tersebut yang menyelisihi pemahaman para Ulama Mazhab.

Al-Imam Al-Hafizh Ibn Khuzaimah Al-Naisaburi, seorang ulama salaf yang menyandang gelar Imam Al-A’immah (penghulu para imam) dan penyusun kitab Shahih Ibn Khuzaimah, ketika ditanya, apakah ada hadits yang belum diketahui oleh Al-Imam Al-Syafi’i dalam ijtihad beliau ? Ibn Khuzaimah menjawab, “TIDAK ADA”. Hal tersebut seperti diriwayatkan oleh Al-Hafizh Ibn Katsir dalam kitabnya yang sangat populer Al-Bidayah wa Al-Nihayah (juz 10, hal. 253)..

Imam Nawawi dalam kitab Majmu’ mengomentari qoul Imam Syafi’i tersebut :

وهذا الذى قاله الشافعي ليس معناه ان كل أحد رأى حديثا صحيحا قال هذا مذهب الشافعي وعمل بظاهره: وانما هذا فيمن له رتبة الاجتهاد في المذهب على ما تقدم من صفته أو قريب منه: وشرطه أن يغلب على ظنه أن الشافعي رحمه الله لم يقف على هذا الحديث أو لم يعلم صحته: وهذا انما يكون بعد مطالعة كتب الشافعي كلها ونحوها من كتب أصحابه الآخذين عنه وما أشبهها وهذا شرط صعب قل من ينصف به وانما اشترطوا ما ذكرنا لان الشافعي رحمه الله ترك العمل بظاهر أحاديث كثيرة رآها وعلمها لكن قام الدليل عنده على طعن فيها أو نسخها أو تخصيصها أو تأويلها أو نحو ذلك

“Bukanlah maksud dari wasiat Imam Syafi’i ini adalah setiap orang yang melihat hadith yang shahih maka ia langsung berkata inilah sebenarnya mazhab Syafi’i dan langsung mengamalkan dhahir hadith. WASIAT INI HANYA DITUJUKAN KEPADA ORANG YANG TELAH MENCAPAI DERAJAT IJTIHAD DALAM MAZHAB, sebagaimana telah terdahulu (kami terangkan) kriteria sifat mujtahid atau mendekatinya. Syarat seorang mujtahid mazhab baru boleh menjalankan wasiat Imam Syafi’i tersebut adalah telah kuat dugaannya bahwa Imam Syafii TIDAK MENGETAHUI HADITH TERSEBUT ATAU TIDAK MENGETAHUI KESAHIHAN HADISTNYA. Hal ini hanya didapatkan setelah menelaah semua kitab Imam Syafi’i dan kitab-kitab pengikut beliau yang mengambil ilmu dari beliau. Syarat ini sangat sulit di penuhi dan sedikit sekali orang yang memilikinya. Para ulama mensyaratkan demikian karena Imam Syafi’i mengabaikan makna eksplisit dari banyak hadits yang beliau temukan dan beliau ketahui namun itu karena ada dalil yang menunjukkan cacatnya hadits itu atau hadits itu telah di nasakh, di takhshish, atau di takwil atau lain semacamnya”. (Majmu’ Syarh Al-Muhadzdzab, Jilid 1 hal 64)

Ulama besar lainnya, Imam Ibnu Shalah menanggapi wasiat Imam Syafi’i ini dengan kata beliau, sbb ;

وليس هذا بالهين فليس كل فقيه يسوغ له أن يستقل بالعمل بما يراه حجة من الحديث

“Tugas ini bukanlah perkara yang mudah, tidaklah setiap faqih boleh mengamalkan hadith yang dinilainya boleh dijadikan hujjah”. (Ibnu Shalah, Adabul Mufti wal Mustafti, hal 54, Dar Ma’rifah).

Saking luasnya wawasan beliau tentang hadith, sehingga ketika ada pendapat beliau yang bertentangan dengan satu hadith shahih tidak sembarangan orang bisa menyatakan bahwa Imam Syafi’i tidak mengetahui adanya hadith tersebut, sehingga pendapat beliau mesti ditinggalkan karena bertentangan dengan hadith. Karena boleh jadi Imam Syafi’i meninggalkan hadith shahih tersebut karena ada sebab-sebab yang mengharuskan beliau meninggalkan hadits tersebut, misalnya karena hadith tersebut telah di nasakh, takhsish dan hal-hal lain. Untuk dapat mengetahui hal tersebut tentunya harus terlebih dahulu menguasai kitab-kitab beliau dan ulama-ulama Syafi’iyah.
Bermazhab saja tidak kepada beliau, menyelami karya-karya beliau saja tidak pernah, lalu merasa paling PAHAM pula akan kalam beliau, na’udzubillah.

wallahu’alam

Bismillahirrahmanirrahim.

Oleh:Habib Nabiel Al Musawa

APA SIH MAKNA UCAPAN IMAM SYAFI’I : JIKA HADITS TERSEBUT SHAHIH MAKA ITU ADALAH MAZHABKU..?


✍Pengertian Dari Kalimat, “Jika hadits tersebut shahih, maka itu adalah madzhabku.”

~ Imam Muhammad bin Idris As-Syafi’i ~


👉Perkataan para Imam Mazhab empat yang sering disalah pahami oleh para kaum neo-zhahiriyyah dan neo-Khawarij, adalah seperti perkataan dari Al-Imam As-Syafi’i Rahimahullah:

إِنْ صَحَّ الْحَدِيْثُ فَهُوَ مَذْهَبِيْ

“Jika hadits tersebut shahih, maka itu adalah madzhabku.”

👉Semua ulama sepakat bahwa kalam tersebut benar-benar wasiat dari Imam Syafi’i, tentang redaksinya ada beberapa riwayat yang berbeda namun memiliki maksud yang sama..

👉Lalu bagaimana sebenarnya maksud dari wasiat Imam Syafi’i ini? Apakah setiap pelajar yang menemukan sebuah hadits yang shahih bertentangan dengan pendapat Imam Syafi’i maka pendapat Imam Syafii tidak dapat di terima?
✍ Kalau hanya semudah itu tentu akan menjadi tanda tanya bagi kita semua sejauh mana tingkat keluasan keilmuan seorang Mujtahid muthlaq seperti Al Imam Asy Syafi’i, terutama dalam penguasaan ilmu hadits???????

✍Perkataan Al-Imam Ays-Syafi’i Rahimahullah tersebut bagi orang yang berilmu adalah contoh sikap tawadhu atau rendah hati beliau yang luar biasa. Beliau hanya ingin mengingatkan kita semua bahwa mengikuti pendapat mereka tetap wajib merujuk kepada dari mana mereka mengambilnya yakni Al Qur’an dan As Sunnah..

✍Al-Imam Asy-Syafi’i Rahimahullah telah menghafal dan mendapatkan hadits langsung dari para Salafush Sholeh. Bahkan beliau pun melihat sendiri penerapan, perbuatan serta contoh nyata dari Salafush Sholeh..

✍Hadits-hadits yang dihafal dan diketahui oleh beliau jauh LEBIH BANYAK dari hadits yang telah dibukukan. Bahkan Imam Bukhari dan Imam Muslim tetap bertalaqqi (mengaji ) dengan ulama-ulama bermazhab yang notabene adalah murid serta cucu murid dari beliau..

😎Jadi aneh kalau ada ulama yang berpendapat bahwa dia tiba-tiba telah menemukan sebuah hadits shahih baru pada suatu kitab sehingga dengan hadits itu dia tidak perlu mengikuti pendapat Imam Mazhab yang empat.
✍✍ Haditsnya shahih, namun pemahaman mereka terhadap hadits tersebutlah yang menyelisihi pemahaman Imam Mazhab yang empat..

✍Para ulama menjelaskan, bahwa maksud perkataan Al-Imam Al-Syafi’i, “Idza/In shahha al-hadits fahuwa madzhabi (apabila suatu hadits itu shahih, maka hadits itulah madzhabku)”, adalah bahwa apabila ada suatu hadits bertentangan dengan hasil ijtihad Al-Imam Al-Syafi’i, sedangkan Al-Syafi’i TIDAK TAHU terhadap hadits tersebut, maka dapat diasumsikan, bahwa kita HARUS MENGIKUTI hadits tersebut, dan meninggalkan hasil ijtihad Al-Imam Al-Syafi’i..

😎Akan tetapi apabila hadits tersebut TELAH DIKETAHUI oleh Al-Imam Al-Syafi’i, sementara hasil ijtihad beliau berbeda dengan hadits tersebut, maka sudah barang tentu hadits tersebut memang bukan madzhab beliau dan beliau punya dalil hadits yang lebih kuat dari hadits tersebut, atau pemahaman salafus Shalih terhadap hadits tersebut beliau ketahui berbeda..

✍✍Hal ini seperti ditegaskan oleh Al-Imam Al-Nawawi dalam kitab Al-Majmu’ Syarh Al-Muhadzdzab, 1/64.

Oleh karena demikian, para ulama menyalahkan Al-Imam Al-Hafizh Ibn Al-Jarud, seorang ulama ahli hadits bermadzhab Al-Syafi’i, di mana setiap ia menemukan hadits shahih bertentangan dengan hasil ijtihad Al-Imam Al-Syafi’i, Ibn Al-Jarud langsung mengklaim bahwa hadits tersebut sebenarnya madzhab Al-Syafi’i, berdasarkan pesan Al-Syafi’i di atas, tanpa meneliti bahwa hadits tersebut telah diketahui atau belum oleh Al-Imam Al-Syafi’i..

👉Al-Imam Al-Hafizh Ibn Khuzaimah Al-Naisaburi, seorang ulama salaf yang menyandang gelar Imam Al-A’immah (penghulu para imam) dan penyusun kitab Shahih Ibn Khuzaimah, ketika ditanya, apakah ada hadits yang belum diketahui oleh Al-Imam Al-Syafi’i dalam ijtihad beliau ??? Ibn Khuzaimah menjawab, “TIDAK ADA”. Hal tersebut seperti diriwayatkan oleh Al-Hafizh Ibn Katsir dalam kitabnya yang sangat populer Al-Bidayah wa Al-Nihayah (juz 10, hal. 253)..

👉Untuk lebih memahaminya, ada baiknya kita lihat bagaimana komentar Imam Nawawi dalam kitab Majmu’ terhadap wasiat Imam Syafi’i tersebut. Imam Nawawi secara lengkap menyatakan :

وهذا الذى قاله الشافعي ليس معناه ان كل أحد رأى حديثا صحيحا قال هذا مذهب الشافعي وعمل بظاهره: وانما هذا فيمن له رتبة الاجتهاد في المذهب على ما تقدم من صفته أو قريب منه: وشرطه أن يغلب على ظنه أن الشافعي رحمه الله لم يقف على هذا الحديث أو لم يعلم صحته: وهذا انما يكون بعد مطالعة كتب الشافعي كلها ونحوها من كتب أصحابه الآخذين عنه وما أشبهها وهذا شرط صعب قل من ينصف به وانما اشترطوا ما ذكرنا لان الشافعي رحمه الله ترك العمل بظاهر أحاديث كثيرة رآها وعلمها لكن قام الدليل عنده على طعن فيها أو نسخها أو تخصيصها أو تأويلها أو نحو ذلك

“Bukanlah maksud dari wasiat Imam Syafi’i ini adalah setiap orang yang melihat hadits yang shahih maka ia langsung berkata inilah sebenarnya mazhab Syafi’i dan langsung mengamalkan dhahir hadits. WASIAT INI HANYA DITUJUKAN KEPADA ORANG YANG TELAH MENCAPAI DERAJAT IJTIHAD DALAM MAZHAB, sebagaimana telah terdahulu (kami terangkan) kriteria sifat mujtahid atau mendekatinya. Syarat seorang mujtahid mazhab baru boleh menjalankan wasiat Imam Syafi’i tersebut adalah telah kuat dugaannya bahwa Imam Syafii TIDAK MENGETAHUI HADIST TERSEBUT ATAU TIDAK MENGETAHUI KESAHIHAN HADISTNYA. Hal ini hanya didapatkan setelah menelaah semua kitab Imam Syafi’i dan kitab-kitab pengikut beliau yang mengambil ilmu dari beliau.

✍✍Syarat ini sangat sulit di penuhi dan sedikit sekali orang yang memilikinya. Para ulama mensyaratkan demikian karena Imam Syafi’i mengabaikan makna eksplisit dari banyak hadits yang beliau temukan dan beliau ketahui namun itu karena ada dalil yang menunjukkan cacatnya hadits itu atau hadits itu telah di nasakh, di takhshish, atau di takwil atau lain semacamnya”. (Majmu’ Syarh Al-Muhadzdzab, Jilid 1 hal 64)

✍Dari komentar Imam Nawawi ini sebenarnya sudah sangat jelas bagaimana kedudukan wasiat Imam Syafi’i tersebut, kecuali bagi kalangan yang merasa dirinya sudah berada di derajat mujtahid mazhab yang kata Imam Nawawi sendiri pada zaman beliau saja sudah sulit di temukan..

👉Ulama besar lainnya, Imam Ibnu Shalah menanggapi wasiat Imam Syafi’i ini dengan kata beliau, sbb ;

وليس هذا بالهين فليس كل فقيه يسوغ له أن يستقل بالعمل بما يراه حجة من الحديث

“Tugas ini bukanlah perkara yang mudah, tidaklah setiap faqih boleh mengamalkan hadits yang dinilainya boleh dijadikan hujjah”. (Ibnu Shalah, Adabul Mufti wal Mustafti, hal 54, Dar Ma’rifah)

👉👉Hal ini tak lain karena wawasan Imam Syafi’i tentang hadits yang sangat luas, sehingga ketika ada pendapat beliau yang bertentangan dengan satu hadits shahih tidak sembarangan orang bisa menyatakan bahwa Imam Syafi’i tidak mengetahui adanya hadits tersebut, sehingga pendapat beliau mesti ditinggalkan karena bertentangan dengan hadits. Karena boleh jadi Imam Syafi’i meninggalkan hadits shahih tersebut karena ada sebab-sebab yang mengharuskan beliau meninggalkan hadits tersebut, misalnya karena hadits tersebut telah di nasakh, takhsish dan hal-hal lain.
👉 Untuk dapat mengetahui hal tersebut tentunya harus terlebih dahulu menguasai kitab-kitab Imam Syafi’i dan shahabat beliau..

WaLLAAHHu a’lamu bish-shawab..

Leave a comment