Berapa Banyak Kemarahan di Rumah Kita?


Berapa Banyak Kemarahan di Rumah Kita?

Cahyadi Takariawan

Ingat kisah boneka rajut di dalam kota rahasia nenek? Ternyata uang yang ada dalam kotak rahasia adalah hasil penjualan boneka-boneka yang dirajut saat sedang menyalurkan kemarahan kepada suaminya.

Entah sudah berapa boneka yang dibuat dan berapa banyak amarah yang berhasil dipendam sang istri. Kini sang suami baru mengerti, betapa selama ini sangat banyak sikap dan perlakuannya menyakiti hati sang istri.

Sedemikian pandai sang istri menyalurkan kemarahan, sampai akhirnya suaminya tidak mengetahui bahwa sudah sangat banyak perbuatannya yang menyakiti hati sang istri. Tidak terhitung berapa banyak boneka rajut sudah berhasil dibuat dan dijual oleh sang istri selama ini.

Cobalah tanyakan kepada istri atau suami anda, sudah berapa banyak boneka rajut dibuatnya selama hidup dengan anda? Sudah berapa banyak perbuatan atau perkataan anda yang menyebabkan kemarahan pasangan anda?

Banyak kejadian suami mengekspresikan kemarahan dengan vulgar kepada istri, atau istri mengekspresikan kemarahan dengan vulgar kepada suami, orang tua mengekspresikan kemarahan dengan vulgar kepada anak, dan anak mengekspresikan kemarahan dengan vulgar kepada orang tua.

Kemarahan tidak membuahkan kebaikan hubungan, justru yang terjadi, kemarahan semakin membuat hubungan bertambah jauh. Hal ini menandakan tidak ada kebaikan dalam kemarahan. Perhatikan bagaimana Nabi Saw memberikan arahan kepada seorang sahabat yang datang meminta nasihat.

Dari Abu Hurairah Ra, bahwa seorang laki-laki berkata kepada Nabi Saw, “Berilah aku nasihat”. Beliau Saw menjawab, “Jangan marah!” Orang itu mengulangi permintaannya berkali-kali. Nabi Saw bersabda, “Jangan marah!” (HR. Al Bukhari).

Sahabat yang meminta nasihat dalam hadits ini bernama Jariyah bin Qudamah Ra. Ia meminta nasihat kepada Nabi Saw dengan kalimat yang mengumpulkan berbagai kebaikan, agar ia dapat menghafal dan mengamalkannya.

Maka Nabi berwasiat agar ia tidak marah. Kemudian ia mengulangi permintaannya itu berulang-ulang, sedang Nabi tetap memberikan jawaban yang sama. Ini menunjukkan bahwa marah adalah pokok berbagai kejahatan, dan menahan diri darinya adalah pokok segala kebaikan.

Marah banyak sekali menimbulkan perbuatan yang tercela seperti memukul, melempar barang pecah belah, menyiksa, menyakiti hati dan perasaan, mengeluarkan perkataan-perkataan keji, menuduh, mencaci maki, dan berbagai bentuk kezhaliman dan permusuhan.

Kemarahan bisa membawa dampak lanjut ke tingkat menceraikan istri, atau membunuh pasangan, bahkan bisa kepada tingkat kekufuran sebagaimana yang terjadi pada Jabalah bin Aiham, dan seperti sumpah-sumpah yang tidak diperbolehkan menurut syariat agama.

Ja’far bin Muhammad rahimahullah mengatakan, “Marah adalah pintu segala kejelekan.”

Dikatakan kepada Ibnu Mubarak rahimahullah , “Kumpulkanlah untuk kami akhlak yang baik dalam satu kata!” Beliau menjawab, “Meninggalkan amarah.” Demikian juga Imam Ahmad rahimahullah dan Ishaq rahimahullah menafsirkan bahwa akhlak yang baik adalah dengan meninggalkan amarah.

Islam memberikan pengarahan, bahwa orang yang kuat adalah orang yang mampu mengendalikan dan mengekang hawa nafsunya ketika marah. Rasulullah Saw bersabda:

“Orang yang kuat itu bukanlah yang pandai bergulat, tetapi orang yang kuat ialah orang yang dapat mengendalikan dirinya ketika marah” (HR. Bukhari dan Muslim).

Rasulullah Saw menjelaskan tentang keutamaan orang yang dapat menahan amarahnya:

“Barangsiapa menahan amarah padahal ia mampu melakukannya, pada hari Kiamat Allah akan memanggilnya di hadapan seluruh makhluk, kemudian Allah menyuruhnya untuk memilih bidadari yang ia sukai” (HR Ahmad).

Rasulullah Saw menghubungkan antara marah dengan surga, sebagaimana sabda beliau:

“Jangan kamu marah, maka kamu akan masuk surga” (HR. Thabrani).

Diriwayatkan dari Mujahid, dari Ibnu ‘Abbas bahwa seorang laki-laki berkata, “Aku mentalaq istriku dengan talak tiga ketika aku marah.” Maka Ibnu ‘Abbas berkata, “Sesungguhnya Ibnu ‘Abbas tidak bisa menghalalkan untukmu apa yang telah Allah haramkan atasmu, engkau telah durhaka kepada Rabb-mu, dan engkau mengharamkan istrimu atas dirimu sendiri” (Jami’ul ‘Ulum wal-Hikam).

Menahan amarah adalah salah satu sifat orang yang bertaqwa. Hal ini menandakan, marah adalah sesuatu yang menjadi sifat manusia, namun bisa ditahan dan dikendalikan. Ini yang membedakan orang bertaqwa dengan orang yang tidak bertaqwa. Allah Ta’ala telah berfirman:

“…Dan orang-orang yang menahan amarahnya dan memaafkan (kesalahan) orang lain. Dan Allah mencintai orang yang berbuat kebaikan” (Ali ‘Imrân : 134).

Sedemikian penting menahan dan mengendalikan marah, Nabi Saw memberikan petunjuk kepada kita tentang usaha meredakan kemarahan ini, sebagaimana dalam sabda beliau:

“Apabila seorang dari kalian marah dalam keadaan berdiri, hendaklah ia duduk; apabila amarah telah pergi darinya, (maka itu baik baginya) dan jika belum, hendaklah ia berbaring” (HR. Ahmad).

Rasulullah Saw juga mengajarkan apabila seseorang marah hendaklah ia diam:

“Apabila seorang dari kalian marah, hendaklah ia diam” (HR Ahmad).

Kita juga ingat sejarah bagaimana Nabi Yunus harus “membayar” kemarahannya dengan hukuman dari Allah.

“Dan (ingatlah kisah) Dzun Nun (Yunus), ketika ia pergi dalam keadaan marah, lalu ia menyangka bahwa Kami tidak akan mempersempitnya (menyulitkannya)” (Al Anbiya : 87).

Leave a comment