Pukulan Sayang Sang Ayah


Oleh Ida S Widayanti*

Seorang anak berusia 10 tahun hidup dalam lingkungan keluarga yang taat beragama. Meski serba kekurangan, tetapi si anak tetap semangat belajar dan membantu orangtuanya berdagang.

Suatu hari tokonya dikunjungi banyak pembeli, ia pun sangat sibuk. Tanpa disadari ia melewatkan shalat Zuhurnya. Dengan jujur ia ceritakan hal itu kepada ayahnya sambil berlinang air mata.

Mendengar cerita anaknya, sang ayah tak berbicara sepatah kata pun. Ia menuju kamarnya, lalu keluar dengan membawa sebuah tongkat. Sang anak tahu bahwa ayahnya akan memberi pukulan atas kelalaiannya melaksanakan shalat. Anak itu mengulurkan kedua tangannya.

Sang anak memejamkan mata, bersiap menerima pukulan ayahnya. Namun apa yang terjadi sangat mengagetkan hatinya. Ternyata pukulan yang ia terima hanyalah sebuah pukulan lembut.

Saat si anak membuka mata, ia melihat pemandangan yang jauh lebih mengagetkan. Janggut ayahnya telah basah dengan cucuran air matanya. Lelaki itu berkata, “Nak, kalau bukan perintah Rasulullah SAW aku tidak akan memukulmu, jangan ulangi ya, Nak!” Selanjutnya sang ayah memeluk erat dan menciumi anak kesayangannya itu.

Hilfaaz Collections

Hilfaaz Collections


Anak tersebut kemudian menjadi seorang tokoh dan ilmuwan. Sambil mengusap air matanya ia menceritakan bahwa hukuman itu masih terasa sakit sampai saat ini. Rasa sakit yang bukan karena pukulan tongkatnya, namun karena sesuatu yang dahsyat memukul hatinya.

“Yang membuat hati saya merasa sakit, pertama karena aku mendurhakai Allah, kedua karena aku telah menghancurkan hati ayahku dengan memaksanya memukul buah hatinya yang ia cintai, yaitu aku.”

Kisah yang ditulis Dr Fadl dalam Daurah Sautiyah Fii Tarbiyah tersebut memberi inspirasi tentang cara memberikan hukuman pada seorang anak. Islam tidak seperti Barat yang dengan humanismenya membabi buta melakukan pelarangan terhadap bentuk hukuman fisik. Di negeri yang menganut kebebasan itu, banyak anak yang berhasil menjebloskan orangtuanya ke penjara karena alasan kekerasan, apapun bentuk dan alasannya.

 

Juga kisah lainnya dari Mahatma Gandhi…

Dr. Arun Gandhi cucu dari mendiang Mahatma Gandhi pernah menceritakan satu kisah dalam hidupnya yang sungguh mengesankan sebagai berikut.

“Ketika itu usia saya kira-kira 16 tahun dan saya tinggal bersama kedua orang tua di sebuah lembaga yang didirikan oleh kakek saya, Mahatma Gandhi.

Kami tinggal disebuah perkebunan tebu kira-kira 18 mil jauhnya dari kota Durban, Afrika Selatan. Rumah kami jauh dari pelosok desa terpencil sehingga hampir tidak memiliki tetangga. Oleh karena itu saya dan kedua saudara perempuan saya sangat senang sekali bila ada kesempatan untuk bisa pergi kepusat kota, untuk sekedar mengunjungi rekan atau terkadang menonton film dibioskop.

Pada suatu hari kebetulan ayah meminta saya menemani beliau kekota untuk menghadiri suatu konferensi selama seharian penuh. Bukan main girangnya saya saat itu.

Karena ibu tahu kami hendak ke kota maka ibu menitipkan daftar panjang belanjaan yang ia butuhkan, disamping itu ayah juga memberikan beberapa tugas kepada saya, termasuk salah satunya adalah memperbaiki mobil di bengkel.

Pagi itu setelah kami tiba ditempat konferensi, ayah berkata kepada saya: “Arun, jemput ayah disini ya, nanti jam 5 sore….dan kita akan pulang bersama-sama.”

“Baik ayah, saya akan berada disini tepat jam 5 sore,” jawab saya dengan penuh keyakinan.

Setelah itu saya segera meluncur untuk menyelesaikan tugas yang dititipkan ayah dan ibu kepada saya satu persatu. Sampai akhirnya hanya tinggal satu pekerjaan yang tersisa yakni menunggu mobil selesai dari bengkel.

Sambil menunggu mobil diperbaiki tidak ada salahnya saya mengisi waktu senggang dengan pergi ke bioskop menonton sebuah film. Saking asyiknya nonton ternyata saat saya melihat jam, waktu sudah menunjukkan pukul 17:30, sementara saya janji menjemput ayah pukul 17:00.

Segera saja saya melompat dan buru-buru menuju bengkel untuk mengambil mobil, dan segera menjemput ayah yang sudah hamper satu jam menunggu.

Saat saya tiba sudah hampir pukul 18:00 sore. Dengan gelisah ayah bertanya pada saya, “Arun! Kenapa kamu terlambat menjemput ayah?”

Saat itu saya merasa bersalah dan sangat malu untuk mengakui bahwa saya tadi keasyikan nonton film, sehingga saya terpaksa berbohong dengan mengatakan, “Maaf ayah, tadi mobilnya belum selesai diperbaiki sehingga Arun harus menunggu.”

Ternyata tanpa sepengetahuan saya, ayah sudah terlebih dahulu menelpon bengkel mobil tersebut, sehingga ayah tahu jika saya berbohong.

Lalu ayah tertunduk sedih; sambil menatap saya ayah berkata; “Arun, sepertinya ada sesuatu yang salah dengan ayah dalam mendidik dan membesarkan kamu, sehingga kamu tidak punya keberanian untuk berbicara jujur kepada ayah. Untuk menghukum kesalahan ayah ini, biarlah ayah pulang dengan berjalan kaki; sambil merenung dimana letak kesalahannya.”

Lalu dengan tetap masih berpakaian lengkap ayah mulai berjalan kaki menuju jalan pulang kerumah.

Padahal hari sudah mulai gelap dan saya tidak sampai hati meninggalkan ayah sendirian seperti itu; meskipun ayah telah ditawari naik, beliau tetap berkeras untuk terus berjalan kaki, akhirnya saya mengendarai mobil pelan-pelan dibelakang beliau, dan tak terasa air mata saya menitik melihat penderitaan yang dialami beliau hanya karena kebohongan bodoh yang telah saya lakukan.

Sungguh saya begitu menyesali perbuatan saya tersebut. Sejak saat itu seumur hidup, saya selalu berkata jujur pada siapapun.

Sering sekali saya mengenang kejadian itu dan merasa begitu terkesan; seandainya saja saat itu ayah menghukum saya sebagaimana pada umumnya orang tua menghukum anaknya yang berbuat salah; kemungkinan saya akan menderita atas hukuman itu; dan mungkin hanya sedikit saja menyadari kesalahan saya.

Tapi dengan satu tindakan mengevaluasi diri yang dilakukan ayah; meskipun tanpa kekerasan justru telah memiliki kekuatan yang luar biasa untuk bisa mengubah diri saya sepenuhnya.

Dalam Islam dibolehkan melakukan pukulan ketika anak meninggalkan shalat di usia 10 tahun, sebagaimana sabda Nabi SAW, “Perintahkan anak-anak kalian untuk melakukan shalat saat usia mereka tujuh tahun, dan pukulah mereka saat usia sepuluh tahun. Dan pisahkan tempat tidur mereka.” (Riwayat Ahmad dan Abu Daud).

Islam sangat ketat membatasi pelaksanaan hukuman pada anak-anak. Rasulullah SAW jarang sekali dikisahkan memberi hukuman fisik pada anak kandung juga anak-anak Sahabat, justru sangat memuliakan mereka.

Syaikh Muhammad Shalih al-Munajid mengatakan, “Hendaknya diketahui, dalam perjalanan hubungan bapak dengan anak-anaknya dan pengajarannya bahwa bapak memukul anaknya semata-mata bertujuan agar ia taat kepada Allah dan Rasul-Nya. Tujuannya untuk kebaikannya secara sempurna dan perhatiannya dalam mendidiknya sesuai ketentuan syari’ agar jangan sampai timbul perasaan benci sang anak terhadap perkara syar’i yang berat ia lakukan dan karena meninggalkannya ia dipukul.”

Jelaslah bahwa memukul anak seharusnya didorong oleh kasih sayang, bukan karena emosi kemarahan. Sebagaimana kisah tersebut, dampak ekspresi kasih sayang sang ayah jauh lebih melekat di hatinya ketimbang pukulan di tangannya. Wallahu a’lam bis shawab.* Penulis buku ‘Mendidik Karakter dengan Karakter’ HIDAYATULLAH-APRIL 2014

//


SavedURI :Show URLShow URLShow URLShow URLSavedURI :SavedURI :SavedURI :

//


//


//


Leave a comment