MENGHADIAHKAN PAHALA UNTUK MAYIT


MENGHADIAHKAN PAHALA UNTUK MAYIT

Ada dua dalil yang sering digunakan oleh sebagian pihak untuk menyatakan bahwa ketika seorang hamba telah meninggal, maka dia telah terputus untuk mendapatkan kemanfaatan secara mutlak, baik dari dirinya sendiri ataupun orang lain yang masih hidup. Dua dalil tersebut adalah ;

(Pertama) firman Allah Ta’ala : “Sesungguhnya manusia tidak akan mendapatkan kecuali apa yang pernah dia usahakan.” (QS. An-Najm : 39). (Kedua), hadis Nabi Saw : “Apabila anak Adam meninggal dunia, maka terputus amalannya kecuali tiga perkara ; sedekah jariyah, ilmu yang dimanfaatkan, dan anak yang shalih yang mendoakannya.”(HR. Muslim)

Padahal, dua dalil di atas sifatnya ‘ammul makhshus. Artinya, dalil yang asal maknanya menunjukkan kepada keumuman akan tetapi telah dikhususkan oleh dalil-dalil lain. Memang benar, bahwa secara tekstual, dua dalil di atas seakan meniadakan kemanfaatan untuk seorang insan yang telah meninggal secara mutlak. Namun dalil-dalil lain menunjukkan, bahwa yang ditiadakan di situ hanyalah kemanfaatan yang dia usahakan sendiri. Sebab, dengan kematiannya, dia sudah tidak mampu melakukan amalan sama sekali.

Adapun kemanfaatan dari usaha orang lain yang masih hidup, maka masih bisa. Oleh karena itu, para ulama Ahlus Sunah sepakat, bahwa mayit bisa mengambil manfaat dari orang yang masih hidup dalam dua perkara ; (1). Sesuatu yang dia dulu menjadi sebab akan terwujudnya hal tersebut, seperti tiga hal yang disebutkan dalam hadis di atas. (2). Doa, istighfar, sedekah dan haji dari orang lain yang ditujukan untuk dirinya.

Adapun dalam masalah ibadah badaniyyah, seperti shalat, puasa, membaca Quran dan dzikir, apakah bisa sampai untuk mayit atau tidak, maka para ulama berbeda pendapat. Jumhur (mayoritas) ulama Salaf berpendapat sampai. Sebab, dalil-dalil yang sekilas meniadakan kemanfaat secara mutlak, sifatnya telah dikhususkan oleh dalil lain. Jadi, yang dinafikan hanyalah perkara yang diusahakan mayit sendiri. Adapun usaha orang lain, maka tidak termasuk dinafikan.

Orang yang beramal itu memiliki apa yang dia amalkan. Bisa saja pahala amalannya dia berikan kepada orang lain, atau tetap dia niatkan untuk dirinya sendiri. Itu hak dia.

Sekali lagi kami sampaikan, bahwa pendapat yang menyatakan sampainya ibadah badaniyyah kepada mayit (termasuk dalam hal ini hadiah bacaan Quran) adalah pendapat jumhur ulama, bahkan bisa dikatakan pendapat empat mazhab. Walaupun khusus untuk mazhab syafi’i dalam bentuk yang agak sedikit berbeda dari tiga mazhab lainnya (Hanafi, Maliki, Hanbali), tapi subtansinya sama, yaitu bisa sampai ke mayit. (Lain waktu kita bahas masalah ini secara khusus ditinjau dari kaca mata mazhab Syafi’i, insya Allah).

Simak : Syarah Shahih Muslim (11/85), Risalah Ahlus Sunah wal Jama’ah (39 – 40)

Semoga bermanfaat.

(Abdullah Al-Jirani)

Leave a comment