𝗧𝗔𝗞𝗕𝗜𝗥 𝗗𝗔𝗡 𝗚𝗘𝗥𝗔𝗞𝗔𝗡 𝗔𝗣𝗔𝗞𝗔𝗛 𝗛𝗔𝗥𝗨𝗦 𝗕𝗘𝗥𝗜𝗥𝗜𝗡𝗚𝗔𝗡 ?


𝗧𝗔𝗞𝗕𝗜𝗥 𝗗𝗔𝗡 𝗚𝗘𝗥𝗔𝗞𝗔𝗡 𝗔𝗣𝗔𝗞𝗔𝗛 𝗛𝗔𝗥𝗨𝗦 𝗕𝗘𝗥𝗜𝗥𝗜𝗡𝗚𝗔𝗡 ?

Maaf kiyai izin bertanya, ketika kita mengucapkan takbir, baik itu takbiratul ihram atau takbir ketika perpindahan dalam gerakan shalat, apakah harus bersamaan dengan gerak atau boleh tidak bersamaan ? Ada juga yang memanjangkan takbir sedemikian rupa. Mohon jawabannya.

𝗝𝗮𝘄𝗮𝗯𝗮𝗻

Oleh : Ahmad Syahrin Thoriq

Ada beberapa hadits yang dzahirnya menunjukkan ada tiga pilihan cara bertakbir dengan gerakan shalatnya, khususnya dalam takbiratul ihram dengan gerakan mengangkat tangannya, yakni sebagai berikut.

𝗣𝗲𝗿𝘁𝗮𝗺𝗮 : 𝗕𝗲𝗿𝘁𝗮𝗸𝗯𝗶𝗿 𝘁𝗲𝗿𝗹𝗲𝗯𝗶𝗵 𝗱𝗮𝗵𝘂𝗹𝘂 𝗸𝗲𝗺𝘂𝗱𝗶𝗮𝗻 𝗺𝗲𝗻𝗴𝗮𝗻𝗴𝗸𝗮𝘁 𝗸𝗲𝗱𝘂𝗮 𝘁𝗮𝗻𝗴𝗮𝗻.

إِذَا صَلَّى كَبَّرَ، ثُمَّ رَفَعَ يَدَيْهِ

“Jika beliau shalallahu’alaihi wassalam shalat maka beliau bertakbir kemudian mengangkat kedua tangannya.” (HR. Muslim)

𝗞𝗲𝗱𝘂𝗮 : 𝗠𝗲𝗻𝗴𝗮𝗻𝗴𝗸𝗮𝘁 𝗸𝗲𝗱𝘂𝗮 𝘁𝗮𝗻𝗴𝗮𝗻 𝘁𝗲𝗿𝗹𝗲𝗯𝗶𝗵 𝗱𝗮𝗵𝘂𝗹𝘂 𝗸𝗲𝗺𝘂𝗱𝗶𝗮𝗻 𝗯𝗲𝗿𝘁𝗮𝗸𝗯𝗶𝗿.

رَفَعَ يَدَيْهِ حَتَّى تَكُونَا حَذْوَ مَنْكِبَيْهِ، ثُمَّ كَبَّرَ

“Beliau shalallahu’alaihi wassalam mengangkat kedua tangannya hingga sejajar dengan kedua pundaknya, kemudian beliau bertakbir.” (HR. Muslim)

𝗞𝗲𝘁𝗶𝗴𝗮 : 𝗠𝗲𝗻𝗴𝗮𝗻𝗴𝗸𝗮𝘁 𝘁𝗮𝗻𝗴𝗮𝗻 𝗯𝗲𝗿𝘀𝗮𝗺𝗮𝗮𝗻 𝗱𝗲𝗻𝗴𝗮𝗻 𝘁𝗮𝗸𝗯𝗶𝗿.
فَرَفَعَ يَدَيْهِ حِينَ يُكَبِّرُ حَتَّى يَجْعَلَهُمَا حَذْوَ مَنْكِبَيْهِ

“Maka beliau shalallahu’alaihi wassalam mengangkat kedua tangannya ketika bertakbir hingga beliau menyejajarkan kedua tangannya dengan kedua pundaknya.” (HR. Bukhari)

𝗣𝗲𝗻𝗱𝗮𝗽𝗮𝘁 𝘂𝗹𝗮𝗺𝗮

Dalam memahami hadits-hadits di atas ulama mazhab berbeda pendapat, yakni dalam memandang apakah ada yang afdhal dari tiga cara tersebut dalam masalah takbiratul ihram.

Sebagian mengatakan tidak ada, semua cara di atas bisa diamalkan sebagai pilihan, sedangkan yang kelompok ulama yang lain menyatakan, meski semuanya boleh, tapi ada yang lebih utama untuk dilakukan dari yang lain. Berikut rinciannya :

A. Madzhab Hanafi

Dalam tuntunan shalat madzhab Hanafi, ketika takbiratul ihram yang dilakukan adalah mengangkat tangan duluan lalu mengucapkan lafadz takbir. Berkata al imam Az Zaila’i rahimahullah :

والأصح أنه يرفع أولا، ثم يكبر؛ ‌لأن ‌في ‌فعله ‌نفي ‌الكبرياء ‌عن ‌غير ‌الله ‌تعالى

“Yang shahih (dalam pendapat Hanafiyah) Adalah mengangkat kedua tangan duluan kemudian bertakbir. Karena dalam perbuatan seperti ini untuk menghilangkan keagungan dari selain Allah ta’ala.”[1]

B. Madzhab Maliki

Dalam Madzhab Malikiyah dijelaskan bahwa mengangkat tangan adalah ketika sudah bertakbir. Berkata Abu Bakar bin Hasan al Kasynawi al Maliki :

رفع اليدين ‌عند ‌الشروع ‌في ‌تكبيرة ‌الإحرام فقط حتى تقابل الأذنين أو المنكبين

“Mengangkat tangan itu ketika berlangsungnya takbiratul ihram saja hingga sejajar dengan kedua telinga atau kedua pundak.”[2]

C. Madzhab Syafi’i

Kalangan Madzhab Syafi’i berpendapat bahwa ada lima cara yang bisa digunakan. Ini merupakan pecahan dari tiga point di atas, namun yang afdhal adalah bersamaan suara takbir dengan gerakan. Berkata al imam Nawawi rahimahullah kaitannya dengan takbiratul ihram :

‌ولأصحابنا ‌فيه ‌أوجه ‌أحدها ‌يرفع ‌غير ‌مكبر ‌ثم ‌يبتدئ ‌التكبير ‌مع ‌إرسال اليدين وينهيه مع انتهائه والثاني يرفع غير مكبر ثم يكبر ويداه قارتان ثم يرسلهما والثالث يبتدئ الرفع من ابتدائه التكبير وينهيهما معا والرابع يبتدئ بهما معا وينهي التكبير مع انتهاء الإرسال والخامس وهو الأصح يبتدئ الرفع مع ابتداء التكبير ولا استحباب في الانتهاء فإن فرغ من التكبير قبل تمام الرفع أو بالعكس تمم الباقي

“Dan menurut mazhab shahabat-shahabat kami (Syafi’iyyah) ada beberapa cara :

  1. Mengangkat kedua tangan dahulu lalu memulai takbir sedangkan kedua tangan sudah mulai turun, dan selesai turunnya bersamaan dengan selesai takbir.
  2. Mengangkat tangan tanpa bertakbir, lalu bertakbir dalam keadaan kedua tangannya diam atau berhenti kemudian melepaskan keduanya.
  3. Memulai mengangkat tangan lalu mulai bertakbir, dan menyelesaikannya bersamaan (yakni hingga tangan disedekapkan)
  4. Memulai keduanya bersamaan dan mengakhiri takbir bersamaan dengan selesai turunnya kedua tangan.
  5. Dan ini yang paling benar, memulai mengangkat bersamaan dengan permulaan takbir, dan tidak ada penentuan perihal model mengakhiri keduanya (takbir dan mengangkat kedua tangan). Jadi, jika ia selesai bertakbir sebelum selesainya mengangkat tangan atau sebaliknya maka ia tinggal menyempurnakan yang tersisa dari salah satunya.[3]

Jadi pendapat yang terpilih dalam madzhab ini adalah lafadz takbir bersamaan dengan dimulainya gerakan tangan hingga selesai.[4]

D. Madzhab Hanbali

Madzhab Hanbali dalam hal ini serupa dengan kalangan Syafi’iyyah.[5] Berkata al Imam Ibnu Qudamah al Madisi rahimahullah :

ويكون ‌ابتداء رفعه عند ‌ابتداء تكبيره، وانتهاؤه عند انتهائه

“Dan hendaknya memulai mengangkat tangan ketika dimulainya pengucapan lafadz takbir. Dan berhenti saat telah selesainya ucapan takbir.”[6]

𝗧𝗮𝗸𝗯𝗶𝗿 𝗶𝗻𝘁𝗶𝗾𝗮𝗹 (𝗽𝗲𝗿𝗽𝗶𝗻𝗱𝗮𝗵𝗮𝗻 𝗽𝗼𝘀𝗶𝘀𝗶 𝘀𝗵𝗮𝗹𝗮𝘁)

Terjadi perbedaan pendapat juga di kalangan ulama dalam masalah mengucapkan takbir intiqal, yakni apakah lafadz takbir ini dipanjangkan agar bersesuaian dengan gerakan shalat seperti ketika akan sujud dan ketika akan bangkit ke raka’at selanjutnya ataukah cukup dibaca pendek.

𝟭. 𝗣𝗲𝗻𝗱𝗮𝗽𝗮𝘁 𝘆𝗮𝗻𝗴 𝗺𝗲𝗻𝘀𝘂𝗻𝗻𝗮𝗵𝗸𝗮𝗻 𝗱𝗶𝗯𝗮𝗰𝗮 𝗽𝗮𝗻𝗷𝗮𝗻𝗴

Mayoritas ulama madzhab dari kalangan Hanafiyah, Malikiyah dan pendapat yang kuat dari madzhab Syafi’iyyah adalah menyatakan disunnahkan untuk mengiringi gerakan shalat dengan bacaan takbir dan dzikirnya.[7] Kalangan ini berdalil dengan hadits berikut :

كان إِذَا قَامَ إِلَى الصَّلَاةِ يُكَبِّرُ حِينَ يَقُومُ ثُمَّ يُكَبِّرُ حِينَ يَرْكَعُ

“Dahulu jika Nabi mendirikan shalat beliau bertakbir saat berdiri kemudian bertakbir saat ruku’.” (Muttafaqun ‘alaih)

Dari Abu Salamah bahwa ia berkata tentang Abu Hurairah :

كَانَ يُكَبِّرُ فِي كُلِّ صَلَاةٍ مِنَ الْمَكْتُوبَةِ وَغَيْرِهَا يُكَبِّرُ حِينَ يَقُومُ، ثُمَّ يُكَبِّرُ حِينَ يَرْكَعُ، ثُمَّ يَقُولُ: سَمِعَ اللَّهُ لِمَنْ حَمِدَهُ، ثُمَّ يَقُولُ: رَبَّنَا وَلَكَ الْحَمْدُ قَبْلَ أَنْ يَسْجُدَ، ثُمَّ يَقُولُ: اللَّهُ أَكْبَرُ حِينَ يَهْوِي سَاجِدًا، ثُمَّ يُكَبِّرُ حِينَ يَرْفَعُ رَأْسَهُ، ثُمَّ يُكَبِّرُ حِينَ يَسْجُدُ، ثُمَّ يُكَبِّرُ حِينَ يَرْفَعُ رَأْسَهُ، ثُمَّ يُكَبِّرُ حِينَ يَقُومُ مِنَ الْجُلُوسِ فِي اثْنَتَيْنِ

“Abu Hurairah) selalu bertakbir di setiap shalat wajib maupun shalat sunnah, dia bertakbir ketika berdiri, bertakbir ketika ruku’ kemudian mengucapkan; “Sami’allaahu liman hamidah” Lalu mengucapkan; “Rabbana walakal hamdu ” yaitu sebelum sujud.

Setelah itu dia mengucapkan; “Allahu akbar” ketika tersungkur sujud, bertakbir ketika bangun dari sujud, bertakbir ketika sujud (kedua), bertakbir ketika bangun dari sujud, bertakbir ketika bangun dari duduknya pada raka’at kedua, yang demikian itu di lakukannya pada setiap raka’at hingga selesai shalat…” (HR. Abu Dawud)

Al imam al ‘Aini al Hanafi ketika menjelaskan hadits di atas berkata :

دليل على مقارنة التكبير لهذه الحركات، وبسطه عليها

“Ini adalah dalil untuk membersamakan antara takbir dengan gerakan, dan memanjangkan atasnya lafadz.”[8]

Al imam Nawawi rahimahullah juga berkata :

هذا دليل على مقارنة التكبير لهذه الحركات وبسطه عليها فيبدأ بالتكبير حين يشرع في الانتقال إلى الركوع ويمده حتى يصل حد الراكعين … ويبدأ بالتكبير حين يشرع في الهوي إلى السجود ويمده حتى يضع جبهته على الأرض… ويشرع في التكبير للقيام من التشهد الأول حين يشرع في الانتقال ويمده حتى ينتصب قائما

“Keterangan Abu Hurairah bahwa ‘Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bertakbir ketika turun sujud, kemudian bertakbir ketika bangkit…’ ini menunjukkan bahwa takbir itu mengiringi gerakan-gerakan tersebut. Dan dilakukan sepanjang gerakan perpindahan tersebut.

Takbir dimulai ketika seseorang mulai bergerak untuk ruku’, dipanjangkan sampai dia di posisi ruku’ dia mulai takbir ketika hendak turun sujud, lalu dipanjangkan, hingga dia letakkan dahinya di tanah dan takbir bangkit dari tasyahud awal dimulai ketika bergerak, dipanjangkan hingga tegak berdiri sempurna. [9]

Al Imam Subki Asy Syafi’i rahimahullah berkata :

هذا الحديث دليل على مقارنة التكبير لهذه الحركات وبسطه عليها فيبدأ بالتكبير حين يشرع في الانتقال إلى الركوع ‌ويمدّه ‌حتى ‌يصل ‌حدّ ‌الراكعين

“Hadits ini menjadi dalil untuk membersamakan antara takbir dengan gerakan, dan memanjangkan atasnya lafadz. Di mulai bertakbir ketika mulai bergerak hingga ruku’ dan dipanjangkan sampai ke batasan orang yang ruku’ secara sempurna.”[10]

Imam Al ‘Imrani al Yamani Asy Syafi’i rahimahullah juga berkata, “Disunnahkan memulai takbir ketika akan turun sujud hingga akhir takbir adalah saat awal sujud … disunnahkan memanjangkan takbirnya agar tidak lepas dari dzikir sebagaimana dalam perbuatan shalat yang lain.”[11]

𝟮. 𝗣𝗲𝗻𝗱𝗮𝗽𝗮𝘁 𝘆𝗮𝗻𝗴 𝗺𝗲𝗻𝘀𝘂𝗻𝗻𝗮𝗵𝗸𝗮𝗻 𝘁𝗲𝘁𝗮𝗽 𝗱𝗶𝗯𝗮𝗰𝗮 𝗽𝗲𝗻𝗱𝗲𝗸

Sedangkan sebagian kalangan Syafi’iyyah dan Hanabilah berpendapat bahwa tidak ada kesunnahan memanjangkan mad (yang biasanya hingga mencapai tujuh harakat bahkan lebih). Dari Syafi’iyyah diantaranya adalah al imam Ibnu Hajar al Asqalani rahimahullah, beliau berkata :

ودلالة ‌هذا ‌اللفظ ‌على ‌البسط ‌الذي ‌ذكره ‌غير ‌ظاهرة

“Lafadz hadits ini tidaklah menunjukkan adanya anjuran memanjangkan dzikir (takbir intiqal).”[12]

Berkata al imam Ibnu Qudamah al Hanbali :

ويستحب حذف السلام، وهو ألا يمد بطوله

“Dan disunnahkan untuk memendekkan salam, yakni tidak memanjangkannya.”[13]

Dalil pendapat tidak perlunya memanjangkan dzikir seperti takbir, salam dan lainnya dengan tujuan membersamai gerakan adalah hadits dari Abu Hurairah, ia berkata :

حَذْفُ السَّلَامِ سُنَّةٌ

“Memendekkan salam adalah sunnah.” (HR. Abu Dawud)

Juga hadits Nabi yang berbunyi :

التَّكْبِيرُ جَزْم وَالتَّسْلِيمُ جَزْمٌ

“Takbir itu pendek, salam juga pendek.” (Hr. Tirmidzi)

Kalangan Hanabilah menafsirkan kata “Hadzfu as salam” dari ucapan Abu Hurairah radhiyallahu’anhu itu dengan makna tidak memanjangkan bacaannya. Sebagaimana dinukil dari Abdullah bin Mubarak rahimahullah beliau berkata :

معناه أن لا يمد مدا

“Maknanya adalah tidak memanjangkan madnya.”[14]

Sedangkan kalangan Syafi’iyyah membantah balik dengan menyatakan bahwa kedua dalil di atas tidak bisa dijadikan hujjah karena lemah bahkan hadits kedua tidak ada asalnya. Uniknya yang membantah adalah Ibnu Hajar Sendiri, yang notabene mendukung pendapat “bacaan takbir tidak dipanjangkan.

Subhanallah, disinilah kita mendapatkan pelajaran berharga, betapa jujur dan adilnya orang-orang dulu dalam mengemban amanah ilmu.Tidak seperti kebanyakan kita hari ini, mentang-mentang kalau dari kelompoknya, salah benar tetap dibela dan dicarikan dalih pembenarannya.

Berkata al imam al Hafidz Ibnu Hajar al Asqalani :

لا أصل له بهذا اللفظ، وإنما هو قول إبراهيم النخعي حكاه الترمذي عنه، ومعناه عند الترمذي وأبي داود والحاكم من حديث أبي هريرة بلفظ “‌حذف ‌السلام ‌سنة” وقال الدارقطني في العلل: الصواب موقوف، وهو من رواية قرة بن عبد الرحمن وهو ضعيف اختلف فيه

Lafadz ini tidak ada asalnya. Dia sebenarnya adalah ucapan al imam Ibrahim an Nakha’i yang diriwayatkan oleh imam Tirmidzi. Dan makna (hadits lainnya) dari Abu Hurairah ‘memendekkan salam itu sunnah’ telah berkata al imam Daraquthni dalam al Ilalnya : hadits ini Mauquf, diriwayatkan dari Qurrah bin Abdirrahman dan dia lemah serta diperselisihkan.”[15]

Demikian. Wallahu a’lam.


[1] Tabyin al Haqaiq (1/109)
[2] Ashal al Madarik (1/215)
[3] Syarah Shahih Muslim (4/94)
[4] Fiqih al Islami wa Adillatuhu (2/870)
[5] Ibid
[6] Al Mughni li Ibni Qudamah (1/358)
[7] Al Mausu’ah al Fiqhiyyah Kuwaitiyyah (13/208)
[8] Syarah Sunan Abi Dawud li ‘Aini (4/20)
[9] Syarah Shahih Muslim (7/64
[10] Syarh Sunan Abi Daud li Subki (5/271)
[11] Al Bayan fii Madzhab Imam Asy Syafi’i (2/215)
[12] Fath al Bari (2/273)
[13] Al Mughni li Ibn Qudamah (1/399)
[14] Syarah Muntaha al Iradat (2/165)
[15] At Talkhis (1/225)

Leave a comment