Sikap Para Ulama Kepada Penguasa pun Berbeda beda


Sikap Para Ulama Kepada Penguasa pun Berbeda beda
Yendri Junaidi

Setelah diangkat menjadi khalifah, Abu Ja’far al Manshur mendapat informasi yang tidak menyenangkan tentang tiga orang ulama besar di masa itu ; Ibnu Abi Dzi’b, Malik bin Anas dan Ibnu Sam’an. Karena itu, secara tiba-tiba ia mengundang mereka datang ke istana di malam hari. Dari ketiga orang itu yang terakhir datang adalah Imam Malik. Saat ia datang, ia melihat Ibnu Abi Dzi’b dan Ibnu Sam’an sudah lebih dahulu tiba. Di atas kepala mereka sudah disiapkan pedang yang tajam dan siap bekerja jika diperlukan.
Khalifah menyuruh Imam Malik untuk duduk. Lalu ia berkata : “Wahai para fuqaha, ada hal yang sampai padaku yang tidak menyenangkan hatiku. Seharusnya kalian para ulama adalah orang yang paling bisa menjaga lidah dan patuh pada orang yang telah diangkat menjadi pemimpin.”
Imam Malik berkata, “Wahai Amirul Mukminin, sesungguhnya Allah Swt berfirman: “Hai orang-orang yang beriman, jika datang padamu orang fasik membawa berita maka tabayyunlah…”.
Khalifah berkata, “Karena itulah aku mengundang kalian malam ini. Sekarang sampaikan padaku, bagaimana aku dalam pandangan kalian? Apakah aku termasuk pemimpin yang adil atau zalim?”
Malik berkata, “Aku bermohon untuk tidak berbicara tentang hal ini.” Khalifah berkata, “Engkau aku bolehkan tidak berkomentar.”
Kemudian Khalifah menoleh ke arah Ibnu Sam’an.
“Bagaimana aku menurutmu?” Ibnu Sam’an menjawab, “Engkau orang terbaik; haji ke baitullah, berjihad melawan musuh, mengamankan jalanan, orang lemah merasa aman dari cengkeraman orang kaya, dan agama pun tegak. Semua berkat jasamu. Engkau tokoh terbaik dan pemimpin yang paling adil.”
Kemudian Khalifah menoleh ke arah Ibnu Abi Dzi’b dan berkata, “Bagaimana aku dalam pandanganmu?”
Ibnu Abi Dzi’b berkata, “Demi Allah, dalam pandanganku engkau adalah orang yang paling buruk; engkau kuasai harta Allah dan Rasul-Nya jatah karib-kerabat, anak yatim dan orang miskin, engkau tindas orang lemah dan engkau beri beban orang kaya serta engkau tahan harta mereka. Apa jawabanmu nanti di hadapan Allah?”
Mendengar itu Abu Ja’far marah dan berkata, “Celaka engkau, hati-hati kalau bicara. Apa engkau sudah gila? Lihat apa di depanmu!”
Ia berkata, “Ya, aku melihat pedang terhunus. Paling-paling mati, dan mati itu tak dapat dihindari, cepat atau lambat. Mungkin cepat lebih baik.”


Setelah itu keduanya diizinkan pulang. Tinggallah Malik dengan Abu Ja’far al Manshur. Abu Ja’far berkata, “Aku mencium aroma kafan dari darimu.”
Malik menjawab, “Ketika utusanmu datang malam-malam, aku mengira akan dibunuh maka aku pun mandi, memakai wewangian dan mengenakan kafan.”
Khalifah berkata, “Subhanallah, tidak akan mungkin aku merubuhkan agama ini. Sekarang pulanglah ke rumahmu.”


Keesokan harinya Abu Ja’far memerintahkan polisinya untuk membawa tiga kantong berisi dinar kepada masing-masing ulama itu. Ia berpesan pada polisi itu untuk memotong kepala Ibnu Abi Dzi’b andai ia menerima uang itu dan memotong kepala Ibnu Sam’an jika ia menolaknya. Adapun Malik terserah ia, mau diterima atau tidak.
Ibnu Sam’an menerima uang itu dan ia pun selamat. Ibnu Abi Dzi’b menolak uang itu dan ia pun selamat. Sementara Malik menerimanya karena ia sedang butuh.


Imam Malik tidak akan mungkin mengatakan Abu Ja’far seorang pemimpin yang adil. Tapi ia tidak seterus-terang Ibnu Abi Dzi’b. Ini menjadi satu kelebihan bagi Ibnu Abi Dzi’b. Karena itu Imam Syafi’i sangat menyesal tidak bisa bertemu dengan tokoh seperti Ibnu Abi Dzi’b.
Ibnu Abi Dzi’b dikenal cukup keras dalam berpendapat. Ia bahkan pernah menilai Imam Malik kafir hanya karena khiyar majelis. Tapi kerasnya Ibnu Abi Dzi’b tidak hanya pada masalah furu’ fiqih, namun juga terhadap penguasa yang zhalim. Berbeda dengan sebagian orang yang sangat keras dalam furu’ fiqih tapi tak bersuara terhadap ketidakadilan penguasa.


Mungkin ada yang mencibir sikap Ibnu Sam’an yang ‘menjilat’ penguasa. Tapi walau demikian, ia tetap masih lebih mending daripada para penjilat masa sekarang yang di depan penguasa memuji setinggi langit tapi di belakang menjadikan mereka objek gunjingan dan merasa jadi orang bersih. Ibnu Sam’an memang memuji penguasa. Tapi ia tidak munafik dengan menolak bantuan dari mereka.


Apapun sikap yang dipilih, itu hak masing-masing. Tapi bagaimanapun juga, konsistensi itu tetap lebih terhormat. Sementara kemunafikan itu memang menjijikkan.
والله تعالى أعلم وأحكم
[YJ]

Leave a comment