TATA CARA SHALAT DI KENDARAAN


Dengan semakin banyaknya manusia mengadakan perjalanan di muka bumi ini maka sudah selayaknya kita sebagai seorang muslim belajar tentang sholat di kendaraan. Para ulama berbeda pendapat tentang boleh tidaknya shalat di atas kendaraan terutama berkaitan dengan shalat wajib.

Diriwayatkan dari Amir bin Rabi’ah berkata,”Aku menyaksikan Rasulullah saw mengerjakan shalat diatas kendaraannya dengan menggerakkan kepalanya menghadap ke arah kendaraannya mengarah namun beliau saw tidaklah melakukan hal yang sama pada shalat wajib.” (Muttafaq Alaih).

Imam Syafi’i menyatakan sah shalat wajib diatas kendaraan dengan beberapa persyaratan. Jika dimungkinkan maka ia mengarahkannya ke arah kiblat, berdiri, ruku’, sujud diatas kendaraannya yang berhenti maka boleh baginya shalat wajib namun apabila kendaraan itu sedang berjalan maka tidak sah shalat fardhunya, ini adalah pendapat yang berasal dari Syafi’i, ada yang menyebutkan bahwa shalat wajibnya sah sebagaimana shalat diatas perahu menurut ijma.

Imam Nawawi mengatakan bahwa boleh mengerjakan shalat sunnah diatas kendaraan pada saat safar menghadap kearah kendaraannya mengarah, ini boleh menurut ijma para ulama dengan syarat safar yang dilakukannya bukanlah untuk maksiat. Karena didalam safar maksiat tidak dibolehkan rukhshoh (keringanan) sedikit pun, seperti orang yang bersafar untuk merampok, membunuh orang lain, durhaka kepada orang tuanya, seorang budak yang lari dari tuannya atau durhaka terhadap suami, namun (di berikan rukhshoh) untuk bertayammum.” (Shahih Muslim bi Syarhin Nawawi juz V hal 294 – 295). Selain itu, Imam Nawawi mengatakan bahwa ijma tidak dibolehkannya shalat wajib diatas kendaraan.

Sebagian Ahlul ilmi dari golongan Maliki berpendapat tidak sah melaksanakannya di dalam pesawat, karena syarat sahnya shalat adalah diatas tanah atau di atas sesuatu yang berhubungan langsung dengan tanah, seperti kendaraan atau kapal, hal ini berdasarkan sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Adapun jika ia mengetahui bahwa ia akan tiba sebelum habisnya waktu shalat sekitar beberapa saat yang cukup untuk melaksanakannya, atau shalatnya termasuk yang bisa dijama’ dengan shalat lainnya, seperti shalat Zhuhur dengan Ashar atau Maghrib dengan Isya, atau ia tahu bahwa pesawat akan landing sebelum habisnya waktu shalat yang kedua, yaitu sekitar beberapa saat yang cukup untuk melaksanakan keduanya, maka para ahlul ilmi membolehkan pelaksanaannya di dalam pesawat karena wajibnya perintah pelaksanaan ketika masuknya waktu shalat.

Dari keterangan tersebut diatas maka setidaknya ada sebuah hal yang perlu diperhatikan adalah:
Jika memungkinkan untuk turun dan mengerjakan shalat di masjid maka itu yang paling utama, karena dalam hadits riwayat Al-Bukhari dan Muslim disebutkan bahwa Rasulullah -shallallahu alaihi wasallam- tidak pernah mengerjakan shalat wajib di atas kendaraan.

Diriwayatkan dari Amir bin Rabi’ah berkata,”Aku menyaksikan Rasulullah saw mengerjakan shalat diatas kendaraannya dengan menggerakkan kepalanya menghadap ke arah kendaraannya mengarah namun beliau saw tidaklah melakukan hal yang sama pada shalat wajib.” (Muttafaq Alaih).

Tapi jika tidak memungkinkan untuk turun -misalnya angkutannya lewat jalan tol atau faktor lainnya-, maka kita bisa melakukan shalat di dalam kendaraan sambil menghadap kiblat (jika memungkinkan) berdasarkan dalil:

يُرِيدُ اللّهُ بِكُمُ الْيُسْرَ وَلاَ يُرِيدُ بِكُمُ الْعُسْرَ

Artinya : “Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu.” (QS. Al Baqoroh : 185)

وَمَا جَعَلَ عَلَيْكُمْ فِي الدِّينِ مِنْ حَرَجٍ

Artinya : “Dia sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam agama suatu kesempitan.” (QS. Al Hajj : 78)

Nah, sekarang bagaimana tata cara shalat dalam kendaraan. Berikut ini ana rangkumkan dari beberapa sumber dan apabila nanti ada kesalahan mohon dikoreksi.

1. Bila memungkinkan untuk berhenti maka sebaiknya dilakukan diluar kendaraan

Dan nasehat para ulama, selama masih memungkinkan kita kerjakan shalat fardhu di luar kendaraan, baik sebelum naik maupun setelah turun, baik pada waktunya atau dijamak dengan shalat lain maka hendaknya tidak shalat fardhu dalam kendaraan.

Berkata Syeikh Muhammad bin Shalih Al-’Utsaimin rahimahullahu:

إذا كان لا يتمكن من أداء الصلاة في الطائرة كما يؤديها على الأرض فلا يصلي الفريضة في الطائرة إذا كان يمكن هبوط الطائرة قبل خروج وقت الصلاة ، أو خروج وقت التي بعدها مما يجمع إليها

“Apabila tidak bisa mengerjakan shalat di pesawat sebagaimana di bumi, maka jangan dia shalat di pesawat jika pesawat mendarat sebelum keluarnya waktu shalat atau keluarnya waktu shalat yang setelahnya yang bisa dijama’ shalat bersamanya.” (Fatawa Arkanil Islam hal:380)

Berkata Syeikh Shalih Al-Fauzan hafizhahullah:

إذا كانت الرحلة بالقطار أو الطائرة تبدأ بعد دخول وقت الظهر أو المغرب؛ فإن المسافر يجمع بين الصلاتين جمع تقديم قبل الركوب، وإن كانت الرحلة تبدأ قبل دخول وقت الصلاة الأولى من الصلوات المذكورة؛ فإن المسافر ينوي جمع التأخير ويصلي الصلاتين إذا نزل، ولو كان نزوله في آخر وقت الثانية، وإن كانت الرحلة تستمر إلى ما بعد خروج وقت الثانية؛ فإن المسافر يصلي في القطار أو الطائرة، في المكان المناسب، على حسب حاله، وكذا صلاة الفجر إذا كانت الرحلة تستمر إلى ما بعد طلوع الشمس؛ فإن المسافر يصليها في القطار أو الطائرة على حسب حاله قال تعالى : { فَاتَّقُوا اللَّهَ مَا اسْتَطَعْتُمْ } سورة التغابن : آية 16 .ويجب على المصلي أن يتجه إلى جهة القبلة أينما كان اتجاه الرحلة؛ لقوله تعالى : { فَوَلِّ وَجْهَكَ شَطْرَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ وَحَيْثُ مَا كُنتُمْ فَوَلُّواْ وُجُوِهَكُمْ شَطْرَهُ } سورة البقرة : آية 144
.

“Apabila keberangkatan kereta atau pesawat setelah masuk waktu Zhuhur atau Maghrib maka seorang musafir hendaklah menjama’ antara 2 shalat dengan jama’ taqdim sebelum naik, dan apabila keberangkatan sebelum waktu shalat yang pertama dari shalat-shalat yang disebutkan tadi (Zhuhur dan Maghrib) maka dia meniatkan jama’ ta’khir, dan melaksanakan 2 shalat tersebut ketika turun, meskipun turunnya ketika di akhir waktu sha
lat yang kedua. Dan apabila perjalanan berlanjut sampai keluarnya waktu shalat yang kedua maka dia shalat di kereta atau pesawat, di tempat yang sesuai, sesuai dengan keadaan dia. Demikian pula shalat shubuh bila perjalanan berlanjut sampai terbit matahari, ,maka hendaklah dia shalat di kereta dan pesawat sesuai dengan keadaannya, Allah ta’aalaa berfirman (yang artinya): “Bertaqwalah kalian kepada Allah sesuai dengan kemampuan kalian”, dan wajib atasnya menghadap qiblat kemanapun arah kendaraan berubah, karena firman Allah (yang artinya): “Maka sungguh Kami akan memalingkan kamu ke kiblat yang kamu sukai. Palingkanlah mukamu ke arah Masjidil Haram. Dan di mana saja kamu berada, palingkanlah mukamu ke arahnya.” (Qs.Al-Baqarah:144) (Al-Muntaqaa min Fataawaa Syeikh Shalih bin Fauzaan 2/140-141 no:159)

untuk risalah jama’ dan qashar bisa dilihat di sini http://mujitrisno.multiply.com/journal/item/603

2. Berusaha menghadap kiblat

Menghadap kiblat termasuk syarat sahnya shalat, sebagaimana firman Allah ta’aalaa:

فَلَنُوَلِّيَنَّكَ قِبْلَةً تَرْضَاهَا فَوَلِّ وَجْهَكَ شَطْرَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ وَحَيْثُ مَا كُنْتُمْ فَوَلُّوا وُجُوهَكُمْ شَطْرَهُ [البقرة/144]

“Maka sungguh Kami akan memalingkan kamu ke kiblat yang kamu sukai. Palingkanlah mukamu ke arah Masjidil Haram. Dan di mana saja kamu berada, palingkanlah mukamu ke arahnya.” (Qs. Al-Baqarah: 144)

Berkata Ibrahim An-Nakha’iy rahimahullah:

يستقبل القبلة كلما تحرفت

“(Orang yang shalat di atas kapal) tetap menghadap qiblat setiap kapal tersebut berpindah arah).” (Dikeluarkan oleh Ibnu Abi Syaibah di dalam Al-Mushannaf 3/189 no:6634)

Berkata Hasan Al-Bashry dan Muhammad bin Siiriin rahimahumallah:

يصلون فيها قياما جماعة، ويدورون مع القبلة حيث دارت

“Mereka shalat berjama’ah di kapal dengan berdiri, dan mereka tetap menghadap qiblat kemanapun kapal berputar.” (Dikeluarkan oleh Ibnu Abi Syaibah di dalam Al-Mushannaf 3/189 no:6637)

3. Dengan Berdiri Apabila Mampu

Dan berdiri bila mampu dalam shalat fardhu termasuk rukun shalat, sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam:

صل قائما فإن لم تستطع فقاعدا فإن لم تستطع فعلى جنب


“Shalatlah dengan berdiri, apabila tidak mampu maka dengan duduk, apabila tidak mampu maka dengan berbaring.” (HR. Al-Bukhary, dari ‘Imran bin Hushain radhiyallahu ‘anhu)

Oleh karena itu, shalat fardhu di kereta apabila masih memungkinkan kita berdiri dan menghadap qiblat maka kita harus berdiri dan menghadap qiblat sebagaimana yang dilakukan para salaf ketika naik kapal, mereka shalat di kapal dengan berdiri menghadap qiblat, dan ketika kapal berubah arah mereka tetap berusaha menghadap qiblat.

4. Bila tidak mampu maka dikerjakan sesuai dengan kemampuan

Namun apabila tidak mampu berdiri atau tidak mampu menghadap qiblat maka kita kerjakan shalat sesuai dengan kemampuan kita. Apabila tidak mampu berdiri maka duduk, apabila tidak mampu ruku dan sujud maka cukup dengan menundukkan badan, dan menjadikan sujudnya lebih rendah daripada ruku’nya. Allah ta’aalaa berfirman:

فَاتَّقُوا اللَّهَ مَا اسْتَطَعْتُمْ [التغابن/16

Maka bertaqwalah kalian kepada Allah sesuai dengan kemampuan kalian.” (Qs. At-Taghaabun: 16)

Allah ta’aalaa juga berfirman:

لَا يُكَلِّفُ اللَّهُ نَفْسًا إِلَّا وُسْعَهَا .

“Allah tidak membebani sebuah jiwa kecuali sesuai dengan kemampuannya.” (Qs. Al-Baqarah: 286)

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

ما نهيتكم عنه فاجتنبوه وما أمرتكم به فافعلوا منه ما استطعتم


“Apa yang aku larang maka hendaklah kalian jauhi, dan apa yang aku perintahkan maka hendaklah kalian kerjakan sesuai dengan kemampuan kalian.” (HR. Muslim, dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu)

Didalam hadits disebutkan bahwa Nabi saw melakukan shalat sunnah sedangkan dia saw berada diatas kendaraannya dan tidak menghadap ke arah kiblat.

Diriwayatkan dari Abdullah bin ‘Amir dari ayahnya berkata,”Aku menyaksikan Nabi saw mengerjakan shalat diatas kendaraannya dengan mengahadap ke arah kemana kendaraannya mengarah.” (HR. Bukhori Muslim)

Berkata Syaikh Muhammad bin Ibrahim rahimahullahu:

تصح الصلاة على الطائرة وهي تطير في الجو، كما تصح الصلاة على الباخرة والسفينة ونحوها. وهذا أَشبه بحال الضرورة. لأَنه لا يستطيع إِيقافها ولا النزول لأَداء الصلاة، ولا يجوز تأْخير الصلاة عن وقتها بحال. وكما تصح الصلاة على السيارة إِذا جد به السير ولم يتمكن الراكب من إِلزام السائق بإِيقاف السيارة وخشي خروج الوقت، فإِنه يصلي قبل خروج الوقت ويفعل ما يستطيع عليه، ثم إِذا صلى الإِنسان في الطائرة ونحوها فإِن استطاع أَن يصلي قائمًا ويركع ويسجد لزمه ذلك في الفريضة، وإِلا صلى على حسب حاله وأَتى بما يقدر عليه من ذلك، كما يلزمه استقبال القبلة حسب استطاعته. وكلما دارت انحرف إِلى القبلة إِذا كانت الصلاة فرضًا

“Sah shalat di dalam pesawat yang sedang terbang, sebagaimana sah shalat di dalam kapal dan yang semisalnya, dan ini lebih serupa dengan keadaan darurat, karena dia tidak mampu menghentikan kendaraan tersebut, dan juga tidak bisa turun untuk mengerjakan shalat, sementara tidak boleh mengakhirkan shalat dari waktunya dalam keadaan apapun. Sebagaimana shalat juga sah di atas mobil apabila sedang berjalan dan penumpang tidak bisa mengharuskan sopir menghentikan kendaraan, dan dia takut habis waktu, maka hendaklah dia shalat sebelum habis waktunya dan melakukan apa yang dia mampu. Kemudian apabila seseorang shalat di pesawat dan yang semisalnya maka jika dia mampu shalat dengan berdiri, ruku’, dan sujud maka dia wajib melakukannya pada shalat fardhu, kalau tidak bisa maka shalat sesuai dengan kondisi dia, dan mengerjakan apa yang dia mampu, sebagaimana wajib bagi dia menghadap qiblat sesuai dengan kemampuan, setiap kali kendaraan itu berputar maka dia tetap menghadap ke qiblat bila itu adalah shalat fardhu.” (Fataawaa wa Rasaa’il Syeikh Muhammad bin Ibrahim no:516)

Berkata Komite Tetap Untuk Riset llmiyyah dan Fatwa Kerajaan Saudi Arabia:

وأما كونه يصلي أين توجهت المذكورات أم لا بد من التوجه إلى القبلة دومًا واستمرارًا أو ابتداءً فقط – فهذا يرجع إلى تمكنه، فإذا كان يمكنه استقبال القبلة في جميع الصلاة وجب فعل ذلك؛ لأنه شرط في صحة صلاة الفريضة في السفر والحضر، وإذا كان لا يمكنه في جميعها، فليتق ا
له ما استطاع، لما سبق من الأدلة، هذا كله في الفرض

“Adapun, apakah dia shalat mengikuti arah kendaraan-kendaraan tersebut (mobil, kereta, pesawat, atau kendaraan roda empat) harus menghadap qiblat secara terus-menerus atau hanya di awal shalat, maka ini dikembalikan kepada kemampuan dia, jika dia mungkin menghadap qiblat terus-menerus dalam shalat seluruhnya maka dia wajib melakukannya, karena ini syarat sahnya shalat fardhu baik ketika safar atau muqim, dan apabila tidak mungkin menghadap qiblat terus-menerus maka hendaklah dia bertaqwa kepada Allah sesuai dengan kemampuan, karena dalil-dalil yang telah berlalu, dan ini semua dalam shalat fardhu.” (Fataawaa Al-Lajnah Ad-Daaimah 8/124)

5. Tidak perlu diulang bila sudah sampai di tujuan

Kemudian, jika kita sudah shalat (misal shlat maghrib) di kendaraan dan ternyata bisa tiba di rumah sebelum isya maka shalatnya tidak perlu diulang insya Allah, karena antum sudah mengerjakannya beserta semua rukun dan wajib shalat (walaupun ada yang tidak sempurna), dan tidak ada dalil yang memerintahkan untuk mengulanginya.

wallohu a’lam
disarikan dari

http://www.konsultasisyariah.com/bagaimana-tata-cara-sholat-di-dalam-kereta/#ixzz1uB17jJ3s
http://almanhaj.or.id/content/129/slash/0

Leave a comment