Kembali ke Desa Bila Sudah Tua?


Siang kemarin, istriku telpon. Biasa jadwal curhat harian. Kali ini dia tidak menceritakan masalah pribadinya, tetapi cerita tentang tamu yang barusan mampir ke rumah. Teman ngrumpinya sedang curhat bahwa akhir-akhir ini dia sering nangis karena tingkah polah anaknya yang belum dewasa tapi lagaknya seperti abg jaman sekarang. Mereka tinggal di komplek perumahan yang lumayan elitlah di kotaku. Anaknya yang masih bangku sekolah dasar sering iri dengan teman-teman kompleknya yang bergaya hidup wah alias mewah…(bukan mepet sawah lho). Si anak sering meminta hal yang sama kepada orang tuanya, dan berharap semua keinginannya lekas terpenuhi.

Kisah ini, mau tidak mau juga mengusik pikiranku. Sebentar lagi anakku juga menjelang abg, perlu langkah antisipatif agar tidak tergerus budaya hedonisme yang mengakibatkan dekadensi moral. Memang ada rencana dari keluarga kami untuk pindah ke desa. Kami sudah tidak kuat dengan arus modernisasi yang menggilas si papa, dan si iman lembek. Lihat saja di mall-mall, kulit putih dengan rok di atas paha serta baju dengan ketiak dan pusar kelihatan mudah didapatkan. Memang sih pemandangan gratis, tapi yang digratiskan biasanya murahan hehehe. Pisss. Lihat saja berbagai merek baju, hp, foodcourt dan lainnya yang selalu menggoda selera untuk memiliki dan mendapatkannya.

Kami tidak mau tinggal di desa ketika usia kami sudah tidak produktif, tinggal menikmati masa pensiun dan hanya melihat kebun setiap harinya. Lupakan itu. Kami ingin keluarga kami dididik dengan keluguan desa, keramah-tamahan desa, keharmonian desa, dan semangatnya.

Akan kami ajarkan bahwa tinggal di desa tidak kalah mulia, seburuk sebutan orang kota dengan nama “udik”. Biarlah anak-anak kami tahu bahwa kota selain kelebihan banyak kekurangannya. Dan mereka juga tahu tugas kitalah memburu ketertinggalan desa dengan semangat, keluguan, keramah-tamahan dan keharmonian desa. Ini hanya sebuah pilihan.

Leave a comment