Bullying terhadap pasangan


Penghasilan dinda, bukan milik kanda, hanya untuk dinda.

Bahkan, kanda akan berdosa, bila menyuruh dinda mencari nafkah.

Tetapi, waktu-waktu terbaik dinda, bukan untuk anak-anak kita.

Sepadankah pengorbanan ini, dinda.

(sms pak Adil kepada istrinya)

Sebagai seorang pengusaha yang juga adalah dosen ilmu politik, pak Sujahtra ternyata sering diminta untuk memberikan nasihat pernikahan, atau apa yang dikenal dengan istilah, khutbah nikah. Siang itu, pak Adil berkesempatan untuk menemani gurunya, pak Sujahtra, pergi memenuhi undangan khutbah nikah di sebuah gedung pertemuan megah yang terletak di kawasan Jakarta Selatan, di sebelah gedung Departemen Kehutanan. Di dalam kabin mobil milik pak Sujahtra yang senyap dan sejuk, sebuah sedan Mercedes seri E terbaru, bernyawa enam silinder yang begitu bertenaga, pak Adil mengamati sang guru yang sedang sibuk menuliskan sesuatu di catatannya. Nampaknya, tulisan yang berisi kutbah nikah yang akan disampaikan nanti. Sesampainya di lokasi, mereka kesulitan untuk menemukan tempat parkir, tetapi, mereka tertolong dengan simbol bintang di atas tutup radiator yang berkilauan tertimpa sinar matahari siang, memancarkan kewibawaan yang membuat para juru parkir menjadi bersemangat mencarikan tempat yang istimewa bagi makhluk besi ciptaan Daimler Benz ini, untuk mengeram. Para juru parkir ini berharap mendapatkan imbalan yang banyak dari pemilik mobil. Biasanya, tip yang akan mereka terima, sepadan dengan jenis mobilnya. Di dalam gedung, pak penghulu sudah lebih dahulu hadir, sehingga pak Sujahtra pun bergegas memasuki ruangan.

Kalau boleh memilih, demikian pak Sujahtra mengawali khutbahnya, lebih enak menjadi kaum wanita daripada kaum lelaki. Kaum wanita lebih mudah untuk memasuki surga. Resepnya sederhana, cukup patuh dan taat kepada suami. Kalaulah boleh manusia menyembah manusia, maka, Rasulullah SAW memerintahkan isteri untuk menyembah suaminya. Islam begitu melindungi dan memuliakan kaum wanita, salah satunya, dengan membebaskan kaum wanita dari kewajiban mencari nafkah, baik nafkah bagi keluarganya, maupun nafkah bagi orangtuanya. Berdosa bagi suami, menyuruh isterinya bekerja untuk mencukupi atau menambah nafkah keluarga. Suami tidak boleh mengusik-usik harta milik isterinya. Bagi suami, ada dosa-dosa yang tidak akan hilang, kecuali dengan kepayahan dan keletihan dalam mencari nafkah. Maka, beruntunglah bagi para suami yang begitu ngongso dalam mencari nafkah, karena dosa-dosanya akan berguguran. Kewajiban suami dalam mencari nafkah ini menjelaskan, mengapa bagian warisan kaum lelaki adalah dua kali bagian kaum wanita. Apa yang akan terjadi, bila isteri diminta oleh suami untuk ikut bekerja mencari nafkah. Di dalam rumah tangga dengan double income, ketika penghasilan isteri menjadikan ketergantungan di dalam rumah tangga, maka karakter suami akan berubah menjadi feminin, dan karakter isteri akan berubah menjadi maskulin. Jadilah isteri lebih menunjukkan kewibawaannya, menjadi pemimpin di rumah tangga, sedangkan sang suami akan berubah menjadi lemah gemulai, kemayu. Dalam kesehariannya, sang suami akan tampil dengan rasa percaya diri yang tidak penuh, peragu, akibat dari akumulasi rasa bersalah, karena telah menyuruh isterinya untuk bekerja guna mencukupi nafkah keluarga.

Dalamnya khutbahnya, pak Sujahtra memberikan beberapa resep, untuk mewujudkan rumah tangga menjadi rumah tangga yang asmara, yang merupakan kepanjangan dari, assakinah, mawaddah, warahmah. Resep yang pertama, memberi pujian. Pak Sujahtra mencontohkan, bagaimana Rasulullah SAW memanggil isteri beliau, Aisyah, dengan panggilan mesra, khumaira. Memuji di sini, meliputi juga mengucapkan terimakasih, atas apa-apa yang telah diperbuat oleh pasangannya. Terimakasih atas sarapannya ya ummi, nasi goreng buatan ummi enak sekali, demikian pak Sujahtra mencontohkan bagaimana seorang suami memuji sarapan yang disajikan isterinya, apalagi bila diiringi dengan bunyi sendawa yang nyaring. Bila rizqi berlebih, sebaiknya memberikan hadiah, yang juga merupakan salah satu bentuk dari pujian. Resep yang kedua, meminta maaf terlebih dahulu, meskipun tidak bersalah. Pak Sujahtra mencontohkan mengenai sepasang suami isteri yang sedang berhaji, ketika selesai wukuf di arofah, sang suami menghampiri isterinya untuk meminta maaf atas segala kesalahan dan kehilafan yang telah diperbuatnya selama ini. Mendengar permintaan maaf suaminya, sang isteri menjerit sambil menangis terharu. Rupanya, selama puluhan tahun berkeluarga, sang suami baru pertamakalinya meminta maaf, semenjak mereka menikah. Resep yang ketiga, mendengarkan pasangannya. Resep ini cukup sulit untuk dilaksanakan oleh para suami, karena mereka lebih butuh untuk didengarkan daripada mendengarkan. Resep yang keempat, menyempatkan diri untuk pergi berduaan. Pergi berduaan, bukan hanya dengan isteri, tetapi juga dengan anak. Pak Sujahtra mencontohkan dirinya, yang tepat setelah sholat shubuh dimasjid bersama isterinya, melanjutkan dengan jalan kaki berdua selama setengah jam, mengelilingi kawasan perumahan dimana mereka tinggal. Seminggu sekali, acara jalan santai di pagi hari itu, diakhiri dengan makan bubur ayam berdua di pojokan jalan.

Khutbah nikah yang disampaikan oleh pak Sujahtra, ternyata masih panjang. Karena kebetulan berasal dari Solo, pak Sujahtra menyelingi khutbah nikah dengan menceritakan lelucon yang populer dari kampung halamannya. Di daerah Solo dan Yogya, ada sebuah cerita mengenai orang yang kulit pipinya berwarna hitam, tapi cuma sebelah. Cerita ini merupakan guyonan terhadap para komuter bersepeda yang tinggal di sekitar bekas ibukota Mataram tersebut. Mereka berangkat pada pagi hari saat matahari terbit menyinari sebelah pipi mereka, dan pulangnya menjelang matahari terbenam, yang juga menyinari sebelah pipi yang sama. Jadilah kulit pipi mereka menjadi berwarna hitam, tetapi hanya sebelah.

Di jaman sekarang, kata pak Sujahtra, sebagian besar pekerja tidak perlu berpipi hitam sebelah, karena mereka tidak pernah menjumpai matahari. Selepas salam dan dzikir ala kadarnya yang mengakhiri sholat Shubuh, mereka langsung melesat ke kantor. Pulangnya, selepas Isya. Semua ini dilakukan untuk menghindari kemacetan. Keluarga yang di rumah, hanya menikmati penampakan sesaat, dua atau tiga jam saja. Itupun, kalau mereka masih hidup, belum tidur. Kalau rutinitas ini dilakukan oleh kaum wanita, kaum ibu, maka biasanya di akhir pekan mereka akan membanjiri anak-anak dengan materi. Ini untuk membayar rasa bersalah mereka, karena meninggalkan anak-anak. Malam-malam, sepulang dari kantor, setelah berkutat dengan kesibukan pekerjaan dan beberapa meeting yang melelahkan, mereka menjumpai buah hatinya sudah pada tidur. Sambil membetulkan letak selimut, mengecup pipi dan kening, berlinanglah air mata, sangat mengharap akhir pekan segera tiba. Tuk tuntaskan kerinduan. Lho, kok mirip adegan di sebuah sinetron.

Pak Sujahtra membandingkan kondisi di zaman sekarang, dengan kondisi sewaktu fir’aun di mesir sedang berkuasa, dan beliau menemukan kemiripan. Jaman sekarang, menurut beliau, seolah-olah, hanya anak-anak perempuan saja yang dibiarkan hidup. Peluang kaum lelaki untuk mendapatkan pekerjaan, semakin kecil, karena mereka juga harus bersaing dengan kaum wanita, yang lebih banyak memiliki kelebihan. Lebih enak dipandang, lebih merdu suaranya, lebih santun, lebih nrimo digaji kecil, dan lebih lebih lainnya. Tiba-tiba, para bapak yang tadinya tidak sempat bersisir menjadi sangat rapi dan wangi. Mereka menjadi lebih bersemangat berangkat ke kantor karena mengharapkan perjumpaan dengan si dia, yang selain masih kinclong, juga enak diajak ngomong. Padahal, menurut pak Sujahtra saat menafsirkan surat Al Baqarah, hanya Adamlah yang akan merasakan kepayahan ketika mereka berdua, bersama
Siti Hawwa, diturunkan ke dunia, dari Surga.

Sekurang-kurangnya, lanjut pak Sujahtra dalam khutbah nikahnya, terdapat tiga bahaya yang mengancam, di tengah maraknya kiprah perempuan bekerja di luar rumah. Bahaya yang pertama, hilang atau berkurangnya kecemburuan dalam diri suami, yang dikenal dengan istilah dayuz. Ketika sedang mengantri untuk mendapatkan pelayanan di sebuah instansi pemerintah miliknya Depkeu, pak Sujahtra melihat seorang ibu berjilbab, yang menurut dugaan beliau adalah akhwat, yang sedang bercanda dengan seorang bapak dengan sangat akrab. Pak Sujahtra bertanya-tanya, bagaimana kalau suami ibu tadi melihat pemandangan tersebut. Cemburukah dia. Atau jangan-jangan, sang suamipun juga sering melakukan hal yang sama di kantornya. Jadi impas. Memang, sebagian besar wanita tidak memahami karakter pria. Dalam hubungan canda yang akrab seperti tadi, seorang pria bisa kehilangan dua pertiga akalnya, sementara sang wanita tidak merasakan apa-apa. Ketika seorang laki-laki sudah kehilangan rasa cemburu, maka sesungguhnya dia telah mati sebelum mati. Mirip mayat hidup.

Bahaya kedua, munculnya keragu-raguan terhadap kemampuan Allah dalam memberikan rizqi. Ibarat mobil, rumah tangga dimana suami dan isteri sama-sama bekerja di luar rumah, seperti mobil dengan double gardan. Ketika rumah tangga dengan penggerak ganda tersebut memutuskan untuk mematikan salah satu gardannya, dengan pertimbangan utama untuk menyelamatkan asset berharga mereka yaitu anak-anak, biasanya muncul keragu-raguan dalam benak suami, sanggupkan Allah mencukupi rizqi mereka. Saat itu, kebutuhan hidup mereka sudah mengikuti penghasilan mereka berdua, bahkan agak sedikit melampaui. Sebenarnya, langkah yang dianjurkan adalah memindahkan gardan tersebut ke rumah, bukan mematikannya. Kita tentu mengetahui betapa JK Rowling, pengarang Harry Potter, menjadi jutawan dari hasil royalti buku. Bukankah Siti Khadijah, isteri Rasulullah SAW, adalah pedagang yang sukses.

Bahaya yang ketiga, munculnya perilaku bullying di kalangan anak-anak mereka. Mengapa anak-anak yang ibunya bekerja di luar rumah, memiliki kecenderungan untuk melakukan bullying. Jawabannya sederhana. Mereka terbiasa merasakan rasa sakit yang lebih hebat dibandingkan dengan rasa sakit fisik, sehingga, mereka sudah toleran dengan rasa sakit fisik. Rasa sakit apa yang melebihi rasa sakit fisik. Pulang sekolah dan tidak menjumpai sang ibu di rumah, adalah rasa sakit yang melebihi rasa sakit fisik. Ini adalah jenis rasa sakit yang diakibatkan oleh miskinnya kasih sayang seorang ibu. Kasih sayang sang ibu, sudah terkuras di tempat pekerjaan yang keras, intimidatif, kompetitif, penat dan meletihkan. Dunia kerja adalah dunia yang paling cocok untuk kaum laki-laki. Seorang ibu yang bekerja di luar rumah, pelan-pelan akan bertambah sifat maskulinnya, berkurang feminitasnya, sehingga, anak-anak di rumah akan memiliki dua orang ayah. Benar-benar sebuah kehidupan yang gersang kasih sayang.

Pernah, di dalam masjid di sebuah komplek perumahan di kawasan Pondok Aren, Tangerang Selatan, pak Sujahtra menyaksikan dua anak lelaki yang masih duduk di bangku sekolah dasar, berantem, bergulat, dengan sorot mata keduanya yang memancarkan nafsu untuk saling membunuh, kejam. Kedua anak yang tinggal berdekatan ini, memiliki orang tua, yang kedua-duanya bekerja di luar rumah, sebagai pns di lingkungan Kementerian Keuangan. Ketika salah seorang dari kedua anak itu, melanjutkan sekolahnya ke SMP, ke sebuah pesantren yang terletak di kabupaten Bandung, bapaknya bercerita dengan bangga bahwa sang anak, meskipun baru kelas satu SMP, sudah disegani oleh kawan-kawannya, berkat lebih sering bergaul dengan kakak-kakak kelasnya. Timbulnya rasa segan tersebut, bukan rasa hormat, adalah lebih karena ancaman yang bersifat fisik, bullying.

Setelah acara khutbah nikah dan acara akad nikah, tibalah acara makan-makan. Pak Adil menjadi lebih pendiam dari biasanya. Bagi pak Adil, khutbah pak Sujahtra telah menohok perasaannya. Rasa-rasanya, acara makan-makan berlangsung sangat lama. Selera makannya telah menguap, meskipun banyak terhidang makanan kesukaannya. Ingin sekali pak Adil kembali ke rumah secepatnya, untuk meminta maaf kepada sang isteri. Selama ini, pak Adil telah menyuruh isterinya bekerja, guna menambah penghasilan keluarga. Pak Adil ingin membeli mobil. Sekarang, pupuslah keinginannya untuk memiliki mobil. Di kepalanya, berputar angka-angka pengeluaran rumah tangga yang bisa dihemat, agar isterinya bisa kembali kepada fithrahnya, kembali ke rumah, sebagai penyejuk dan penentram jiwa. Maafkan aku ya adinda. Mulai hari ini, kangmas akan lebih ngongso dan akan lebih ngoyo dalam mencari nafkah. Setidak-tidaknya, ngoyo dalam mencari nafkah, akan menjadi penggugur dosa-dosa pak Adil.

Muhamad Iffan

http://www.facebook.com/note.php?note_id=10150250435065017

4 thoughts on “Bullying terhadap pasangan

Leave a comment